بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Di era globalisasi yang berubah pesat, institusi perguruan tinggi menghadapi tekanan besar untuk memastikan tercapainya mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang kokoh. SPMI berperan sebagai framework penting yang terdiri dari siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP). Siklus PPEPP didesain untuk memastikan bahwa semua proses akademik dan non akademik memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Efektivitas SPMI tidak hanya terletak pada prosedur dan kebijakan yang dijalankan, namun juga pada motivasi, keterlibatan aktif unit kerja, staf pengajar dan tendik (tenaga kependidikan) dalam mendukung pencapaian mutu berkelanjutan.
Teori Motivasi 2 Faktor dari Frederick Herzberg (1968) memberikan wawasan untuk mengenal dan memahami motivasi kerja dalam konteks SPMI. Herzberg membedakan faktor yang menciptakan kepuasan kerja (faktor motivator) dari faktor yang hanya mencegah ketidakpuasan (faktor higienis / pemelihara).
Menurut Herzberg, faktor motivator meniputi aspek seperti pencapaian, pengakuan, dan tanggung jawab (motivasi intrinsik). Faktor-faktor tersebut dapat mendorong unit kerja, tenaga pengajar dan staf untuk bekerja lebih giat / lebih baik karena mereka merasakan makna dan kepuasan dari pekerjaan yang mereka emban.
Faktor kedua adalah faktor “higienis”. Faktor higienis (pemelihara) seperti kebijakan organisasi, kondisi kerja, dan keamanan kerja juga memainkan peran krusial. Walaupun faktor higienis tidak menciptakan kepuasan langsung, mereka penting untuk “mencegah ketidakpuasan” yang juga dapat mengganggu prestasi kerja. Dalam konteks SPMI, faktor higienis perlu diberikan (dipenuhi) untuk menciptakan stabilitas dan dukungan bagi kepala unit kerja, staf dosen dan staf administrasi. Ketika kondisi kerja sudah mendukung, tenaga kerja akan merasa nyaman dan “siap” untuk bekerja / berkontribusi bagi peningkatan mutu.
Untuk penguatan dan keberhasilan SPMI, institusi harus mempertimbangkan “keseimbangan” antara faktor motivator dan faktor higienis.
Penting sekali memfasilitasi unit kerja, dosen dan staf dengan kebijakan yang jelas dan menyediakan kesempatan (peluang) untuk tanggung jawab serta pengakuan. Hal tersebut adalah cara-cara untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kepuasan, motivasi dan keterlibatan penuh. Keterlibatan ini pada akhirnya berkontribusi pada keberhasilan pelaksanaan mutu (SPMI) secara holistik.
Implementasi teori 2 faktor dari Herzberg dapat menumbuhkan kepuasan kerja yang lebih tinggi dan mendorong keterlibatan yang lebih baik. Dengan memperhatikan 2 kebutuhan tersebut (motivator dan higienis), perguruan tinggi dapat membangun lingkungan yang mendukung peningkatan mutu, mendorong institusi untuk lebih unggul, adaptif, dan berdaya saing tinggi.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Saat ini perubahan lingkungan semakin bergejolak dan mengarah ke era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible). Di era tersebut, perguruan tinggi menghadapi tantangan yang semakin ambigu, kompleks dan sulit diprediksi. Kondisi yang tidak stabil ini dapat mengganggu kenyamanan kerja dari unit kerja, tenaga pengajar dan staf. Tentu saja bila tidak ada solusi, dapat berdampak langsung pada keberlanjutan pelaksanaan SPMI. Di sinilah peran teori 2 faktor Herzberg memberikan panduan penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif secara psikologis maupun profesional.
Faktor higienis atau faktor pemelihara dalam teori Herzberg, seperti kebijakan kerja yang adil, kondisi kerja yang menyenangkan, dan stabilitas karier, sangat diperlukan untuk menghadapi ketidakpastian era VUCA dan BANI. Institusi dapat menyesuaikan kebijakan kerja dengan memperkuat stabilitas dan keamanan kerja bagi tim unit kerja, dosen dan staf. Kebijakan organisasi yang adil dan menarik membantu menjaga kenyamanan anggota organisasi, sehingga mereka “tetap dapat fokus” pada peningkatan mutu.
Herzberg menjeleskan bahwa faktor higienis (faktor pemelihara) tidak langsung menciptakan motivasi intrinsik, namun tetap penting untuk mencegah ketidakpuasan kerja.
Di era BANI, di mana kecemasan (Anxious) menjadi hal sering terjadi, faktor-faktor higienis ini berperan besar dalam menciptakan lingkungan yang stabil dan mendukung. Dengan adanya stabilitas lingkungan organisasi, unit kerja, dosen dan staf akan lebih tenang dalam menghadapi dinamika perubahan yang sering terjadi.
Pemenuhan faktor higienis yang tepat membantu perguruan tinggi meminimalkan risiko ketidakpuasan dan menciptakan rasa aman bagi tenaga kerja. Dalam lingkup SPMI, perguruan tinggi juga dapat memberikan dukungan profesional yang berkelanjutan dan menyesuaikan kebijakan SPMI sesuai kebutuhan perubahan. Sehingga, institusi dapat menjaga motivasi staf SDM secara lebih efektif di tengah kondisi yang sulit diprediksi.
Implementasi teori 2 faktor Herzberg dalam lingkungan VUCA dan BANI menunjukkan bahwa stabilitas di tingkat higienis adalah strategi penting. Walau faktor higienis tidak menambah motivasi intrinsik, namun membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penguatan SPMI, memastikan perguruan tinggi mencapai keunggulan mutu di tengah tantangan lingkungan yang uncertainty, kompleks dan beragam.
Selain faktor higienis (faktor pemelihara), Herzberg juga menekankan pentingnya faktor motivator untuk membangun motivasi intrinsik. Dalam konteks SPMI, faktor motivator ini sangat berperan dalam implementasi siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar SPMI). Perguruan tinggi perlu memperkuat faktor ini untuk mendorong motivasi dan keterlibatan unit kerja, dosen dan staf secara lebih mendalam.
Pada tahap penetapan standar (dalam PPEPP), melibatkan semua unit kerja dalam proses perumusan standar mutu dan kebijakan akademik dapat “meningkatkan rasa memiliki” terhadap tujuan yang ditetapkan. Ketika unit kerja merasa terlibat dalam penetapan standar, mereka akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Menurut Frederick Herzberg, pencapaian (achievement) dan tanggung jawab merupakan motivator kuat yang mendorong unit kerja untuk bekerja dengan lebih baik dan terarah.
Selanjutnya, pada tahap pelaksanaan (dalam PPEPP), memberikan tanggung jawab kepada tim unit kerja untuk mengimplementasikan standar mutu, dapat menumbuhkan rasa puas terhadap pekerjaan mereka. Ketika mereka diberi kebebasan untuk menjalankan standar, kepuasan kerja akan meningkat seiring dengan kepercayaan yang telah diberikan. Rasa tanggung jawab (responsibility) yang tinggi ini dapat memperkuat motivasi intrinsik.
Pengakuan (recognition) juga menjadi elemen penting dalam menumbuhkan motivasi kerja yang kuat. Memberikan penghargaan atau apresiasi kepada unit kerja yang berhasil mencapai atau bahkan melampaui standar SPMI. Unit kerja dan dosen yang berhasil berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, memperoleh penghargaan yang nyata. Herzberg menjelaskan bahwa pengakuan (recognition) adalah elemen motivator penting yang dapat mendorong kepuasan kerja secara signifikan.
Pada akhirnya, implementasi teori 2 faktor dari Herzberg dalam SPMI memungkinkan perguruan tinggi untuk membangun lingkungan yang mendukung motivasi intrinsik. Prestasi, penghargaan dan pengakuan terhadap kontribusi unit kerja, tidak hanya meningkatkan motivasi dan keterlibatan, namun juga memicu pencapaian standar SPMI yang lebih tinggi.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Herzberg menjelaskan bahwa “faktor motivasi dan higienis” saling melengkapi satu dengan lainnya dalam menumbuhkan kepuasan dan ketahanan kerja. Dalam konteks SPMI, kedua faktor tersebut dapat dioptimalkan secara sinergis untuk membangun motivasi, komitmen dan keterlibatan penuh dalam siklus PPEPP. Hal ini menjadi fondasi utama bagi pencapaian mutu di perguruan tinggi.
Pada tahap evaluasi dan pengendalian (dalam PPEPP), dukungan perguruan tinggi berupa akses ke sumber daya yang memadai serta kebijakan yang transparan berfungsi sebagai faktor higienis yang penting. Faktor ini memastikan bahwa segenap tim kerja merasa didukung dan dilindungi, hal ini sangat diperlukan untuk stabilitas kerja mereka.
Dengan adanya kebijakan yang adaptif, rasa aman dapat dipertahankan. Ketika kebutuhan SDM diperhatikan, potensi ketidakpuasan dapat diminimalkan, sehingga pelaksanaan siklus SPMI berjalan lebih produktif. Kebijakan yang adaptif ini memastikan bahwa standar SPMI dapat dipenuhi meskipun di tengah kondisi yang penuh gejolak era VUCA dan BANI.
Selanjutnya, pada tahap peningkatan (dalam PPEPP), perguruan tinggi dapat memperkuat motivasi intrinsik tim kerja (pimpinan, dosen dan staf) dengan memberikan pengakuan atas kontribusi mereka. Penghargaan (recognition) atas keberhasilan dalam meningkatkan standar SPMI dapat mendorong motivasi intrinsik.
Implementasi teori dua faktor dari Herzberg dalam SPMI memungkinkan institusi menghadapi tantangan era VUCA dan BANI dengan menciptakan lingkungan kerja yang stabil dan berorientasi pada pencapaian mutu. Integrasi faktor motivator dan higienis dapat menghasilkan sistem mutu yang lebih responsif terhadap kebutuhan SDM. Hal ini bila dilaksanakan dengan baik, dapat berkontribusi pada pencapaian standar SPMI, dan menjadikan perguruan tinggi lebih unggul dan kompetitif. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi