بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah berbagai tuntutan yang dihadapi perguruan tinggi, mahasiswa sering diakui sebagai stakeholder utama, bahkan disebut sebagai stakeholder nomor satu. Mereka bukan sekadar peserta pendidikan, tetapi juga alasan keberadaan institusi pendidikan tinggi. Mahasiswa adalah penerima manfaat utama dari proses belajar mengajar sekaligus wajah masa depan bangsa, kader yang akan menentukan arah perjalanan negeri ini. Namun, pertanyaan yang tetap relevan adalah: apakah mahasiswa benar-benar menjadi pusat perhatian kampus? Apakah perguruan tinggi telah memberikan layanan terbaik untuk mereka? Atau justru mahasiswa hanya dianggap sebagai angka dalam laporan institusional?
Dalam kenyataannya, banyak perguruan tinggi masih fokus pada aspek administratif seperti akreditasi, peringkat, dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah. Di tengah perhatian yang terpusat pada indikator-indikator formal ini, kebutuhan dan pengalaman mahasiswa sering kali berada di pinggiran. Kondisi ini memunculkan dilema mendalam: sejauh mana kampus benar-benar memandang dan memperlakukan mahasiswa sebagai stakeholder terpenting, bukan sekadar komponen statistik belaka.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Sebagai stakeholder utama, mahasiswa memiliki hak fundamental untuk menerima pendidikan yang bermutu tinggi, relevan dengan tantangan zaman, dan memberikan dampak nyata. Mereka bukan sekadar pengguna layanan pendidikan, melainkan mitra dalam ekosistem akademik yang kompleks. Mahasiswa hadir dengan membawa harapan, ambisi, dan mimpi yang seharusnya dipupuk melalui kurikulum yang inovatif, fasilitas yang mendukung, serta interaksi yang penuh makna dengan para dosen sebagai pembimbing intelektual dan pembimbing moral.
Namun, kenyataan sering kali berbicara lain. Mahasiswa kerap merasa menjadi objek dari sistem pendidikan, sekadar peserta pasif, bukan subjek yang memiliki suara. Kurikulum yang terlalu kaku, akses yang terbatas terhadap sumber daya, dan minimnya komunikasi dua arah antara mahasiswa, dosen, dan pengelola kampus menjadi isu yang terus terulang. Dalam situasi seperti ini, mahasiswa sering kali tidak diperlakukan sebagai stakeholder utama, melainkan hanya sebagai angka dalam statistik atau formalitas demi memenuhi indikator keberhasilan institusi. Keadaan ini bukan saja merugikan mahasiswa, namun juga mengaburkan esensi sejati pendidikan tinggi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya potensi individu.
Di era kecerdasan buatan (AI) yang terus berkembang, kebutuhan mahasiswa melampaui sekadar fasilitas fisik. Mereka mendambakan layanan yang cepat, efektif, dan responsif untuk mendukung proses pembelajaran mereka. Teknologi diharapkan hadir sebagai alat yang mempermudah akses pendidikan, memberikan bimbingan karier yang relevan, dan menyediakan dukungan emosional di tengah tekanan akademik serta tantangan psikologis yang semakin kompleks. Namun, sayangnya, tidak semua perguruan tinggi menyediakan mekanisme yang memadai untuk mendengar dan memenuhi kebutuhan tersebut secara komprehensif.
Perguruan tinggi yang benar-benar ingin melayani mahasiswa harus berkomitmen pada transparansi dan inklusivitas. Saluran komunikasi yang terbuka—seperti forum diskusi, survei kepuasan, kotak saran daring, atau dialog langsung dengan manajemen—bukan hanya menjadi formalitas, tetapi sarana untuk mempererat hubungan antara mahasiswa dan pengelola kampus. Lebih dari sekadar mendengar, perguruan tinggi harus mampu bertindak berdasarkan masukan yang diterima, dengan melakukan koreksi dan langkah preventif yang nyata. Melalui pendekatan ini, mahasiswa tidak hanya merasa didengar, namun juga dihargai, dihormati, dan dilibatkan secara aktif dalam membentuk mutu pendidikan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka. Dengan demikian, kampus menjadi tempat yang benar-benar mencerminkan aspirasi dan potensi generasi muda.
Baca juga: Connecting The Dots: Transformasi SPMI melalui Kolaborasi Tim
Salah satu cara paling tepat untuk menegaskan bahwa mahasiswa adalah stakeholder utama adalah dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Mahasiswa seharusnya memiliki representasi (perwakilan) yang kuat di berbagai forum strategis, seperti perancangan kurikulum, evaluasi layanan, hingga pengembangan fasilitas kampus. Dengan partisipasi aktif mereka, kebijakan kampus tidak hanya menjadi lebih relevan, namun juga mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka yang sebenarnya. Lebih dari itu, keterlibatan ini mampu menumbuhkan rasa memiliki dan loyalitas yang mendalam terhadap institusi.
Ketika mahasiswa diberi ruang untuk berkontribusi, mereka tidak lagi sekadar menjadi penerima manfaat, tetapi juga partner sejati dalam mengelola kampus. Mereka membawa perspektif segar yang berharga dalam menghadapi tantangan pendidikan modern. Pendekatan ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi mahasiswa, namun juga meningkatkan kredibilitas perguruan tinggi sebagai institusi yang responsif, inklusif, dan relevan dengan generasi muda. Dalam lingkungan seperti ini, kampus tidak hanya menjadi tempat belajar, namun juga menjadi rumah bagi inovasi dan kolaborasi yang bermutu.
Baca juga: Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut
Mahasiswa adalah inti dari keberadaan perguruan tinggi. Mereka bukan sekadar penerima layanan, tetapi juga partner strategis yang memiliki suara penting dalam menentukan arah, strategi dan masa depan institusi. Dengan menempatkan mahasiswa di pusat perhatian, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap kebijakan, standar, program, dan layanan dirancang untuk menjawab kebutuhan nyata mereka, sekaligus memberikan dampak positif yang berkelanjutan. Dalam hubungan ini, mahasiswa bukan hanya angka statistik dalam laporan tahunan, tetapi jiwa-jiwa yang menghidupkan dinamika akademik.
Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management
Perguruan tinggi yang benar-benar memahami, berempati dan melayani mahasiswa dengan sepenuh hati akan menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif, memberdayakan, dan bermakna. Keberhasilan sebuah kampus tidak semata-mata diukur dari akreditasi atau peringkat yang diraih, tetapi dari seberapa jauh institusi tersebut mampu memenuhi ekspektasi dan menginspirasi stakeholder utamanya: mahasiswa. Karena pada akhirnya, masa depan pendidikan tidak hanya terletak pada keberadaan sistem, namun pada bagaimana sistem tersebut membangun jiwa-jiwa manusia. Stay Relevant!
“Pendidikan sejati adalah yang memuliakan jiwa dan menghidupkan semangat pembelajarnya.”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi