• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?

SPMI dan Regulasi Baru

SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Instagram: @mutupendidikan

Pendahuluan

Belakangan ini, dunia pendidikan global diguncang oleh berita mengejutkan: 23% lulusan Harvard Business School (HBS) angkatan 2024 tidak terserap dunia kerja dalam waktu tiga bulan setelah kelulusan.

Harvard, dengan seluruh reputasi dan kredensial akademiknya, tetap menyaksikan lulusan MBA-nya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Ini memunculkan pertanyaan mendasar:

Baca juga: Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?

Mutu Pendidikan: Sekadar Prosedur?

Sesuai dengan Pedoman Implementasi SPMI 2024, mutu pendidikan tinggi ditetapkan melalui 5 siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar Pendidikan Tinggi. Secara teoritis, ini merupakan sistem yang kokoh dan komprehensif.

Padahal, meskipun indikator seperti penyerapan lulusan sudah tercantum dalam instrumen akreditasi, implementasinya di lapangan sering belum dijadikan fokus utama dalam proses evaluasi mutu internal. Akibatnya, potensi untuk menggunakan data dunia kerja sebagai cermin kualitas lulusan belum sepenuhnya dimanfaatkan secara strategis dalam pengambilan keputusan mutu di perguruan tinggi.

Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi

Mutu harus berpihak pada pemangku kepentingan utama: dunia kerja dan masyarakat.

Benarkan SPMI ditujukan untuk Dunia Kerja?

SPMI sebagai sistem mutu seharusnya lebih dari sekadar mekanisme pelaporan. Dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, dijelaskan bahwa mutu harus berpihak pada pemangku kepentingan utama: dunia kerja dan masyarakat.

Baca juga: Kesalahan Klasik: Mutu Diserahkan ke LPM Tanpa Keterlibatan Manajemen Puncak

Relevansi Praktis

Untuk menjawab tantangan ini, SPMI perlu menjadi sistem reflektif, bukan hanya kepatuhan. Kampus harus benar-benar menyeriusi pertanyaan: “Sejauh mana lulusan kami dibutuhkan dan mampu bersaing di dunia nyata?”

Salah satu kunci transformasi adalah memperkuat indikator berbasis dampak. Misalnya, perguruan tinggi harus mulai serius menelaah sejauh mana lulusannya terserap di dunia kerja, bukan hanya berapa banyak yang lulus tepat waktu. Data dari tracer study harus diolah secara bermakna dan ditindaklanjuti, bukan hanya menjadi formalitas pelaporan.

Lebih dari itu, penting untuk menilai apakah kompetensi yang dimiliki lulusan benar-benar sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Ini bisa dideteksi dari gap antara kurikulum dan ekspektasi dunia kerja, yang seringkali luput dari perhatian karena SPMI terlalu fokus pada pemenuhan standar internal. Bahkan, untuk memastikan kesesuaian ini, perguruan tinggi seharusnya juga mencermati bagaimana performa lulusan dalam satu tahun pertama bekerja—apakah mereka mampu beradaptasi, berkembang, atau justru tertinggal.

Dan yang tak kalah penting adalah mendengarkan langsung suara dari industri, yakni perusahaan yang merekrut lulusan. Umpan balik dari pengguna lulusan harus menjadi bagian penting dalam siklus evaluasi mutu. Tanpa suara dari luar kampus, perguruan tinggi hanya akan menilai dirinya sendiri, dengan risiko besar: merasa bermutu tanpa pernah benar-benar tahu, apakah lulusannya memang dibutuhkan.

Baca juga: Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu

Penutup

Kasus Harvard jadi pengingat tajam: bahkan institusi dengan nama besar, juga berpotensi kehilangan relevansi. Maka, Indonesia perlu memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjamin proses yang baik, tapi juga hasil yang berdampak. Stay Relevant!

Baca juga: SPMI Stagnan? Mungkin Program Pelatihan Terabaikan!


Referensi

  1. Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  2. Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
  3. OpenAI. (2023). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
  4. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
  5. Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2023). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
  6. Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
  7. Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.

Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia

    ×

    Layanan Informasi

    × Hubungi Kami