PPEPP vs Juara

Mutu di Kampus: Antara Form, Refleksi, dan Realita

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com

Mutu kampus tak lahir dari form. Ia butuh refleksi, keberanian, dan inovasi. Permen 39/2025: peluang segar atau jebakan lama?

Kalau ngomongin mutu kampus, entah kenapa bayangan pertama yang muncul seringkali bukan diskusi hangat di kelas atau ide-ide segar dari dosen dan mahasiswa, tapi tumpukan form, laporan, dan SOP. Seolah-olah mutu itu identik dengan borang. Padahal kita semua tahu, mutu sejati lahir dari keberanian refleksi, dari ruang-ruang kecil tempat orang kampus berdebat sehat tentang kurikulum, metode mengajar, atau arah riset. Sekarang sudah keluar peraturan baru, Permendikbudtistek Nomor 39 Tahun 2025, menggantikan aturan lama Nomor 53 Tahun 2023. Wajahnya baru, semangatnya katanya disesuaikan dengan perkembangan global. Tapi pertanyaannya: apakah perubahan ini cukup untuk bikin mutu kampus benar-benar hidup, atau cuma ganti sampul dokumen?

Regulasi ini memperkenalkan istilah Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, atau SPM Dikti. Cakupannya luas, bukan hanya akademik saja—pendidikan, penelitian, pengabdian—tapi juga nonakademik: organisasi, keuangan, mahasiswa, tenaga, sampai sarana prasarana. Lengkap memang, tapi semakin lengkap justru semakin terasa birokratis dan rumit. Pemerintah menyebut ada prinsip triangulasi, gabungan berbagai sumber data untuk dapatkan kebenaran. Kedengarannya keren, tapi di lapangan bisa jadi artinya nambah tumpukan data dan laporan. Dan lagi-lagi, dosen dan kaprodi harus berubah peran dari penggerak mutu jadi pengisi form.

Pusat dari SPMI di Permen 39/2025 masih sama: PPEPP. Penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, peningkatan. Lima tahap yang kalau di kertas terlihat logis, tapi di kehidupan nyata sering bikin orang lelah. Dosen muda bilang, “Saya cuma ngerti tiap semester harus isi form evaluasi. Kalau telat, dianggap tak peduli mutu.” Kaprodi di kampus negeri juga cerita, “Kami lebih sibuk ngurus format laporan daripada revisi kurikulum.” Dari cerita-cerita ini jelas bahwa PPEPP sering jadi simulasi sistem, bukan sistem yang benar-benar bekerja.

Kalau meminjam kacamata teori, Argyris dan Schön (1978) menyebut ini sebagai single-loop learning. Organisasi hanya sibuk mematuhi standar dan prosedur, berputar di lingkaran form, tanpa pernah mempertanyakan asumsi dasarnya. Padahal yang kita butuhkan adalah double-loop learning: keberanian untuk refleksi kritis, melihat kelemahan, dan merombak kalau perlu. Tapi energi sudah habis di urusan checklist, kapan sempat refleksi?

Niklas Luhmann dalam teorinya Social Systems (1995) sudah mengingatkan soal jebakan simbol. Sistem sosial seperti kampus bisa terjebak dalam produksi simbol-simbol kepatuhan: laporan, dokumen, tanda tangan, unggahan. Semuanya tampak rapi, tapi substansi mutu tidak pernah tersentuh. Inilah mengapa audit internal lebih sering jadi ajang sidang dokumen ketimbang forum belajar. Mutu terlihat hidup di kertas, tapi mati di kelas. Inilah yang sering disebut sebagai “ilusi kepatuhan”

Padahal ada hikmah yang bisa ditarik dari aturan baru ini. Permen 39 memberi waktu transisi dua tahun. Artinya kampus punya ruang untuk berkreasi, untuk menyederhanakan, untuk mencari cara agar mutu tidak lagi identik dengan dokumen. Kalau ruang ini dipakai hanya untuk bikin format laporan baru, kita kehilangan kesempatan. Kita bakal mengulang kesalahan lama. Tapi kalau dipakai untuk refleksi, ini bisa jadi momentum penting.

Saya percaya penyederhanaan itu kunci, make it simple. Lima tahap PPEPP terlalu bertele-tele. Kenapa tidak dipadatkan jadi tiga langkah saja? Saya sebut konsep ini JUARA. Pertama, JU—juruskan langkah. Ini soal arah dan perencanaan (penetapan). Kedua, A—aksikan tugas. Ini soal pelaksanaan yang nyata dan terstruktur. Ketiga, RA—rapatkan hasil. Ini menggantikan evaluasi, pengendalian, dan peningkatan sekaligus. Jadi bukan laporan yang ditulis di akhir semester saja, tapi forum refleksi, rapat kecil, diskusi santai yang menghasilkan perbaikan nyata.

Akronim JUARA ini bukan hanya mudah diingat, tapi juga memberi semangat positif. Kampus yang menjalankan mutu dengan cara reflektif dan sederhana bisa benar-benar jadi juara, bukan hanya juara dalam tumpukan borang. Dengan JUARA, kita bisa menjaga agar mutu tetap menyentuh realita. Juruskan langkah, aksikan tugas, rapatkan hasil. Sesederhana itu.

Kalau ada inovasi yang ingin ditawarkan, mulailah dari sini. Sederhanakan siklus, bebaskan kampus untuk berkreasi, jadikan audit sebagai ruang belajar, bukan sidang dokumen. Mutu bukan soal siapa yang paling cepat mengisi form, tapi siapa yang paling berani mencoba cara-cara baru untuk meningkatkan pembelajaran, riset, dan pengabdian.

Pada akhirnya, mutu bukan soal berapa banyak form yang berhasil diisi atau seberapa rapi laporan yang diunggah, tapi seberapa tulus kita mencari jalan agar ilmu benar-benar bermanfaat. Allah sudah mengingatkan dalam QS. Al-Mulk [67]:2, yang diuji bukanlah siapa yang paling banyak amalnya, tapi siapa yang paling baik amalnya. Maka mutu di kampus harus dilihat dari keberanian melahirkan ikhtiar dan amal terbaik: mengajar dengan hati, meneliti dengan integritas, dan mengabdi dengan keikhlasan.

Jika mutu masih membuat kita lelah hanya karena form, berarti ada yang salah dengan cara kita memaknainya. Mutu seharusnya menumbuhkan semangat dan harapan, bukan beban. Seharusnya menghidupkan, bukan menguras tenaga. Maka mari kita kembalikan mutu ke kodratnya: ia hidup di ruang kelas, di obrolan dosen dan mahasiswa, di percobaan riset, dan di kerja-kerja pengabdian. Bukan di tumpukan kertas. Dan semoga setiap langkah kecil yang kita rapatkan hasilnya menjadi amal terbaik di hadapan Allah, sebab mutu sejati hanya akan lahir dari hati yang ikhlas dan kerja yang jujur. Stay Relevant!



Daftar Pustaka

  • Argyris, C., & Schön, D. A. (1978). Organizational learning: A theory of action perspective. Reading, MA: Addison-Wesley.
  • Luhmann, N. (1995). Social systems (J. Bednarz Jr. & D. Baecker, Trans.). Stanford, CA: Stanford University Press. (Original work published 1984)
  • Republik Indonesia. (2023). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  • Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.



Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top