• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Administrasi Publik

SPMI dan Marketing Mix

Optimalisasi SPMI dengan Model Mixed Scanning

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kebijakan pemerintah (kementerian pendidikan) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Kebijakan ini mewajibkan penerapan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) secara berkelanjutan guna menciptakan budaya mutu di lingkungan perguruan tinggi. Peraturan terbaru tentang siklus PPEPP dituangkan dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 68.

Melalui SPMI, perguruan tinggi diharapkan mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Mampu mendorong perguruan tinggi untuk unggul di tingkat global. Namun, implementasi SPMI di perguruan tinggi diduga sering menghadapi berbagai kendala. Ada berbagai kendala yang bisa ditemukan, diantaranya terkait rendahnya pemahaman dan komitmen terhadap SPMI, kendala lain seperti keterbatasan sumber daya dan resistensi dari aktor-aktor internal. Bagaimana mengatasi problematik ini?

Adalah Amitai Etzioni, seorang sosiolog dan ilmuwan politik terkenal yang dikenal atas kontribusinya dalam teori organisasi dan kebijakan publik. Etzioni memperkenalkan Model Mixed Scanning, sebuah pendekatan pengambilan keputusan yang menggabungkan analisis mendalam pada area prioritas (pemindaian komprehensif) dengan pengamatan / pemindaian terbatas pada aspek lain.

Model Mixed Scanning dari Amitai Etzioni memungkinkan decision dibuat secara lebih fleksibel, adaptif dan bertahap. Model ini memberikan ruang untuk mengkombinasikan analisis detail dan pendekatan incremental. Model ini membantu organisasi atau institusi pendidikan untuk mengoptimalkan sumber daya pada prioritas penting sambil tetap memantau aspek-aspek lain. Dengan demikian pengambilan keputusan dapat lebih adaptif dan terukur.

Untuk mengatasi problematik dalam penerapan SPMI, Model Mixed Scanning menawarkan solusi dimana institusi dapat mengimplementasikan SPMI secara step by step, menyesuaikan proses sesuai dengan tantangan, kebutuhan dan kondisi spesifik masing-masing institusi.

Baca juga: SPMI Perguruan Tinggi: Bisakah Kebijakan ini Gagal?

Mixed Scanning: Fleksibilitas SPMI

Model Mixed Scanning mengkombinasikan dua pendekatan pengambilan keputusan, yaitu high-order scanning (peninjauan komprehensif) dan detailed scanning (peninjauan terfokus). Pendekatan ini memungkinkan kebijakan dilihat dari perspektif makro sekaligus menangani detail-detail teknis secara lebih mendalam (mikro).

Dengan pendekatan fleksibilitas tersebut, pimpinan perguruan tinggi dapat memprioritaskan isu strategis secara komprehensif sambil tetap (fokus) menyelesaikan masalah-masalah kecil secara bertahap. Hal ini membuat kebijakan SPMI tidak hanya bersifat ambisius (idealis) namun tetap dijaga realistis dalam implementasinya.

Mixed Scanning membantu perguruan tinggi fokus mencapai rencana strategi (renstra) jangka panjang tanpa mengabaikan penyesuaian di setiap unit kerja. Perguruan tinggi fleksibel dan dapat beradaptasi dengan kapasitas dan kondisi lokal masing-masing, memastikan bahwa tahapan peningkatan mutu berjalan efektif dan dilakukan secara terus menerus.

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Integrasi PPEPP dan Mixed Scanning

Secara konsep, siklus PPEPP dalam SPMI sudah selaras dengan prinsip Mixed Scanning. Pada tahap Penetapan standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi menggunakan high-order scanning untuk merumuskan kebijakan berdasarkan visi dan misi institusi, kebutuhan dunia usaha-industri, serta regulasi nasional, seperti yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023.

Tahap Evaluasi dan Pengendalian (dalam PPEPP) membutuhkan detailed scanning untuk mendeteksi problematik, kekurangan dan memastikan setiap kegiatan berjalan sesuai standar SPMI. Dengan peninjauan mendalam (detail scanning) ini, perguruan tinggi dapat melakukan penyesuaian tepat waktu (adaptasi) guna menjaga konsistensi dan keberlanjutan peningkatan mutu di seluruh unit kerja.

Dengan mengintegrasikan “langkah besar dan kecil”, institusi dapat melakukan evaluasi dan pengendalian mutu secara efektif. Peningkatan mutu tidak lagi dilihat sebagai “proyek satu kali jadi”, tetapi sebagai proses berkesinambungan di mana setiap unit kerja terus menerus beradaptasi dan berinovasi dengan baik.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

Mengubah Tantangan Menjadi Peluang

Mixed Scanning membantu Institusi menghadapi kompleksitas (kerumitan) kebijakan dengan lebih efektif. Pendekatan ini memadukan “fleksibilitas dan ketelitian”, memungkinkan institusi untuk tetap fokus pada tujuan meskipun menghadapi dinamika kebijakan. Institusi tentu harus teliti untuk menjaga relevansi kebijakan SPMI dengan berbagai tuntunan stakeholder yang ada (internal dan eksternal).

Perubahan kebijakan nasional sering menjadi problematik dan tantangan bagi program penjaminan mutu. Namun, dengan pendekatan incremental, perguruan tinggi dapat menyesuaikan kebijakan mutu secara bertahap tanpa mengorbankan stabilitas dan mutu program yang sedang berjalan.

Panduan SPMI Perguruan Tinggi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2023) juga menekankan pentingnya evaluasi secara berkelanjutan. Evaluasi melalui program monitoring dan Audit Mutu Internal (AMI) memungkinkan perguruan tinggi merespons perubahan lingkungan eksternal dan kebutuhan stakeholder secara efektif dan efisien.

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Membangun Budaya Mutu

Salah satu tantangan “paling heboh” dalam implementasi SPMI adalah memastikan bahwa kebijakan SPMI yang diperjuangkan, lebih dari sekadar formalitas administratif belaka.

Banyak institusi yang belum mampu “menginternalisasi nilai-nilai esensi peningkatan mutu” dalam proses sehari-hari. Itulah sebabnya mengapa dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 69 ayat (1)b berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi”.

Dengan pendekatan Mixed Scanning, kebijakan SPMI dapat diterapkan secara bertahap dan substansial. Alih-alih hanya mengumpulkan dan mencari-cari dokumen untuk akreditasi, perguruan tinggi bisa fokus pada peningkatan mutu pembelajaran melalui evaluasi rutin proses belajar-mengajar dan umpan balik dari mahasiswa. Komitmen ini memastikan kebijakan bukan sekadar pemenuhan prosedur belaka, tetapi berdampak nyata pada pendidikan pendidikan.

Sistem dokumentasi juga perlu diperbaiki agar kebutuhan akreditasi juga dipersiapkan dengan baik. Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 69 ayat (1)a.4. berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: menetapkan perangkat SPMI yang minimal: tata cara pendokumentasian implementasi”.

Langkah-langkah incremental juga membantu membangun “quality culture” yang berkelanjutan. Setiap anggota civitas akademika, dari pimpinan, dosen hingga tenaga kependidikan, dituntut melihat peningkatan mutu sebagai bagian dari tanggung jawab bersama (quality is everyone responsibility), bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan eksternal. Mindset harus bergeser dari kepatuhan formalitas semata, namun menuju kesadaran akan pentingnya peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan (kaizen).

Baca juga: SPMI & Fenomena ‘Knowledge Hoarding’ di Kampus

Penutup

Dengan pendekatan ini, bila dijalankan dengan baik, siklus PPEPP dalam SPMI dapat berjalan lebih efektif dan terarah. Setiap langkah menuju peningkatan mutu menjadi bagian dari proses yang terencana dan berkesinambungan, hal ini memastikan perguruan tinggi selalu siap beradaptasi, berinovasi dan bertransformasi terhadap tantangan perubahan lingkungan.

Model Mixed Scanning dapat digunakan membantu perguruan tinggi membangun budaya mutu yang kokoh dan konsisten. Hal ini dapat menjadi modal penting bagi perguruan tinggi Indonesia untuk bersaing secara global. Ingat! “Perbaikan kecil yang konsisten adalah fondasi bagi keunggulan yang berkelanjutan di masa depan.” Stay Relevant!

Referensi

  • Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  • Etzioni, A. (1967). Mixed-scanning: A “third” approach to decision-making. Public Administration Review, 27(5), 385-392.
  • Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Panduan SOP dan IK untuk SPMI

SPMI dalam Perspektif Easton: Pendidikan Tinggi di Persimpangan Jalan?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan elemen utama yang disusun pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 pasal 68, mewajibkan perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk memastikan perbaikan berkelanjutan (kaizen). Kebijakan ini bertujuan agar setiap perguruan tinggi secara konsisten meningkatkan mutu akademik dan non akademik.

Namun, pelaksanaan SPMI di perguruan tinggi sering kali menghadapi tantangan karena perbedaan sumber daya, kapabilitas, dan komitmen antar institusi. Perguruan tinggi besar dengan akses lebih baik ke sumber daya lebih banyak kemudahan untuk menjalankan PPEPP dibandingkan institusi kecil atau di daerah. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam implementasi, di mana beberapa perguruan tinggi diduga hanya mampu melaksanakan SPMI secara formalitas tanpa perubahan substansial dalam mutu.

Baca juga: SPMI Perguruan Tinggi: Bisakah Kebijakan ini Gagal?

David Easton (1917–2014) adalah seorang pemikir politik terkemuka yang mengembangkan teori sistem politik. Easton memberikan wawasan bahwa politik berfungsi seperti sebuah sistem. Dalam karyanya A Systems Analysis of Political Life (1965), Easton memperkenalkan konsep bahwa proses politik dapat dianalisis melalui 3 hal: input, output, dan umpan balik (feedback). Pandangan ini mengilustrasikan bahwa sistem politik menerima masukan (input) dari masyarakat dan stakeholder, lalu memprosesnya untuk menghasilkan kebijakan sebagai bentuk output (luaran).

Easton berargumentasi bahwa kebijakan publik sebagai interaksi dinamis antara input dan output. Input berupa tuntutan dan dukungan dari masyarakat (stakeholder) atau aktor politik diproses menjadi kebijakan yang kemudian berdampak pada publik. Dampak kebijakan tersebut menciptakan feedback (umpan balik), yang memungkinkan pemerintah merevisi kebijakan agar lebih cocok terhadap kebutuhan dan tantangan kedepan.

Dalam konteks SPMI dan siklus PPEPP, tuntutan dari pemerintah, mahasiswa, dan masyarakat luas (stakeholder) berperan sebagai input, sedangkan pelaksanaan PPEPP menjadi output kebijakan yang diterapkan perguruan tinggi. Tahap evaluasi dan pengendalian mutu (dalam PPEPP) menyediakan umpan balik untuk memastikan kebijakan dapat terus direview, diperbaiki dan ditingkatkan, sehingga implementasi SPMI relevan dan efektif dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.

Teori Sistem Politik dari Easton

Menurut Easton (1965), kebijakan publik merupakan produk dari proses input dan output dalam sistem politik. Input (masukan) dapat berupa tuntutan, harapan dan dukungan dari masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholder), yang diproses melalui mekanisme dalam sistem politik. Hasil dari proses ini adalah output (luaran) berupa kebijakan yang diimplementasikan untuk mencapai tujuan tertentu. Setelah kebijakan diimplementasikan, dampaknya terhadap masyarakat akan menghasilkan umpan balik (feedback), yang kemudian menjadi bagian dari siklus kebijakan berikutnya.

Baca juga: Kompleksitas SPMI: Mampukah Kebijakan ini Bertahan?

Dalam konteks pendidikan tinggi, tuntutan / harapan dari pemerintah, dunia industri, mahasiswa, dan masyarakat terhadap mutu pendidikan menjadi input penting bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan SPMI. Permintaan dan harapan tersebut (demands) mencakup peningkatan mutu lulusan, layanan pendidikan, dan akreditasi yang baik. Selain itu, dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif, seperti Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, juga menjadi faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi SPMI dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar).

Proses PPEPP bersifat iteratif, di mana umpan balik dari evaluasi pelaksanaan standar mendorong perguruan tinggi untuk menyesuaikan standar baru di siklus berikutnya. Sebagai contoh, jika evaluasi menunjukkan bahwa mutu standar kompetensi lulusan masih rendah, perguruan tinggi dapat membuat penyesuaian seperti meningkatkan keterlibatan dosen dalam pendidikan dan pengajaran atau memperbaiki kurikulum. Dengan demikian, proses input-output dan umpan balik dalam implementasi SPMI sesuai dengan “prinsip adaptasi kebijakan” yang dinamis, (teori sistem politik Easton).

Output Politik: Kebijakan SPMI

Implementasi SPMI melalui siklus PPEPP merupakan wujud nyata dari output kebijakan Pemerintah. Pada tahap awal, perguruan tinggi menetapkan standar mutu SPMI dan menjalankan kebijakan sesuai dengan rencana strategis (renstra) yang telah dirancang. Kebijakan ini bertujuan untuk mencapai perbaikan mutu secara berkelanjutan, baik dalam aspek akademik maupun non akademik.

Namun, dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi memiliki komitmen dan kapasitas yang sama untuk memenuhi tuntutan mutu tersebut. Perguruan tinggi dengan keterbatasan sumber daya (resources) sering kali hanya mampu fokus pada kepatuhan administratif untuk memenuhi standar akreditasi. Pemenuhan administratif tidak serta merta membawa “perubahan kongkrit” terhadap mutu layanan pendidikan yang diberikan.

Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”

Hal ini sejalan dengan teori David Easton, beliau menyatakan bahwa output (luaran) kebijakan sangat bergantung pada kemampuan sistem untuk mengolah input (masukan) secara efektif dan menyesuaikan diri (adaptasi) dengan kondisi internal dan eksternal.

Umpan Balik dalam Siklus PPEPP

Proses evaluasi dan pengendalian (dalam siklus PPEPP) menegaskan pentingnya umpan balik (feedback) sebagaimana diuraikan David Easton. Evaluasi rutin (periodik) memungkinkan institusi untuk mendeteksi kesenjangan dan kendala dalam implementasi Standar SPMI. Dengan Pemantauan (monitoring) maupun melalui Audit Mutu Internal (AMI), setiap kelemahan sistem, akan dapat segera diidentifikasi.

Sebagai ilustrasi, hasil AMI dapat saja mengungkap rendahnya keterlibatan dosen dalam penelitian atau ketidaksesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan industri. Temuan (finding) ini memberikan dasar bagi institusi untuk memperbaiki kebijakan dan strategi mereka di siklus PPEPP berikutnya. Umpan balik (feedback) menjadi penting agar setiap siklus PPEPP baru lebih efektif dan relevan dengan kebutuhan eksternal terkini.

Tanpa umpan balik yang handal (valid), kebijakan SPMI berisiko menjadi jalan ditempat /formalitas administratif. Kebijakan seperti itu “kehilangan roh” dan fungsinya sebagai alat peningkatan mutu yang dinamis. Oleh sebab itu, siklus PPEPP harus dioptimalkan melalui evaluasi terus-menerus dan penyesuaian kebijakan (transformasi-adaptasi) berdasarkan umpan balik untuk memastikan peningkatan mutu pendidikan yang berkelanjutan (kaizen).

Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?

SPMI: Solusi atau Beban?

Saat ini, penerapan SPMI menempatkan perguruan tinggi di “persimpangan jalan”. Di satu sisi, kebijakan SPMI berpotensi mendorong perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan meningkatkan reputasi akademik. Hal ini tentu saja mensyaratkan SPMI dijalankan dengan “komitmen penuh”. Siklus PPEPP memungkinkan institusi melakukan penyesuaian terus-menerus (adaptasi) sehingga mutu pendidikan dapat meningkat secara konsisten.

Perguruan tinggi yang terlalu berorientasi pada kepatuhan dokumentasi dan akreditasi berisiko terjebak dalam rutinitas formalitas tanpa perubahan nyata. Hal ini dapat mengurangi substansi kebijakan sebagai alat transformasi mutu dan justru “mempersulit inovasi” dalam proses Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Agar kebijakan SPMI tidak menjadi sekadar formalitas belaka, perguruan tinggi harus “berkomitmen total” memanfaatkan evaluasi dan umpan balik dalam siklus PPEPP. Dengan feedback yang relevan, perguruan tinggi dapat memastikan setiap upaya perbaikan menghasilkan dampak nyata terhadap mutu pendidikan. Melalui pemantauan, AMI dan perbaikan berkelanjutan, SPMI diharapkan menjadi alat strategis untuk membangun mutu dalam kompetisi global.

Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?

Penutup

Melalui teori sistem politik Easton, SPMI dapat dipahami sebagai proses dinamis yang melibatkan interaksi antara tuntutan (demands), dukungan (supports), kebijakan (policies), dan umpan balik (feedback). Tuntutan dan dukungan dari pemangku kepentingan—seperti pemerintah, dunia industri, dosen, dan mahasiswa—menjadi “input penting” yang harus diperhatikan-dikelola perguruan tinggi dalam menjalankan kebijakan mutu.

Institusi harus aktif dalam mengolah input dan umpan balik untuk memastikan kebijakan SPMI berjalan efektif dan efisien. Evaluasi rutin (periodik) dalam siklus PPEPP memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan hasil evaluasi, sehingga setiap siklus PPEPP membawa peningkatan mutu yang kongkrit. Apabila umpan balik tidak di-manage dengan baik, SPMI berisiko jalan di tempat, hanya menjadi formalitas administratif tanpa dampak substansial.

Dengan pengelolaan yang tepat, kebijakan SPMI berpotensi menciptakan perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan memungkinkan institusi mencapai transformasi mutu yang diharapkan. Stay relevant!

Referensi

  • Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  • Easton, D. (1965). A Framework for Political Analysis. Prentice-Hall.
  • Easton, D. (1979). A Systems Analysis of Political Life. University of Chicago Press.
  • Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Workshop SPMI Mutu Pendidikan Indonesia

Inkrementalisme dalam SPMI: Realistis atau Jalan di Tempat?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi pilar penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 Pasal 68 mewajibkan setiap perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) sebagai bagian dari komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan (continuous improvement).

Namun, implementasi kebijakan ini sering menghadapi berbagai kendala dan tantangan di lapangan. Perbedaan sumber daya (resources), kapabilitas, dan komitmen di antara perguruan tinggi menyebabkan pelaksanaan siklus PPEPP berjalan tidak seragam. Beberapa perguruan tinggi, terutama di daerah dengan keterbatasan sumber daya, sulit menjalankan seluruh tahapan siklus PPEPP secara optimal.

Dalam konteks inilah, teori inkrementalisme Charles E. Lindblom menjadi penting untuk dikaji. Lindblom berargumen bahwa kebijakan publik sering berkembang melalui penyesuaian bertahap, sedikit demi sedikit, bukan perubahan besar dan radikal. Penerapan SPMI dapat dipahami sebagai proses inkremental-adaptif, di mana perbaikan mutu terjadi secara bertahap berdasarkan pengalaman dan evaluasi yang dilakukan secara terus menerus.

Baca juga: Menakar Keberhasilan SPMI: Efektifkah Siklus PPEPP?

Teori Inkrementalisme

Hal diatas dilakukan karena pembuat kebijakan dihadapkan pada keterbatasan waktu, informasi, dan sumber daya (resources) sehingga tidak memungkinkan untuk merumuskan solusi optimal secara langsung dan komprehensif.

Dalam pelaksanaannya, para decision maker cenderung mengambil langkah-langkah “pragmatis” dengan mendasarkan kebijakan baru pada kebijakan lama yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini menyebabkan terjadi kondisi adaptasi secara bertahap, sehingga kebijakan dapat berkembang dinamis dan mampu mengatasi berbagai kendala yang muncul di lapangan.

Dalam konteks lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, implementasi SPMI tidak dapat secepatnya mencapai standar tinggi dalam waktu singkat. Perguruan tinggi umumnya melakukan perbaikan bertahap, sedikit demi sedikit berdasarkan pengalaman dan kendala yang ditemukan selama proses evaluasi. Pendekatan inkremental seperti ini memungkinkan siklus PPEPP menjadi lebih realistis dengan kondisi aktual yang dihadapi oleh masing-masing perguruan tinggi.

Inkrementalisme dalam Siklus PPEPP

Siklus PPEPP merupakan proses iteratif. Proses PPEPP di perguruan tinggi menggambarkan pendekatan bertahap yang diusung oleh Charles E. Lindblom. Pada tahap awal implementasi, perguruan tinggi mungkin hanya fokus pada penetapan dan pelaksanaan standar (dalam PPEPP). Contoh, perguruan tinggi memulai tahapan dengan menyusun standar untuk program studi dan memperkenalkan mekanisme awal pelaksanaan (dalam PPEPP) tanpa memprioritaskan evaluasi mendalam.

Dalam perjalanan kemudian, perguruan tinggi mulai memprioritaskan evaluasi dan pengendalian standar (dalam PPEPP) setelah siklus penetapan dan pelaksanaan dilakukan. Misalnya, setelah menjalankan siklus PPEPP pertama, perguruan tinggi mungkin belajar dan menyadari bahwa standar awal tidak relevan dengan praktik aktual. Selanjutnya dilakukan penyesuaian melalui evaluasi untuk memperbaiki standar (kebijakan) dan perbaikan proses penerapannya.

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Akan tetapi, tantangan berikutnya muncul ketika penyesuaian bertahap tidak diikuti dengan perubahan nyata. Dalam beberapa kasus, institusi pendidikan tinggi terjebak dalam rutinitas administratif belaka, mereka fokus hanya pada pemenuhan dokumen tanpa menghasilkan peningkatan standar yang signifikan. Sebagai ilustrasi, persyaratan akreditasi hanya dipenuhi dokumen formal tanpa perubahan substantif dalam pengajaran atau riset, siklus PPEPP berisiko menjadi sekadar rutinitas birokratis tanpa “impact” signifikan terhadap mutu pendidikan.

Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI

Kompromi dan Adaptasi

Sesuai dengan konsep inkrementalisme dari Lindblom, implementasi kebijakan SPMI membutuhkan kompromi antara berbagai aktor di perguruan tinggi, seperti pejabat pimpinan, dosen, dan tenaga kependidikan. Setiap kelompok memiliki kepentingan dan prioritas yang berbeda beda, sehingga komunikasi-negosiasi dan penyesuaian menjadi proses penting dalam penerapan kebijakan SPMI. Sebagai ilustrasi, pimpinan mungkin fokus pada pencapaian akreditasi institusi, sementara dosen lebih fokus pada peningkatan kegiatan penelitian dan pengajaran.

Sebagai contoh, apabila perguruan tinggi langsung menetapkan target penelitian internasional tanpa memperhatikan keterbatasan sumber daya dosen, kebijakan tersebut berpotensi ditolak dan sulit diimplementasikan. Proses negosiasi membantu memastikan bahwa setiap kelompok (aktor) merasa dilibatkan dan berkomitmen dalam pencapaian target-target standar mutu (SPMI).

Dengan pola inkremental, perguruan tinggi dapat membangun komitmen secara bertahap melalui uji coba dan perbaikan secara terus menerus. Misalnya, pada tahap awal, pimpinan menetapkan standar SPMI yang rendah dan meningkatkan secara bertahap seiring dengan peningkatan kapasitas dosen dan staf. Pola ini memungkinkan semua pihak beradaptasi secara bertahap, mengurangi resistensi, dan menciptakan kolaborasi untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan (Kaizen)

Evaluasi Berkelanjutan

Evaluasi (dalam PPEPP) merupakan elemen penting dalam SPMI. Elemen ini konsisten dengan prinsip inkrementalisme. Setiap tahap siklus, evaluasi memberikan umpan balik yang digunakan untuk memperbaiki kebijakan di masa depan. Melalui evaluasi (Audit dan Monev), perguruan tinggi dapat mengidentifikasi kesenjangan (gap) dan kendala, seperti rendahnya partisipasi dosen dalam proses PPEPP atau ketidakselarasan antara standar mutu internal dengan tuntutan akreditasi nasional.

Berdasarkan hasil evaluasi, melalui temuan audit, asesmen dan monev, perguruan tinggi dapat menyesuaikan kebijakan agar lebih relevan dan operasional di siklus berikutnya. Contoh, jika keterlibatan dosen dalam penelitian dinilai rendah, kebijakan dapat diubah untuk memberikan insentif penelitian atau pelatihan tambahan tentang metodologi riset. Dengan perbaikan bertahap ini, implementasi PPEPP dapat terus berkembang dan selaras dengan kebutuhan dan tantangan di masa yang akan datang.

Baca juga: Kritisi AMI, di Balik Kegagalan Mutu Perguruan Tinggi

SPMI: Jalan di Tempat?

Beberapa lembaga perguruan tinggi mungkin hanya mampu fokus pada kepatuhan administratif, seperti pemenuhan kelengkapan dokumen SPMI untuk akreditasi, tanpa menghasilkan perbaikan nyata dalam mutu pendidikan. Hal ini terjadi bila setiap siklus PPEPP hanya diperlakukan sebagai prosedur rutin tanpa mempertimbangkan dampak nyata terhadap mutu Tri Dharma seperti pendidikan-pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.

Evaluasi (dalam PPEPP) yang dilakukan secara dangkal juga berpotensi membuat perubahan menjadi sekadar formalitas tanpa memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan mutu pendidikan. Contoh, perguruan tinggi mampu menyelesaikan tahap evaluasi hanya untuk memenuhi syarat akreditasi, namun tidak menggunakan hasil evaluasi tersebut (temuan) untuk memperbaiki kelemahan yang ada. Meskipun langkah ini secara administratif dianggap mematuhi regulasi, namun perubahan yang dihasilkan tidak relevan, tidak sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan.

Oleh sebab itu, penting bagi institusi untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam siklus PPEPP menghasilkan “impactkonkret dan terukur. Misal, evaluasi dapat mengidentifikasi bahwa tingkat keterlibatan dosen dalam penelitian rendah. Untuk merespon hal tersebut, perguruan tinggi bisa merancang kebijakan baru, seperti memberikan insentif atau alokasi waktu khusus untuk mendukung kegiatan riset.

Inkremen atau Transformasi?

Pelaksanaan SPMI melalui pendekatan inkrementalisme menekankan bahwa peningkatan mutu pendidikan tinggi merupakan proses perbaikan terus menerus dan adaptif. Perguruan tinggi perlu menyadari bahwa transformasi tidak mudah seperti membalik telapak tangan, tetapi melalui langkah-langkah kecil, sedikit demi sedikit yang sistematis dan terarah. Setiap tahapan dalam siklus PPEPP memungkinkan perguruan tinggi untuk mengevaluasi hasil yang dicapai dan mengambil tindakan yang sesuai dengan kebutuhan yang berkembang.

Langkah dan penyesuaian bertahap ini tidak boleh menjadi alasan untuk stagnasi. Perguruan tinggi harus tetap fokus pada tujuan jangka panjang, visi-misi dan menghindari jebakan rutinitas administratif. Tanpa pemantauan (monitoring) dan komitmen yang berkelanjutan, pelaksanaan siklus PPEPP dapat berhenti (jalan di tempat), tanpa membawa perubahan nyata pada mutu pendidikan. Oleh karena itu, evaluasi berkelanjutan dan perbaikan yang konsisten wajib harus ada.

SPMI dan Teori Motivasi ERG dari Alderfer
Continuous Improvement

Perubahan kecil yang dilakukan secara terus menerus akan membentuk dasar yang kokoh untuk perbaikan mutu di masa depan.

Referensi

  • Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  • Lindblom, C. E. (1959). The science of “muddling through”. Public Administration Review, 19(2), 79-88.
  • Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Pemborosan Tersembunyi

Menakar Keberhasilan SPMI: Efektifkah Siklus PPEPP?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kebijakan Pemerintah yang dipandang cukup strategis untuk meningkatkan dan menjaga mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menekankan pentingnya perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk mendorong perbaikan mutu secara berkelanjutan (kaizen).

Namun, di tengah tuntutan peningkatan mutu dan perubahan undang-undang dan peraturan menteri, muncul pertanyaan kritis: Apakah siklus PPEPP cukup efektif dalam mendongkrak mutu pendidikan tinggi di Indonesia?, atau hanya berakhir sebagai beban formalitas administratif belaka? Evaluasi komprehensif diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan SPMI tidak hanya menjadi prosedur rutin, namun juga mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap mutu dan relevansi pendidikan di Indonesia.

Untuk menjawab persoalan tersebut, diperlukan evaluasi komprehensif atas implementasi SPMI guna menilai efektivitas kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Kerangka evaluasi William N. Dunn akan dipakai sebagai pisau analisis dalam kajian ini. Teori dari Dunn memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pelaksanaan kebijakan.

William N. Dunn adalah seorang profesor di Graduate School of Public and International Affairs, University of Pittsburgh. Ia dikenal luas atas kontribusinya dalam analisis kebijakan publik melalui karya seperti Public Policy Analysis: An Integrated Approach, yang digunakan secara global dalam studi kebijakan dan administrasi publik.

Enam kriteria diatas tidak hanya membantu menilai keberhasilan kebijakan, namun juga mengidentifikasi tantangan, kendala serta area-area yang memerlukan perbaikan dalam siklus PPEPP. Analisis dengan 6 kriteria diatas dapat memberikan wawasan tentang bagaimana kebijakan SPMI dapat dioptimalkan untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan (kaizen).

Efektivitas: Apakah SPMI Berhasil?

Jika siklus PPEPP diterapkan dengan benar, perguruan tinggi diharapkan mampu meningkatkan mutu dalam dua aspek yaitu akademik dan non-akademik.

Namun, ada dugaan, bahwa pelaksanaan siklus PPEPP seringkali tidak merata di seluruh program studi. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan tersebut benar-benar memberikan dampak signifikan atau hanya berakhir sebagai formalitas / prosedur administratif tanpa perubahan yang substansial.

Selain itu, efektivitas kebijakan SPMI dapat dievaluasi melalui indikator kinerja yang dicapai melalui pencapaian target dari standar SPMI, contoh seperti publikasi ilmiah, peningkatan kompetensi lulusan, dan kepuasan mahasiswa. Keberhasilan pencapaian target standar SPMI ini tidak hanya diukur dari kepatuhan administratif, namun dari dampak nyata terhadap mutu pendidikan dan relevansi lulusan di pasar tenaga kerja.

Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier

Efisiensi: Apakah Sumber Daya Optimal?

Dalam pelaksanaan siklus PPEPP, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa budget, infrastruktur, dan tenaga SDM digunakan secara efektif untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan.

Namun di beberapa perguruan tinggi, implementasi SPMI sering kali menghadapi tantangan berupa keterbatas anggaran dan kapasitas (skills) sumber daya manusia, terutama di perguruan tinggi swasta di daerah-daerah. Proses penting seperti evaluasi dan pengendalian mutu memerlukan sistem informasi serta dukungan administrasi yang memadai, namun tidak semua perguruan tinggi memiliki kemampuan tersebut, sehingga menghambat pencapaian dari standar SPMI.

Permasalahan diatas memunculkan pertanyaan penting: Apakah kebijakan SPMI mampu berjalan efisien di semua jenis perguruan tinggi?

Efisiensi siklus PPEPP sangat bergantung pada keterampilan manajerial dan komitmen pimpinan perguruan tinggi dalam mengalokasikan sumber daya secara strategis. Tanpa pengelolaan yang baik, kebijakan SPMI berisiko menjadi boros dan mahal tanpa memberikan hasil signifikan.

Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”

Kecukupan: Apakah SPMI Mampu Menjawab Tantangan Mutu Pendidikan?

Dalam konteks SPMI, kebijakan SPMI disusun bertujuan untuk memastikan standar SPMI dipenuhi oleh perguruan tinggi, program studi dan unit kerja.

Bagaimana dalam praktiknya? Diduga tidak semua masalah pendidikan tinggi dapat diselesaikan hanya melalui penerapan PPEPP. Beberapa masalah seperti rendahnya minat penelitian di kalangan dosen atau kurangnya keterlibatan industri dalam pengembangan kurikulum mungkin tidak sepenuhnya teratasi melalui kebijakan SPMI.

Oleh sebab itu, kebijakan SPMI dianggap cukup atau memadai (adequacy) bila mampu memperbaiki “sebagian besar” aspek mutu pendidikan, meskipun mungkin belum mencakup untuk seluruh dimensi mutu di perguruan tinggi. Oleh karena itu, perguruan tinggi “perlu aktif” melakukan penyesuaian dan inovasi kebijakan agar penerapan PPEPP dapat memenuhi kebutuhan internal sekaligus menjawab tantangan eksternal.

Keadilan: Apakah Dilaksanakan Merata?

Kebijakan SPMI harus memastikan bahwa seluruh program studi dan unit di perguruan tinggi mendapatkan perhatian dan dukungan yang adil serta memadai. Namun, dalam praktik diduga bahwa terdapat ketimpangan dalam penerapan PPEPP, di mana program studi unggulan atau fakultas yang lebih mapan cenderung mendapatkan dukungan sumber daya yang lebih besar.

Akses yang merata terhadap sumber daya pendidikan juga menjadi indikator penting dalam menilai keadilan kebijakan. Perguruan tinggi perlu memastikan semua mahasiswa dari berbagai latar belakang mendapatkan layanan pendidikan tanpa diskriminasi.

Responsivitas: Seberapa Cepat Menanggapi Perubahan?

Dalam dunia pendidikan tinggi yang dinamis, kebijakan SPMI harus responsif-adaptif terhadap perkembangan teknologi, tuntutan industri, dan kebutuhan mahasiswa. Namun, birokrasi yang kompleks dan kurangnya komunikasi-koordinasi sering kali menjadi penghambat dalam penerapan kebijakan SPMI yang cepat dan tepat.

Beberapa perguruan tinggi menunjukkan kemampuan responsif dengan memodifikasi kurikulum dan mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan mutu pendidikan. Akan tetapi, tidak semua institusi memiliki fleksibilitas yang sama. Hal ini menimbulkan tantangan dalam menjaga agar standar SPMI yang ditetapkan perguruan tinggi tetap relevan dengan kebutuhan dan tuntutan yang berkembang.

Baca juga: Transformatif SPMI: Kunci Bertahan di Era BANI

Kelayakan: Apakah Kebijakan SPMI Relevan?

Kebijakan SPMI akan dianggap tepat jika mampu mendukung pencapaian visi dan misi perguruan tinggi serta memenuhi standar nasional dan internasional. Kelayakan juga berkaitan dengan sejauh mana kebijakan SPMI mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi eksternal perguruan tinggi.

Diduga kuat, di beberapa perguruan tinggi kebijakan SPMI hanya menjadi rutinitas administratif belaka, tanpa menyentuh permasalahan substansial. Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa siklus PPEPP tidak hanya berfokus pada kepatuhan formal, namun juga pada peningkatan mutu yang signifikan dan berkelanjutan (continuous improvement).

Baca juga: Kurangi Kerumitan SPMI, Bisakah?

Penutup

Evaluasi kebijakan SPMI dengan prspektif 6 (enam) kriteria William Dunn memberikan wawasan mendalam tentang efektivitas dan mutu kebijakan di perguruan tinggi.

SPMI yang dijalankan melalui siklus PPEPP memiliki potensi besar dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada faktor-faktor utama, seperti ketersediaan sumber daya, komitmen pimpinan, dan responsivitas terhadap perubahan kebutuhan.

Dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi mampu menjalankan kebijakan SPMI secara efisien dan merata. Beberapa perguruan tinggi menghadapi kendala dalam penerapan siklus PPEPP, baik karena keterbatasan sumber daya maupun hambatan komunikasi-koordinasi. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi dan penyesuaian berkelanjutan agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan baik dan benar sesuai dengan dinamika pendidikan tinggi.

Penerapan 6 kriteria dari Dunn membantu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kebijakan serta memberikan arahan untuk perbaikan.

Perguruan tinggi harus memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjadi kewajiban formalitas-administratif, namun juga sebagai tools (alat) strategis untuk mencapai keunggulan dan peningkatan mutu yang berkelanjutan.

Dengan komitmen dan pengelolaan (management) yang tepat, siklus PPEPP dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam menjamin mutu dan relevansi pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!

Referensi

  • Dunn, W. N. (1994). Public policy analysis: An introduction. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
  • Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  • Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Mission Differentiation

PPEPP dan Realitas di Kampus: Perspektif Teori Mazmanian dan Sabatier

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Pendahuluan

Implementasi Kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah regulasi penting ditetapkan pemerintah untuk memastikan peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar—berfungsi sebagai panduan bagi perguruan tinggi untuk “mengintegrasikan” kebijakan mutu ke dalam semua aspek operasional dan proses pembelajaran​. Peraturan Pengintegrasian SPMI dalam manajemen perguruan tinggi, dapat dilihat pada pasal 69, ayat (1)b Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Namun, di perguruan tinggi, implementasi ini tidak selalu berjalan dengan mulus sesuai rencana. Kesenjangan (gap) sering muncul antara perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya. Kebijakan yang dirancang di tingkat strategis di lingkungan kementerian, namun seringkali sulit diterjemahkan ke dalam tindakan nyata di unit-unit operasional di kampus. Sulitnya komunikasi-koordinasi internal juga memperburuk kesulitan ini​.

Dalam konteks ini, teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier memberikan penjelasan menarik tentang mengapa kebijakan yang tampak baik di atas kertas sering mengalami tantangan berat dalam penerapannya.

Para pimpinan perguruan tinggi, baik rektor, ketua maupun direktur, merasa “pusing tujuh keliling” bagaimana cara-cara praktis mengelola SPMI dengan baik dan benar. Mereka menyadari bahwa keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada desain kebijakan, namun juga pada kemampuan organisasi dalam menghadapi kompleksitas masalah dan dinamika faktor eksternal​.

Mengapa PPEPP Sulit Berjalan Mulus?

Teori Mazmanian dan Sabatier menekankan bahwa “kompleksitas” masalah adalah salah satu faktor penting yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan (Mazmanian & Sabatier, Implementation and Public Policy, 1983). Dalam perguruan tinggi, perubahan menuju penerapan budaya mutu bukan hanya masalah teknis, tetapi juga melibatkan adaptasi di seluruh organisasi​. Managing change merupakan salah satu tantangan besar bagi pengelola organisasi.

Birokrasi yang kaku, struktur yang berlapis dan (pola pikir, pola sikap dan pola perilaku) yang sudah terbentuk menjadi hambatan dalam proses perubahan. Organisasi sudah sulit untuk lincah fleksibel mengikuti perubahan lingkungan (struktural yang lembam atau inersia). Aktor-aktor internal, seperti pimpinan, dosen dan staf administrasi, sering kali enggan meninggalkan kebiasaan (habit) lama, sehingga membuat implementasi kebijakan SPMI berjalan lambat atau tidak konsisten​.

Siklus PPEPP nomor tiga, yang terdiri dari monitoring-evaluasi (monev) dan audit mutu secara berkala, kerap dipandang sebagai tugas administratif semata. Alih-alih digunakan sebagai “tools” untuk perbaikan berkelanjutan (kaizen), audit dan monev seringkali tidak dianggap strategis oleh sebagian besar pelaksana di lapangan​.

Resistensi (penolakan) tersebut menggambarkan bagaimana faktor “budaya mutu” berpengaruh besar terhadap efektivitas kebijakan pemerintah. Semakin kompleks dan beragam perilaku aktor dalam sebuah organisasi, seperti yang dijabarkan oleh Mazmanian dan Sabatier, semakin berat pula kebijakan tersebut dapat dijalankan dengan baik.​

Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?

Formalitas atau Perubahan Nyata?

Salah satu aspek krusial dalam teori Mazmanian dan Sabatier adalah bahwa kebijakan pemerintah yang efektif harus mampu mengarahkan implementasi secara jelas. Tujuan yang spesifik dan instrumen yang memadai sangat penting agar kebijakan dapat dijalankan sesuai harapan stakeholder. Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 telah menyediakan kerangka (framework) kebijakan yang mengatur penjaminan mutu di perguruan tinggi​.

Keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada kerangka kebijakan, tetapi juga pada kemampuan perguruan tinggi untuk mengintegrasikan PPEPP ke dalam strategi operasional sehari-hari. Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa setiap tahap PPEPP berjalan “selaras” dengan manajemen mutu di semua level, mulai dari statuta, RIP, Renstra, Kebijakan SPMI, Perangkat PPEPP, Standar, Prosedur dan Instruksi Kerja.

Keterlibatan dan koordinasi langsung dari pimpinan puncak sangat penting agar PPEPP tidak sekadar menjadi formalitas administratif belaka. Pimpinan harus mampu berkomunikasi dan memotivasi seluruh komponen organisasi untuk melihat PPEPP sebagai instrumen peningkatan mutu yang berkelanjutan. Pimpinan harus menjadi role model yang terdepan untuk dicontoh anggota organisasi. Tanpa komitmen penuh dari segenap pimpinan dan keterlibatan seluruh elemen, kebijakan yang baik di atas kertas sulit memberikan dampak (impact) nyata pada peningkatan mutu pendidikan​.

Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”

Dinamika Eksternal: Lingkungan VUCA dan BANI

Faktor lingkungan eksternal memainkan peran penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan SPMI. Perguruan tinggi harus mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan FUCA, BANI dan kebijakan nasional serta memenuhi tuntutan akreditasi dari lembaga eksternal. Dinamika ini membuat pelaksanaan PPEPP tidak hanya bergantung pada internal kampus, tetapi juga pada perubahan lingkungan yang berlaku di tingkat nasional dan global​.

Perubahan lingkungan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) menuntut perguruan tinggi untuk beradaptasi cepat, tepat dan fleksibel. Dalam perspektif Mazmanian dan Sabatier, keberhasilan implementasi kebijakan bergantung pada kemampuan perguruan tinggi menghadapi dinamika ini melalui penyusunan (pemutakhiran) visi-misi, koordinasi internal, desain kebijakan yang jelas, dan adaptasi terus menerus terhadap perubahan faktor eksternal.

Mazmanian dan Sabatier menggaris bawahi bahwa dukungan politik dan lingkungan eksternal sangat krusial dalam memengaruhi keberhasilan kebijakan (Mazmanian & Sabatier, 1983). Ketika ada perubahan undang-undang, kebijakan akreditasi atau peraturan pendidikan, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa “Standar SPMI” tetap relevan dan selaras dengan tuntutan terbaru. Keterlambatan dalam beradaptasi bisa menghambat pencapaian mutu yang diharapkan​. Dengan kata lain. standar SPMI harus terus menerus di mutakhirkan (update) agar tetap relevant.

Monitoring dan evaluasi internal menjadi sangat krusial agar dokumen SPMI dapat terus diperbarui sesuai perkembangan eksternal. Perguruan tinggi harus melakukan evaluasi berkala dan menerapkan umpan balik untuk mengatasi kesenjangan antara perubahan eksternal, regulasi dan praktik. Ini memastikan bahwa kebijakan SPMI tetap efektif dan mampu menghadapi perubahan di lingkungan yang dinamis​.

Baca juga: Transformatif SPMI: Kunci Bertahan di Era BANI

Kesimpulan

Implementasi SPMI dan PPEPP di perguruan tinggi merupakan proses dinamis dan kompleks yang memerlukan keterlibatan seluruh komponen organisasi. Melalui kerangka teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier, dapat dipahami bahwa keberhasilan kebijakan tidak hanya bergantung pada perumusan yang baik, namun juga pada pelaku aktor-aktor di lapangan.

Perguruan tinggi yang mampu mengintegrasikan PPEPP ke dalam praktik manajemen kampus tidak hanya akan memenuhi regulasi, tetapi juga berpeluang untuk meningkatkan mutu pendidikan secara terus menerus. Proses ini membutuhkan komitmen dari seluruh elemen, termasuk pimpinan puncak, dosen, dan staf administrasi, agar kebijakan SPMI berjalan efektif dan efisien. Segenap SDM di perguruan tinggi, bersama-sama perlu memperkuat budaya mutu organisasi.

Budaya mutu organisasi meliputi pola pikir, pola sikap dan pola perilaku yang sesuai dengan standar SPMI yang telah ditetapkan. Perlu membangun etos kerja yang kuat, yaitu komitmen untuk kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas.

Dengan komunikasi-koordinasi yang efektif dan pemantauan yang berkesinambungan, siklus PPEPP dapat berfungsi sebagai instrumen perubahan yang nyata. Audit mutu internal, dan Monev internal memungkinkan perguruan tinggi menyesuaikan kebijakan SPMI dengan perkembangan eksternal, memastikan bahwa peningkatan mutu tidak berhenti hanya pada pemenuhan standar, tetapi terus berkembang untuk menghadapi tantangan era VUCA dan BANI saat ini dan di masa yang akan datang. Stay Relevant!

Baca juga: Pengorbanan dan Dedikasi: Fondasi Kepemimpinan SPMI


Referensi:

  • Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  • Mazmanian, D. A., & Sabatier, P. A. (1983). Implementation and Public Policy. Glenview, IL: Scott Foresman.
  • Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.

Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

1
×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami