Belajar Mutu dari Jonan: Toilet Bersih Lebih Penting dari Dokumen Tebal

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“Jonan buktikan mutu lahir dari aksi kecil seperti toilet bersih, bukan dari dokumen tebal yang hanya tersimpan rapi di meja rektorat.”

Kalau bicara soal manajemen mutu, biasanya orang langsung teringat pada Renstra (rencana strategis) yang tebal, RIP (rencana induk pengembangan) yang berlembar-lembar, atau SPMI (sistem penjaminan mutu internal) yang penuh lampiran standar. Semua itu memang penting, apalagi sudah diatur dalam regulasi terbaru. Tetapi ada satu pelajaran menarik dari Ignasius Jonan, tokoh yang sering disebut sebagai pembaharu kereta api modern di Indonesia. Ia tidak percaya pada dokumen panjang yang sulit dijalankan. Baginya, mutu itu sederhana: toilet stasiun harus bersih, kereta harus tepat waktu, dan layanan harus terasa langsung oleh penumpang.

Hasil dari pendekatan sederhana itu ternyata luar biasa. Dalam hitungan tahun, citra PT KAI berubah total. Perusahaan yang dulu identik dengan kereta telat, stasiun kumuh, dan pelayanan seadanya menjelma menjadi perusahaan transportasi yang dipercaya publik. Kepercayaan masyarakat dibangun bukan dari slogan besar, melainkan dari tindakan konkret yang langsung menyentuh pengalaman penumpang sehari-hari.

Pelajaran Jonan terasa relevan sekali untuk dunia kampus. Banyak perguruan tinggi sibuk menyusun Renstra, Renop (rencana operasional), bahkan RIP, tetapi akhirnya hanya jadi tumpukan dokumen di meja rektorat atau biro perencanaan, tanpa pernah benar-benar menggerakkan perilaku organisasi. Dokumen yang rapi tidak otomatis menjamin mutu. Di era turbulensi, ketika dunia kerja berubah karena disrupsi AI dan kebijakan pemerintah berganti cepat, kampus justru butuh eksekusi nyata yang terukur. Sama seperti toilet bersih di stasiun, mahasiswa lebih percaya pada layanan akademik yang ramah, kelas yang nyaman, dan sistem IT yang lancar dibanding ketersediaan Renstra setebal dua ratus halaman.

Jonan sendiri pernah berkata dalam sebuah wawancara bahwa “we improve one small thing every week.” Prinsip ini sederhana tapi dahsyat: tidak perlu menunggu lima tahun untuk melihat hasil, cukup lakukan satu perbaikan kecil yang nyata setiap minggu, dan dalam setahun organisasi akan berubah signifikan. Pada kesempatan lain, ia juga menyinggung bahwa keberadaan long term plan hanya dibuat untuk memenuhi syarat administratif, bukan benar-benar dijalankan. Pesan ini menyentil dunia kampus, di mana dokumen perencanaan sering menjadi formalitas akreditasi, padahal yang lebih dibutuhkan adalah langkah konkret yang segera terasa.

Ini bukan berarti dokumen tidak penting. Renstra tetap dibutuhkan sebagai peta jalan lima tahunan, Renop sebagai langkah tahunan, dan SPMI sebagai sistem navigasi mutu. Namun dokumen itu hanya akan berguna jika relevan, sederhana, dan mudah dipahami.

“Kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi.” ungkapan populer yang sering dinisbatkan pada Leonardo da Vinci.

Kutipan ini sejalan dengan prinsip KISS—keep it simple, stupid—yang mengingatkan kita bahwa perencanaan yang sederhana justru lebih kuat karena bisa dijalankan. Begitu juga dengan kampus: mutu akan lebih terasa jika rencana strategis bisa dipahami dosen dan mahasiswa tanpa perlu penjelasan rumit.

Regulasi memang mewajibkan penyusunan rencana jangka menengah, bahkan beberapa kampus punya RIP berjangka 20–25 tahun. Masalahnya, di tengah lingkungan VUCA dan BANI, horizon yang terlalu panjang sering tidak relevan lagi. Apa gunanya RIP yang mengunci visi energi fosil selama 25 tahun jika dunia tiba-tiba beralih ke energi hijau? Karena itu, RIP sebaiknya lentur, hanya memuat arah besar, bukan angka kaku. Renstra pun perlu ditinjau secara berkala, tidak hanya di pertengahan periode lima tahun, melainkan juga segera ketika ada perubahan (disrupsi) besar seperti revolusi AI dan big data. Dokumen yang indah tidak ada gunanya jika mati di lapangan.

Jonan menginspirasi bahwa mutu dimulai dari hal kecil yang langsung dirasakan. Toilet bersih mungkin terdengar sepele, tetapi di situlah kepuasan dan kepercayaan publik dibangun. Kampus bisa belajar dari sini dengan memulai dari hal sederhana: layanan akademik yang cepat, staf yang ramah, atau jadwal kuliah yang konsisten. Dari sana, kepercayaan mahasiswa dan dosen akan tumbuh. Ketika kepercayaan sudah terbentuk, dokumen Renstra dan SPMI baru punya arti sebagai alat untuk menjaga konsistensi dan arah.

Mengelola kampus memang sulit. Dokumen banyak, regulasi berubah, pemangku kepentingan berlapis, dan pimpinan berganti. Namun kesulitan itu jangan dijawab dengan menambah tebal dokumen, melainkan dengan aksi nyata yang sederhana tapi konsisten. Kampus tidak membutuhkan rencana yang sempurna, melainkan sistem yang hidup. Sama seperti kereta api yang berubah wajah bukan karena cetak biru lengkap dan indah, tetapi karena serangkaian perbaikan sederhana yang langsung dirasakan penumpang. Mutu sejati lahir dari keberanian mengubah rencana menjadi tindakan nyata, bukan sekadar janji di atas kertas.

Nurcholish Madjid, seorang pemikir Islam modernis, sejak lama menekankan pentingnya rasionalitas dan modernitas sebagai etos pembangunan. Baginya, kemajuan bangsa tidak ditentukan oleh jargon atau simbol, melainkan oleh sistem manajemen yang efektif, efisien, dan konsisten dijalankan. Pandangan ini sangat relevan bagi kampus: dokumen strategis akan bermakna hanya jika benar-benar menjadi pedoman manajemen yang hidup, bukan sekadar slogan dan hiasan formalitas.

Kuntowijoyo, seorang budayawan dan cendekiawan Muslim, juga mengingatkan bahwa ilmu dan wacana apa pun, termasuk perencanaan organisasi, tidak boleh berhenti di tataran ide. Ia harus hadir sebagai tindakan nyata yang membawa manfaat. Pesan sederhana ini sejalan dengan prinsip manajemen dari Jonan: mutu tidak lahir dari tebalnya dokumen, melainkan dari perubahan kecil yang dilakukan secara terus menerus dan benar-benar dirasakan konsumen.

Al-Qur’an menegaskan dalam QS. At-Taubah (9):105, “Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang beriman; dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Ayat ini mengingatkan bahwa mutu sejati lahir dari kerja nyata yang bisa dilihat dan dirasakan, bukan dari rencana yang dipamerkan. Allah, Rasul, bahkan manusia lain akan menilai (mengevaluasi) hasil kerja kita, bukan janji kita. Maka pada akhirnya, yang akan dikenang bukanlah tebalnya dokumen di meja rektorat, melainkan perubahan kecil yang membuat hidup orang lain lebih baik, lebih puas dan bahagia. Di situlah letak kesederhanaan yang sesungguhnya adalah kecanggihan tertinggi.

Stay Relevant!



Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top