بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah tool penting dalam pengelolaan mutu institusi perguruan tinggi. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), SPMI dikembangkan untuk memastikan kesinambungan mutu dan kemampuan institusi dalam merespons kebutuhan pemangku kepentingan yang terus berubah. Siklus ini, kemudian menjadi fondasi bagi perguruan tinggi untuk menjalankan misi unik (mission differentiation) secara efektif dan efisien.
Keberhasilan SPMI tentu tidak mudah, banyak faktor yang saling mempengaruhi. SPMI tidak hanya bertumpu pada aturan regulasi dan prosedur teknis semata, namun juga sangat dipengaruhi oleh perilaku anggota organisasinya (psikologi manajerial).
Teori X dan Y yang dikembangkan oleh Douglas McGregor memberi framework yang relevan untuk penguatan SPMI. Teori X dan Y menggambarkan bagaimana asumsi tentang perilaku manusia dapat mempengaruhi banyak hal dalam elemen organisasi, seperti motivasi, pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, dan penciptaan budaya mutu yang berkelanjutan. Buku Mc Gregor berjudul The Human Side of Enterprise, dianggap sebagai salah satu karya klasik, referensi penting dalam literatur ilmu psikologi dan manajemen.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
McGregor memperkenalkan dua asumsi tentang motivasi manusia, yaitu: Teori X dan Teori Y.
Teori X berasumsi pegawai sebagai pribadi yang cenderung malas, memerlukan kontrol ketat, dan hanya termotivasi oleh ancaman atau insentif.
Sebaliknya, Teori Y berasumsi manusia sebagai pribadi yang kreatif, bertanggung jawab, dan secara natural termotivasi untuk mencapai target jika diberikan lingkungan yang suportif.
Dalam konteks pengelolaan manajemen mutu di perguruan tinggi, teori X dan Y menawarkan perspektif yang menarik. Implementasi SPMI dan PPEPP, yang sering menggunakan pendekatan bottom-up atau top-down, dapat memanfaatkan kombinasi Teori X dan Y untuk memotivasi dan mengelola SDM perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Pada tahap penetapan standar (dalam siklus PPEPP), terkadang institusi memerlukan pedoman dan kontrol yang jelas untuk membangun kerangka kerja yang terstruktur. Dalam konteks ini, pendekatan berbasis Teori X sering kali lebih cocok, terutama ketika standar baru harus ditetapkan. Misalnya, dalam menetapkan standar kompetensi lulusan, perguruan tinggi perlu menetapkan kriteria yang spesifik, seperti kemampuan analitis, keterampilan teknis, atau penguasaan teknologi terkini sesuai kebutuhan industri. Pendekaan top-down, lebih cocok, dimana pimpinan (manajemen) menetapkan standar yang tegas dan menantang (challenge) sesuai dengan “misi unik” (mission differentiation) perguruan tinggi.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Kontrol ketat dan tegas dapat membantu memastikan bahwa semua unit memahami target dan indikator yang ditetapkan. Contoh, dalam penetapan standar kompetensi lulusan, pengawasan ketat dapat berupa pengembangan prosedur yang detail, pelatihan manajemen strategik untuk menyusun mission differentiation menjadi sangat urgen.
Pimpinan dapat fokus untuk membangun misi unik organisasi dan menetapkan dokumen standar yang visioner. Bila manajemen menetapkan bahwa lulusan program teknik harus memiliki sertifikasi keahlian tertentu, maka perguruan tinggi dapat menerapkan target dan indikator kebijakan sertifikasi, yang implementasinya wajib diawasi secara berkala oleh UPPS / fakultas.
Pendekatan Teori X juga berguna dalam menghadapi penolakan (resistensi) terhadap munculnya standar baru yang dirasa cukup memberatkan. Contoh, bila ada pihak yang kurang berkenan pada isi standar kompetensi lulusan, manajemen dapat menggunakan kebijakan tegas, seperti kewajiban memasukkan capaian pembelajaran sesuai standar dalam setiap kurikulum. Walau ada resistensi di awal, langkah ini membantu memastikan bahwa proses penetapan standar dapat berjalan sesuai visi-misi dan renstra. Sebaliknya, bila menerapkan pendekatan bottom-up (dalam penetapan standar SPMI), ada kekhawatiran, bawahan akan menyusun target yang rendah, mudah dicapai dan bahkan tidak relevan.
Setelah standar SPMI ditetapkan (langkah awal), tahap berikutnya adalah tahap pelaksanaan (dalam siklus PPEPP). Tahap ini memerlukan semangat dan keterlibatan aktif dari semua anggota organisasi (sivitas akademika). Penerapan Teori Y, dipandang lebih cocok pada tahap ini karena mendorong motivasi, partisipasi dan tanggung jawab bersama. Misal, dalam pelaksanaan standar proses pembelajaran, tim dosen dapat dilibatkan dalam menyusun metode pengajaran yang inovatif, sementara mahasiswa diberikan ruang untuk memberikan feedback terkait bentuk dan format perkuliahan. Sumbang saran dari mahasiswa dapat dilakukan dalam berbagai media seperti forum diskusi, kotak saran atau sesi feedback bulanan.
Contoh lain, saat evaluasi pelaksanaan standar SPMI, misal evaluasi pelaksanaan standar proses pembelajaran, manajemen dan auditor dapat menggunakan prinsip Teori Y (pendekatan yang partisipatif). Institusi dapat mengadakan sesi evaluasi (monev, audit atau tinjauan manajemen) bersama dosen dan mahasiswa untuk mengevaluasi sejauh mana efektivitas proses pembelajaran yang sudah berjalan atau sedang berlangsung. Survei kepuasan mahasiswa terhadap metode pembelajaran berbasis proyek, misalnya, dapat digunakan untuk mengidentifikasi area-area mana saja yang perlu diperbaiki (tindakan korektif dan preventif).
Pendekatan teori Y membantu menumbuhkan rasa memiliki terhadap standar SPMI, baik dosen, tendik maupun mahasiswa. Ketika semua pihak merasa dihargai, semangat untuk bekerja sama menjadi optimal dan hasil evaluasi menjadi lebih relevan dan akurat, yang pada akhirnya membantu institusi untuk melakukan pengukuran standar dengan baik.
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Tahap pengendalian (dalam siklus PPEPP) sangat krusial untuk memastikan bahwa pelaksanaan standar SPMI sudah sesuai dengan yang telah ditetapkan. Dengan menerapkan prinsip Teori Y, pimpinan dapat melibatkan unit-unit kerja, seperti fakultas, UPPS dan program studi, untuk “secara mandiri” memantau pencapaian target kinerja masing-masing. Program studi dapat diberikan tanggung jawab untuk memeriksa apakah standar kurikulum telah memenuhi capaian pembelajaran yang dipersyaratkan. Pendekatan Teori Y ini mendorong iklim “rasa kepemilikan” terhadap capaian mutu kurikulum di masing-masing program studi.
Tahap peningkatan standar (dalam PPEPP) dapat menggunakan asumsi teori Y (situasional). Asumsi Teori Y dapat dipilih untuk mendorong kreativitas dan inovasi dari semua pihak. Misal, dosen dapat dilibatkan dalam pengembangan standar baru untuk mata kuliah yang relevan dengan tren perkembangan industri. di sisi lain mahasiswa juga dapat memberikan ide dan saran melalui wawancara, survei atau diskusi mengenai relevansi isi standar kurikulum bagi mahasiswa.
Pemakaian asumsi Teori Y juga dapat menumbuhkan kolaborasi yang kuat antar unit kerja maupun stakeholder lainnya. Peningkatan mutu tidak hanya menjadi tanggung jawab manajemen, namun melibatkan semua elemen dalam institusi. Dengan pendekatan ini, harapannya perguruan tinggi dapat membangun kurikulum yang lebih adaptif, relevan, dan sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Pendekatan Teori X dalam tahap peningkatan standar (dalam PPEPP) dapat juga menjadi relevan. Dalam situasi tertentu, kadang kala ketegasan dan perubahan signifikan diperlukan. Hal ini memerlukan kepatuhan awal yang ketat.
Teori X, yang fokus pada kontrol, pengawasan, dan arahan langsung, cocok sekali digunakan untuk memastikan bahwa seluruh elemen dalam organisasi memahami urgensi dan pentingnya peningkatan standar. Tahapan ini sering kali membutuhkan disiplin tinggi untuk menghindari penyimpangan dari target yang telah ditetapkan.
Contoh, dalam peningkatan standar keluaran (output) penelitian di perguruan tinggi, kebijakan yang mewajibkan dosen mempublikasikan artikel di jurnal internasional bereputasi dapat diterapkan dengan kontrol ketat. Manajemen dapat membuat target spesifik, seperti jumlah publikasi minimal per tahun, dan melakukan pemantauan secara ketat terhadap capaian individu maupun unit kerja. Dengan demikian, peran kontrol dan kepatuhan menjadi krusial untuk memastikan bahwa target standar keluaran penelitian dapat dicapai dalam waktu yang ditetapkan, disinilah asumsi teori X dapat digunakan.
Pendekatan Teori X juga dapat dipakai dalam situasi di mana penolakan (resistensi) anggota organisasi cukup tinggi. Bila dosen atau staf menunjukkan tanda tanda kurang inisiatif tentang peningkatan standar, maka, perintah (instruksi), arahan langsung dan regulasi yang tegas diharapkan dapat mengatasi hambatan ini. Walau demikian, pendekatan Teori X sebaiknya tidak digunakan secara terus menerus, sesekali saja untuk membangun pondasi yang kuat sebelum beralih ke metode yang lebih fleksibel dan partisipatif. Teori X dapat digunakan sebagai alat kepatuhan awal sebelum membangun “budaya mutu” untuk peningkatan standar yang lebih mandiri dan partisipatif.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
Membangun budaya mutu di perguruan tinggi memerlukan kombinasi yang proporsional antara pendekatan Teori X dan Teori Y.
Dalam penetapan standar dosen, dalam situasi awal, pendekatan Teori X dapat digunakan, misal ditetapkan standar kualifikasi dosen minimal S2 dan kewajiban memiliki sertifikasi profesional. Kebijakan tegas dan kontrol ketat diperlukan untuk memastikan bahwa semua dosen mematuhi standar yang ditetapkan.
Di sisi lain, untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan, pendekatan Teori Y menjadi sangat relevan. Setelah standar dasar terlaksana, perguruan tinggi dapat memberdayakan tenaga pengajar melalui program pengembangan profesional, misalnya dukungan untuk pelatihan metodologi penelitian dan pelatihan pedagogi inovatif. Dosen yang diberi kepercayaan dan otonomi dalam mengembangkan metode pengajaran, cenderung lebih bersemangat untuk berinovasi. Tenaga kependidikan yang terlibat dalam pengembangan sistem layanan berbasis teknologi informasi cenderung puas dan termotivasi, karena merasa memiliki andil (berkontribusi) terhadap pencapaian mutu.
McGregor menekankan pentingnya memandang pegawai sebagai pribadi yang memiliki kebutuhan psikologis, bukan hanya sebagai “mesin” produksi. Pandangan ini mendorong perubahan paradigma (mindset) dalam ilmu manajemen, yang sebelumnya sering menggunakan pendekatan otoriter, sekarang cenderung pendekatan partisipatif.
Kombinasi (tergantung situasional) elemen teori X dan Y, memungkinkan institusi membangun budaya mutu yang kuat dan mendorong keberlanjutan dalam peningkatan mutu. Elemen Teori X digunakan untuk memastikan kepatuhan dan elemen Teori Y digunakan untuk pemberdayaan potensi dosen dan tenaga kependidikan agar dapat bekerja dengan baik.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Masa depan SPMI dan PPEPP di perguruan tinggi memerlukan harmoni antara pendekatan struktural (tegas) dan pemberdayaan yang fokus pada kebutuhan psikologi manusia.
Teori X berperan penting dalam membangun landasan dan kepatuhan awal, sementara Teori Y menjadi landasan untuk menciptakan inovasi dan kolaborasi yang berkelanjutan. Harmoni diperlukan untuk memastikan bahwa proses SPMI (PPEPP) tidak hanya fokus pada kepatuhan formal-administratif, namun juga pada perbaikan nilai-nilai organisasi (values) yang berdampak pada mutu pendidikan.
Sistem yang humanis dan berorientasi pada pengembangan SDM akan mendorong pegawai untuk berkontribusi lebih optimal dalam pencapaian mutu. Hal ini memungkinkan perguruan tinggi tidak hanya mampu bertahan hidup (survive) namun juga berkembang dan menjadi unggul di tengah dinamika global yang terus berubah.
Peter Drucker pernah mengatakan, “The best way to predict the future is to create it.” Dengan memanfaatkan keunggulan Teori X dan Y, perguruan tinggi dapat membangun harmoni indah yang menjadikan mutu sebagai budaya organisasi. Stay Relevant!
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Dalam pendidikan tinggi, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) berperan penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu Tridharma Perguruan Tinggi yang terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), perguruan tinggi memiliki “framework” yang sistematis untuk mencapai peningkatan mutu secara berkelanjutan. Akan tetapi, di lapangan, implementasi SPMI sering menghadapi kesulitan, seperti kurangnya komitmen stakeholder, tujuan yang “tidak clear”, atau kesenjangan antara rencana dan pelaksanaan.
Untuk mengatasi problematik diatas, teori motivasi Goal Setting yang ditulis oleh Edwin Locke dan Gary Latham menawarkan solusi alternatif yang dapat dipertimbangkan. Teori Goal Setting menekankan pentingnya penetapan tujuan yang spesifik, terukur, dan relevan untuk memotivasi karyawan serta tim kerja untuk mencapai hasil terbaik. Dengan integrasi prinsip Goal Setting ke dalam siklus PPEPP, institusi dapat meningkatkan kejelasan tujuan (Clarity) dan mendorong komitmen semua pihak dalam mendukung pencapaian target mutu pendidikan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Teori Goal Setting menegaskan bahwa tujuan yang spesifik, menantang, dan terukur mampu memotivasi individu serta organisasi untuk mencapai hasil yang terbaik.
Dalam siklus PPEPP, tahap Penetapan merupakan “kunci penting” keberhasilan seluruh proses. Penetapan tujuan (target dan indikator) yang kabur sering kali menjadi penghambat besar dalam implementasi SPMI. Jadi perlu ekstra hati-hati dalam tahap ini, karena menjadi patokan utama bagi tahap berikutnya.
Tujuan Standar SPMI harus ditetapkan dengan jelas, spesifik, dan mudah dipahami (Clarity). Tujuan yang membingungkan, seperti “menjadi lebih baik,” sulit dicapai karena tidak memberikan arahan yang jelas. Sebaliknya, tujuan seperti “meningkatkan kepuasan pengguna perpustakaan sebesar 10% dalam 1 tahun” memberikan panduan yang lebih konkret dan jelas.
Dengan menerapkan prinsip Goal Setting, perguruan tinggi dapat menetapkan tujuan (target dan indikator) mutu yang lebih spesifik dan relevan. Contoh, daripada hanya mencanangkan “meningkatkan layanan akademik,” institusi dapat menentukan target seperti “meningkatkan kepuasan mahasiswa sebesar 15% dalam satu tahun melalui digitalisasi layanan akademik.” Standar ini tidak hanya memberikan fokus yang lebih tajam tetapi juga mempermudah evaluasi pencapaian tujuan.”. Ada 2 metode yang sering digunakan dalam pentetapan standar SPMI yang baik, metode “ABCD” dan metode “KPI”. Kedua metode ini akan dibahas lebih detail dalam artikel berikutnya, InsyaAllah.
Tujuan (Target Standar SPMI) harus cukup menantang (challenge) sehingga memotivasi, tetapi tetap realistis. Tujuan yang sangat mudah tidak akan memberikan motivasi tambahan, sebaliknya tujuan yang terlalu sulit dapat menyebabkan stres dan frustrasi. Tingkat kesulitan yang tepat mendorong tim kerja untuk berusaha lebih keras dan menemukan cara baru (inovasi) untuk berhasil.
Teori Goal Setting menekankan pentingnya “komitmen” terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Komitmen adalah sikap dan perilaku anggota organisasi dalam mendukung tujuan, nilai, dan misi organisasi.
Dalam siklus PPEPP, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada komitmen dan keterlibatan semua stakeholder internal, mulai dari pimpinan, unit kerja hingga mahasiswa. Partisipasi aktif semua pihak dalam goal setting dapat meningkatkan rasa memiliki, kepuasan dan tanggung jawab terhadap pencapaian mutu.
Tujuan yang diterima secara bersama sama (kolektif) lebih mungkin dicapai dibandingkan dengan tujuan yang dipaksakan. Hal ini sejalan dengan teori Goal Setting yang menegaskan bahwa keterlibatan bersama tidak hanya mendorong komitmen, namun juga menciptakan lingkungan kolaboratif untuk mencapai hasil optimal.
Umpan balik (feedback) yang rutin dan berkelanjutan sangat penting untuk memantau progress dan menyesuaikan strategi jika diperlukan. Feedback membantu unit kerja memahami apakah mereka berada di jalur yang benar (on the track) dan memberikan motivasi tambahan ketika mereka mendekati tujuan.
Bila tugas-tugas yang diperlukan untuk mencapai tujuan sangat kompleks (task complexity), penting untuk memberikan sumber daya yang memadai. Tujuan yang sangat rumit dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil untuk membuatnya lebih mudah untuk dikerjakan. Indikator standar SPMI harus mudah dimengerti sehingga mampu mendorong motivasi kerja yang optimal.
Tahap Pelaksanaan (dalam PPEPP) sering kali diangap sebagai tantangan terbesar, sebab melibatkan kemampuan untuk penerjemahan tujuan jangka panjang (RIP/ Renstra) menjadi langkah (program kerja) konkret. Dalam hal ini, teori Goal Setting menawarkan panduan yang terukur, sehingga setiap langkah dapat dipantau dengan jelas. Dengan umpan balik yang efektif, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap unit kerja memahami peran (role) mereka dalam mencapai tujuan strategis yang lebih besar.
Tahapan Evaluasi (dalam PPEPP) adalah momen penting untuk menilai kemajuan (progress) terhadap pencapaian tujuan (target). Goal Setting menyarankan agar evaluasi dilakukan secara berkala dengan memberikan umpan balik yang jelas dan konstruktif. Dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023, pasal 68 ayat (2) disebutkan evaluasi dilaksanakan secara berkala melalui pemantauan, evaluasi diri, audit mutu internal, asesmen, dan/atau cara lain yang ditetapkan perguruan tinggi. Hal Ini memungkinkan institusi untuk mengidentifikasi penyimpangan dari tujuan dan mengambil tindakan korektif dan preventif secara cepat. Umpan balik (feedback) yang positif juga dapat meningkatkan motivasi karyawan untuk terus bekerja lebih baik.
Tahap Pengendalian dan Peningkatan (dalam PPEPP), sejalan dengan gagasan Goal Setting tentang pembaruan tujuan (peningkatan standar) yang berkelanjutan. Setelah perguruan tinggi berhasil mencapai satu tujuan (target), standar baru yang lebih tinggi dapat ditetapkan untuk menjaga momentum peningkatan mutu. Dengan demikian, PPEPP tidak hanya menjadi siklus administratif (rutinitas) belaka, namun juga alat strategis untuk mendorong proses kaizen (continuous improvement).
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Integrasi teori motivasi Goal Setting ke dalam siklus PPEPP memberikan inspirasi baru dalam memperkuat SPMI. Dengan memastikan setiap tujuan (standar SPMI) dalam PPEPP dirancang secara spesifik, terukur, dan relevan, perguruan tinggi diharapkan dapat mengatasi berbagai tantangan implementasi SPMI.
Integrasi siklus PPEPP dan teori Goal Setting tidak hanya memberikan framework yang sistematis namun juga menginspirasi perbaikan budaya mutu di perguruan tinggi. Ketika tujuan (target dan indikator) dirancang dengan cermat dan didukung oleh komitmen, maka pemenuhan dan peningkatan standar SPMI akan menjadi keniscayaan.
“Clarity in goals creates focus, and focus leads to achievement,” (Kejelasan dalam tujuan melahirkan fokus, dan fokus mengantarkan pada pencapaian). Perguruan tinggi yang mampu menyelaraskan visi-misi dengan prinsip Goal Setting akan menemukan pondasi yang kokoh untuk bersaing di tingkat lokal, regional dan global. Stay Relevant!
Puisi: Target yang Menyala
Clarity menggambar garis terang,
Target yang spesifik jadi bintang terang.
Fokus menyatu, langkah berpadu,
Visi-misi terjalin, tak lagi semu.
Di pentas dunia, arah dituju,
Komitmen teguh, takkan rapuh.
Dalam tantangan, perguruan tegap,
Mutu terjaga, nama pun menggapai harap.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi