بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. SPMI dirancang untuk memastikan bahwa setiap aspek-aspek pendidikan, termasuk proses pembelajaran, kurikulum dan hasil evaluasi, memenuhi standar yang ditetapkan. Hal ini sangat penting untuk menjamin mutu pendidikan yang ditawarkan kepada mahasiswa.
Kita semua maklum bahwa implementasi SPMI tidak hanya fokus pada aspek administratif dan teknis saja, namun juga harus mempertimbangkan “aspek motivasi” yang memberi dampak dan mempengaruhi semua pemangku kepentingan di perguruan tinggi.
Pimpinan, dosen, mahasiswa, dan staf administrasi memiliki peran krusial dalam mendukung keberhasilan SPMI. Motivasi mereka sangat berpengaruh terhadap partisipasi dan komitmen dalam proses peningkatan mutu pendidikan.
Dalam konteks ini, teori motivasi dari Abraham Maslow memberikan perspektif yang menarik untuk memahami bagaimana kebutuhan individu (need) dapat dipenuhi dalam lingkungan akademik. Dengan memenuhi kebutuhan berdasarkan hierarki Maslow, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan semua pemangku kepentingan, sehingga kondisi ini “dapat meningkatkan efektivitas implementasi SPMI”.
Teori motivasi Maslow mengelompokkan kebutuhan manusia (need) dalam lima tingkatan: fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.
Dalam konteks implementasi SPMI, pemahaman tentang hierarki kebutuhan ini sangat penting untuk merumuskan strategi yang efektif dalam meningkatkan motivasi, partisipasi dan komitmen dari semua pihak di perguruan tinggi.
Kebutuhan fisiologis dan rasa aman (di perguruan tinggi) mencakup penyediaan fasilitas serta lingkungan kerja yang aman bagi dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa. Memastikan bahwa kebutuhan dasar (basic need) bisa terpenuhi menjadi langkah awal yang penting dalam menciptakan suasana akademik yang nyaman dan kondusif.
Dengan memenuhi kebutuhan dasar tersebut, institusi dapat mendorong individu untuk berkontribusi aktif dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Kondisi yang ideal ini, menurut Maslow dapat meningkatkan motivasi dan partisipasi semua stakeholder, sehingga bersemangat untuk mendukung keberhasilan SPMI.
Baca juga: Mengapa Temuan Audit Sering Tak Ditindaklanjuti?
Kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan merupakan kebutuhan yang ke 3 dan ke 4. Kebutuhan ini memainkan fungsi penting dalam membangun komunitas akademik yang kondusif. Oleh sebab itu, institusi perlu menciptakan lingkungan yang mendukung interaksi sosial dan kolaborasi antara dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa. Kegiatan seperti family gathering, outbound, seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok menjadi sarana efektif untuk memenuhi kebutuhan sosial ini.
Pengakuan terhadap prestasi individu dan tim juga merupakan aspek penting dalam memenuhi kebutuhan yang ke 4 yaitu penghargaan. Memberikan penghargaan (recognisi) kepada dosen yang sukses menerapkan metode pengajaran interaktif atau mahasiswa yang berprestasi dalam pengabdian masyarakat dapat meningkatkan semangat, motivasi dan rasa percaya diri mereka.
Dengan memfasilitasi kegiatan-interaksi sosial dan memberikan pengakuan, perguruan tinggi tidak hanya memotivasi individu (tim) untuk berpartisipasi aktif, namun juga mendorong peningkatan mutu pendidikan secara holistik. Langkah ini penting untuk menciptakan komunitas akademik yang menyenangkan, inovatif dan produktif.
Kebutuhan ke 5 menurut teori Maslow adalah aktualisasi diri. Kebutuhan ini berada di puncak hierarki Maslow dan berkaitan dengan pencapaian potensi tertinggi dari individu. Dalam konteks SPMI, penting bagi institusi untuk memberikan kesempatan bagi dosen, tendik dan mahasiswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka.
Dukungan untuk penelitian skala internasional, kolaborasi dengan dunia usaha (industri), dan program pengembangan diri yang berkelanjutan merupakan langkah strategis untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri ini. Dengan menyediakan sarana, fasilitas dan kesempatan tersebut, perguruan tinggi dapat mendorong individu untuk mencapai potensi terbaik mereka (aktualisasi diri).
Memenuhi kebutuhan aktualisasi diri tidak hanya dapat menghasilkan lulusan yang bermutu, namun juga menciptakan budaya akademik yang inovatif dan responsif terhadap perubahan. Ini sangat penting dalam menghadapi tantangan dan tuntutan dunia pendidikan yang terus berubah dengan cepat.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi harus melibatkan partisipasi semua stakeholder dan menciptakan mekanisme evaluasi yang transparan, sebagaimana diatur dalam Panduan SPMI yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (2023).
Dengan mengintegrasikan teori motivasi Maslow dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan SPMI, manajemen perguruan tinggi dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi memperbaiki mutu pendidikan. Hal ini dapat terjadi karena institusi telah membantu mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan (need) individu di lingkungan akademik dan non akademik.
Keterlibatan aktif semua pihak (quality is everyone responsibility) dalam proses penjaminan mutu sangat penting untuk keberhasilan SPMI. Upaya ini juga sejalan dengan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, yang menekankan pentingnya integrasi, kolaborasi dan partisipasi dalam mencapai mutu pendidikan yang unggul.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Sebagai penutup, berikut catatan yang bisa diambil, hubungan antara pelaksanaan kebijakan SPMI dan teori motivasi Maslow menegaskan pentingnya “pendekatan holistik” dalam pengelolaan pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi yang memahami dan merespons kebutuhan motivasi individu akan lebih efektif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung proses pembelajaran dan pengembangan. Kondisi ini menjadi dasar untuk menghasilkan lulusan yang bermutu dan siap menghadapi tantangan di dunia kerja.
Implementasi SPMI “tidak cukup” hanya melibatkan aspek teknis dan administratif saja, namun juga aspek pengembangan manusia sebagai sumber daya utama dalam pendidikan. Dengan memberikan “perhatian penuh” pada kebutuhan motivasi setiap individu, institusi akan mendapatkan kemudahan dalam membangun budaya akademik yang inovatif dan produktif, dosen dan mahasiswa merasa dihargai dan termotivasi untuk berkontribusi secara maksimal.
Dalam perjalanan menuju peningkatan mutu pendidikan, penting bagi perguruan tinggi untuk menyadari bahwa motivasi dan proses penjaminan mutu “tidak dapat dipisahkan”.
Motivasi dan proses penjaminan mutu merupakan satu kesatuan yang holistik. Seperti yang dikatakan oleh Abraham Maslow, “Apa yang manusia dapat lakukan, mereka harus lakukan,” (What a man can be, he must be) menekankan bahwa potensi manusia dapat terwujud ketika kebutuhan mereka terpenuhi dan mereka merasa termotivasi. Individu yang termotivasi akan menjadi kekuatan dahsyat untuk memajukan SPMI secara holistik. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
“Dalam mengembangkan kerangka teori dan eksplorasi konsep awal, penulis menggunakan bantuan ChatGPT, model AI dari OpenAI, yang memberikan masukan dalam proses brainstorming dan merumuskan ide.”
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi