Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah langkah krusial untuk memastikan mutu pendidikan yang berkelanjutan. Melalui penerapan standar yang konsisten, SPMI membantu perguruan tinggi memenuhi ekspektasi kualitas dan akuntabilitas yang semakin tinggi di dunia pendidikan.
SPMI terdiri dari siklus PPEPP—Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar—yang berfungsi sebagai kerangka kerja guna memastikan setiap aspek operasional institusi berjalan sesuai standar mutu yang telah ditetapkan. Siklus ini mengintegrasikan proses dan prosedur yang membantu perguruan tinggi dalam melakukan evaluasi serta perbaikan berkelanjutan.
Dalam penerapan SPMI, menumbuhkan budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” sangat relevan sebagai filosofi yang menekankan efisiensi dan efektivitas. Dengan mengedepankan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat secara simultan mencapai berbagai tujuan, meningkatkan kualitas, dan memaksimalkan sumber daya yang tersedia.
Budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” mencerminkan upaya strategis untuk merancang satu tindakan yang menghasilkan beberapa outcome positif sekaligus. Pendekatan ini menekankan pentingnya efisiensi dalam mencapai berbagai tujuan secara bersamaan.
Filosofi ini selaras dengan Prinsip Pareto 20/80, yang menyatakan bahwa 20% dari “upaya yang tepat” dapat memberikan 80% hasil yang diinginkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa fokus pada upaya yang paling penting dan berpengaruh mampu membawa hasil optimal dengan usaha yang lebih terarah.
Dalam konteks SPMI, penerapan Prinsip Pareto memungkinkan perguruan tinggi memusatkan resources dan energi pada aktivitas-aktivitas utama yang berdampak signifikan terhadap peningkatan mutu. Dengan mengidentifikasi dan mengelola aktivitas-aktivitas kunci ini, institusi dapat mencapai hasil lebih besar dalam penjaminan mutu pendidikan.
Pada tahap Penetapan Standar dalam siklus PPEPP, perguruan tinggi perlu mengidentifikasi area prioritas yang membutuhkan perhatian khusus untuk meningkatkan mutu. Dengan menerapkan Prinsip Pareto, institusi dapat memfokuskan diri pada 20% aktivitas yang paling berpengaruh, yang diperkirakan mampu menghasilkan 80% dari hasil yang diinginkan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Sebagai contoh, jika kompetensi dosen menjadi salah satu prioritas utama, peningkatan kompetensi melalui program pelatihan dapat membawa dampak besar bagi mutu pembelajaran, kepuasan mahasiswa, dan reputasi institusi. Dengan menempatkan investasi pada pengembangan dosen, perguruan tinggi tidak hanya memperbaiki satu aspek, tetapi juga memajukan berbagai indikator kinerja penting.
Dosen yang lebih kompeten akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran dan bimbingan yang mereka berikan. Dampaknya tidak hanya terlihat pada peningkatan kepuasan mahasiswa, tetapi juga pada prestasi akademik mahasiswa yang lebih baik, menciptakan lingkaran positif bagi pencapaian akademik dan reputasi institusi.
Pada tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” mendorong perguruan tinggi untuk menerapkan strategi yang efisien dan efektif.
Contoh, integrasi teknologi digital dalam proses pembelajaran tidak hanya memodernisasi metode pengajaran, tetapi juga meningkatkan aksesibilitas pendidikan, memungkinkan fleksibilitas waktu, dan mengurangi biaya operasional dalam jangka panjang.
Satu langkah strategis (integrasi teknologi digital) ternyata mampu mencapai beberapa tujuan sekaligus, sejalan dengan filosofi efisiensi yang diusung.
Bagaimana dengan pelaksanaan standar-standar yang lain? Tentu saja bisa dicarikan program sinergi yang bisa mencapai beberapa tujuan sekaligus. Disinilah tantangan yang harus dihadapi pengelola institusi pendidikan.
Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP) menjadi momen kritis untuk menilai efektivitas dari program kerja yang telah dilaksanakan.
Dengan menggunakan Prinsip Pareto, institusi perguruan tinggi dapat menganalisis data kinerja untuk mengidentifikasi aktivitas mana saja yang memberikan dampak terbesar.
Kegiatan Monev atau Audit dapat diarah untuk mencari temuan-temuan yang terkait prinsip pareto dan prioritas organisasi.
Jika ditemukan bahwa ada sebagian kecil dari program atau kegiatan memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan mutu, institusi dapat memfokuskan kembali resources (sumber daya) pada area tersebut untuk memaksimalkan hasil.
Dalam tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi perlu memastikan bahwa proses yang berjalan tetap sesuai dengan standar mutu dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” dapat diterapkan dengan mengembangkan mekanisme pengendalian yang tidak hanya memastikan kepatuhan, tetapi juga mendorong perbaikan berkelanjutan di berbagai aspek.
Misalnya, penerapan sistem manajemen mutu berbasis teknologi informasi dapat meningkatkan efisiensi pengendalian dan memberikan data real-time untuk pengambilan keputusan yang lebih tepat.
Perbaikan yang dilakukan atas temuan audit, harus diarahkan ke hal yang subtansial. Bukan hanya tindakan koreksi, namun lebih pada perbaikan korektif dan preventif. Tindakan preventif juga akan mencegah masalah baru di berbagai aspek organisasi.
Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) merupakan kulminasi dari siklus SPMI, di mana hasil evaluasi dan pengendalian digunakan untuk melakukan perbaikan yang berkelanjutan (kaizen).
Prinsip Pareto dan budaya efisiensi mendorong perguruan tinggi untuk fokus pada inovasi yang memiliki dampak luas.
Contoh, pengembangan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan industri.
Pengembangan kurikulum tidak hanya meningkatkan relevansi pendidikan, namun juga meningkatkan peluang kerja bagi lulusan dan memperkuat hubungan dengan pemangku kepentingan eksternal.
Penerapan Prinsip Pareto dalam penguatan SPMI membantu perguruan tinggi untuk tidak terjebak dalam berbagai program yang tersebar di berbagai bidang.
Dengan memfokuskan resources, energi pada 20% aktivitas kunci, institusi dapat mencapai 80% dari hasil yang diinginkan, sehingga sumber daya dapat digunakan secara optimal.
Namun, penting untuk diingat bahwa pemilihan aktivitas kunci ini memerlukan analisis yang mendalam dan pemahaman konteks yang baik untuk menghindari risiko salah prioritas.
Membangun budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” dalam pengelolaan mutu juga menuntut “perubahan mindset” di seluruh lapisan institusi.
Semua pihak, mulai dari pimpinan hingga staf operasional, perlu memahami dan menyadari pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam setiap tindakan.
Kerjasama antar departemen dan komunikasi yang baik menjadi kunci dalam memastikan bahwa strategi yang diterapkan mampu mencapai berbagai tujuan secara simultan.
Selain itu, keterampilan dalam pemikiran strategis (conceptual skills) dan pengambilan keputusan berbasis data menjadi penting untuk mendukung penerapan prinsip ini.
Perguruan tinggi perlu mengembangkan kapasitas analitis untuk memahami tren, mengidentifikasi peluang / ancaman, dan mengevaluasi risiko.
Penggunaan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (AI) dapat menjadi alat bantu yang efektif dalam mendukung analisis dan pengambilan keputusan.
AI, dapat membantu dalam memproses data yang kompleks, memberikan prediksi, dan menyusun rekomendasi yang berbasis pengetahuan luas, sehingga memudahkan institusi dalam menentukan pilihan prioritas strategis.
Institusi juga perlu berhati-hati dalam menerapkan Prinsip Pareto agar tidak mengabaikan aspek-aspek penting lainnya yang mungkin tidak terlihat memberikan dampak besar dalam jangka pendek, tetapi esensial untuk keberlanjutan mutu dalam jangka panjang.
Misalnya, aspek pengembangan motivasi, budaya organisasi dan kesejahteraan staf mungkin tidak langsung terlihat dalam indikator kinerja utama, tetapi memiliki peran penting dalam mendukung ekosistem pendidikan yang sehat dan produktif.
Sebagai penutup, penguatan SPMI melalui siklus PPEPP yang dipadukan dengan budaya “satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui” dan penerapan Prinsip Pareto 20/80 merupakan pendekatan strategis yang dapat diambil untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi.
Pendekatan ini memungkinkan institusi untuk menggunakan sumber daya secara efisien, memaksimalkan hasil, dan memastikan bahwa upaya yang dilakukan berdampak signifikan terhadap pencapaian visi dan misi organisasi.
Dengan pemahaman yang mendalam, analisis yang cermat, dan dukungan teknologi, perguruan tinggi dapat mengoptimalkan pengelolaan mutu dan berkontribusi secara lebih signifikan dalam mencetak sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif di tingkat global. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi instrumen utama yang dirancang untuk memastikan bahwa standar mutu terpenuhi dan proses akademik berjalan dengan baik.
Hal ini diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Ketentuan tentang SPMI diatur dalam pasal 67 sampai pasal 70.
Sementara ketentuan sebelumnya diatur dalam Permenristekdikti no 62 tahun 2016. Jadi sudah cukup lama peraturan tentang SPMI diwajibkan pada perguruan tinggi di Indonesia.
Namun, sejauh ini apakah SPMI benar-benar menjamin peningkatan mutu secara substansial? Atau hanya sekadar menjadi alat administratif yang mempertebal tumpukan dokumen mutu di perguruan tinggi?
SPMI, yang terdiri dari lima tahap siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (PPEPP), bertujuan untuk menciptakan lingkaran proses yang memastikan mutu terus diperbaiki dan dikembangkan (kaizen).
Secara teoritis, siklus PPEPP dapat membantu peningkatan mutu.
SPMI memberi panduan dan struktur yang jelas dalam penetapan standar, pelaksanaannya, dan evaluasi yang berkelanjutan untuk memastikan terwujudnya peningkatan standar.
Namun, tidak dipungkiri efektivitas dari implementasi siklus PPEPP masih sering diperdebatkan.
Diduga masih cukup banyak institusi pendidikan tinggi menjalankan SPMI sebagai bentuk pemenuhan kewajiban administratif belaka.
Laporan-laporan SPMI yang dihasilkan dari proses PPEPP sering kali menjadi indikator formal yang dinilai oleh pemerintah atau lembaga akreditasi.
Perguruan tinggi pun disibukkan dengan kegiatan mengelolaan dokumen, memastikan bahwa semua persyaratan administratif terpenuhi.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah pemenuhan dokumen tersebut benar-benar merefleksikan peningkatan mutu secara substansial dalam proses pendidikan?
Dengan kata lain, proses siklus PPEPP mungkin dijalankan secara mekanis-formalitas, namun gagal dalam memberikan perubahan nyata terhadap mutu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dalam beberapa kasus, institusi pendidikan tinggi mungkin lebih fokus pada “compliance” terhadap aturan regulasi formal tanpa benar-benar melakukan evaluasi mendalam terhadap “Impact” dari standar mutu yang diterapkan.
Baca juga: Pengorbanan dan Dedikasi: Fondasi Kepemimpinan SPMI
Tahap evaluasi pemenuhan standar dalam siklus PPEPP merupakan titik kritis yang menentukan apakah sistem penjaminan mutu benar-benar berjalan efektif.
Pada tahap ini, perguruan tinggi harus mengukur sejauh mana pelaksanaan standar sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tanpa mekanisme evaluasi yang sistematis dan transparan, evaluasi akan menjadi sekadar formalitas belaka.
Di sisi lain, evaluasi yang hanya berbasis data kuantitatif, seperti jumlah alumni atau nilai akreditasi sering tidak mencerminkan mutu pembelajaran yang sebenarnya.
Evaluasi seharusnya melibatkan umpan balik dari mahasiswa, dosen, dan stakeholder lainnya untuk memberikan gambaran yang lebih utuh tentang mutu pendidikan.
Pendekatan evaluasi pemenuhan standar yang dangkal hanya akan menghasilkan gambaran semu tentang mutu.
Setelah evaluasi pemenuhan standar dilakukan, pengendalian pelaksanaan standar dan peningkatan standar seharusnya menjadi proses yang secara aktif mengatasi kelemahan dan / atau menangkap peluang untuk memperbaiki mutu.
Akan tetapi, tahap ini sering menjadi tantangan berat.
Pengendalian Pelaksanaan Standar dilakukan berdasarkan data yang tidak lengkap. Akibatnya analisis yang dangkal dapat berujung pada rekomendasi perbaikan yang tidak relevan.
Di sisi lain, perguruan tinggi sering kali juga menghadapi keterbatasan resources (sumber daya), baik dari sisi anggaran, sarpras maupun tenaga dosen. Hal ini akan menghambat implementasi dari perbaikan yang telah direncanakan.
Apakah perguruan tinggi benar-benar dapat meningkatkan mutu ketika keterbatasan anggaran membatasi inovasi dan pengembangan program?
Tentu masing-masing perguruan tinggi yang bisa menjawab tantangan diatas.
Baca juga: Penyebab Kegagalan SPMI
Di era yang semakin cepat berubah, perguruan tinggi dituntut untuk tidak hanya mengikuti prosedur yang terstruktur seperti dalam SPMI, tetapi juga harus mampu “membongkar sekat pembatas organisasi” dan bersikap ramping, lincah dan inovatif.
Ron Ashkenas, dalam jurnal yang berjudul Management: How to Loosen Organizational Boundaries (Journal of Business Strategy) menekankan bahwa kecepatan (speed), fleksibilitas (flexibility), integrasi (integration), dan inovasi (innovation) adalah “penggerak utama keberhasilan” organisasi modern.
Ashkenas berpendapat bahwa di tengah lingkungan eksternal yang semakin kompleks dan dinamis, organisasi “wajib” terus menerus beradaptasi dan memperbarui strategi mereka untuk menjadi unggul.
Pertanyaan selanjutnya, apakah SPMI dapat memberikan ruang bagi empat nilai-nilai diatas? Atau justru SPMI berubah bentuk menjadi monster penghalang kemajuan dengan berbagai kerumitan administrasi yang ada?
Kecepatan (speed) dan fleksibilitas (flexibility) penting untuk menghadapi tantangan global dan dinamika dunia yang terus berubah. Praktik SPMI yang kaku, terlalu fokus pada prosedur-prosedur formal dapat memperlambat kemampuan perguruan tinggi untuk beradaptasi dengan cepat.
Perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan yang lebih gesit (lean and agile) dalam merespons perkembangan teknologi, tuntutan mahasiswa, dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Konsep Ron Ashkenas nomor tiga adalah integrasi (integration).
Mengacu pada kemampuan perguruan tinggi untuk menyatukan berbagai elemen, proses, dan fungsi agar bekerja secara sinergis menuju tujuan bersama.
Integrasi tidak hanya berarti menghubungkan departemen atau unit kerja yang berbeda, tetapi juga menyelaraskan strategi, sistem, dan budaya perguruan tinggi. Dengan integrasi yang baik, setiap bagian bekerja dalam harmoni untuk mencapai hasil yang lebih besar.
Konsep keempat adalah Inovasi (innovation).
Dalam konteks SPMI, inovasi tidak hanya berarti penerapan teknologi baru atau metode pembelajaran mutakhir, namun mencakup cara berpikir dan pendekatan baru dalam menjalankan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar (PPEPP).
Perguruan tinggi harus mendorong segenap dosen, tendik dan mahasiswa untuk terus berpikir kritis dan kreatif, serta menghasilkan terobosan-terobosan baru dalam pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.
Berikut contoh implementasi nilai-nilai inovasi yang dapat dikembangkan perguruan tinggi.
Pengembangan Sistem Informasi SPMI berbasis digital yang terintegrasi. Sistem ini memungkinkan perguruan tinggi mengelola siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP) secara otomatis dan efisien.
Melalui platform ini, kebijakan SPMI, standar mutu, dokumen PPEPP, dan data hasil evaluasi bisa diakses secara real-time oleh dosen, tendik, dan manajemen.
Melalui platform SPMI berbasis digital, hasil evaluasi pembelajaran, kinerja dosen, serta umpan balik mahasiswa dapat langsung diinput ke dalam sistem, yang kemudian diolah menjadi laporan otomatis.
Dashboard digital yang tersedia memberikan visualisasi data untuk memantau secara real-time apakah pelaksanaan di lapangan telah sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan.
Pada akhirnya, menjadi renungan bersama, apakah SPMI benar-benar menjamin mutu pendidikan?
Apakah SPMI benar-benar dapat memberikankan nilai tambah?
Apakah SPMI benar-benar memberi manfaat? Atau sebaliknya “Unfaedah”.
Jawabannya tergantung pada institusi masing-masing.
Sejauh mana institusi pendidikan menerapkan praktik SPMI secara substansial, bukan hanya sekadar formalitas semata.
SPMI memiliki potensi besar untuk meningkatkan mutu.
Namun potensi tersebut “hanya akan terwujud” jika perguruan tinggi mampu menjalankan siklus PPEPP secara mendalam dan berkelanjutan (kaizen).
Akhirnya, mengacu pada jurnal yang ditulis Ron Ashkenas, perguruan tinggi harus mampu untuk terus menerus bertransformasi.
Perguruan tinggi harus mampu menyeimbangkan praktik SPMI dengan tuntutan best practice era modern.
Siklus PPEPP harus mampu “membongkar sekat organisasi” dengan 4 mantra.
Empat mantra itu adalah kecepatan (speed), fleksibilitas (flexibility), integrasi (integration), dan inovasi (innovation). Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi