Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kerangka kerja yang digunakan oleh perguruan tinggi untuk memastikan dan meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Ketentuan tentang SPMI diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023. diatur dalam pasal 67 sampai dengan pasal 70.
Berbagai metode dan pendekatan terus digali agar ada tools untuk memperkuat implementasikan SPMI.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memperkuat SPMI adalah penerapan prinsip Pareto, yang dikenal juga sebagai “aturan 80/20”.
Prinsip ini menyatakan bahwa sekitar 80% hasil (result) berasal dari 20% penyebab (effort). Artikel ini akan membahas bagaimana penerapan prinsip Pareto dapat membantu dalam penguatan SPMI di perguruan tinggi.
Vilfredo Pareto (1848-1923) adalah seorang ekonom dan sosiolog keturunan Italia. Beliau terkenal karena kontribusinya dalam bidang ekonomi dan sosiologi, terutama melalui pengembangan konsep yang dikenal dengan istilah “Prinsip Pareto” atau “Aturan 80/20”.
Lahir di Paris, Prancis, kemudian Pareto pindah bekerja ke Italia, kemudian beliau pindah lagi ke Swiss, di mana ia menjadi profesor ekonomi politik di Universitas Lausanne, Swiss.
Pareto awalnya terlatih sebagai insinyur, dan kemudian beralih ke bidang ekonomi. Kontribusinya yang paling terkenal adalah observasinya bahwa 80% kekayaan di Italia dimiliki oleh 20% populasi.
Dari observasi ini, ia kemudian mengembangkan “prinsip umum” yang menunjukkan bahwa dalam banyak situasi, sekitar 80% hasil berasal dari 20% penyebab. Prinsip ini telah diterapkan dalam berbagai konteks, termasuk ekonomi, manajemen, dan pengambilan keputusan.
Prinsip Pareto juga dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek SPMI untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses penjaminan mutu.
Sebagaimana kita ketahui, aktivitas dan program SPMI cukup beragam dan kompleks, ada sekian banyak dokumen yang harus ditetapkan, dilaksanakan, dievaluasi, dikendalikan dan ditingkatkan.
Tidak mudah untuk untuk mengendalikan dan melaksanakan semua dokumen tersebut, perlu ada prinsip-prinsip tertentu atau best practice yang dapat membimbing implementasi SPMI dengan baik.
Dengan mengidentifikasi dan fokus pada faktor-faktor kunci yang paling mempengaruhi mutu, InsyaAllah perguruan tinggi akan dapat mencapai hasil yang lebih baik dengan sumber daya yang terbatas.
Berikut beberapa contoh penerapan Prinsip Pareto. Diharapkan perguruan tinggi dapat menggali terus pada area mana prinsip tersebut dapat diterapkan.
“Dengan mengidentifikasi 20% area kritis yang paling mempengaruhi hasil, SPMI dapat diterapkan lebih efektif dan efisien, memastikan peningkatan mutu yang berkelanjutan.”
Penerapan prinsip Pareto dalam SPMI dapat membantu perguruan tinggi dalam mengidentifikasi dan fokus pada faktor-faktor kunci yang paling mempengaruhi mutu.
Dengan memprioritaskan 20% aspek yang memberikan 80% dampak, perguruan tinggi dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses penjaminan mutu.
Prinsip Pareto bukan hanya alat analisis, tetapi juga strategi manajemen yang dapat memberikan panduan praktis dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan mutu pendidikan.
Dengan demikian, penguatan SPMI melalui penerapan prinsip Pareto dapat membantu perguruan tinggi mencapai tujuan mutu yang lebih tinggi secara berkelanjutan. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Konsep rasionalitas terbatas (bounded rationality) yang diperkenalkan oleh Herbert A. Simon memiliki implikasi yang signifikan bagi keberhasilan organisasi. Konsep ini dipaparkan beliau dalam buku berjudul “The Sciences of the Artificial” (1969).
Konsep rasionalitas terbatas merupakan salah satu kontribusi terbesar Simon dalam ilmu pengetahuan sosial.
Ia berargumen bahwa dalam pengambilan keputusan, manusia “tidak mampu” mengevaluasi semua informasi dan alternatif yang tersedia secara sempurna.
Oleh karena itu, mereka sering menggunakan “heuristik” atau aturan praktis untuk membuat keputusan yang cukup baik dalam keterbatasan waktu dan informasi.
Rasionalitas terbatas menggambarkan kenyataan bahwa manusia, termasuk manajer dan pengambil keputusan organisasi, memiliki keterbatasan dalam memproses informasi dan membuat keputusan optimal.
Mereka cenderung menggunakan heuristik atau aturan praktis untuk membuat keputusan yang “cukup baik” daripada yang terbaik.
Berikut adalah beberapa implikasi utama dari rasionalitas terbatas dalam dunia bisnis:
Secara keseluruhan, pemahaman tentang rasionalitas terbatas membantu perusahaan untuk merancang proses dan struktur yang lebih realistis dan efektif dalam menghadapi keterbatasan manusia.
Ini juga mendorong perusahaan untuk terus belajar dan beradaptasi, serta mengoptimalkan pengambilan keputusan dalam batasan yang ada.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan sistem mutu lembaga pendidikan di Indonesia, termasuk perguruan tinggi. Hal ini diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, pasal 67 sampai dengan pasal 70.
Dalam mengelola SPMI, tentu saja memerlukan ketrampilan dalam pengambilan keputusan agar hasil yang diperoleh dapat optimal dan mendukung pencapai standar yang telah ditetapkan.
Konsep Rasionalitas terbatas (bounded rationality) mengakui bahwa pengambil keputusan tidak selalu memiliki kemampuan untuk memproses semua informasi yang tersedia secara sempurna dan objektif.
Sebaliknya, mereka, pimpinan perguruan tinggi, cenderung menggunakan heuristik atau aturan praktis untuk membuat keputusan yang “cukup baik” dalam keterbatasan yang ada.
Dalam konteks SPMI, ini berarti bahwa pemangku kepentingan di perguruan tinggi—seperti dosen, staf administrasi, dan manajemen—perlu mengakui keterbatasan ini dan “mengembangkan strategi” yang sesuai untuk membuat keputusan yang lebih baik.
“Rasionalitas terbatas dalam SPMI mengingatkan kita bahwa kualitas terbaik bukanlah hasil dari keputusan sempurna, tetapi dari keputusan yang cukup baik yang terus diperbaiki melalui evaluasi dan adaptasi berkelanjutan.”
Rasionalitas terbatas memberikan kerangka kerja yang realistis dan praktis untuk memperkuat SPMI di perguruan tinggi.
Dengan mengakui keterbatasan dalam pengambilan keputusan dan mengadopsi strategi yang sesuai, institusi pendidikan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam implementasi SPMI.
Ini melibatkan penggunaan heuristik, sistem informasi, kolaborasi tim, pelatihan, kebijakan fleksibel, dan pendekatan iteratif dalam semua aspek SPMI.
Dengan demikian, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa proses penjaminan mutu mereka lebih responsif, adaptif, dan berfokus pada peningkatan berkelanjutan. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sangat penting dalam memastikan terpenuhinya target standar mutu dan peningkatan berkelanjutan (kaizen) di institusi pendidikan tinggi.
Namun, pendekatan tradisional dalam implementasi SPMI sering kali menghadapi berbagai tantangan seperti penolakan (resistensi) terhadap perubahan, kurangnya keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder), dan kesulitan dalam mengidentifikasi serta mengatasi akar masalah mutu.
Design Thinking, dengan pendekatan yang berpusat pada pengguna (user) dan iteratif, menawarkan metodologi yang menjanjikan untuk memperkuat dan meningkatkan proses SPMI.
Artikel singkat ini membahas integrasi Design Thinking ke dalam SPMI untuk mendorong inovasi, meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan, dan memastikan peningkatan berkelanjutan di pendidikan tinggi.
Design Thinking adalah proses iteratif yang menekankan empati, pengembangan ide, pembuatan prototipe, dan pengujian untuk mengembangkan solusi-solusi inovatif yang diperlukan lembaga pendidikan.
Konsep Design Thinking pertama kali dipopulerkan oleh perusahaan desain IDEO dan CEO-nya, Tim Brown. Meskipun konsep ini telah berkembang selama beberapa dekade dengan kontribusi dari berbagai individu dan institusi, IDEO dan Tim Brown sering kali diakui sebagai pelopor dalam memperkenalkan dan mengembangkan metodologi ini dalam konteks bisnis dan inovasi.
Design Thinking sendiri merupakan hasil evolusi dari berbagai disiplin ilmu (Interdisciplinary Approach), termasuk desain industri, manajemen, psikologi, dan teknik. Herbert A. Simon, seorang ilmuwan kognitif dan pemenang Nobel, juga memainkan peran penting dalam pengembangan awal konsep ini melalui bukunya “The Sciences of the Artificial” (1969). Dalam buku tersebut, Simon membahas proses pemecahan masalah (problem solving) yang terstruktur dan iteratif.
Proses Design Thinking meliputi lima tahap utama:
Penerapan Design Thinking pada implementasi SPMI melibatkan adaptasi kelima tahap tersebut dalam konteks penjaminan mutu di pendidikan tinggi.
Setiap tahap memberikan kontribusi terhadap tujuan keseluruhan untuk memperkuat proses SPMI.
Berikut contoh penerapan design thinking dalam SPMI melalui siklus PPEPP:
Design Thinking merupakan metodologi yang berharga untuk memperkuat SPMI di institusi pendidikan tinggi.
Dengan berfokus pada empati, kolaborasi, dan pengembangan iteratif, institusi dapat meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder), mendorong inovasi, dan mendorong peningkatan berkelanjutan dalam proses penjaminan mutu mereka. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kerangka kerja (framework) yang esensial bagi perguruan tinggi dalam upaya memastikan mutu pendidikan yang tinggi dan berkelanjutan.
SPMI mencakup serangkaian proses (siklus) yang melibatkan penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar (PPEPP) yang bertujuan untuk menjamin dan meningkatkan mutu institusi pendidikan tinggi.
Salah satu pendekatan (strategi) yang dapat memperkuat efektivitas SPMI adalah konsep “self-fulfilling prophecy”, di mana harapan dan keyakinan terhadap suatu situasi atau individu dapat mempengaruhi hasil yang dicapai.
Artikel singkat ini mencoba mengkaji bagaimana self-fulfilling prophecy dapat diintegrasikan dalam SPMI untuk meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi.
Self-fulfilling prophecy, (atau pygmalion effect) diperkenalkan pertama kali oleh Robert K. Merton pada tahun 1948, menggambarkan fenomena di mana harapan atau prediksi seseorang terhadap situasi atau individu dapat mempengaruhi tindakan dan perilaku yang akhirnya membuat prediksi tersebut menjadi kenyataan.
Konsep self-fulfilling prophecy (SFP) telah lama dikenal dalam psikologi sosial. Sederhananya, keyakinan seseorang (our beliefs) terhadap suatu hal dapat menciptakan kondisi yang mengkonfirmasi keyakinan tersebut.
Kalau kita “yakin bisa”, maka akan cenderung hasilnya akan positif, demikian juga berlaku kebalikannya, kalau kita pesimis, hasilnya akan cenderung negatif.
Dalam konteks pendidikan tinggi, self-fulfilling prophecy dapat menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Ketika para sivitas akademika, mulai dari pimpinan hingga mahasiswa, memiliki keyakinan kuat bahwa perguruan tinggi akan mampu mencapai keunggulan, maka mereka akan cenderung berperilaku dan bekerja sesuai dengan keyakinan tersebut.
Ketika pimpinan perguruan tinggi (manajer), dosen, dan staf administrasi memiliki harapan tinggi terhadap capaian akademik dan operasional, mereka cenderung bertindak / berperilaku sesuai dengan harapan tersebut.
Misalnya, para dosen yang percaya bahwa mahasiswa memiliki kecerdasan dan potensi besar, akan lebih termotivasi untuk memberikan pengajaran yang berkualitas dan mendukung perkembangan mahasiswa secara maksimal.
Sebaliknya, keyakinan dan harapan dosen rendah terhadap potensi mahasiswa, dapat menghambat motivasi dan kinerja, baik dari sisi pengajar maupun mahasiswa.
Agar implementasi SPMI dapat berjalan dengan baik, maka integrasi SFP dapat dilakukan melalui siklus PPEPP, misalnya melalui:
Baca juga: SPMI dan Implementasi Teori Penguatan
Penguatan SPMI melalui konsep self-fulfilling prophecy menawarkan pendekatan yang efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi.
Dengan menetapkan standar yang tinggi, melaksanakan dengan pendekatan positif, memberikan umpan balik konstruktif, mengendalikan dengan penghargaan, dan memupuk budaya peningkatan berkelanjutan, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pencapaian mutu yang lebih tinggi.
Keyakinan (beliefs) dan harapan positif terhadap kemampuan institusi dan individu akan mendorong perilaku dan tindakan yang sejalan dengan tujuan mutu, sehingga memperkuat efektivitas SPMI secara keseluruhan. Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi