• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Daily Archive 08/08/2024

SPMI dan Span of Control

SPMI dan Span of Control

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan kerangka kerja penting untuk memastikan mutu pendidikan dan layanan akademik yang konsisten dan tinggi.

Ketentuan tentang SPMI diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, pasal 67 sampai pasal 70.

Dalam upaya untuk memperkuat pelaksanaan PPEPP dan SPMI, salah satu faktor kunci penting yang perlu diperhatikan adalah desain struktur organisasi, terutama dalam konteks span of control (rentang kendali).

Span of control, adalah keputusan tentang banyaknya bawahan (anak buah) yang menjadi tanggung jawab jabatan tertentu.

Artikel ini akan membahas bagaimana praktik span of control yang ideal dapat memperkuat SPMI dan kontribusinya terhadap peningkatan kualitas pendidikan di perguruan tinggi.

Konsep Span of Control

Span of control merujuk pada jumlah bawahan yang dapat secara efektif dikelola oleh seorang manajer atau pemimpin. Konsep ini penting dalam menentukan bagaimana struktur organisasi dibentuk dan bagaimana tugas-tugas dikelola.

Span of control yang ideal adalah “keseimbangan” antara kondisi terlalu banyak bawahan yang dapat menyebabkan pimpinan menjadi tidak efektif dan terlalu sedikit bawahan yang dapat menyebabkan pemborosan sumber daya.

Tidak ada ketentuan jumlah ideal dalam hal span of control. Ketetapan span of kontrol tergantung dari banyak hal:

Relevansi Span of Control dalam SPMI

  1. Efektivitas Pengawasan: Dalam konteks SPMI, pengawasan dan evaluasi adalah aspek krusial. Dengan span of control yang ideal, manajer dapat lebih efektif dalam memantau dan mengevaluasi implementasi standar mutu. Misalnya, jika seorang kepala program memiliki span of control yang terlalu luas, mereka mungkin tidak dapat memberikan perhatian yang cukup pada setiap unit atau individu. Sebaliknya, span of control yang terlalu sempit dapat menyebabkan pemborosan sumber daya dan kurangnya efisiensi.
  2. Komunikasi dan Koordinasi: Struktur organisasi dengan span of control yang sesuai memungkinkan komunikasi yang lebih baik antara manajer dan bawahan. Ini penting dalam konteks SPMI karena pengumpulan umpan balik, pelaporan masalah, dan koordinasi antara berbagai unit harus dilakukan dengan efektif. Dengan komunikasi yang lebih baik, masalah kualitas dapat diidentifikasi dan diatasi lebih cepat.
  3. Keterlibatan dan Motivasi: Span of control yang ideal memungkinkan manajer untuk memberikan lebih banyak perhatian individu kepada setiap bawahan. Ini dapat meningkatkan motivasi dan keterlibatan staf karena mereka merasa didukung dan diperhatikan. Dalam konteks SPMI, ini dapat meningkatkan kualitas kerja dan dedikasi terhadap pemenuhan standar mutu.

Praktik Span of Control

  1. Menyesuaikan Span of Control dengan Kompleksitas Tugas Manajer / pimpinan harus menyesuaikan span of control dengan kompleksitas tugas yang harus dikelola. Di perguruan tinggi, tugas-tugas seperti pengawasan akademik, administrasi, dan layanan mahasiswa memerlukan perhatian yang berbeda. Misalnya, seorang manajer yang bertanggung jawab atas program akademik dengan berbagai mata kuliah mungkin perlu span of control yang lebih sempit dibandingkan dengan manajer yang mengelola unit administratif.
  2. Menggunakan Teknologi untuk Mendukung Pengawasan Penggunaan teknologi informasi dapat membantu manajer dalam mengelola span of control yang lebih luas. Sistem manajemen mutu berbasis teknologi dapat memfasilitasi pengumpulan data, pelaporan, dan analisis yang diperlukan untuk mengawasi kepatuhan terhadap standar mutu. Ini memungkinkan manajer untuk memantau lebih banyak unit atau individu tanpa mengorbankan kualitas pengawasan.
  3. Menerapkan Delegasi yang Efektif Delegasi yang efektif adalah kunci dalam mengelola span of control. Manajer perlu memastikan bahwa tugas-tugas didelegasikan dengan jelas dan bahwa bawahan memiliki wewenang serta dukungan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas mereka. Dalam konteks SPMI, ini berarti mengidentifikasi dan memberikan wewenang kepada personel yang tepat untuk mengelola berbagai aspek dari sistem penjaminan mutu.
  4. Pengawasan Program Akademik Di perguruan tinggi, seorang dekan dengan span of control yang ideal dapat mengelola beberapa program studi dengan efektif. Dengan menggunakan teknologi untuk melacak kinerja akademik dan mengatur jadwal evaluasi, dekan dapat memastikan bahwa standar mutu dipenuhi di setiap program studi.
  5. Manajemen Layanan Mahasiswa Kepala layanan mahasiswa dengan span of control yang tepat dapat mengelola tim yang memberikan layanan seperti bimbingan, konseling, dan dukungan akademik. Dengan struktur yang memungkinkan komunikasi langsung dan umpan balik yang cepat, kepala layanan dapat meningkatkan kualitas dukungan yang diberikan kepada mahasiswa.

Penutup

Penguatan SPMI melalui praktik span of control yang ideal adalah langkah penting untuk memastikan bahwa standar mutu di perguruan tinggi dapat diterapkan dan dipertahankan dengan efektif.

Dengan menyesuaikan span of control dengan kompleksitas tugas, memanfaatkan teknologi, dan menerapkan delegasi yang efektif, perguruan tinggi dapat meningkatkan efektivitas pengawasan, komunikasi, dan motivasi dalam sistem manajemen mutu mereka.

Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat mencapai kualitas pendidikan yang lebih tinggi dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Stay Relevant!

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

spmi motivasi kerja budaya mutu

SPMI dan Teori Motivasi ERG

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dalam perguruan tinggi adalah kerangka kerja (framework) yang krusial untuk memastikan bahwa institusi pendidikan terus meningkatkan kualitas pendidikan, penelitian, dan layanan (continuous improvement).

Ketentuan pelaksanaan SPMI, diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023: Pasal 67 sampai dengan pasal 70.

Ada banyak persoalan yang terjadi disaat memperbaiki dan memperkuat implementasikan SPMI. Para pimpinan, kepala unit, dosen, karyawan, sampai saat ini terus berusaha mencari cara-cara manajerial terbaik yang bisa diterapkan (best practice).

Salah satu alternatif / pendekatan yang dapat dipakai untuk memperkuat implementasi SPMI di perguruan tinggi, adalah dengan memahami, mempelajari dan menerapkan teori motivasi yang relevan.

Salah satu teori motivasi yang cukup penting adalah Teori motivasi ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Clayton Alderfer.

Teori ERG Alderfer

Teori ERG mengkategorikan kebutuhan manusia menjadi 3 (tiga) kelompok utama:

  1. Existence Needs (Kebutuhan Eksistensi): Kebutuhan dasar fisik dan material, seperti kesejahteraan finansial dan keamanan kerja.
  2. Relatedness Needs (Kebutuhan Hubungan): Kebutuhan untuk interaksi sosial dan hubungan interpersonal yang baik. Kebutuhan pertemanan, persahabatan dan lingkungan sosial yang positif.
  3. Growth Needs (Kebutuhan Pertumbuhan): Kebutuhan untuk pengembangan pribadi dan pencapaian diri. Kebutuhan berprestasi, kebutuhan karir dan peluang untuk mengikuti program pengembangan dan studi lanjut.

Penguatan SPMI Melalui Teori ERG

Pemenuhan Kebutuhan Eksistensi

Dalam konteks SPMI, perguruan tinggi harus memastikan bahwa kebutuhan dasar semua pemangku kepentingan internal terpenuhi.

Ini mencakup memberikan fasilitas fisik yang memadai, lingkungan kerja yang aman, serta gaji dan tunjangan yang kompetitif (reward system).

Dengan memenuhi kebutuhan eksistensi, staf akademik dan non-akademik akan merasa lebih aman, nyaman dan termotivasi untuk berkontribusi maksimal pada peningkatan mutu.

Berikut adalah lima contoh pemenuhan kebutuhan eksistensi (Existence) dalam teori ERG untuk perguruan tinggi:

  1. Kompensasi dan Tunjangan yang Kompetitif
    • Contoh: Perguruan tinggi menyediakan gaji yang kompetitif, tunjangan kesehatan, dan pensiun bagi dosen dan staf, sehingga mereka merasa aman secara finansial dan termotivasi untuk memberikan kontribusi terbaik mereka.
  2. Fasilitas Fisik yang Memadai
    • Contoh: Menyediakan ruang kelas yang nyaman, laboratorium yang lengkap, perpustakaan yang baik, serta fasilitas rekreasi yang memadai untuk mahasiswa dan staf. Hal ini memastikan bahwa kebutuhan dasar untuk lingkungan kerja dan belajar yang kondusif terpenuhi.
  3. Keamanan Kerja
    • Contoh: Memberikan kontrak kerja jangka panjang dan kebijakan pemutusan hubungan kerja yang adil, serta menyediakan lingkungan kerja yang aman dari bahaya fisik dan psikologis, untuk menciptakan rasa aman dan stabilitas bagi seluruh staf dan dosen.
  4. Kesehatan dan Keselamatan
    • Contoh: Perguruan tinggi menyediakan layanan kesehatan, program kesehatan mental, dan pelatihan keselamatan kerja bagi semua anggota komunitas kampus. Dengan adanya akses ke layanan ini, kebutuhan dasar untuk kesehatan dan kesejahteraan terpenuhi.
  5. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pendukung
    • Contoh: Menyediakan akses ke teknologi informasi yang memadai, alat-alat pendukung pembelajaran, serta dukungan administrasi yang efisien. Hal ini memastikan bahwa dosen dan mahasiswa memiliki semua yang mereka butuhkan untuk melaksanakan kegiatan akademik dan administratif dengan baik.

Pemenuhan kebutuhan eksistensi ini penting untuk menciptakan dasar yang kuat bagi dosen, staf, dan mahasiswa, sehingga mereka dapat fokus pada peningkatan mutu pendidikan dan mencapai tujuan akademik yang lebih tinggi.

Pemenuhan Kebutuhan Hubungan

Kebutuhan hubungan (relatedness) dapat dipenuhi dengan menciptakan budaya kerja yang kolaboratif dan mendukung.

Perguruan tinggi harus memfasilitasi komunikasi yang efektif antara dosen, staf, dan mahasiswa. Kegiatan seperti pelatihan bersama, diskusi kelompok, dan program pengembangan tim dapat memperkuat hubungan interpersonal.

Tersedia sarana yang nyaman untuk bersosialisasi dengan baik dengan para rekan sejawat. Karyawan merasa senang dan bahagia karena kebutuhan pertemanan, persahabatan dan sosial dapat terpenuhi dengan baik.

Ketika kebutuhan ini terpenuhi (kuat), komitmen terhadap SPMI akan meningkat karena semua pihak merasa terlibat, didukung dan dihargai.

Berikut adalah lima contoh pemenuhan kebutuhan hubungan (Relatedness) dalam teori ERG untuk perguruan tinggi:

  1. Program Mentoring dan Kolaborasi
    • Contoh: Perguruan tinggi mengembangkan program mentoring di mana dosen senior membimbing dosen muda dan mahasiswa. Selain itu, mendorong kolaborasi antardepartemen dan antaruniversitas dalam penelitian dan proyek pengabdian masyarakat, sehingga tercipta hubungan yang lebih erat antar anggota komunitas akademik.
  2. Kegiatan Sosial dan Jaringan
    • Contoh: Menyelenggarakan kegiatan sosial seperti seminar, lokakarya, dan konferensi yang memungkinkan dosen, staf, dan mahasiswa berinteraksi dan berbagi ide. Perguruan tinggi juga dapat membentuk kelompok-kelompok minat khusus dan klub mahasiswa untuk memperkuat hubungan interpersonal.
  3. Komunikasi Terbuka dan Transparan
    • Contoh: Memastikan adanya saluran komunikasi yang terbuka dan transparan antara manajemen, dosen, staf, dan mahasiswa. Ini bisa meliputi pertemuan rutin, forum diskusi, dan platform online untuk menyampaikan informasi, memberikan umpan balik, dan mendiskusikan isu-isu penting secara bersama-sama.
  4. Penghargaan dan Pengakuan
    • Contoh: Memberikan penghargaan dan pengakuan atas prestasi akademik dan non-akademik dosen, staf, dan mahasiswa. Ini bisa berupa penghargaan formal seperti sertifikat, plakat, atau penghargaan lainnya yang diberikan dalam acara-acara khusus, sehingga mereka merasa dihargai dan diakui oleh komunitas mereka.
  5. Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan
    • Contoh: Melibatkan dosen, staf, dan mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan melalui komite, dewan perwakilan, dan kelompok kerja. Dengan memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka, perguruan tinggi menciptakan rasa memiliki dan meningkatkan hubungan antar anggota komunitas.

Pemenuhan kebutuhan hubungan ini penting untuk membangun rasa kebersamaan dan koneksi sosial yang kuat, yang dapat meningkatkan motivasi, kepuasan, dan produktivitas dalam lingkungan akademik.

Pemenuhan Kebutuhan Pertumbuhan

Untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan, perguruan tinggi harus menyediakan peluang pengembangan profesional dan akademik.

Program pelatihan, workshop, dan dukungan untuk penelitian dapat membantu staf dan dosen mengembangkan kemampuan mereka. Disediakan dana yang cukup untuk melaksanakan tridharma perguruan tinggi dengan baik.

Dengan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi dan profesional, institusi dapat mendorong inovasi dan peningkatan kualitas yang berkelanjutan (kaizen).

Berikut adalah lima contoh pemenuhan kebutuhan pertumbuhan (Growth) dalam teori ERG untuk perguruan tinggi:

  1. Pengembangan Profesional dan Pelatihan
    • Contoh: Perguruan tinggi menyediakan program pelatihan berkelanjutan dan pengembangan profesional bagi dosen dan staf. Ini bisa meliputi workshop, seminar, kursus online, dan pelatihan kepemimpinan yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka.
  2. Fasilitasi Penelitian dan Publikasi
    • Contoh: Memberikan dukungan dan dana untuk kegiatan penelitian dan publikasi. Perguruan tinggi bisa menyediakan akses ke jurnal ilmiah, perpustakaan yang lengkap, dan fasilitas laboratorium yang memadai. Selain itu, menawarkan hibah penelitian dan penghargaan untuk publikasi ilmiah berkualitas tinggi.
  3. Program Pengembangan Karir
    • Contoh: Mengembangkan program pengembangan karir untuk mahasiswa, dosen, dan staf. Ini termasuk bimbingan karir, konseling, dan program magang yang membantu mereka merencanakan dan mencapai tujuan karir jangka panjang mereka.
  4. Inisiatif Inovasi dan Kreativitas
    • Contoh: Mendorong inovasi dan kreativitas dengan mendirikan pusat inovasi, laboratorium inkubasi, atau unit bisnis yang memungkinkan dosen, staf, dan mahasiswa untuk mengeksplorasi ide-ide baru dan mengembangkan proyek-proyek inovatif. Ini juga dapat mencakup kompetisi ide bisnis atau hackathon.
  5. Program Studi Lanjut dan Beasiswa
    • Contoh: Menawarkan kesempatan untuk studi lanjut dan beasiswa bagi dosen dan staf yang ingin melanjutkan pendidikan mereka. Ini bisa berupa program beasiswa untuk mengambil gelar lanjutan (misalnya, master atau doktor) atau program pertukaran akademik dengan universitas lain.

Pemenuhan kebutuhan pertumbuhan ini penting untuk memastikan bahwa anggota perguruan tinggi memiliki peluang untuk berkembang secara profesional dan akademis, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pendidikan dan layanan yang mereka berikan.

Konsep Satisfaction-Progression dan Frustration-Regression

Teori ERG juga mengenalkan konsep satisfaction-progression dan frustration-regression.

Satisfaction-progression menyatakan bahwa ketika kebutuhan pada tingkat tertentu terpenuhi, individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.

Di perguruan tinggi, hal ini berarti bahwa ketika kebutuhan eksistensi dan hubungan terpenuhi, dosen, staf, dan mahasiswa akan lebih termotivasi untuk mengejar kebutuhan pertumbuhan, yang pada gilirannya meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian.

Sebaliknya, frustration-regression menyatakan bahwa ketika individu tidak dapat memenuhi kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi, mereka akan kembali memfokuskan diri pada pemenuhan kebutuhan yang lebih rendah.

Misalnya, jika kebutuhan pertumbuhan tidak terpenuhi karena kurangnya dukungan untuk penelitian, individu mungkin akan kembali fokus pada kebutuhan hubungan atau eksistensi.

Ketika kebutuhan yang lebih rendah akhirnya dipenuhi, individu sering merasa lebih stabil secara emosional dan dapat lebih siap untuk kembali mencoba memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.

Dalam konteks SPMI, memahami konsep ini penting untuk memastikan bahwa semua tingkat kebutuhan diperhatikan dan dipenuhi untuk mencegah regresi dan menjaga motivasi serta kualitas.

Penutup

Integrasi teori ERG Alderfer dalam penguatan SPMI dapat membantu perguruan tinggi memahami dan memenuhi kebutuhan dasar, hubungan, dan pertumbuhan dari seluruh pemangku kepentingan.

Dengan cara ini, institusi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung dan memotivasi, yang pada gilirannya akan meningkatkan komitmen terhadap mutu dan pencapaian tujuan pendidikan yang lebih tinggi.

Implementasi teori ERG dalam SPMI bukan hanya tentang pemenuhan kebutuhan individu, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang holistik dan berkelanjutan untuk kemajuan pendidikan. Stay Relevant!

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

SPMI dan Servant Leadership

SPMI dan Servant Leadership

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kerangka kerja (framework) yang dirancang untuk memastikan kualitas pendidikan di perguruan tinggi.

Ketentuan tentang SPMI diatur dalam permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, pasal 67 sampai dengan pasal 70.

Dengan tuntutan yang terus meningkat terhadap kualitas dan akuntabilitas pendidikan tinggi, penting untuk mengeksplorasi pendekatan manajerial alternatif yang dapat memperkuat implementasi SPMI.

Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah pola kepemimpinan “servant leadership“. Artikel ini akan membahas bagaimana prinsip-prinsip servant leadership dapat memperkuat SPMI di perguruan tinggi.

Pengertian Servant Leadership

Servant leadership, atau kepemimpinan pelayanan, adalah filosofi kepemimpinan yang menekankan pada pelayanan kepada orang lain sebagai prioritas utama pemimpin.

Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert K. Greenleaf dalam esainya yang berjudul “The Servant as Leader” pada tahun 1970. Berikut adalah penjelasan mengenai servant leadership:

Servant leadership adalah gaya kepemimpinan di mana para leader / pemimpin mengutamakan kebutuhan dan perkembangan orang lain, termasuk anggota tim dan komunitas, di atas kepentingan pribadi atau ambisi organisasi.

Pemimpin yang melayani bertujuan untuk memberdayakan dan mengembangkan individu sehingga mereka mencapai potensi penuh mereka dan pada gilirannya, membantu organisasi mencapai tujuannya.

SPMI dan Servant Leadership

Dalam konteks SPMI, servant leadership dapat memainkan peran penting dalam memastikan bahwa proses penjaminan mutu dilakukan dengan komitmen yang mendalam terhadap kualitas dan pengembangan institusi.

1. Fokus pada Pengembangan Individu

Salah satu prinsip utama servant leadership adalah pengembangan individu. Dalam konteks SPMI, ini berarti bahwa pemimpin perguruan tinggi harus memastikan bahwa setiap anggota staf, dari dosen hingga tenaga administrasi, memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan kompetensi mereka.

Dengan memberikan pelatihan dan dukungan yang sesuai, pemimpin dapat membantu staf untuk lebih memahami, mencintai dan melaksanakan standar mutu yang ditetapkan dalam SPMI.

2. Menciptakan Budaya Kualitas

Servant leadership berfokus pada menciptakan lingkungan kerja yang positif dan mendukung. Dengan membangun budaya yang mengutamakan kualitas dan pengembangan individu, pemimpin perguruan tinggi dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip SPMI ke dalam budaya institusi.

Ini melibatkan mendorong partisipasi aktif dalam proses penjaminan mutu dan memastikan bahwa semua anggota merasa memiliki tanggung jawab bersama terhadap kualitas pendidikan.

3. Empati dan Komunikasi

Pemimpin yang melayani sering kali dikenal karena kemampuan mereka dalam berempati dan berkomunikasi dengan baik.

Dalam konteks SPMI, kemampuan ini sangat berharga untuk memahami tantangan yang dihadapi oleh staf akademik dan administratif dalam implementasi standar mutu.

Dengan mendengarkan dan merespons kebutuhan serta kekhawatiran mereka, pemimpin dapat mengidentifikasi area perbaikan dan menyusun strategi yang lebih efektif.

4. Pengambilan Keputusan Partisipatif

Servant leadership mendorong pengambilan keputusan yang melibatkan kontribusi dari berbagai pihak.

Dalam implementasi SPMI, pendekatan ini memastikan bahwa keputusan terkait standar mutu dan prosedur diambil secara inklusif, dengan mempertimbangkan masukan dari semua pihak yang terlibat.

Ini tidak hanya meningkatkan akseptabilitas dan efektivitas proses, tetapi juga memotivasi anggota staf untuk berkomitmen pada pencapaian standar mutu.

5. Pembangunan Komunitas dan Kolaborasi

Servant leadership mempromosikan kolaborasi dan pembangunan komunitas. Dalam konteks SPMI, hal ini berarti memfasilitasi kerja sama antara berbagai departemen dan unit di perguruan tinggi.

Dengan mempromosikan kerja tim dan kolaborasi, pemimpin dapat memastikan bahwa semua bagian dari institusi bekerja menuju tujuan bersama dalam memastikan kualitas pendidikan.

Penutup

Integrasi prinsip servant leadership dalam implementasi SPMI dapat memperkuat efektivitas sistem penjaminan mutu di perguruan tinggi.

Dengan fokus pada pengembangan individu, menciptakan budaya kualitas, berempati, mengambil keputusan secara partisipatif, dan membangun komunitas, pemimpin dapat mengoptimalkan penerapan standar mutu dan meningkatkan kualitas pendidikan.

Servant leadership menawarkan pendekatan yang berorientasi pada manusia, yang sesuai dengan tujuan SPMI untuk memastikan pendidikan yang berkualitas tinggi dan berkelanjutan. Stay Relevant!

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami