PPEPP dan Storytelling

Storytelling: Membuat Budaya Mutu Lebih Hidup di Kampus

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“Storytelling bikin siklus PPEPP lebih hidup: dari mimpi, perjuangan, refleksi, ketekunan, hingga perubahan yang membawa harapan baru di kampus.”

Pendahuluan

Di banyak perguruan tinggi di Indonesia, implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) kerap kali dihadapkan pada tantangan klasik: bagaimana membuat siklus mutu PPEPP terasa hidup dan bermakna, bukan sekadar prosedur administratif. Terlebih dengan regulasi baru Permendiktisaintek Nomor 39 Tahun 2025, mutu pendidikan tinggi dituntut tidak hanya untuk dipertahankan, tetapi juga terus ditingkatkan, berstandar global, melalui pendekatan perbaikan berkelanjutan. Dalam konteks ini, storytelling menawarkan langkah-langkah sederhana namun kuat untuk membumikan setiap tahap PPEPP ke dalam pengalaman nyata civitas akademika.

Storytelling bukan hanya soal bercerita. Dalam teori komunikasi narrative paradigm, dijelaskan bahwa manusia secara alami terhubung lebih kuat melalui cerita daripada melalui deretan data. Di sisi lain, psikologi pendidikan melalui konsep meaningful learning mengajarkan bahwa informasi akan lebih mudah dipahami dan diinternalisasi sebagai budaya organisasi, jika dikaitkan dengan pengalaman pribadi. Maka, menyisipkan storytelling dalam siklus PPEPP adalah strategi efektif untuk membangun budaya mutu yang hidup, bukan sekadar formalitas.

Penetapan Standar: Cerita tentang Mimpi

Penetapan standar dalam PPEPP sering dipahami sebagai proses menetapkan angka dan indikator. Namun di balik standar itu ada mimpi, ada harapan, ada visi tentang kampus seperti apa yang ingin kita bangun. Storytelling di tahap ini penting untuk menghidupkan alasan mengapa standar itu ditetapkan dan harus diperjuangkan. Misal, alih-alih hanya memaparkan target dan indikator IPK lulusan, sampaikan cerita tentang alumni yang sukses berkontribusi di masyarakat karena landasan akademik yang kuat, lalu kaitkan dengan perlunya menetapkan standar akademik yang lebih tinggi.

Melalui cerita, standar tidak lagi terasa sebagai beban atau tuntutan (berdampak meningkatkan stres kerja), tetapi sebagai perwujudan dari komitmen kolektif. Ketika civitas akademika bisa melihat bahwa setiap indikator adalah jembatan menuju visi bersama, maka mereka akan lebih tergerak dan termotivasi untuk berpartisipasi. Storytelling menghubungkan standar dengan harapan dan cita-cita yang lebih besar, menjadikan penetapan bagian dari perjalanan bermakna, bukan sekadar angka-angka di atas kertas.

Pelaksanaan Standar: Cerita tentang Perjuangan

Pelaksanaan standar adalah tahap PPEPP nomor dua, di mana semua rencana diuji dalam kenyataan. Di sini, storytelling berperan untuk membangun rasa bahwa setiap upaya kecil berarti dan layak dihargai. Alih-alih sekadar mengingatkan kewajiban, kisahkan perjuangan seorang dosen muda yang beradaptasi dengan kurikulum baru, atau seorang staf administrasi yang menginisiasi layanan digital sederhana (kerja inovasi) untuk mempercepat layanan mahasiswa.

Cerita-cerita ini membuat implementasi standar terasa lebih menarik dan manusiawi. Dalam teori self-determination Deci dan Ryan, disebutkan bahwa motivasi intrinsik tumbuh ketika individu merasa kompeten, memiliki otonomi, dan merasa terhubung dengan tujuan yang lebih besar. Storytelling di tahap pelaksanaan membantu membangun ketiga aspek ini, menciptakan semangat kolektif untuk terus menjalankan standar mutu dengan sepenuh hati.

Evaluasi: Cerita tentang Refleksi

Evaluasi sering kali diasosiasikan dengan penilaian dan pencarian kesalahan. Jika tidak hati-hati, tahap ini bisa menimbulkan resistensi dan defensif. Storytelling menawarkan pendekatan berbeda: menjadikan evaluasi sebagai ruang refleksi yang membangun. Misalnya, daripada sekadar melaporkan kekurangan hasil tracer study, sampaikan cerita tentang lulusan yang merasa kurang siap menghadapi dunia kerja, lalu refleksikan apa yang bisa dipelajari bersama dari pengalaman itu.

Dalam teori komunikasi persuasif, pendekatan berbasis cerita lebih efektif dalam menurunkan resistensi audiens terhadap pesan yang bersifat kritis. Evaluasi yang dibungkus dalam narasi reflektif bukan hanya lebih mudah diterima, tetapi juga mengundang partisipasi aktif untuk mencari solusi. Dengan demikian, evaluasi menjadi momen belajar kolektif, bukan sekadar sesi menghakimi.

Pengendalian Standar: Cerita tentang Ketangguhan

Pengendalian mutu kerap terasa teknis, berputar pada monitoring dan verifikasi. Namun di balik proses ini ada cerita tentang ketangguhan menjaga kualitas di tengah keterbatasan. Storytelling dapat digunakan untuk mengangkat kisah tentang unit kerja yang dengan tekun memperbaiki proses administrasi meski menghadapi keterbatasan sumber daya, atau tentang program studi yang konsisten menjaga standar walaupun tekanan internal dan eksternal bertambah.

Cerita tentang ketekunan ini menghidupkan nilai penting dalam budaya mutu: bahwa menjaga standar bukan soal sesekali berprestasi, melainkan soal konsistensi sehari-hari. Menurut theory of planned behavior, persepsi kontrol diri dan nilai subjektif sangat berpengaruh pada perilaku. Dengan memperlihatkan contoh nyata lewat cerita, kita memperkuat keyakinan bahwa setiap individu memiliki peran dalam menjaga mutu.

Peningkatan Standar: Cerita tentang Perbaikan

Tahap peningkatan adalah inti dari semangat kaizen dalam PPEPP. Namun, sering kali perbaikan dipahami hanya sebagai tuntutan administratif untuk menghasilkan inovasi baru. Storytelling di tahap ini bisa mengubah perspektif itu. Ceritakan bagaimana perubahan kecil di proses pembelajaran membuat mahasiswa lebih aktif, atau bagaimana revisi kecil pada prosedur pelayanan mempercepat kepuasan pengguna (stakeholder).

Menurut psikologi pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning theory), perubahan perilaku paling kuat terjadi ketika seseorang mengalami dan memaknai pengalaman perubahan itu sendiri. Dengan menyampaikan cerita tentang perubahan nyata dan harapan baru yang dihasilkan, kita mengokohkan budaya bahwa peningkatan mutu adalah perjalanan yang layak untuk diperjuangkan, dirayakan dan dilanjutkan, bukan beban tambahan.

Penutup

Menyisipkan storytelling dalam siklus PPEPP bukan sekadar pilihan artistik, melainkan strategi komunikasi yang cerdas untuk menghidupkan budaya mutu di perguruan tinggi. SPMI dengan kerangka PPEPP sudah memberi alat yang kokoh untuk membangun mutu secara sistematis. Namun, agar alat ini tidak hanya berfungsi di atas kertas, perlu dihidupkan dengan narasi yang menyentuh akal (kognitif) dan perasaan (afeksi).

Dengan cerita, setiap tahap PPEPP menjadi perjalanan yang bermakna: penetapan yang lahir dari mimpi, pelaksanaan yang penuh perjuangan, evaluasi yang mengundang refleksi, pengendalian yang menunjukkan ketangguhan, dan peningkatan yang membawa semangat dan harapan baru. Karena pada akhirnya, budaya mutu yang sejati tumbuh bukan dari kepatuhan semata, tetapi dari rasa memiliki, keterlibatan emosional, dan keyakinan bersama bahwa kita semua adalah bagian dari cerita besar tentang perubahan.

Stay Relevant!


Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top