بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Tanpa Standar Kompetensi Lulusan, pendidikan tinggi ibarat kendaraan tanpa GPS: jalan terus tapi bisa nyasar, lulusan pun kehilangan arah.”
Bayangin kamu jalan jauh naik mobil baru, bensin penuh, musik enak, tapi tanpa GPS. Kamu bisa aja jalan terus, tapi kemungkinan besar nyasar, habisin waktu, bahkan berhenti di tempat yang nggak pernah direncanain. Begitulah kira-kira kalau kuliah dijalani tanpa Standar Kompetensi Lulusan. SKL itu GPS-nya pendidikan tinggi. Ia bukan sekadar tulisan di dokumen akreditasi, tapi kompas yang bikin semua pihak—prodi, dosen, mahasiswa—jalan ke arah yang sama.
Regulasi terbaru, Permendiktisaintek Nomor 39 Tahun 2025, mempertegas posisi SKL. Di Pasal 6, ditegaskan kalau SKL adalah kriteria minimal yang wajib dimiliki semua lulusan: mulai dari sikap, keterampilan, sampai pengetahuan. Bahasa sederhananya, SKL itu garis dasar. Jadi kalau ada kampus yang meluluskan mahasiswa tanpa standar ini, jelas melanggar. Lulusan tanpa SKL ibarat orang punya ijazah tapi nggak jelas kemampuannya.
Lanjut ke Pasal 41, aturan ini nyambungin SKL sama kurikulum. Intinya, materi kuliah di tiap prodi harus punya kedalaman dan keluasan yang sesuai dengan SKL. Nggak boleh asal bikin. Harus memperhatikan ilmu pengetahuan dasar prodi, teknologi terbaru yang relevan, temuan penelitian terkini, sampai kebutuhan dunia kerja. Supaya makin relevan, materi juga bisa diperkaya dengan program kompetensi mikro—kayak micro-credential yang sesuai kebutuhan mahasiswa, masyarakat, dunia usaha, dan industri. Jadi kurikulum nggak kaku, tapi bisa fleksibel dan adaptif. Bayangin kalau ada prodi ekonomi yang menambahkan kelas financial technology karena dunia kerja sekarang butuh. Itu contoh nyata Pasal 41 diterapkan.
Terus ada Pasal 44 yang ngomongin isi minimal kurikulum prodi. Nggak bisa cuma daftar mata kuliah, tapi harus lengkap. Ada delapan hal yang wajib dimuat: capaian pembelajaran lulusan, masa tempuh studi, metode pembelajaran, modalitas, syarat masuk mahasiswa, penilaian hasil belajar, materi wajib, dan tata cara penerimaan mahasiswa di setiap tahapan. Kalau ada jalur RPL (rekognisi pembelajaran lampau), kurikulumnya juga harus menjelaskan mekanismenya. Jadi kurikulum jelas bentuknya, bukan asal comot. Dengan begitu mahasiswa tahu peta perjalanan akademiknya dari awal masuk sampai lulus.
Tapi semua itu percuma kalau cuma berhenti di dokumen. Makanya diatur juga dalam Pasal 67 dan 68 soal mutu. Kampus wajib punya Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Sistem ini jalan pakai siklus PPEPP: penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, peningkatan. Bahasa gampangnya, standar nggak boleh cuma ditetapkan lalu ditinggal. Harus dilaksanakan, dicek, dikendalikan kalau melenceng, dan ditingkatkan kalau ada yang kurang. Siklusnya muter terus, nggak boleh berhenti.
Bayangin kalau hasil evaluasi nunjukin lulusan masih lemah di literasi digital. Itu sinyal buat prodi meninjau SKL, nambah mata kuliah baru, atau melatih dosen dengan metode pengajaran yang lebih sesuai. Kalau siklus PPEPP dijalankan, masalah ini bisa langsung jadi bahan perbaikan. Kampus nggak cuma reaktif, tapi aktif membangun kualitas.
Teori pendidikan modern sebenarnya udah lama ngomongin hal ini. Salah satunya Outcome-Based Education atau OBE yang diperkenalkan William Spady di tahun 1990-an. Singkatnya, OBE itu konsep belajar yang titik beratnya bukan di “apa yang diajarkan dosen”, tapi di “apa yang bisa dilakukan mahasiswa setelah lulus”. Jadi bukan sekadar ngumpulin SKS atau hafalan teori, tapi benar-benar kemampuan nyata. Kalau SKL bilang lulusan harus bisa ambil keputusan berbasis data, maka kurikulum, metode ngajar, dan penilaian semua diarahkan ke kemampuan itu. OBE bikin pendidikan lebih fokus ke hasil akhir, bukan proses yang kaku.
Selain OBE, ada juga teori Constructive Alignment dari Biggs & Tang. Teori ini menekankan semua elemen pembelajaran—dari SKL, kurikulum, metode pengajaran, sampai asesmen—harus sejalan. Kalau salah satu nggak nyambung, hasil akhirnya bisa melenceng.
SPMI dengan siklus PPEPP juga bisa dipahami lewat kacamata Total Quality Management. Mutu itu bukan status sekali jadi, tapi proses yang harus terus diperbaiki. Deming lewat konsep PDCA sudah membuktikan bahwa organisasi hanya bisa bertahan kalau mau terus belajar. Pendidikan tinggi pun sama. Kalau kampus berhenti belajar, dia akan ditinggal zaman.
Contoh gampangnya gini: ada kampus kecil di daerah yang serius pakai PPEPP. Mereka sadar lulusan manajemennya masih lemah di analisis data. Dari hasil evaluasi itu, mereka nambah mata kuliah Business Analytics, ngajak praktisi industri ngajar, dan kasih pelatihan software analitik buat dosen. Hasilnya, dua tahun kemudian lulusan mereka lebih siap masuk dunia kerja, bahkan sebagian langsung diterima di perusahaan besar. Ini bukti bahwa siklus mutu kalau dijalankan konsisten bisa ngangkat kualitas, meskipun kampusnya bukan favorit nasional.
Akhirnya, kalau kita tarik garis besar, jelas banget bahwa SKL itu GPS pendidikan. Tanpa SKL, kurikulum gampang nyasar. Dengan SKL, prodi punya arah, dosen punya pegangan, mahasiswa punya peta. Ditambah fleksibilitas kompetensi mikro, lulusan bisa lebih relevan dengan dunia kerja. Dan lewat SPMI dengan PPEPP, semua itu dipastikan bukan cuma jargon, tapi beneran dijalankan, dipantau, dan ditingkatkan.
Jadi kalau masih ada yang mikir kuliah itu cuma soal kumpulin SKS, udah saatnya sadar. Pendidikan tinggi itu perjalanan panjang yang butuh GPS, mesin penggerak, dan budaya mutu. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan cuma soal bergerak, tapi bergerak ke arah yang benar.
Stay relevant!
Referensi
- Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching for quality learning at university (4th ed.). Open University Press.
- Deming, W. E. (1986). Out of the crisis. MIT Press.
- Ministry of Higher Education, Science, and Technology of the Republic of Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
- Spady, W. G. (1994). Outcome-based education: Critical issues and answers. American Association of School Administrators.
- Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
Instagram: @mutupendidikan




