بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Kalau bisa otomatis, kenapa masih sibuk borang? Saatnya SPMI digital: cepat, sahih, dan bikin hidup lebih mudah.”
Dulu rapat mutu identik dengan tumpukan map, print-out aneka borang, dan revisi format sampai larut malam. Setiap kali auditor atau asessor datang, ruang sidang penuh dengan dokumen yang ditumpuk disusun terburu-buru. Semua sibuk mencari tanda tangan, mengecek tabel, dan memastikan lampiran tidak tertinggal. Tapi bayangkan kalau semua itu bisa berubah. Bayangkan kalau data mutu kampus muncul dalam satu dashboard interaktif, real-time, lengkap, dan bisa diakses siapa saja yang berwenang. Satu klik, laporan sudah siap. Dari beban administrasi jadi peluang belajar bersama.
Masalah utama mutu kampus selama ini bukan pada niatnya, tapi pada caranya. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sering berakhir pada ritual form, bukan refleksi. Dosen sibuk mengisi borang laporan, kaprodi sibuk mengumpulkan, LPM sibuk menyusun, sementara waktu untuk memikirkan strategi peningkatan mutu justru habis di teknis administrasi. Kita lupa bahwa mutu seharusnya bukan sekadar tumpukan laporan, tapi proses refleksi dan proses belajar institusional. Ada perbaikan yang berkesinambungan (continuous improvement).
Di sinilah era digital menawarkan jalan baru. Dengan big data, AI, dan learning analytics, mutu tidak lagi harus berhenti pada form. Data akademik—kehadiran mahasiswa, capaian pembelajaran, kualitas riset—semuanya bisa terintegrasi otomatis. Begitu juga data nonakademik: keuangan, sarpras, bahkan layanan mahasiswa. Semua bisa terhubung dalam satu sistem informasi. Inilah yang disebut prinsip Single Source of Truth: satu data sahih yang bisa dipakai lintas standar, sehingga tidak perlu lagi satu bukti dipakai berulang kali dalam form berbeda. Pendekatan ini sangat praktis.
Beberapa kampus sebenarnya sudah mulai mencoba pendekatan ini. Misalnya, ada sistem informasi mutu yang langsung menarik data dari portal akademik, repositori penelitian, dan layanan keuangan. Jadi ketika kaprodi membuka dashboard, ia bisa langsung melihat tren nilai mata kuliah, publikasi dosen, dan laporan kegiatan mahasiswa dalam satu layar. Tidak perlu lagi minta laporan terpisah. Bahkan ada yang sudah memakai learning analytics untuk mendeteksi mahasiswa yang berpotensi drop out sejak awal semester, sehingga bisa segera dibantu dengan remidi dan tindakan preventif lainnya.
Pertanyaannya, kenapa kita harus beranjak dari borang ke big data? Pertama, karena borang hanya memberi gambaran statis. Laporan semester ini sering hanya rekonstruksi dari apa yang sudah lewat, bukan cermin kondisi riil. Big data berbeda. Ia hidup, real-time, dan terus updated bergerak. Kedua, karena borang menguras energi. Banyak dosen muda merasa terjebak jadi administrator, bukan inovator. Ketiga, karena dunia pendidikan tinggi global sudah melangkah ke arah digital governance. Kalau kampus kita masih sibuk form manual, maka kita akan semakin jauh tertinggal.
Teori Sociotechnical Systems dari Trist dan Emery bisa membantu kita memahami transformasi ini. Teori ini menekankan bahwa organisasi yang sehat adalah organisasi yang mampu menyeimbangkan sistem sosial (manusia, budaya, nilai) dengan sistem teknis (alat, data, teknologi). Digitalisasi mutu tidak boleh berhenti pada instalasi software atau pembuatan dashboard. Ia harus diikuti perubahan budaya dan nilai-nilai: bagaimana dosen, mahasiswa, dan pimpinan melihat mutu sebagai bagian dari kerja sehari-hari, bukan beban tambahan. Sistem digital hanya akan efektif kalau manusia di dalamnya merasa terbantu, bukan ketakutan, terpaksa dan terbebani.
Di sisi lain, konsep Data-Driven Decision Making (DDDM) juga relevan. Intinya sederhana: keputusan terbaik lahir dari data sahih, real-time, dan relevan. Selama ini, banyak keputusan mutu di kampus dibuat berdasarkan laporan yang disusun menjelang akreditasi. Akibatnya, data sering seadanya, tidak akurat atau tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Dengan sistem digital, pimpinan kampus bisa mengambil keputusan berdasarkan data harian: tren kehadiran mahasiswa, efektivitas kurikulum, bahkan kepuasan layanan. Mutu akhirnya tidak lagi sekadar formalitas akreditasi, tapi benar-benar alat bantu penggerak perubahan.
Tentu saja digitalisasi mutu punya tantangan, tidak semudah membalik telapak tangan. Pertama, soal kesiapan infrastruktur dan biaya. Tidak semua kampus punya budget besar untuk membangun sistem informasi canggih yang terbaru. Kedua, soal SDM, sumber daya manusia. Masih banyak dosen atau staf yang merasa gagap teknologi. Ketiga, soal etika data. Jangan sampai big data justru dipakai untuk mengawasi secara berlebihan atau melanggar privasi mahasiswa. Tantangan ini nyata, tapi bukan alasan untuk berhenti, harus dihadapi dengan 4K: kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas.
Harus kita sadari, banyak kampus sudah punya data. Nilai mahasiswa ada di sistem akademik, aktivitas belajar ada di LMS, keuangan ada di aplikasi terpisah, penelitian ada di repositori. Masalahnya, semua masih tersebar. Data terkotak-kotak, belum terintegrasi, belum saling bicara. Maka inovasi paling penting adalah integrasi. Satu data sahih, satu pintu akses, satu dashboard mutu. Inilah cara paling realistis untuk mengurangi duplikasi dan mempercepat kerja.
Digitalisasi mutu juga bisa dipadukan dengan penyederhanaan siklus. Lima tahap PPEPP selama ini dirasa terlalu panjang. Kita bisa merangkum menjadi tiga langkah JUARA (JU-A-RA): juruskan langkah, aksikan tugas, rapatkan hasil. Kalau konsep JUARA dipadukan dengan sistem digital, mutu akan lebih mudah dipahami, lebih sederhana dijalankan, tapi tetap sahih karena berbasis data real-time.
Bayangkan skenario ini: dosen mengajar seperti biasa, mahasiswa belajar hybrid lewat LMS, data otomatis masuk ke sistem. Kaprodi bisa melihat dashboard kurikulum dan segera tahu mata kuliah mana yang perlu diperbaiki. LPM bisa memantau tren penelitian tanpa harus minta laporan manual. Rektor bisa monitor indikator mutu secara keseluruhan sebelum mengambil keputusan strategis. Semua orang terbantu, semua orang happy, bukan terbebani.
Pada akhirnya, mutu kampus jangan lagi berhenti di borang dan dokumentasi. Mutu harus hidup dalam data yang jujur, transparan, dan bisa jadi dasar refleksi. Digitalisasi bukan sekadar tren, tapi kebutuhan. Dengan teknologi, mutu bisa berubah dari beban menjadi ruang inovasi. Dari ritual administrasi menjadi budaya belajar bersama. Dari borang ke big data. Dari beban ke harapan untuk meraih cita-cita bersama.
Stay Relevant! +
Daftar Pustaka
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
- Provost, F., & Fawcett, T. (2013). Data science for business: What you need to know about data mining and data-analytic thinking. Sebastopol, CA: O’Reilly Media.
- Emery, F. E., & Trist, E. L. (1960). Socio-technical systems. In C. W. Churchman & M. Verhulst (Eds.), Management science: Models and techniques (Vol. 2, pp. 83–97). Oxford: Pergamon.
Instagram: @mutupendidikan



