Pendahuluan
Di banyak perguruan tinggi, ada fenomena yang diam-diam merusak fondasi manajemen mutu: sistem yang hanya kuat ketika dijalankan oleh orang tertentu. Bisa itu seorang kepala program studi, ketua lembaga mutu, atau dosen senior yang “menguasai akreditasi.” Ketika orang itu aktif, semuanya berjalan. Namun ketika ia pindah tugas, pensiun, atau tidak lagi memegang peran strategis, sistem pun ambruk, program terhenti, dan mutu kembali stagnan. Ini bukan soal individu yang tidak kompeten, melainkan tentang sistem yang terlalu bergantung pada person.
Dalam kerangka manajemen, Griffin (2022) menyebut pentingnya organisasi membangun sistem yang berkelanjutan, bukan person-sentris.
Organisasi sehat seharusnya memiliki struktur, proses, dan dokumentasi yang memungkinkan fungsi-fungsi berjalan meski terjadi pergantian SDM.
Ketika institusi menggantungkan diri pada satu-dua tokoh kunci, maka yang terbentuk bukanlah organisasi pembelajar, melainkan organisasi rentan. Di sinilah kita perlu mengkritisi akar dari ketergantungan ini, sekaligus mencari solusi sistemik agar mutu tidak bergantung pada figur.
Bukan Masalah Orang, tapi Sistem
Ketika sebuah sistem hanya bekerja saat dipegang orang tertentu, artinya kita tidak sedang bicara tentang sistem—melainkan kebiasaan. Perguruan tinggi yang menyandarkan mutu pada tokoh-tokoh “pahlawan internal” tanpa membangun struktur dan alur kerja yang jelas, sedang bermain di atas fondasi rapuh. Satu rotasi jabatan bisa menyebabkan putusnya dokumen, hilangnya pengetahuan institusional, bahkan anjloknya skor akreditasi.
Padahal manajemen yang baik tidak boleh berjalan berdasarkan siapa yang memimpin, melainkan berdasarkan prosedur dan komitmen kelembagaan.
Dalam perilaku organisasi, Robbins dan Judge (2024) menyoroti konsep organizational dependence yang bisa terjadi ketika individu dianggap sebagai sumber satu-satunya kompetensi atau pengetahuan. Ketergantungan semacam ini menurunkan motivasi kolektif karena membuat keberhasilan terasa elitis dan tidak bisa direplikasi. Akibatnya, SDM lain menjadi pasif, budaya kerja kolektif menurun, dan regenerasi menjadi sulit. Maka, membangun sistem yang mengandalkan proses, bukan orang per orang, menjadi keharusan jika mutu ingin dijaga secara berkelanjutan.
SPMI yang Mengakar, Bukan Menempel
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 menegaskan bahwa Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah mekanisme kelembagaan, bukan personal. Artinya, semua unit di perguruan tinggi—baik rektorat, fakultas, hingga prodi—harus mengembangkan standar, mekanisme kerja, dan budaya mutu yang bisa dijalankan oleh siapa pun yang menjabat. Ketika SPMI menjadi sistem yang terdokumentasi, terdistribusi, dan terinternalisasi, maka kepergian seorang tokoh tidak serta-merta menghapus kualitas yang sudah dibangun.
SPMI bukan hanya kumpulan dokumen standar, melainkan sistem pengelolaan yang hidup dalam keseharian organisasi. Ia seharusnya terintegrasi dalam struktur kerja dan didukung oleh pelatihan, sosialisasi, serta sistem informasi yang memungkinkan alur kerja berjalan meski terjadi rotasi staf.
Saat SPMI dijalankan secara kolektif dan lintas unit, maka keberlanjutan mutu tidak lagi bergantung pada individu, tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh sivitas akademika.
PPEPP dan Pewarisan Organisasi
Siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—adalah alat yang sangat strategis untuk membangun budaya mutu berkelanjutan. Ia menjadi semacam blueprint yang tidak hanya membantu memetakan pekerjaan, tetapi juga menyimpan jejak yang bisa diteruskan. Dalam konteks kaizen atau perbaikan berkelanjutan, PPEPP memungkinkan organisasi melakukan refleksi dan peningkatan berdasarkan data dan pengalaman, bukan hanya intuisi individu.
PPEPP juga berfungsi sebagai instrumen pewarisan. Ketika dokumentasi penetapan standar, pelaksanaan kegiatan, hingga hasil evaluasi tersimpan dengan baik dan dimanfaatkan dalam perencanaan berikutnya, maka sistem tidak bergantung pada siapa yang menjabat.
Budaya organisasi pun terbentuk secara lebih solid. Sistem mutu seperti ini tidak dibangun dengan cepat, tetapi jika dikelola dengan konsisten, ia akan bertahan lebih lama dari masa jabatan siapa pun.
Penutup
Sistem mutu perguruan tinggi tidak boleh berdiri di atas pundak satu-dua orang. Ia harus ditanam dalam struktur, dibangun melalui proses, dan dijaga bersama-sama. Ketergantungan pada individu mungkin efisien dalam jangka pendek, tetapi melemahkan ketahanan institusi dalam jangka panjang.
Organisasi yang kuat adalah yang mampu mempertahankan kualitas meski orang datang dan pergi.
SPMI memberi kita kerangka untuk membangun sistem yang tidak person-sentris, dan PPEPP memberi kita alat untuk menjaganya tetap hidup. Maka, pertanyaannya bukan apakah kita punya orang hebat, tetapi apakah kita sudah punya sistem yang cukup kuat untuk berjalan meski tanpa mereka. Mutu sejati lahir bukan dari ketergantungan, tetapi dari keberdayaan bersama. Stay Relevant!