بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“OBE dan digitalisasi kampus bukan soal angka di layar, tapi tentang kejujuran data dan dampak nyata bagi mahasiswa dan masyarakat.“
Seorang mahasiswa pernah bilang, “Survei kepuasan kuliah gampang kok, tinggal klik “sangat puas” semua, biar cepat selesai. Toh nggak pernah ada yang nanya serius.” Kalimat itu terdengar sepele, tapi di situlah masalah mutu digital dimulai. Kalau survei dianggap formalitas, hasil dashboard memang selalu terdengar indah. Sayangnya, indahnya hanya di layar komputer, bukan di pengalaman belajar mahasiswa.
Outcome-Based Education (OBE) digadang-gadang sebagai jawaban modern untuk memastikan capaian pembelajaran (CPL) benar-benar tercapai. Dengan big data, AI, dan dashboard canggih, kampus bisa mengukur ketercapaian CPL, memetakan CPMK, hingga menampilkan grafik warna-warni yang terlihat meyakinkan. Secara teori, digitalisasi ini harus membantu dosen, mahasiswa, bahkan auditor untuk melihat secara cepat di mana letak kekuatan dan kelemahan. Tapi di lapangan, sering kali dashboard hanya jadi hiasan.
Di sini kita bisa mengingat peringatan Charles Goodhart lewat Goodhart’s Law: “When a measure becomes a target, it ceases to be a good measure.” Begitu angka kepuasan mahasiswa dijadikan target, dosen cenderung mendorong mahasiswa memberi jawaban bagus biar grafiknya hijau. Begitu CPL ditargetkan tercapai 100 persen, mulailah muncul praktik copy-paste dari template lama atau sekadar checklist formalitas. Angka terlihat indah, tapi pengalaman belajar tetap compang-camping.
Masalah lain muncul dari teori Technology Acceptance Model (TAM) yang dikembangkan Fred Davis. Ia menekankan bahwa orang hanya mau menggunakan teknologi baru kalau dirasa mudah (perceived ease of use) dan bermanfaat (perceived usefulness). Sayangnya, banyak sistem digital mutu justru ribet. Dosen harus login ke beberapa aplikasi, input data berulang kali, upload file dengan format berbeda. Manfaatnya jarang terasa langsung, sehingga wajar kalau banyak dosen sekadar mengisi sekenanya atau mencari jalan pintas.
Lebih jauh lagi, Eric Trist dan Fred Emery dengan teori Sociotechnical Systems mengingatkan bahwa teknologi tidak pernah netral; ia selalu berinteraksi dengan manusianya. Big data, AI, dan dashboard yang canggih hanya alat semata. Kalau budaya akademiknya masih “asal setor laporan”, hasilnya tetap sama: data diisi sekadarnya, grafik dibuat indah-indah, tapi mutu sejati tidak bergerak. Sistem canggih pun akhirnya sekadar memperhalus kepatuhan simbolik.
Dirjen Dikti, Prof. Dr. Khairul Munadi, pernah menyatakan dalam diskusi fokus pada tanggal 20 September 2025 bahwa Permen 39/2025 disusun agar lebih sederhana dan berbasis prinsip, agar kampus tidak terjebak pada laporan semata melainkan fokus pada mutu berkelanjutan (LLDIKTI VI, 2025).
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Dr. Brian Yuliarto, juga menekankan hal serupa. Dalam audiensi bersama Asosiasi Dosen Indonesia pada 2 Mei 2025, ia mengingatkan bahwa kampus tidak boleh berhenti pada formalitas teknologi, melainkan harus menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan inovasi nyata bagi masyarakat (Kemdiktisaintek, 2025).
Kalau dipaparkan dengan jujur, problem utamanya bukan teknologinya, tapi manusianya. Digitalisasi bisa mempercepat proses, tapi tanpa budaya akademik yang jujur, data tetap bisa diatur, bisa dimanipulasi. Kita sering lupa bahwa mutu sejati bukan soal siapa paling cepat mengunggah form, tapi siapa paling berani menghadapi kenyataan di lapangan. Kalau mahasiswa tidak paham materi, maka data “hijau” itu sebenarnya hanya ilusi.
Solusinya tentu bukan membuang teknologi, tapi menyeimbangkannya. Pertama, sederhanakan sistem agar dosen merasa mudah dan merasakan manfaat langsung. Kedua, dorong budaya keterbukaan: data jangan hanya dipakai untuk audit, tapi jadi bahan refleksi bersama. Ketiga, lakukan audit yang mendidik: bukan mencari kesalahan, tapi mengajak berpikir ulang, seperti double-loop learning yang pernah digagas oleh Chris Argyris dan Donald Schön.
Pada akhirnya, teknologi dalam pendidikan hanyalah sarana. Big data, AI, dan dashboard memang bisa mempercepat kerja, tapi tidak bisa menggantikan integritas manusia yang menggunakannya. OBE pun hanya akan jadi jargon kalau capaian pembelajaran tidak benar-benar hidup di kelas dan kehidupan nyata mahasiswa. Mutu sejati lahir dari keberanian bersikap jujur pada data, dari keterbukaan untuk memperbaiki kelemahan, dan dari tekad untuk menjaga amanah akademik sebaik-baiknya.
Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisa [4]:58). Ayat ini mengingatkan bahwa setiap angka, setiap laporan, setiap dashboard digital sejatinya adalah amanah. Bila dijaga dengan adil dan jujur, ia akan menjadi jalan menuju perbaikan mutu yang hakiki.
Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Argyris, C., & Schön, D. A. (1978). Organizational learning: A theory of action perspective. Addison-Wesley.
- Davis, F. D. (1989). Perceived usefulness, perceived ease of use, and user acceptance of information technology. MIS Quarterly, 13(3), 319–340.
- Goodhart, C. A. E. (1975). Problems of monetary management: The UK experience. In A. S. Courakis (Ed.), Monetary theory and practice (pp. 91–121). Macmillan.
- Trist, E., & Emery, F. (1960). Socio-technical systems. Tavistock Institute.
- Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. (2025, Mei 2). Mendiktisaintek dorong kampus jadi pusat pertumbuhan ekonomi dalam audiensi bersama ADI. Kemdiktisaintek.
Instagram: @mutupendidikan




