بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Mutu sejati lahir saat kampus berani menatap masa depan, bukan sekadar mengulang masa lalu—itulah pesan OBE dan prinsip Spady dalam Permen 39.”
“Anak-anak MABA ini inputnya rendah, target kita paling banter sekadar lulus tepat waktu.” Kalimat itu mungkin terdengar biasa dalam obrolan antar-dosen, tapi dampaknya luar biasa. Begitu ekspektasi dipatok rendah, seluruh sistem ikut terdampak: tugas dibuat sekadarnya, asesmen dilonggarkan, kelas berjalan tanpa tantangan. Mahasiswa pun belajar dengan pasif, sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Padahal William Spady, lewat prinsip High Expectations dalam Outcome-Based Education (OBE), menegaskan bahwa mutu lahir justru ketika setiap mahasiswa diperlakukan dengan harapan tinggi.
Ironis sekali bila hal ini terjadi, ekspektasi diturunkan ketimbang dinaikkan. Dalihnya beragam: input rendah, fasilitas terbatas, dosen terlalu sibuk, atau kurikulum terlalu padat. Akibatnya kampus terjebak dalam siklus rendah ekspektasi—rendah capaian—rendah mutu. Di borang dan laporan akreditasi mungkin terlihat indah, tapi di ruang kelas yang nyata, kualitasnya sering merosot.
Padahal regulasi terbaru, Permen 39 Tahun 2025, hadir dengan semangat baru. Regulasi ini tidak lagi ingin kampus sekadar memproduksi dokumen, melainkan mendorong mutu berkelanjutan yang akuntabel, inklusif, relevan, dan berorientasi global. Jika dibaca dengan cermat, semangat Permen ini sejalan dengan empat prinsip OBE yang digagas Spady: Clarity of Focus, Expanded Opportunities, High Expectations, dan Design Down, Deliver Up. Pertanyaannya, bagaimana empat prinsip itu bisa membimbing kampus menerjemahkan regulasi ke dalam praktik kehidupan kampus sehari-hari?
Prinsip pertama, Clarity of Focus, menuntut kejelasan tentang apa yang benar-benar ingin dicapai mahasiswa. Tujuan pembelajaran harus SMART agar bisa fokus. Semua kegiatan belajar, dari perkuliahan hingga asesmen, harus diarahkan pada capaian itu. Di sini relevan sekali mengingat Taksonomi Bloom. Bloom membagi tujuan belajar ke dalam 6 (enam) level: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, hingga mencipta. Kalau kampus serius dengan implemeentasi OBE, CPL (Capaian Pembelajaran Lulusan) harus benar-benar menuntun ke enam jenjang ini. Sayangnya, yang sering terjadi adalah CPL ditulis indah di dokumen, tetapi praktiknya mahasiswa hanya diuji di level hafalan. Gap antara “kata-kata” dan “kelas nyata” inilah yang membuat mutu terasa semu, sebatas retorika.
Prinsip kedua, Expanded Opportunities, menegaskan bahwa setiap mahasiswa berhak mendapat kesempatan yang sama untuk berhasil. Tidak boleh hanya segelintir yang aktif, pintar atau beruntung. Vygotsky, dengan teori Zone of Proximal Development, menjelaskan bahwa setiap orang bisa berkembang optimal jika mendapat dukungan atau “scaffolding” yang tepat. Artinya, dosen perlu kreatif membuka jalan berbeda bagi mahasiswa dengan kebutuhan berbeda (individual differences). Tetapi realitas di banyak kampus menunjukkan sebaliknya. Mahasiswa berprestasi sering mendapat ruang tambahan, perhatian khusus, misalnya ikut proyek riset atau kompetisi, sementara mahasiswa lain kesepian, berjalan sendirian. Padahal OBE seharusnya memberi garansi bahwa semua mendapat ruang tumbuh, diperlakukan adil, bukan hanya mereka yang sudah unggul sejak awal.
Prinsip ketiga, High Expectations, barangkali yang paling sering dilupakan. Spady meyakini bahwa harapan tinggi akan melahirkan mutu tinggi. Teori Pygmalion Effect yang dikembangkan oleh Rosenthal dan Jacobson mendukung pandangan ini: ekspektasi guru atau dosen terbukti dapat mengubah prestasi dan performa peserta didik. Ketika dosen yakin dan percaya bahwa mahasiswanya hebat, gaya mengajarnya, empatinya, bahkan ekspresi wajahnya ikut mendorong semangat belajar. Sebaliknya, jika sejak awal dosen sudah pesimis, mahasiswa pun ikut terdampak kehilangan motivasi. Ekspektasi adalah energi dahsyat tak kasatmata yang menentukan arah mutu kampus.
Prinsip keempat, Design Down, Deliver Up, adalah kekuatan dari OBE. Kurikulum harus dirancang dari atas lalu diturunkan ke bawah—dimulai dari capaian akhir lulusan (CPL)—baru diturunkan ke CPMK, metode, dan asesmen. Grant Wiggins dan Jay McTighe, lewat konsep Backward Design, menegaskan bahwa perencanaan belajar harus dimulai dari tujuan akhir, kemudian ditentukan bukti-bukti yang bisa diterima, baru dirancang (desain) pengalaman belajar.
William Spady menyebut prinsip ini Design Down, Deliver Up, sementara penulis buku bestseller Stephen Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People (1989) menegaskan dengan kalimat sederhana: Begin with the End in Mind. Pesannya sama, setiap proses harus dimulai dari hasil akhir yang ingin dicapai. Kalau lulusan yang diinginkan adalah pribadi yang kritis, kreatif, dan solutif, maka asesmen, metode, hingga aktivitas kelas harus benar-benar didesain fokus untuk mengarah ke sana.
Diduga masih ada kampus di Indonesia yang menggunakan pola terbalik. RPS dibuat dulu, baru disesuaikan dengan CPL belakangan. Akibatnya CPL hanya jadi formalitas di borang, bukan peta jalan yang hidup di kelas.
Jika kampus benar-benar mau menjalankan 4 (empat) prinsip Spady, Permen 39/2025 bisa lebih dari sekadar regulasi. Ia bisa menjadi katalis untuk membangun budaya mutu yang efektif. Tetapi itu hanya mungkin jika dosen, tendik, dan manajemen kampus berani keluar dari jebakan dokumen. Mutu tidak diukur dari banyaknya file laporan yang diunggah ke sistem, melainkan dari apakah mahasiswa benar-benar belajar, berkembang, dan siap berkontribusi di masyarakat.
OBE dan Permen 39 seharusnya tidak dipahami sebagai beban tambahan, melainkan sebagai alat bantu, peluang refleksi. Clarity of Focus mengingatkan kita untuk tidak melupakan arah. Expanded Opportunities menuntut keadilan dalam kesempatan belajar. High Expectations mendorong kita memberi energi positif pada semua mahasiswa. Design Down, Deliver Up—ditopang oleh Covey dengan prinsip Begin with the End in Mind—mengajarkan pentingnya perencanaan yang konsisten dari tujuan akhir hingga praktik nyata di kelas.
Pada akhirnya, OBE dan Permen 39/2025 hanyalah tools, alat. Kejelasan capaian, desain kurikulum, hingga sistem digitalisasi semua akan kehilangan makna bila tidak dihidupi dengan kesadaran bahwa pendidikan adalah menyiapkan generasi muda untuk masa depan yang berbeda dari hari ini. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah mengingatkan: “Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup di zaman yang berbeda dengan zamanmu.” Pesan itu seakan menyapa kita, bahwa mutu kampus bukan soal mengejar laporan atau dashboard hijau, melainkan keberanian mempersiapkan generasi agar mampu berdiri kokoh, tangguh di zamannya.
Jika kampus sungguh berani menapaki prinsip ini, maka mutu tidak lagi sebatas regulasi atau jargon, tapi akan tumbuh menjadi nilai-nilai dan budaya yang mengakar. Dan pada titik itulah, pendidikan tinggi kita benar-benar menjadi jalan untuk mengangkat martabat bangsa di masa depan.
Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Bloom, B. S. (Ed.). (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals. Handbook I: Cognitive domain. New York: David McKay.
- Covey, S. R. (1990). The 7 habits of highly effective people: Powerful lessons in personal change. New York: Free Press.
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
- Rosenthal, R., & Jacobson, L. (1968). Pygmalion in the classroom: Teacher expectation and pupils’ intellectual development. New York: Holt, Rinehart & Winston.
- Spady, W. G. (1994). Outcome-based education: Critical issues and answers. Arlington, VA: American Association of School Administrators
- Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.
- Wiggins, G., & McTighe, J. (2005). Understanding by design (2nd ed.). Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).
Instagram: @mutupendidikan




