بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah pilar penting untuk memastikan perguruan tinggi tetap kompetitif dan memenuhi standar mutu pendidikan. 5 siklus yang terdiri: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (disingkat PPEPP) dalam SPMI dirancang untuk membantu proses keberlanjutan mutu.
Akan tetapi, keberhasilan PPEPP tidak hanya bergantung pada prosedur administratif saja, namun juga pada pengembangan pola pikir, pola sikap dan pola perilaku setiap individu dalam institusi.
Buku best seller, The 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey menawarkan prinsip-prinsip universal yang dapat digunakan untuk memperkuat pelaksanaan SPMI. Tujuh kebiasaan dari Covey, mulai dari sikap pertama, proaktif hingga membangun sinergi, memberikan kerangka soft skills penting untuk mengelola PPEPP. Prinsip 7 habits ini tidak hanya fokus pada efektivitas individu namun juga memperkuat sinergi dan kerja sama kolektif pada perguruan tinggi.
Dengan melatih 7 kebiasaan Covey, perguruan tinggi diharapkan dapat mengimplementasikan PPEPP sebagai bagian dari budaya mutu yang holistik. 7 Habits mendorong setiap aktor untuk aktif dalam peningkatan mutu berkelanjutan (kaizen), menjadikan SPMI bukan sekadar kewajiban prosedural-administratif, namun sebagai tools strategis untuk mencapai keunggulan perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Tahap pertama dalam PPEPP adalah “Penetapan Standar SPMI”. Tahap ini bertujuan untuk merumuskan tujuan strategis mutu yang selaras dengan pernyataan visi dan misi institusi. Di sinilah peran penting kebiasaan pertama, Be Proactive (Jadilah Proaktif), menjadi relevan.
Perguruan tinggi harus proaktif dan berinisiatif untuk mengidentifikasi kebutuhan dan peluang-peluang pengembangan tanpa menunggu hadirnya tekanan eksternal.
Perguruan tinggi juga perlu proaktif memantapkan “mission differentiation”. Penting untuk menetapkan ciri khas / keunikan / positioning, sehingga dapat membangun branding yang kuat di mata konsumen. Proaktif menetapkan strategi segmentasi, penetapan target dan pengambilan posisi sangat penting di era persaingan global saat ini.
Habit penting yang nomor dua adalah, Begin with the End in Mind (Mulai dengan Akhir yang Ada di Pikiran). Habit ini membantu institusi dalam menetapkan target dan hasil yang ingin dicapai. Standar SPMI harus dirancang optimis dan SMART (Spesific, Masurable, Attainable, Relevant & Timed), dan harus terintegrasi dengan dengan visi jangka panjang. Penetapan Standar yang baik memiliki arah yang jelas dan strategis, baik dalam aspek pendidikan, penelitian, maupun pengabdian masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi).
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Tahap “Pelaksanaan Standar” (dalam PPEPP) sering menghadapi tantangan dalam pengelolaan sumber daya yang terbatas, persoalan integrasi dan persoalan motivasi. Habit nomor tiga dari Covey, Put First Things First (Dahulukan yang Utama), menginspirasi pentingnya mengambil prioritas yang berdampak terhadap mutu institusi. Institusi harus fokus pada inisiatif strategis, seperti peningkatan mutu pengajaran atau “penyelarasan” kurikulum dengan kebutuhan dan tantangan dunia kerja.
Misalnya, daripada fokus menghabiskan waktu hanya pada dokumentasi yang bersifat formalitas, institusi dapat memprioritaskan training untuk dosen dalam metode pembelajaran inovatif atau meningkatkan akses teknologi pembelajaran. Kegiatan ini tidak hanya mendukung pencapaian standar SPMI namun juga memberikan dampak langsung kepada mahasiswa, dan stakeholder lainnya.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Tahap “Evaluasi Standar” (dalam PPEPP) adalah tahap penting untuk mengukur pencapaian mutu pendidikan, sekaligus mendeteksi area-area mana saja yang perlu tindakan korektif dan preventif. Habits nomor lima dari Covey adalah, Seek First to Understand, Then to Be Understood (Berusaha Memahami Dahulu, Baru Dipahami). Habits ini mengajarkan pentingnya mendengarkan semua pemangku kepentingan (customer voice) sebelum menetapkan tindakan korektif.
Dengan mendengarkan masukan atau input dari mahasiswa, dosen, staf karyawan hingga mitra eksternal, perguruan tinggi dapat memperoleh pemahaman yang holistik tentang harapan konsumen.
Contoh, dalam proses evaluasi kepuasan mahasiswa, alih-alih hanya menggunakan kuesioner yang rentan terdapat validitas alat, institusi dapat menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) atau program design thinking. Melalui FGD, mahasiswa dapat menyampaikan kebutuhan mereka secara langsung, seperti harapan untuk materi yang lebih relevan dengan dunia nyata. Pendekatan empatik untuk proses design thinking tidak hanya menghasilkan data yang lebih kaya namun juga membangun “trust” antara institusi dan komunitasnya.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Tahap “Pengendalian Standar” (dalam PPEPP) menuntut pendekatan yang tidak hanya memastikan standar SPMI terpenuhi namun juga menciptakan manfaat (value) bagi stakeholder. Habit nomor empat dari Covey adalah, Think Win-Win (Berpikir Menang-Menang). Habit ini menekankan pentingnya menciptakan solusi yang saling win-win (saling menguntungkan). Dalam konteks pengendalian standar SPMI, ini berarti kebijakan dan langkah pengawasan harus mendukung kepentingan institusi sekaligus memberikan dampak positif bagi semua pihak yang terlibat seperti dosen, mahasiswa, dan staf.
Misalnya, pengelola mutu dapat menerapkan sistem pengendalian SPMI berbasis penghargaan. Contohnya dengan memberikan pengakuan (recognisi) atau insentif bagi dosen yang berhasil meningkatkan mutu pengajaran berdasarkan hasil evaluasi. Hasil pengendalian (dalam PPEPP) dapat diterjemahkan menjadi peningkatan mutu fasilitas belajar, seperti ruang diskusi yang lebih nyaman atau laboratorium yang lengkap.
Dengan pola pikir menang-menang (win-win), institusi menumbuhkan rasa kepemilikan bersama, di mana semua pihak merasa menjadi bagian dari keberhasilan yang telah diraih.
Tahap “Peningkatan Standar” (dalam PPEPP) adalah intisari dari proses proses perbaikan yang dilakukan secara terus menerus (kaizen). Hebit nomor enam dari Covey adalah Synergize (Bersinergi), menekankan pentingnya kerja sama untuk menciptakan solusi yang lebih unggul, inovatif dan berdampak besar. Dengan sinergi, institusi dapat membangun kekuatan melalui penggabungan ide, pengalaman, dan keahlian dari berbagai pihak, baik internal maupun eksternal.
Contoh, perguruan tinggi dapat menginisiasi forum kolaboratif antara fakultas yang berbeda untuk mendesain “kurikulum multidisiplin” yang relevan dengan tuntutan dunia industri. Institusi juga dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi lain untuk bertukar informasi dan berbagi praktik baik dalam metode pendidikan dan pengajaran.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Habit nomor tujuh dari Covey adalah Sharpen the Saw (Asah Gergaji). Habit ini menekankan pentingnya pertumbuhan dan pengembangan berkelanjutan untuk menjaga efektivitas individu dan organisasi. Perguruan tinggi harus terus update kemampuan dan sumber dayanya, termasuk pelatihan staf, adopsi teknologi baru, dan penyempurnaan PEPPP (dalam SPMI). Investasi berkelanjutan ini memungkinkan institusi tetap relevan di tengah dinamika era VUCA yang selalu berubah.
Sekedar contoh, institusi dapat mengadakan program pelatihan rutin bagi dosen untuk memperbarui keterampilan mengajar berbasis teknologi LMS (learning management system). Selain itu, pembaruan sistem informasi SPMI yang memungkinkan pelaporan dan analisis data secara real-time dapat meningkatkan efisiensi kegiatan PPEPP. Dengan tetap fokus pada pengembangan berkelanjutan, institusi tidak hanya memenuhi standar SPMI namun juga menciptakan lingkungan untuk bertransformasi dan beradaptasi dengan baik.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Implementasi dan integrasi prinsip-prinsip The 7 Habits of Highly Effective People dalam SPMI, memungkinkan institusi untuk mengelola PPEPP lebih dari sekadar siklus formalitas-administratif, namun sebagai fondasi budaya mutu yang “terinternalisasi” dalam setiap aktivitas.
Dengan fokus pada efektivitas individu dan kolaborasi kolektif, perguruan tinggi dapat menciptakan sistem yang relevan, tidak hanya menjaga mutu namun juga terus berupaya meningkatkannya.
Ketika budaya mutu telah menjadi bagian dari DNA institusi, perguruan tinggi akan semakin siap untuk menghadapi tantangan global sekaligus memberikan kontribusi nyata bagi semua stakeholder. Seperti kutipan yang disampaikan Covey, “The key is in not spending time, but in investing it.” Dengan menginvestasikan waktu dan sumber daya untuk membangun budaya mutu (SPMI), perguruan tinggi dapat mencapai puncak efektivitas dan keunggulan. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi sangat penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan yang berkelanjutan. Di tengah tantangan globalisasi dan aneka tuntutan stakeholder, perguruan tinggi harus bersungguh sungguh dalam menjaga mutu akademik dan non akademik. Untuk mencapai target tersebut, peran pemimpin tentu sangat penting, tidak hanya dalam aspek tata kelola namun juga sebagai teladan (role model) dalam membangun budaya mutu di seluruh aras (level) organisasi.
Pemimpin perguruan tinggi berfungsi sebagai “role model” yang mempengaruhi perilaku civitas akademika.
Dalam hal ini, Social Learning Theory (teori pembelajaran sosial) dari Albert Bandura memberi wawasan bagaimana peran penting pemimpin dalam membentuk budaya mutu. Melalui perilaku dan interaksi sosial yang terjadi di lingkungan kampus, pemimpin menunjukkan komitmen terhadap mutu pendidikan. Perilaku pemimpin akan menjadi contoh yang diikuti oleh segenap dosen, staf, dan mahasiswa.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
SPMI adalah sistem yang dirancang untuk memastikan seluruh elemen perguruan tinggi, dari kebijakan hingga pengelolaan pendidikan, sesuai dengan standar SPMI yang telah ditetapkan. Untuk memperkuat efektivitas SPMI dan peningkatan standar, diterapkan pula siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar). Siklus ini menekankan peran aktif seluruh civitas akademika dalam menjaga mutu pendidikan.
Agar SPMI berjalan dengan optimal, diperlukan “leader” yang tidak hanya memahami teknis PPEPP (SPMI), namun juga berperan aktif sebagai katalis dalam membangun budaya mutu.
Pemimpin perguruan tinggi (rektor, ketua, direktur, dekan dan kaprodi) harus mampu “menjadi inspirator” dan menggerakkan semua stakeholder terkait untuk berkomitmen pada mutu melalui pendekatan yang substantif dan konsisten.
Sebagai role model, pemimpin mencontohkan nilai-nilai mutu dalam setiap perilakunya. Contoh, bila pemimpin menunjukkan “komitmen tinggi” dan detail terhadap standar SPMI, baik dalam pengajaran maupun administrasi, maka dosen dan staf otomatis akan tergerak untuk mengikuti contoh tersebut.
Pemimpin yang konsisten dengan “komitmen mutu” akan menjadi teladan yang kuat. Sikap dan perilaku ini dapat menjadi inspirasi bagi segenap civitas akademika untuk mencapai target-target SPMI yang lebih tinggi.
Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Edwin Ghiselli
Albert Bandura, melalui Social Learning Theory, menjelaskan, individu belajar tidak hanya melalui pengalaman langsung, namun juga dengan mengamati perilaku orang lain. Proses ini disebut modeling.
Dalam konteks perguruan tinggi, pemimpin yang menunjukkan perilaku positif dan konsisten dalam menjaga mutu pendidikan akan menjadi teladan (role model) bagi segenap dosen, staf, dan mahasiswa.
Ketika pemimpin aktif menampilkan perilaku yang sesuai standar SPMI, seluruh civitas akademika akan tergerak untuk meniru perilaku tersebut. Melalui proses observasi dan imitasi, nilai-nilai positif tersebut dapat tersosialisasikan, membentuk budaya SPMI di seluruh institusi. Pemimpin yang konsisten dalam penerapan nilai-nilai SPMI ini akan membentuk sikap kolektif yang berorientasi pada peningkatan mutu.
Selain konsep “modeling”, Bandura juga memperkenalkan konsep “self-efficacy”, yaitu keyakinan individu terhadap kemampuan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam SPMI, pemimpin yang memiliki keyakinan kuat untuk keberhasilan SPMI ini akan memberikan dampak positif pada rasa percaya diri anggota tim kerja. Mereka akan merasa lebih siap dan termotivasi untuk ikut serta dalam menjaga dan meningkatkan standar SPMI.
Contoh lain, pemimpin yang aktif dalam kegiatan evaluasi dan memberikan umpan balik konstruktif akan meningkatkan rasa percaya diri di antara tim kerja, dosen dan staf. Dengan kepercayaan diri yang lebih besar, mereka akan lebih bersemangat untuk mengutamakan mutu dalam kegiatan akademik dan non akademik.
Akhirnya, melalui keteladanan (memberi contoh-contoh positif) dan pemberdayaan “keyakinan diri” (self-efficacy), pemimpin berperan krusial dalam menanamkan budaya SPMI yang berkelanjutan di perguruan tinggi, sebagaimana digambarkan dalam Social Learning Theory Bandura.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Pemimpin institusi perguruan tinggi tidak hanya bertindak sebagai role model melalui perilaku sehari-hari, namun juga memiliki peran penting dalam menumbuhkan lingkungan sosial yang kondusif dan mendukung Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dengan membangun jaringan komunikasi internal yang terbuka antara pimpinan, unit kerja, dosen, staf, dan mahasiswa, pemimpin dapat membentuk ekosistem yang optimal bagi pengembangan mutu pendidikan yang berkelanjutan.
Menurut Albert Bandura, pembelajaran sosial terjadi tidak hanya ternjadi pada level individu, namun juga dalam tingkat kelompok atau organisasi. Sehingga, pemimpin institusi perguruan tinggi yang mampu mendorong interaksi sosial positif di antara civitas akademika akan memperkuat penerapan SPMI dalam jangka panjang. Melalui komunikasi dan interaksi yang terbuka, nilai-nilai PPEPP (SPMI) akan lebih mudah dimengerti dan diimplementasikan bersama.
Pemimpin yang efektif (dalam mengelola SPMI) juga fokus pada membangun budaya yang mengutamakan mutu, bukan hanya pada mencari target hasil formal semata seperti akreditasi atau evaluasi eksternal. Lebih dari itu, pemimpin sebagai role model, fokus pada membangun budaya SPMI yang substantif. Hal ini tentu memberikan “Impact” yang lebih langgeng, karena mutu menjadi bagian dari rutinitas organisasi, bukan hanya sekadar target administratif. Sebagaimana disampaikan oleh filsuf Aristoteles, quality is not an act, it is a habit.
Melalui model kepemimpinan yang berbasis pembelajaran sosial, pemimpin dapat menginspirasi setiap individu untuk aktif menjaga dan meningkatkan standar SPMI. Inspirasi ini dilakukan melalui komunikasi internal yang terus menerus disampaikan dan juga melibatkan partisipasi banyak pihak.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Keberhasilan SPMI di perguruan tinggi sangat bergantung pada kemampuan pemimpin untuk mengintegrasikan nilai-nilai mutu dalam setiap aspek organisasi. Tidak cukup jika hanya diajarkan sebagai konsep; nilai mutu harus muncul dan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Pemimpin berperan sebagai inspirator bagi seluruh civitas akademika untuk senantiasa berkomitmen terhadap tujuan dan tantangan bersama.
Dalam konteks ini, teori pembelajaran sosial dari Bandura sangat relevan, di mana pemimpin bertindak sebagai role model atau teladan bagi orang lain. Ketika pimpinan memberikan komitmen pada mutu, unit kerja, dosen, staf, dan mahasiswa akan terinspirasi dan termotivasi untuk menerapkan pola standar yang sama. Tindak tanduk pemimpin yang konsisten memprioritaskan mutu secara efektif memperkuat budaya di semua level dalam institusi.
Selain memantau SPMI dalam praktik sehari-hari, pimpinan juga harus memperhatikan dan menjaga relevansi sistem ini. Keberhasilan SPMI jangka panjang tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan saat ini, namun juga oleh adaptasi, transformasi dan peningkatan berkelanjutan. Pemimpin harus terus memperbarui (update) pendekatan dalam pengelolaan mutu dan memfasilitasi pengembangan kapasitas seluruh stakeholder internal.
Komitmen pimpinan dalam memperkuat kompetensi, motivasi dan partisipasi tim kerja akan menciptakan sistem yang tangguh dan berkelanjutan. Pimpinan yang mendukung peningkatan kompetensi dosen dan pelibatan mahasiswa akan memupuk budaya SPMI dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Akhirnya, budaya SPMI yang dibangun dan diperkuat, akan menjadi nilai yang dihayati dan diterapkan secara konsisten oleh seluruh anggota civitas akademika.
Membangun mutu pendidikan, bukan hanya sekedar memenuhi standar formal-administratif, namun juga membangun “identitas perguruan tinggi” yang kompetitif, unggul dan berkelanjutan.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Kepemimpinan SPMI memiliki peran penting dalam menumbuhkan kesadaran, motivasi dan komitmen terhadap mutu di semua level perguruan tinggi. Dengan implementasi prinsip-prinsip modeling dan self-efficacy, pemimpin dapat membentuk budaya SPMI yang lebih terinternalisasi, di mana setiap karyawan merasa terinspirasi untuk aktif dan turut serta dalam menjaga standar SPMI yang tinggi.
Pembelajaran sosial memungkinkan seluruh civitas akademika, dari pimpinan, unik kerja hingga mahasiswa, bersinergi untuk mencapai target mutu pendidikan. Melalui keteladanan dan komitmen, saatnya “mutu menjadi identitas kampus”, menjawab semua tantangan, masa kini maupun masa depan.
Sebagai penutup, ijinkan penulis menggemakan kembali kata-kata Albert Bandura: “People’s beliefs about their abilities have a profound effect on those abilities.” Stay Relevant!
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Di era globalisasi yang berubah pesat, institusi perguruan tinggi menghadapi tekanan besar untuk memastikan tercapainya mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat) melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang kokoh. SPMI berperan sebagai framework penting yang terdiri dari siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP). Siklus PPEPP didesain untuk memastikan bahwa semua proses akademik dan non akademik memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan. Efektivitas SPMI tidak hanya terletak pada prosedur dan kebijakan yang dijalankan, namun juga pada motivasi, keterlibatan aktif unit kerja, staf pengajar dan tendik (tenaga kependidikan) dalam mendukung pencapaian mutu berkelanjutan.
Teori Motivasi 2 Faktor dari Frederick Herzberg (1968) memberikan wawasan untuk mengenal dan memahami motivasi kerja dalam konteks SPMI. Herzberg membedakan faktor yang menciptakan kepuasan kerja (faktor motivator) dari faktor yang hanya mencegah ketidakpuasan (faktor higienis / pemelihara).
Menurut Herzberg, faktor motivator meniputi aspek seperti pencapaian, pengakuan, dan tanggung jawab (motivasi intrinsik). Faktor-faktor tersebut dapat mendorong unit kerja, tenaga pengajar dan staf untuk bekerja lebih giat / lebih baik karena mereka merasakan makna dan kepuasan dari pekerjaan yang mereka emban.
Faktor kedua adalah faktor “higienis”. Faktor higienis (pemelihara) seperti kebijakan organisasi, kondisi kerja, dan keamanan kerja juga memainkan peran krusial. Walaupun faktor higienis tidak menciptakan kepuasan langsung, mereka penting untuk “mencegah ketidakpuasan” yang juga dapat mengganggu prestasi kerja. Dalam konteks SPMI, faktor higienis perlu diberikan (dipenuhi) untuk menciptakan stabilitas dan dukungan bagi kepala unit kerja, staf dosen dan staf administrasi. Ketika kondisi kerja sudah mendukung, tenaga kerja akan merasa nyaman dan “siap” untuk bekerja / berkontribusi bagi peningkatan mutu.
Untuk penguatan dan keberhasilan SPMI, institusi harus mempertimbangkan “keseimbangan” antara faktor motivator dan faktor higienis.
Penting sekali memfasilitasi unit kerja, dosen dan staf dengan kebijakan yang jelas dan menyediakan kesempatan (peluang) untuk tanggung jawab serta pengakuan. Hal tersebut adalah cara-cara untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kepuasan, motivasi dan keterlibatan penuh. Keterlibatan ini pada akhirnya berkontribusi pada keberhasilan pelaksanaan mutu (SPMI) secara holistik.
Implementasi teori 2 faktor dari Herzberg dapat menumbuhkan kepuasan kerja yang lebih tinggi dan mendorong keterlibatan yang lebih baik. Dengan memperhatikan 2 kebutuhan tersebut (motivator dan higienis), perguruan tinggi dapat membangun lingkungan yang mendukung peningkatan mutu, mendorong institusi untuk lebih unggul, adaptif, dan berdaya saing tinggi.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Saat ini perubahan lingkungan semakin bergejolak dan mengarah ke era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible). Di era tersebut, perguruan tinggi menghadapi tantangan yang semakin ambigu, kompleks dan sulit diprediksi. Kondisi yang tidak stabil ini dapat mengganggu kenyamanan kerja dari unit kerja, tenaga pengajar dan staf. Tentu saja bila tidak ada solusi, dapat berdampak langsung pada keberlanjutan pelaksanaan SPMI. Di sinilah peran teori 2 faktor Herzberg memberikan panduan penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif secara psikologis maupun profesional.
Faktor higienis atau faktor pemelihara dalam teori Herzberg, seperti kebijakan kerja yang adil, kondisi kerja yang menyenangkan, dan stabilitas karier, sangat diperlukan untuk menghadapi ketidakpastian era VUCA dan BANI. Institusi dapat menyesuaikan kebijakan kerja dengan memperkuat stabilitas dan keamanan kerja bagi tim unit kerja, dosen dan staf. Kebijakan organisasi yang adil dan menarik membantu menjaga kenyamanan anggota organisasi, sehingga mereka “tetap dapat fokus” pada peningkatan mutu.
Herzberg menjeleskan bahwa faktor higienis (faktor pemelihara) tidak langsung menciptakan motivasi intrinsik, namun tetap penting untuk mencegah ketidakpuasan kerja.
Di era BANI, di mana kecemasan (Anxious) menjadi hal sering terjadi, faktor-faktor higienis ini berperan besar dalam menciptakan lingkungan yang stabil dan mendukung. Dengan adanya stabilitas lingkungan organisasi, unit kerja, dosen dan staf akan lebih tenang dalam menghadapi dinamika perubahan yang sering terjadi.
Pemenuhan faktor higienis yang tepat membantu perguruan tinggi meminimalkan risiko ketidakpuasan dan menciptakan rasa aman bagi tenaga kerja. Dalam lingkup SPMI, perguruan tinggi juga dapat memberikan dukungan profesional yang berkelanjutan dan menyesuaikan kebijakan SPMI sesuai kebutuhan perubahan. Sehingga, institusi dapat menjaga motivasi staf SDM secara lebih efektif di tengah kondisi yang sulit diprediksi.
Implementasi teori 2 faktor Herzberg dalam lingkungan VUCA dan BANI menunjukkan bahwa stabilitas di tingkat higienis adalah strategi penting. Walau faktor higienis tidak menambah motivasi intrinsik, namun membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penguatan SPMI, memastikan perguruan tinggi mencapai keunggulan mutu di tengah tantangan lingkungan yang uncertainty, kompleks dan beragam.
Selain faktor higienis (faktor pemelihara), Herzberg juga menekankan pentingnya faktor motivator untuk membangun motivasi intrinsik. Dalam konteks SPMI, faktor motivator ini sangat berperan dalam implementasi siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar SPMI). Perguruan tinggi perlu memperkuat faktor ini untuk mendorong motivasi dan keterlibatan unit kerja, dosen dan staf secara lebih mendalam.
Pada tahap penetapan standar (dalam PPEPP), melibatkan semua unit kerja dalam proses perumusan standar mutu dan kebijakan akademik dapat “meningkatkan rasa memiliki” terhadap tujuan yang ditetapkan. Ketika unit kerja merasa terlibat dalam penetapan standar, mereka akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Menurut Frederick Herzberg, pencapaian (achievement) dan tanggung jawab merupakan motivator kuat yang mendorong unit kerja untuk bekerja dengan lebih baik dan terarah.
Selanjutnya, pada tahap pelaksanaan (dalam PPEPP), memberikan tanggung jawab kepada tim unit kerja untuk mengimplementasikan standar mutu, dapat menumbuhkan rasa puas terhadap pekerjaan mereka. Ketika mereka diberi kebebasan untuk menjalankan standar, kepuasan kerja akan meningkat seiring dengan kepercayaan yang telah diberikan. Rasa tanggung jawab (responsibility) yang tinggi ini dapat memperkuat motivasi intrinsik.
Pengakuan (recognition) juga menjadi elemen penting dalam menumbuhkan motivasi kerja yang kuat. Memberikan penghargaan atau apresiasi kepada unit kerja yang berhasil mencapai atau bahkan melampaui standar SPMI. Unit kerja dan dosen yang berhasil berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, memperoleh penghargaan yang nyata. Herzberg menjelaskan bahwa pengakuan (recognition) adalah elemen motivator penting yang dapat mendorong kepuasan kerja secara signifikan.
Pada akhirnya, implementasi teori 2 faktor dari Herzberg dalam SPMI memungkinkan perguruan tinggi untuk membangun lingkungan yang mendukung motivasi intrinsik. Prestasi, penghargaan dan pengakuan terhadap kontribusi unit kerja, tidak hanya meningkatkan motivasi dan keterlibatan, namun juga memicu pencapaian standar SPMI yang lebih tinggi.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Herzberg menjelaskan bahwa “faktor motivasi dan higienis” saling melengkapi satu dengan lainnya dalam menumbuhkan kepuasan dan ketahanan kerja. Dalam konteks SPMI, kedua faktor tersebut dapat dioptimalkan secara sinergis untuk membangun motivasi, komitmen dan keterlibatan penuh dalam siklus PPEPP. Hal ini menjadi fondasi utama bagi pencapaian mutu di perguruan tinggi.
Pada tahap evaluasi dan pengendalian (dalam PPEPP), dukungan perguruan tinggi berupa akses ke sumber daya yang memadai serta kebijakan yang transparan berfungsi sebagai faktor higienis yang penting. Faktor ini memastikan bahwa segenap tim kerja merasa didukung dan dilindungi, hal ini sangat diperlukan untuk stabilitas kerja mereka.
Dengan adanya kebijakan yang adaptif, rasa aman dapat dipertahankan. Ketika kebutuhan SDM diperhatikan, potensi ketidakpuasan dapat diminimalkan, sehingga pelaksanaan siklus SPMI berjalan lebih produktif. Kebijakan yang adaptif ini memastikan bahwa standar SPMI dapat dipenuhi meskipun di tengah kondisi yang penuh gejolak era VUCA dan BANI.
Selanjutnya, pada tahap peningkatan (dalam PPEPP), perguruan tinggi dapat memperkuat motivasi intrinsik tim kerja (pimpinan, dosen dan staf) dengan memberikan pengakuan atas kontribusi mereka. Penghargaan (recognition) atas keberhasilan dalam meningkatkan standar SPMI dapat mendorong motivasi intrinsik.
Implementasi teori dua faktor dari Herzberg dalam SPMI memungkinkan institusi menghadapi tantangan era VUCA dan BANI dengan menciptakan lingkungan kerja yang stabil dan berorientasi pada pencapaian mutu. Integrasi faktor motivator dan higienis dapat menghasilkan sistem mutu yang lebih responsif terhadap kebutuhan SDM. Hal ini bila dilaksanakan dengan baik, dapat berkontribusi pada pencapaian standar SPMI, dan menjadikan perguruan tinggi lebih unggul dan kompetitif. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di institusi perguruan tinggi kini menjadi kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam era pendidikan tinggi yang semakin dinamis dan penuh gejolak (Era VUCA dan BANI), perguruan tinggi harus terus meningkatkan standar mutu mereka agar unggul dan tidak tertinggal. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023, Pasal 68 ayat 1, SPMI mencakup lima tahapan siklus, yaitu Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan, atau sering disingkat dengan sebutan siklus PPEPP.
Kelima tahapan siklus PPEPP ini didesain untuk menumbuhkan keteraturan, meningkatkan akuntabilitas, serta membangun mutu perguruan tinggi secara holistik. Melalui implementasi siklus PPEPP secara teratur, perguruan tinggi diharapkan mampu mengelola mutu institusi secara berkesinambungan. Namun, faktanya, banyak perguruan tinggi masih menghadapi permasalahan dalam menjalankan setiap siklus ini dengan efektif. Tantangan utama sering kali muncul dalam aspek “pengendalian” dan “peningkatan” mutu (dalam PPEPP) yang berkelanjutan (kaizen).
Problematik lain, institusi perguruan tinggi tertentu kerap terjebak dalam budaya formalitas prosedural. SPMI dijalankan “sekedar ada dokumen”, tanpa berfokus pada “impact” nyata dalam operasional, kegiatan akademik dan non akademik. Pelaksanaan SPMI sering kali terbatas pada semangat pemenuhan dokumen dan laporan formal semata. Situasi ini sering kali menyebabkan SPMI tidak memberi dampak “substansi” terhadap perbaikan mutu yang dicita-citakan bersama. Dampak negatifnya, SPMI yang seharusnya menjadi tools dalam membangun mutu justru terkesan kaku dan kurang berfungsi secara optimal.
Inilah alasan utama mengapa process mapping dapat memainkan peran yang sangat penting. Robert Damelio, dalam bukunya The Basics of Process Mapping (1996), menjabarkankan bahwa visualisasi alur kerja yang sistematis sangat bermanfaat bagi organisasi untuk mengenali aliran proses secara keseluruhan (holistik). Visualisasi ini membantu organisasi, termasuk institusi perguruan tinggi, untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan dan mengungkap peluang perbaikan yang sebelumnya sulit diidentifikasi.
Melalui process mapping yang tepat, perguruan tinggi dapat melihat dengan jelas “big picture”, bagaimana setiap proses berinteraksi dan di mana letak masalah / hambatan yang mungkin dapat muncul.
Alur kerja (flow chart) yang divisualisasikan, memungkinkan institusi untuk lebih memahami aspek operasional day to day, bukan sekadar administratif belaka. Kelebihan ini menjadikan process mapping sebagai metode yang menarik untuk memperkuat efektivitas SPMI.
Permendikbudristek no 53 tahun 2023 adalah momentum penting untuk mengubah cara pandang terhadap SPMI. Dengan memanfaatkan konsep process mapping dan metode visualisasi proses, perguruan tinggi tidak hanya fokus pada pemenuhan dokumen dan laporan saja, namun juga dapat lebih berorientasi pada “result” dan peningkatan mutu yang nyata. Inilah saatnya perguruan tinggi bertransformasi, beradaptasi dan menumbuhkan SPMI yang lebih inovatif, berbasis data, dan berkelanjutan.
Pada tahap penetapan standar (P) dalam SPMI, process mapping membantu perguruan tinggi merancang “peta proses kerja” yang lengkap. Peta proses ini mencakup berbagai kegiatan akademik dan non akademik, termasuk administratif, yang relevan dengan tantangan mutu pendidikan.
Melalui visualisasi, tim pelaksana dapat melihat alur proses secara keseluruhan (big picture) dan memastikan setiap langkahnya berjalan sesuai standar yang diharapkan (berisi 5 W dan 1 H).
Visualisasi alur kerja (process mapping), membantu manajemen (rektor, dekan, kaprodi) memahami keterkaitan antar-fungsi dalam organisasi. Selain itu, juga membantu untuk menghitung kebutuhan sumber daya (resources), serta jalur komunikasi yang diperlukan. Dengan demikian, setiap bagian (unit kerja) dalam setiap proses dapat berjalan lebih terintegrasi dan terkoordinasi. Peluang ini juga memberi kesempatan bagi institusi untuk mengidentifikasi titik-titik kritis (key success factors) yang perlu mendapat perhatian lebih besar dalam pelaksanaannya.
Keuntungan lain, process mapping juga tidak hanya membantu memetakan prosedur; metode ini juga dapat membuka peluang untuk mengidentifikasi risiko potensial yang mungkin timbul di berbagai titik-titik proses (manajemen resiko). Contoh, dalam proses penerimaan mahasiswa baru (PMB), pemetaan alur kerja memungkinkan institusi mengantisipasi hambatan-hambatan yang mungkin dapat terjadi dan mempersiapkan langkah-langkah mitigasi yang diperlukan.
Pada tahap pelaksanaan standar (P), process mapping mendukung institusi untuk mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan kegiatan secara terperinci dan sistematis.
Karena SPMI melibatkan kolaborasi antar-unit, peta proses yang telah dibuat menyediakan gambaran peran dan tanggung jawab setiap unit dengan jelas. Dengan peta yang terstruktur, risiko tumpang tindih (overlap) atau keterlambatan dalam pelaksanaan program mutu dapat dikurangi /dicegah.
Secara umum, process mapping memberi panduan yang kuat, berfungsi sebagai “peta jalan” yang memastikan setiap langkah teridentifikasi dengan baik. Pendekatan ini memungkinkan institusi untuk mencapai target mutu secara efektif dan efisien, sekaligus mengoptimalkan penggunaan resources yang ada.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Pada tahap evaluasi pemenuhan standar (E) dalam SPMI, process mapping menyediakan panduan untuk melakukan avaluasi mendalam terhadap kinerja proses. Evaluasi ini berguna untuk menilai efektivitas pelaksanaan, memastikan setiap langkah sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan. Dengan adanya peta proses, perguruan tinggi dapat lebih mudah mengidentifikasi aspek-aspek mana saja yang perlu diperbaiki (tindakan korektif)
Visualisasi alur kerja yang disediakan melalui process mapping membantu institusi menilai kinerja secara visual. Kondisi ini memungkinkan identifikasi dini terhadap elemen-elemen yang membutuhkan tindakan koreksi. Keunggulan visualisasi, perguruan tinggi dapat segera memprediksi dan mengatasi kekurangan sebelum masalah tersebut berkembang lebih lanjut.
Keunggulan lain, process mapping juga bermanfaat sebagai alat untuk membandingkan antara perencanaan awal dengan hasil aktual dari proses yang berjalan (fungsi kontrol). Kondisi ini memberi institusi perguruan tinggi dasar yang kuat untuk melakukan mengevaluasi. Proses ini mendukung dan memudahkan pengambilan keputusan, agar lebih akurat berdasarkan data nyata.
Pada tahap pengendalian (P), process mapping berperan krusial dalam merancang mekanisme kontrol yang lebih efektif. Damelio dalam bukunya menjelaskan bahwa visualisasi alur kerja memungkinkan penetapan tahapan titik-titik kontrol yang kritis. Hal ini sangat relevan pada proses-proses penting yang berdampak pada mutu pendidikan, seperti proses belajar mengajar, penilaian akademik dan lain-lain.
Dalam konteks SPMI, menetapkan titik kontrol kritis ini, penting untuk memastikan mutu pendidikan terjaga dengan baik, terutama pada area-area yang berisiko tinggi. Dengan adanya panduan visual yang holistik, perguruan tinggi dapat mencegah risiko dan mempertahankan mutu melalui fungsi kontrol yang konsisten.
Tahap peningkatan (P) dalam PPEPP adalah “inti” dari SPMI, terjadinya proses perbaikan standar yang dilakukan secara terus menerus. Process mapping memainkan peran vital dalam pembantu terlaksananya tahap Peningkatan (P). Setelah evaluasi dan pengendalian, “pemetaan yang diperbarui secara berkala” memberikan gambaran menyeluruh tentang area-area mana saja yang memerlukan peningkatan. Hal ini mendukung perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan proses inovasi dalam sistem pendidikan tinggi.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Berikut adalah contoh visualisasi sederhana untuk proses PMB (penerimaan mahasiswa baru). Dengan menggunakan diagram alur (flowchart), manajemen dapat menjelaskan tahap-tahap utama dalam proses PMB. Dalam diagram ini, setiap tahap (steps) diilustrasikan secara runtut untuk membantu memahami alur kerja.
Inilah contoh visualisasi alur kerja process mapping untuk proses penerimaan mahasiswa baru. Diagram ini menunjukkan alur kerja mulai dari proses registrasi online hingga proses daftar ulang. Langkah-langkah utama adalah sebagai berikut:
Setiap langkah saling terhubung melalui arah membaca dari kiri ke kanan. Arah dari kiri ke kanan menunjukkan urutan proses yang jelas dan aliran kerja yang sistematis. Visualisasi ini membantu tim kerja di perguruan tinggi dalam memahami keseluruhan proses, mengidentifikasi potensi hambatan, dan mengoptimalkan efisiensi di setiap tahap. Adapun bentuk-bentuk desain visualisasi tentu ada beberapa model bentuk, ada bebrapa aplikasi software yang dapat membantu pembuatan desain visualisasi, misalnya dengan Visio atau Canva.
Secara umum dapat disimpulkan, penerapan process mapping dalam kerangka SPMI (PPEPP) menjadi pendekatan strategis yang mampu mendorong peningkatan efisiensi dan budaya mutu di institusi perguruan tinggi.
Visualisasi “proses bisnis” memungkinkan perguruan tinggi untuk memetakan alur kerja dengan jelas dan runtut. Hal ini membantu unit kerja untuk memahami fungsi, kontribusi dan peran mereka dalam mencapai standar mutu yang lebih baik.
Peta proses yang jelas dan transparan membantu proses “integrasi” berbagai pihak dalam satu pemahaman utuh tentang alur kerja. Dengan keterlibatan seluruh unit kerja, perguruan tinggi dapat membangun pemahaman bersama mengenai kontribusi masing-masing terhadap capaian mutu secara holistik. Hal ini membangun motivasi dan “keterhubungan” (integrasi) antara semua elemen dalam organisasi.
Sejalan dengan paparan Robert Damelio, dalam bukunya The Basics of Process Mapping (1996) process mapping memberi perguruan tinggi kemampuan untuk melihat kontribusi setiap proses secara utuh dan lengkap. Kondisi ini memastikan bahwa setiap tahap dalam alur kerja memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan mutu. Melalui pemetaan proses, perguruan tinggi dapat melihat jalur perbaikan yang konkret dan mengefektifkan aliran kerja yang ada.
Pendekatan process mapping juga menjadi salah satu “solusi inovatif” bagi perguruan tinggi untuk memperkuat sistem penjaminan mutu. Dengan metode visualisasi proses bisnis, perguruan tinggi memiliki alat efektif untuk memperbaiki dan meningkatkan daya saing institusi. Proses ini mendukung kesiapan perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan mutu di era pendidikan yang semakin kompetitif.
Melalui penerapan process mapping yang optimal, institusi tidak hanya meningkatkan capaian akreditasi, namun juga dapat membangun komitmen bersama menuju mutu pendidikan yang berkelanjutan. Transformasi besar ini memungkinkan perguruan tinggi menjadi institusi yang tidak hanya berdaya saing tinggi, namun juga tetap relevan dalam persaingan global. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan langkah strategis untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. SPMI dirancang untuk memastikan bahwa setiap aspek-aspek pendidikan, termasuk proses pembelajaran, kurikulum dan hasil evaluasi, memenuhi standar yang ditetapkan. Hal ini sangat penting untuk menjamin mutu pendidikan yang ditawarkan kepada mahasiswa.
Kita semua maklum bahwa implementasi SPMI tidak hanya fokus pada aspek administratif dan teknis saja, namun juga harus mempertimbangkan “aspek motivasi” yang memberi dampak dan mempengaruhi semua pemangku kepentingan di perguruan tinggi.
Pimpinan, dosen, mahasiswa, dan staf administrasi memiliki peran krusial dalam mendukung keberhasilan SPMI. Motivasi mereka sangat berpengaruh terhadap partisipasi dan komitmen dalam proses peningkatan mutu pendidikan.
Dalam konteks ini, teori motivasi dari Abraham Maslow memberikan perspektif yang menarik untuk memahami bagaimana kebutuhan individu (need) dapat dipenuhi dalam lingkungan akademik. Dengan memenuhi kebutuhan berdasarkan hierarki Maslow, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan semua pemangku kepentingan, sehingga kondisi ini “dapat meningkatkan efektivitas implementasi SPMI”.
Teori motivasi Maslow mengelompokkan kebutuhan manusia (need) dalam lima tingkatan: fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.
Dalam konteks implementasi SPMI, pemahaman tentang hierarki kebutuhan ini sangat penting untuk merumuskan strategi yang efektif dalam meningkatkan motivasi, partisipasi dan komitmen dari semua pihak di perguruan tinggi.
Kebutuhan fisiologis dan rasa aman (di perguruan tinggi) mencakup penyediaan fasilitas serta lingkungan kerja yang aman bagi dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa. Memastikan bahwa kebutuhan dasar (basic need) bisa terpenuhi menjadi langkah awal yang penting dalam menciptakan suasana akademik yang nyaman dan kondusif.
Dengan memenuhi kebutuhan dasar tersebut, institusi dapat mendorong individu untuk berkontribusi aktif dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Kondisi yang ideal ini, menurut Maslow dapat meningkatkan motivasi dan partisipasi semua stakeholder, sehingga bersemangat untuk mendukung keberhasilan SPMI.
Baca juga: Mengapa Temuan Audit Sering Tak Ditindaklanjuti?
Kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan merupakan kebutuhan yang ke 3 dan ke 4. Kebutuhan ini memainkan fungsi penting dalam membangun komunitas akademik yang kondusif. Oleh sebab itu, institusi perlu menciptakan lingkungan yang mendukung interaksi sosial dan kolaborasi antara dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa. Kegiatan seperti family gathering, outbound, seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok menjadi sarana efektif untuk memenuhi kebutuhan sosial ini.
Pengakuan terhadap prestasi individu dan tim juga merupakan aspek penting dalam memenuhi kebutuhan yang ke 4 yaitu penghargaan. Memberikan penghargaan (recognisi) kepada dosen yang sukses menerapkan metode pengajaran interaktif atau mahasiswa yang berprestasi dalam pengabdian masyarakat dapat meningkatkan semangat, motivasi dan rasa percaya diri mereka.
Dengan memfasilitasi kegiatan-interaksi sosial dan memberikan pengakuan, perguruan tinggi tidak hanya memotivasi individu (tim) untuk berpartisipasi aktif, namun juga mendorong peningkatan mutu pendidikan secara holistik. Langkah ini penting untuk menciptakan komunitas akademik yang menyenangkan, inovatif dan produktif.
Kebutuhan ke 5 menurut teori Maslow adalah aktualisasi diri. Kebutuhan ini berada di puncak hierarki Maslow dan berkaitan dengan pencapaian potensi tertinggi dari individu. Dalam konteks SPMI, penting bagi institusi untuk memberikan kesempatan bagi dosen, tendik dan mahasiswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka.
Dukungan untuk penelitian skala internasional, kolaborasi dengan dunia usaha (industri), dan program pengembangan diri yang berkelanjutan merupakan langkah strategis untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri ini. Dengan menyediakan sarana, fasilitas dan kesempatan tersebut, perguruan tinggi dapat mendorong individu untuk mencapai potensi terbaik mereka (aktualisasi diri).
Memenuhi kebutuhan aktualisasi diri tidak hanya dapat menghasilkan lulusan yang bermutu, namun juga menciptakan budaya akademik yang inovatif dan responsif terhadap perubahan. Ini sangat penting dalam menghadapi tantangan dan tuntutan dunia pendidikan yang terus berubah dengan cepat.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi harus melibatkan partisipasi semua stakeholder dan menciptakan mekanisme evaluasi yang transparan, sebagaimana diatur dalam Panduan SPMI yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (2023).
Dengan mengintegrasikan teori motivasi Maslow dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan SPMI, manajemen perguruan tinggi dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi memperbaiki mutu pendidikan. Hal ini dapat terjadi karena institusi telah membantu mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan (need) individu di lingkungan akademik dan non akademik.
Keterlibatan aktif semua pihak (quality is everyone responsibility) dalam proses penjaminan mutu sangat penting untuk keberhasilan SPMI. Upaya ini juga sejalan dengan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, yang menekankan pentingnya integrasi, kolaborasi dan partisipasi dalam mencapai mutu pendidikan yang unggul.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Sebagai penutup, berikut catatan yang bisa diambil, hubungan antara pelaksanaan kebijakan SPMI dan teori motivasi Maslow menegaskan pentingnya “pendekatan holistik” dalam pengelolaan pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi yang memahami dan merespons kebutuhan motivasi individu akan lebih efektif dalam menciptakan lingkungan yang mendukung proses pembelajaran dan pengembangan. Kondisi ini menjadi dasar untuk menghasilkan lulusan yang bermutu dan siap menghadapi tantangan di dunia kerja.
Implementasi SPMI “tidak cukup” hanya melibatkan aspek teknis dan administratif saja, namun juga aspek pengembangan manusia sebagai sumber daya utama dalam pendidikan. Dengan memberikan “perhatian penuh” pada kebutuhan motivasi setiap individu, institusi akan mendapatkan kemudahan dalam membangun budaya akademik yang inovatif dan produktif, dosen dan mahasiswa merasa dihargai dan termotivasi untuk berkontribusi secara maksimal.
Dalam perjalanan menuju peningkatan mutu pendidikan, penting bagi perguruan tinggi untuk menyadari bahwa motivasi dan proses penjaminan mutu “tidak dapat dipisahkan”.
Motivasi dan proses penjaminan mutu merupakan satu kesatuan yang holistik. Seperti yang dikatakan oleh Abraham Maslow, “Apa yang manusia dapat lakukan, mereka harus lakukan,” (What a man can be, he must be) menekankan bahwa potensi manusia dapat terwujud ketika kebutuhan mereka terpenuhi dan mereka merasa termotivasi. Individu yang termotivasi akan menjadi kekuatan dahsyat untuk memajukan SPMI secara holistik. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
“Dalam mengembangkan kerangka teori dan eksplorasi konsep awal, penulis menggunakan bantuan ChatGPT, model AI dari OpenAI, yang memberikan masukan dalam proses brainstorming dan merumuskan ide.”
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kebijakan pemerintah (kementerian pendidikan) yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Kebijakan ini mewajibkan penerapan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) secara berkelanjutan guna menciptakan budaya mutu di lingkungan perguruan tinggi. Peraturan terbaru tentang siklus PPEPP dituangkan dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 68.
Melalui SPMI, perguruan tinggi diharapkan mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional. Mampu mendorong perguruan tinggi untuk unggul di tingkat global. Namun, implementasi SPMI di perguruan tinggi diduga sering menghadapi berbagai kendala. Ada berbagai kendala yang bisa ditemukan, diantaranya terkait rendahnya pemahaman dan komitmen terhadap SPMI, kendala lain seperti keterbatasan sumber daya dan resistensi dari aktor-aktor internal. Bagaimana mengatasi problematik ini?
Adalah Amitai Etzioni, seorang sosiolog dan ilmuwan politik terkenal yang dikenal atas kontribusinya dalam teori organisasi dan kebijakan publik. Etzioni memperkenalkan Model Mixed Scanning, sebuah pendekatan pengambilan keputusan yang menggabungkan analisis mendalam pada area prioritas (pemindaian komprehensif) dengan pengamatan / pemindaian terbatas pada aspek lain.
Model Mixed Scanning dikembangkan untuk membantu para decision maker bertindak lebih efektif dalam situasi kompleks yang dibatasi oleh keterbatasan resources (sumber daya).
Model Mixed Scanning dari Amitai Etzioni memungkinkan decision dibuat secara lebih fleksibel, adaptif dan bertahap. Model ini memberikan ruang untuk mengkombinasikan analisis detail dan pendekatan incremental. Model ini membantu organisasi atau institusi pendidikan untuk mengoptimalkan sumber daya pada prioritas penting sambil tetap memantau aspek-aspek lain. Dengan demikian pengambilan keputusan dapat lebih adaptif dan terukur.
Untuk mengatasi problematik dalam penerapan SPMI, Model Mixed Scanning menawarkan solusi dimana institusi dapat mengimplementasikan SPMI secara step by step, menyesuaikan proses sesuai dengan tantangan, kebutuhan dan kondisi spesifik masing-masing institusi.
Baca juga: SPMI Perguruan Tinggi: Bisakah Kebijakan ini Gagal?
Model Mixed Scanning mengkombinasikan dua pendekatan pengambilan keputusan, yaitu high-order scanning (peninjauan komprehensif) dan detailed scanning (peninjauan terfokus). Pendekatan ini memungkinkan kebijakan dilihat dari perspektif makro sekaligus menangani detail-detail teknis secara lebih mendalam (mikro).
Dengan pendekatan fleksibilitas tersebut, pimpinan perguruan tinggi dapat memprioritaskan isu strategis secara komprehensif sambil tetap (fokus) menyelesaikan masalah-masalah kecil secara bertahap. Hal ini membuat kebijakan SPMI tidak hanya bersifat ambisius (idealis) namun tetap dijaga realistis dalam implementasinya.
Mixed Scanning membantu perguruan tinggi fokus mencapai rencana strategi (renstra) jangka panjang tanpa mengabaikan penyesuaian di setiap unit kerja. Perguruan tinggi fleksibel dan dapat beradaptasi dengan kapasitas dan kondisi lokal masing-masing, memastikan bahwa tahapan peningkatan mutu berjalan efektif dan dilakukan secara terus menerus.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Secara konsep, siklus PPEPP dalam SPMI sudah selaras dengan prinsip Mixed Scanning. Pada tahap Penetapan standar (dalam PPEPP), perguruan tinggi menggunakan high-order scanning untuk merumuskan kebijakan berdasarkan visi dan misi institusi, kebutuhan dunia usaha-industri, serta regulasi nasional, seperti yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023.
Tahap Evaluasi dan Pengendalian (dalam PPEPP) membutuhkan detailed scanning untuk mendeteksi problematik, kekurangan dan memastikan setiap kegiatan berjalan sesuai standar SPMI. Dengan peninjauan mendalam (detail scanning) ini, perguruan tinggi dapat melakukan penyesuaian tepat waktu (adaptasi) guna menjaga konsistensi dan keberlanjutan peningkatan mutu di seluruh unit kerja.
Dengan mengintegrasikan “langkah besar dan kecil”, institusi dapat melakukan evaluasi dan pengendalian mutu secara efektif. Peningkatan mutu tidak lagi dilihat sebagai “proyek satu kali jadi”, tetapi sebagai proses berkesinambungan di mana setiap unit kerja terus menerus beradaptasi dan berinovasi dengan baik.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Mixed Scanning membantu Institusi menghadapi kompleksitas (kerumitan) kebijakan dengan lebih efektif. Pendekatan ini memadukan “fleksibilitas dan ketelitian”, memungkinkan institusi untuk tetap fokus pada tujuan meskipun menghadapi dinamika kebijakan. Institusi tentu harus teliti untuk menjaga relevansi kebijakan SPMI dengan berbagai tuntunan stakeholder yang ada (internal dan eksternal).
Perubahan kebijakan nasional sering menjadi problematik dan tantangan bagi program penjaminan mutu. Namun, dengan pendekatan incremental, perguruan tinggi dapat menyesuaikan kebijakan mutu secara bertahap tanpa mengorbankan stabilitas dan mutu program yang sedang berjalan.
Panduan SPMI Perguruan Tinggi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2023) juga menekankan pentingnya evaluasi secara berkelanjutan. Evaluasi melalui program monitoring dan Audit Mutu Internal (AMI) memungkinkan perguruan tinggi merespons perubahan lingkungan eksternal dan kebutuhan stakeholder secara efektif dan efisien.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Salah satu tantangan “paling heboh” dalam implementasi SPMI adalah memastikan bahwa kebijakan SPMI yang diperjuangkan, lebih dari sekadar formalitas administratif belaka.
Banyak perguruan tinggi masih berkutat melihat SPMI sebagai kewajiban demi memenuhi tuntutan akreditasi.
Banyak institusi yang belum mampu “menginternalisasi nilai-nilai esensi peningkatan mutu” dalam proses sehari-hari. Itulah sebabnya mengapa dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 69 ayat (1)b berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi”.
Dengan pendekatan Mixed Scanning, kebijakan SPMI dapat diterapkan secara bertahap dan substansial. Alih-alih hanya mengumpulkan dan mencari-cari dokumen untuk akreditasi, perguruan tinggi bisa fokus pada peningkatan mutu pembelajaran melalui evaluasi rutin proses belajar-mengajar dan umpan balik dari mahasiswa. Komitmen ini memastikan kebijakan bukan sekadar pemenuhan prosedur belaka, tetapi berdampak nyata pada pendidikan pendidikan.
Sistem dokumentasi juga perlu diperbaiki agar kebutuhan akreditasi juga dipersiapkan dengan baik. Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 69 ayat (1)a.4. berbunyi: “Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: menetapkan perangkat SPMI yang minimal: tata cara pendokumentasian implementasi”.
Langkah-langkah incremental juga membantu membangun “quality culture” yang berkelanjutan. Setiap anggota civitas akademika, dari pimpinan, dosen hingga tenaga kependidikan, dituntut melihat peningkatan mutu sebagai bagian dari tanggung jawab bersama (quality is everyone responsibility), bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan eksternal. Mindset harus bergeser dari kepatuhan formalitas semata, namun menuju kesadaran akan pentingnya peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan (kaizen).
Model Mixed Scanning memberikan gambaran yang relevan untuk mengoptimalkan implementasi SPMI di perguruan tinggi. Kombinasi antara peninjauan komprehensif dan incremental memungkinkan institusi lebih fleksibel, adaptif dalam menghadapi tantangan kebijakan maupun kendala operasional sehari-hari.
Dengan pendekatan ini, bila dijalankan dengan baik, siklus PPEPP dalam SPMI dapat berjalan lebih efektif dan terarah. Setiap langkah menuju peningkatan mutu menjadi bagian dari proses yang terencana dan berkesinambungan, hal ini memastikan perguruan tinggi selalu siap beradaptasi, berinovasi dan bertransformasi terhadap tantangan perubahan lingkungan.
Model Mixed Scanning dapat digunakan membantu perguruan tinggi membangun budaya mutu yang kokoh dan konsisten. Hal ini dapat menjadi modal penting bagi perguruan tinggi Indonesia untuk bersaing secara global. Ingat! “Perbaikan kecil yang konsisten adalah fondasi bagi keunggulan yang berkelanjutan di masa depan.” Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi merupakan elemen utama yang disusun pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 pasal 68, mewajibkan perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk memastikan perbaikan berkelanjutan (kaizen). Kebijakan ini bertujuan agar setiap perguruan tinggi secara konsisten meningkatkan mutu akademik dan non akademik.
Namun, pelaksanaan SPMI di perguruan tinggi sering kali menghadapi tantangan karena perbedaan sumber daya, kapabilitas, dan komitmen antar institusi. Perguruan tinggi besar dengan akses lebih baik ke sumber daya lebih banyak kemudahan untuk menjalankan PPEPP dibandingkan institusi kecil atau di daerah. Hal ini menyebabkan kesenjangan dalam implementasi, di mana beberapa perguruan tinggi diduga hanya mampu melaksanakan SPMI secara formalitas tanpa perubahan substansial dalam mutu.
Baca juga: SPMI Perguruan Tinggi: Bisakah Kebijakan ini Gagal?
David Easton (1917–2014) adalah seorang pemikir politik terkemuka yang mengembangkan teori sistem politik. Easton memberikan wawasan bahwa politik berfungsi seperti sebuah sistem. Dalam karyanya A Systems Analysis of Political Life (1965), Easton memperkenalkan konsep bahwa proses politik dapat dianalisis melalui 3 hal: input, output, dan umpan balik (feedback). Pandangan ini mengilustrasikan bahwa sistem politik menerima masukan (input) dari masyarakat dan stakeholder, lalu memprosesnya untuk menghasilkan kebijakan sebagai bentuk output (luaran).
Easton berargumentasi bahwa kebijakan publik sebagai interaksi dinamis antara input dan output. Input berupa tuntutan dan dukungan dari masyarakat (stakeholder) atau aktor politik diproses menjadi kebijakan yang kemudian berdampak pada publik. Dampak kebijakan tersebut menciptakan feedback (umpan balik), yang memungkinkan pemerintah merevisi kebijakan agar lebih cocok terhadap kebutuhan dan tantangan kedepan.
Dalam konteks SPMI dan siklus PPEPP, tuntutan dari pemerintah, mahasiswa, dan masyarakat luas (stakeholder) berperan sebagai input, sedangkan pelaksanaan PPEPP menjadi output kebijakan yang diterapkan perguruan tinggi. Tahap evaluasi dan pengendalian mutu (dalam PPEPP) menyediakan umpan balik untuk memastikan kebijakan dapat terus direview, diperbaiki dan ditingkatkan, sehingga implementasi SPMI relevan dan efektif dalam mendorong peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
Menurut Easton (1965), kebijakan publik merupakan produk dari proses input dan output dalam sistem politik. Input (masukan) dapat berupa tuntutan, harapan dan dukungan dari masyarakat atau pemangku kepentingan (stakeholder), yang diproses melalui mekanisme dalam sistem politik. Hasil dari proses ini adalah output (luaran) berupa kebijakan yang diimplementasikan untuk mencapai tujuan tertentu. Setelah kebijakan diimplementasikan, dampaknya terhadap masyarakat akan menghasilkan umpan balik (feedback), yang kemudian menjadi bagian dari siklus kebijakan berikutnya.
Baca juga: Kompleksitas SPMI: Mampukah Kebijakan ini Bertahan?
Dalam konteks pendidikan tinggi, tuntutan / harapan dari pemerintah, dunia industri, mahasiswa, dan masyarakat terhadap mutu pendidikan menjadi input penting bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan SPMI. Permintaan dan harapan tersebut (demands) mencakup peningkatan mutu lulusan, layanan pendidikan, dan akreditasi yang baik. Selain itu, dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif, seperti Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, juga menjadi faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi SPMI dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar).
Proses PPEPP bersifat iteratif, di mana umpan balik dari evaluasi pelaksanaan standar mendorong perguruan tinggi untuk menyesuaikan standar baru di siklus berikutnya. Sebagai contoh, jika evaluasi menunjukkan bahwa mutu standar kompetensi lulusan masih rendah, perguruan tinggi dapat membuat penyesuaian seperti meningkatkan keterlibatan dosen dalam pendidikan dan pengajaran atau memperbaiki kurikulum. Dengan demikian, proses input-output dan umpan balik dalam implementasi SPMI sesuai dengan “prinsip adaptasi kebijakan” yang dinamis, (teori sistem politik Easton).
Implementasi SPMI melalui siklus PPEPP merupakan wujud nyata dari output kebijakan Pemerintah. Pada tahap awal, perguruan tinggi menetapkan standar mutu SPMI dan menjalankan kebijakan sesuai dengan rencana strategis (renstra) yang telah dirancang. Kebijakan ini bertujuan untuk mencapai perbaikan mutu secara berkelanjutan, baik dalam aspek akademik maupun non akademik.
Namun, dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi memiliki komitmen dan kapasitas yang sama untuk memenuhi tuntutan mutu tersebut. Perguruan tinggi dengan keterbatasan sumber daya (resources) sering kali hanya mampu fokus pada kepatuhan administratif untuk memenuhi standar akreditasi. Pemenuhan administratif tidak serta merta membawa “perubahan kongkrit” terhadap mutu layanan pendidikan yang diberikan.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Hal ini sejalan dengan teori David Easton, beliau menyatakan bahwa output (luaran) kebijakan sangat bergantung pada kemampuan sistem untuk mengolah input (masukan) secara efektif dan menyesuaikan diri (adaptasi) dengan kondisi internal dan eksternal.
Perguruan tinggi yang tidak mampu mengelola sumber dayanya (resources) dengan baik cenderung hanya fokus pada aspek formalitas pembuatan kebijakan SPMI, sementara perguruan tinggi yang lebih siap, dapat memanfaatkan kebijakan SPMI untuk menghasilkan dampak nyata bagi peningkatan mutu pendidikan.
Proses evaluasi dan pengendalian (dalam siklus PPEPP) menegaskan pentingnya umpan balik (feedback) sebagaimana diuraikan David Easton. Evaluasi rutin (periodik) memungkinkan institusi untuk mendeteksi kesenjangan dan kendala dalam implementasi Standar SPMI. Dengan Pemantauan (monitoring) maupun melalui Audit Mutu Internal (AMI), setiap kelemahan sistem, akan dapat segera diidentifikasi.
Sebagai ilustrasi, hasil AMI dapat saja mengungkap rendahnya keterlibatan dosen dalam penelitian atau ketidaksesuaian antara isi kurikulum dengan kebutuhan industri. Temuan (finding) ini memberikan dasar bagi institusi untuk memperbaiki kebijakan dan strategi mereka di siklus PPEPP berikutnya. Umpan balik (feedback) menjadi penting agar setiap siklus PPEPP baru lebih efektif dan relevan dengan kebutuhan eksternal terkini.
Tanpa umpan balik yang handal (valid), kebijakan SPMI berisiko menjadi jalan ditempat /formalitas administratif. Kebijakan seperti itu “kehilangan roh” dan fungsinya sebagai alat peningkatan mutu yang dinamis. Oleh sebab itu, siklus PPEPP harus dioptimalkan melalui evaluasi terus-menerus dan penyesuaian kebijakan (transformasi-adaptasi) berdasarkan umpan balik untuk memastikan peningkatan mutu pendidikan yang berkelanjutan (kaizen).
Baca juga: Auditor AMI: Dibenci atau Disayang?
Saat ini, penerapan SPMI menempatkan perguruan tinggi di “persimpangan jalan”. Di satu sisi, kebijakan SPMI berpotensi mendorong perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan meningkatkan reputasi akademik. Hal ini tentu saja mensyaratkan SPMI dijalankan dengan “komitmen penuh”. Siklus PPEPP memungkinkan institusi melakukan penyesuaian terus-menerus (adaptasi) sehingga mutu pendidikan dapat meningkat secara konsisten.
Di sisi lain, SPMI berpotensi menjadi beban administratif, bila fokus utama institusi hanya pada “pemenuhan regulasi” belaka.
Perguruan tinggi yang terlalu berorientasi pada kepatuhan dokumentasi dan akreditasi berisiko terjebak dalam rutinitas formalitas tanpa perubahan nyata. Hal ini dapat mengurangi substansi kebijakan sebagai alat transformasi mutu dan justru “mempersulit inovasi” dalam proses Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Agar kebijakan SPMI tidak menjadi sekadar formalitas belaka, perguruan tinggi harus “berkomitmen total” memanfaatkan evaluasi dan umpan balik dalam siklus PPEPP. Dengan feedback yang relevan, perguruan tinggi dapat memastikan setiap upaya perbaikan menghasilkan dampak nyata terhadap mutu pendidikan. Melalui pemantauan, AMI dan perbaikan berkelanjutan, SPMI diharapkan menjadi alat strategis untuk membangun mutu dalam kompetisi global.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Melalui teori sistem politik Easton, SPMI dapat dipahami sebagai proses dinamis yang melibatkan interaksi antara tuntutan (demands), dukungan (supports), kebijakan (policies), dan umpan balik (feedback). Tuntutan dan dukungan dari pemangku kepentingan—seperti pemerintah, dunia industri, dosen, dan mahasiswa—menjadi “input penting” yang harus diperhatikan-dikelola perguruan tinggi dalam menjalankan kebijakan mutu.
Institusi harus aktif dalam mengolah input dan umpan balik untuk memastikan kebijakan SPMI berjalan efektif dan efisien. Evaluasi rutin (periodik) dalam siklus PPEPP memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan hasil evaluasi, sehingga setiap siklus PPEPP membawa peningkatan mutu yang kongkrit. Apabila umpan balik tidak di-manage dengan baik, SPMI berisiko jalan di tempat, hanya menjadi formalitas administratif tanpa dampak substansial.
Melalui siklus PPEPP yang responsif-adaptif terhadap perubahan, SPMI dapat menjadi instrumen penting dalam membangun pendidikan tinggi yang bermutu.
Dengan pengelolaan yang tepat, kebijakan SPMI berpotensi menciptakan perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan memungkinkan institusi mencapai transformasi mutu yang diharapkan. Stay relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi pilar penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 Pasal 68 mewajibkan setiap perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) sebagai bagian dari komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan (continuous improvement).
Namun, implementasi kebijakan ini sering menghadapi berbagai kendala dan tantangan di lapangan. Perbedaan sumber daya (resources), kapabilitas, dan komitmen di antara perguruan tinggi menyebabkan pelaksanaan siklus PPEPP berjalan tidak seragam. Beberapa perguruan tinggi, terutama di daerah dengan keterbatasan sumber daya, sulit menjalankan seluruh tahapan siklus PPEPP secara optimal.
Dalam konteks inilah, teori inkrementalisme Charles E. Lindblom menjadi penting untuk dikaji. Lindblom berargumen bahwa kebijakan publik sering berkembang melalui penyesuaian bertahap, sedikit demi sedikit, bukan perubahan besar dan radikal. Penerapan SPMI dapat dipahami sebagai proses inkremental-adaptif, di mana perbaikan mutu terjadi secara bertahap berdasarkan pengalaman dan evaluasi yang dilakukan secara terus menerus.
Baca juga: Menakar Keberhasilan SPMI: Efektifkah Siklus PPEPP?
Teori inkrementalisme dari Charles E. Lindblom menyatakan bahwa kebijakan publik lebih sering diimplementasikan melalui penyesuaian kecil dan bertahap daripada perubahan menyeluruh dan radikal.
Hal diatas dilakukan karena pembuat kebijakan dihadapkan pada keterbatasan waktu, informasi, dan sumber daya (resources) sehingga tidak memungkinkan untuk merumuskan solusi optimal secara langsung dan komprehensif.
Dalam pelaksanaannya, para decision maker cenderung mengambil langkah-langkah “pragmatis” dengan mendasarkan kebijakan baru pada kebijakan lama yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini menyebabkan terjadi kondisi adaptasi secara bertahap, sehingga kebijakan dapat berkembang dinamis dan mampu mengatasi berbagai kendala yang muncul di lapangan.
Dalam konteks lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, implementasi SPMI tidak dapat secepatnya mencapai standar tinggi dalam waktu singkat. Perguruan tinggi umumnya melakukan perbaikan bertahap, sedikit demi sedikit berdasarkan pengalaman dan kendala yang ditemukan selama proses evaluasi. Pendekatan inkremental seperti ini memungkinkan siklus PPEPP menjadi lebih realistis dengan kondisi aktual yang dihadapi oleh masing-masing perguruan tinggi.
Siklus PPEPP merupakan proses iteratif. Proses PPEPP di perguruan tinggi menggambarkan pendekatan bertahap yang diusung oleh Charles E. Lindblom. Pada tahap awal implementasi, perguruan tinggi mungkin hanya fokus pada penetapan dan pelaksanaan standar (dalam PPEPP). Contoh, perguruan tinggi memulai tahapan dengan menyusun standar untuk program studi dan memperkenalkan mekanisme awal pelaksanaan (dalam PPEPP) tanpa memprioritaskan evaluasi mendalam.
Dalam perjalanan kemudian, perguruan tinggi mulai memprioritaskan evaluasi dan pengendalian standar (dalam PPEPP) setelah siklus penetapan dan pelaksanaan dilakukan. Misalnya, setelah menjalankan siklus PPEPP pertama, perguruan tinggi mungkin belajar dan menyadari bahwa standar awal tidak relevan dengan praktik aktual. Selanjutnya dilakukan penyesuaian melalui evaluasi untuk memperbaiki standar (kebijakan) dan perbaikan proses penerapannya.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Akan tetapi, tantangan berikutnya muncul ketika penyesuaian bertahap tidak diikuti dengan perubahan nyata. Dalam beberapa kasus, institusi pendidikan tinggi terjebak dalam rutinitas administratif belaka, mereka fokus hanya pada pemenuhan dokumen tanpa menghasilkan peningkatan standar yang signifikan. Sebagai ilustrasi, persyaratan akreditasi hanya dipenuhi dokumen formal tanpa perubahan substantif dalam pengajaran atau riset, siklus PPEPP berisiko menjadi sekadar rutinitas birokratis tanpa “impact” signifikan terhadap mutu pendidikan.
Baca juga: Integrasi Konsep McKinsey 7S untuk Penguatan SPMI
Sesuai dengan konsep inkrementalisme dari Lindblom, implementasi kebijakan SPMI membutuhkan kompromi antara berbagai aktor di perguruan tinggi, seperti pejabat pimpinan, dosen, dan tenaga kependidikan. Setiap kelompok memiliki kepentingan dan prioritas yang berbeda beda, sehingga komunikasi-negosiasi dan penyesuaian menjadi proses penting dalam penerapan kebijakan SPMI. Sebagai ilustrasi, pimpinan mungkin fokus pada pencapaian akreditasi institusi, sementara dosen lebih fokus pada peningkatan kegiatan penelitian dan pengajaran.
Resistensi (penolakan) dapat terjadi ketika kebijakan diterapkan secara ambisius atau perubahan drastis tanpa mempertimbangkan kesiapan dan kepentingan masing-masing kelompok (aktor).
Sebagai contoh, apabila perguruan tinggi langsung menetapkan target penelitian internasional tanpa memperhatikan keterbatasan sumber daya dosen, kebijakan tersebut berpotensi ditolak dan sulit diimplementasikan. Proses negosiasi membantu memastikan bahwa setiap kelompok (aktor) merasa dilibatkan dan berkomitmen dalam pencapaian target-target standar mutu (SPMI).
Dengan pola inkremental, perguruan tinggi dapat membangun komitmen secara bertahap melalui uji coba dan perbaikan secara terus menerus. Misalnya, pada tahap awal, pimpinan menetapkan standar SPMI yang rendah dan meningkatkan secara bertahap seiring dengan peningkatan kapasitas dosen dan staf. Pola ini memungkinkan semua pihak beradaptasi secara bertahap, mengurangi resistensi, dan menciptakan kolaborasi untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan (Kaizen)
Evaluasi (dalam PPEPP) merupakan elemen penting dalam SPMI. Elemen ini konsisten dengan prinsip inkrementalisme. Setiap tahap siklus, evaluasi memberikan umpan balik yang digunakan untuk memperbaiki kebijakan di masa depan. Melalui evaluasi (Audit dan Monev), perguruan tinggi dapat mengidentifikasi kesenjangan (gap) dan kendala, seperti rendahnya partisipasi dosen dalam proses PPEPP atau ketidakselarasan antara standar mutu internal dengan tuntutan akreditasi nasional.
Berdasarkan hasil evaluasi, melalui temuan audit, asesmen dan monev, perguruan tinggi dapat menyesuaikan kebijakan agar lebih relevan dan operasional di siklus berikutnya. Contoh, jika keterlibatan dosen dalam penelitian dinilai rendah, kebijakan dapat diubah untuk memberikan insentif penelitian atau pelatihan tambahan tentang metodologi riset. Dengan perbaikan bertahap ini, implementasi PPEPP dapat terus berkembang dan selaras dengan kebutuhan dan tantangan di masa yang akan datang.
Baca juga: Kritisi AMI, di Balik Kegagalan Mutu Perguruan Tinggi
Walaupun pendekatan inkrementalisme memberikan fleksibilitas dalam implementasi SPMI, namun ada risiko bahwa penyesuaian inkremental tidak berakhir indah, hanya mampu “jalan di tempat”.
Beberapa lembaga perguruan tinggi mungkin hanya mampu fokus pada kepatuhan administratif, seperti pemenuhan kelengkapan dokumen SPMI untuk akreditasi, tanpa menghasilkan perbaikan nyata dalam mutu pendidikan. Hal ini terjadi bila setiap siklus PPEPP hanya diperlakukan sebagai prosedur rutin tanpa mempertimbangkan dampak nyata terhadap mutu Tri Dharma seperti pendidikan-pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.
Evaluasi (dalam PPEPP) yang dilakukan secara dangkal juga berpotensi membuat perubahan menjadi sekadar formalitas tanpa memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan mutu pendidikan. Contoh, perguruan tinggi mampu menyelesaikan tahap evaluasi hanya untuk memenuhi syarat akreditasi, namun tidak menggunakan hasil evaluasi tersebut (temuan) untuk memperbaiki kelemahan yang ada. Meskipun langkah ini secara administratif dianggap mematuhi regulasi, namun perubahan yang dihasilkan tidak relevan, tidak sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan.
Oleh sebab itu, penting bagi institusi untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam siklus PPEPP menghasilkan “impact” konkret dan terukur. Misal, evaluasi dapat mengidentifikasi bahwa tingkat keterlibatan dosen dalam penelitian rendah. Untuk merespon hal tersebut, perguruan tinggi bisa merancang kebijakan baru, seperti memberikan insentif atau alokasi waktu khusus untuk mendukung kegiatan riset.
Pelaksanaan SPMI melalui pendekatan inkrementalisme menekankan bahwa peningkatan mutu pendidikan tinggi merupakan proses perbaikan terus menerus dan adaptif. Perguruan tinggi perlu menyadari bahwa transformasi tidak mudah seperti membalik telapak tangan, tetapi melalui langkah-langkah kecil, sedikit demi sedikit yang sistematis dan terarah. Setiap tahapan dalam siklus PPEPP memungkinkan perguruan tinggi untuk mengevaluasi hasil yang dicapai dan mengambil tindakan yang sesuai dengan kebutuhan yang berkembang.
Langkah dan penyesuaian bertahap ini tidak boleh menjadi alasan untuk stagnasi. Perguruan tinggi harus tetap fokus pada tujuan jangka panjang, visi-misi dan menghindari jebakan rutinitas administratif. Tanpa pemantauan (monitoring) dan komitmen yang berkelanjutan, pelaksanaan siklus PPEPP dapat berhenti (jalan di tempat), tanpa membawa perubahan nyata pada mutu pendidikan. Oleh karena itu, evaluasi berkelanjutan dan perbaikan yang konsisten wajib harus ada.
Perubahan kecil yang dilakukan secara terus menerus akan membentuk dasar yang kokoh untuk perbaikan mutu di masa depan.
“Continuous improvement is better than delayed perfection,” sebagaimana ungkapan yang menggambarkan bahwa perbaikan kecil namun konsisten lebih efektif daripada menunggu perubahan sempurna namun tidak kunjung datang. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kebijakan Pemerintah yang dipandang cukup strategis untuk meningkatkan dan menjaga mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menekankan pentingnya perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk mendorong perbaikan mutu secara berkelanjutan (kaizen).
Namun, di tengah tuntutan peningkatan mutu dan perubahan undang-undang dan peraturan menteri, muncul pertanyaan kritis: Apakah siklus PPEPP cukup efektif dalam mendongkrak mutu pendidikan tinggi di Indonesia?, atau hanya berakhir sebagai beban formalitas administratif belaka? Evaluasi komprehensif diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan SPMI tidak hanya menjadi prosedur rutin, namun juga mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap mutu dan relevansi pendidikan di Indonesia.
Untuk menjawab persoalan tersebut, diperlukan evaluasi komprehensif atas implementasi SPMI guna menilai efektivitas kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Kerangka evaluasi William N. Dunn akan dipakai sebagai pisau analisis dalam kajian ini. Teori dari Dunn memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pelaksanaan kebijakan.
William N. Dunn adalah seorang profesor di Graduate School of Public and International Affairs, University of Pittsburgh. Ia dikenal luas atas kontribusinya dalam analisis kebijakan publik melalui karya seperti Public Policy Analysis: An Integrated Approach, yang digunakan secara global dalam studi kebijakan dan administrasi publik.
Dunn mengusulkan 6 (enam) kriteria evaluasi, yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, keadilan, responsivitas, dan kelayakan.
Enam kriteria diatas tidak hanya membantu menilai keberhasilan kebijakan, namun juga mengidentifikasi tantangan, kendala serta area-area yang memerlukan perbaikan dalam siklus PPEPP. Analisis dengan 6 kriteria diatas dapat memberikan wawasan tentang bagaimana kebijakan SPMI dapat dioptimalkan untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan (kaizen).
Kriteria pertama menurut Dunn adalah efektivitas. Dalam konteks SPMI, efektivitas diukur berdasarkan keberhasilan mencapai target yang relevan dan peningkatan akreditasi perguruan tinggi.
Jika siklus PPEPP diterapkan dengan benar, perguruan tinggi diharapkan mampu meningkatkan mutu dalam dua aspek yaitu akademik dan non-akademik.
Namun, ada dugaan, bahwa pelaksanaan siklus PPEPP seringkali tidak merata di seluruh program studi. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan tersebut benar-benar memberikan dampak signifikan atau hanya berakhir sebagai formalitas / prosedur administratif tanpa perubahan yang substansial.
Selain itu, efektivitas kebijakan SPMI dapat dievaluasi melalui indikator kinerja yang dicapai melalui pencapaian target dari standar SPMI, contoh seperti publikasi ilmiah, peningkatan kompetensi lulusan, dan kepuasan mahasiswa. Keberhasilan pencapaian target standar SPMI ini tidak hanya diukur dari kepatuhan administratif, namun dari dampak nyata terhadap mutu pendidikan dan relevansi lulusan di pasar tenaga kerja.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Efisiensi menekankan penggunaan resources (sumber daya) secara optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Dalam pelaksanaan siklus PPEPP, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa budget, infrastruktur, dan tenaga SDM digunakan secara efektif untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Namun di beberapa perguruan tinggi, implementasi SPMI sering kali menghadapi tantangan berupa keterbatas anggaran dan kapasitas (skills) sumber daya manusia, terutama di perguruan tinggi swasta di daerah-daerah. Proses penting seperti evaluasi dan pengendalian mutu memerlukan sistem informasi serta dukungan administrasi yang memadai, namun tidak semua perguruan tinggi memiliki kemampuan tersebut, sehingga menghambat pencapaian dari standar SPMI.
Permasalahan diatas memunculkan pertanyaan penting: Apakah kebijakan SPMI mampu berjalan efisien di semua jenis perguruan tinggi?
Efisiensi siklus PPEPP sangat bergantung pada keterampilan manajerial dan komitmen pimpinan perguruan tinggi dalam mengalokasikan sumber daya secara strategis. Tanpa pengelolaan yang baik, kebijakan SPMI berisiko menjadi boros dan mahal tanpa memberikan hasil signifikan.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Kecukupan untuk menjawab pertanyaan apakah kebijakan yang disusun cukup untuk memecahkan masalah yang ingin diatasi.
Dalam konteks SPMI, kebijakan SPMI disusun bertujuan untuk memastikan standar SPMI dipenuhi oleh perguruan tinggi, program studi dan unit kerja.
Bagaimana dalam praktiknya? Diduga tidak semua masalah pendidikan tinggi dapat diselesaikan hanya melalui penerapan PPEPP. Beberapa masalah seperti rendahnya minat penelitian di kalangan dosen atau kurangnya keterlibatan industri dalam pengembangan kurikulum mungkin tidak sepenuhnya teratasi melalui kebijakan SPMI.
Oleh sebab itu, kebijakan SPMI dianggap cukup atau memadai (adequacy) bila mampu memperbaiki “sebagian besar” aspek mutu pendidikan, meskipun mungkin belum mencakup untuk seluruh dimensi mutu di perguruan tinggi. Oleh karena itu, perguruan tinggi “perlu aktif” melakukan penyesuaian dan inovasi kebijakan agar penerapan PPEPP dapat memenuhi kebutuhan internal sekaligus menjawab tantangan eksternal.
Kriteria keadilan atau pemerataan, dilakukan untuk mengukur sejauh mana manfaat kebijakan didistribusikan “secara adil” (equity) di antara semua pihak yang terlibat.
Kebijakan SPMI harus memastikan bahwa seluruh program studi dan unit di perguruan tinggi mendapatkan perhatian dan dukungan yang adil serta memadai. Namun, dalam praktik diduga bahwa terdapat ketimpangan dalam penerapan PPEPP, di mana program studi unggulan atau fakultas yang lebih mapan cenderung mendapatkan dukungan sumber daya yang lebih besar.
Akses yang merata terhadap sumber daya pendidikan juga menjadi indikator penting dalam menilai keadilan kebijakan. Perguruan tinggi perlu memastikan semua mahasiswa dari berbagai latar belakang mendapatkan layanan pendidikan tanpa diskriminasi.
Responsivitas, bermakna kemampuan perguruan tinggi untuk menyesuaikan kebijakan dengan perubahan regulasi dan tuntutan pemangku kepentingan.
Dalam dunia pendidikan tinggi yang dinamis, kebijakan SPMI harus responsif-adaptif terhadap perkembangan teknologi, tuntutan industri, dan kebutuhan mahasiswa. Namun, birokrasi yang kompleks dan kurangnya komunikasi-koordinasi sering kali menjadi penghambat dalam penerapan kebijakan SPMI yang cepat dan tepat.
Beberapa perguruan tinggi menunjukkan kemampuan responsif dengan memodifikasi kurikulum dan mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan mutu pendidikan. Akan tetapi, tidak semua institusi memiliki fleksibilitas yang sama. Hal ini menimbulkan tantangan dalam menjaga agar standar SPMI yang ditetapkan perguruan tinggi tetap relevan dengan kebutuhan dan tuntutan yang berkembang.
Kriteria terakhir adalah kelayakan (appropriateness), yang menilai apakah kebijakan SPMI relevan dengan masalah yang dihadapi dan selaras dengan tujuan pendidikan tinggi.
Kebijakan SPMI akan dianggap tepat jika mampu mendukung pencapaian visi dan misi perguruan tinggi serta memenuhi standar nasional dan internasional. Kelayakan juga berkaitan dengan sejauh mana kebijakan SPMI mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi eksternal perguruan tinggi.
Diduga kuat, di beberapa perguruan tinggi kebijakan SPMI hanya menjadi rutinitas administratif belaka, tanpa menyentuh permasalahan substansial. Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa siklus PPEPP tidak hanya berfokus pada kepatuhan formal, namun juga pada peningkatan mutu yang signifikan dan berkelanjutan (continuous improvement).
Baca juga: Kurangi Kerumitan SPMI, Bisakah?
Evaluasi kebijakan SPMI dengan prspektif 6 (enam) kriteria William Dunn memberikan wawasan mendalam tentang efektivitas dan mutu kebijakan di perguruan tinggi.
SPMI yang dijalankan melalui siklus PPEPP memiliki potensi besar dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada faktor-faktor utama, seperti ketersediaan sumber daya, komitmen pimpinan, dan responsivitas terhadap perubahan kebutuhan.
Dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi mampu menjalankan kebijakan SPMI secara efisien dan merata. Beberapa perguruan tinggi menghadapi kendala dalam penerapan siklus PPEPP, baik karena keterbatasan sumber daya maupun hambatan komunikasi-koordinasi. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi dan penyesuaian berkelanjutan agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan baik dan benar sesuai dengan dinamika pendidikan tinggi.
Penerapan 6 kriteria dari Dunn membantu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kebijakan serta memberikan arahan untuk perbaikan.
Perguruan tinggi harus memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjadi kewajiban formalitas-administratif, namun juga sebagai tools (alat) strategis untuk mencapai keunggulan dan peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Dengan komitmen dan pengelolaan (management) yang tepat, siklus PPEPP dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam menjamin mutu dan relevansi pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Implementasi Kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah regulasi penting ditetapkan pemerintah untuk memastikan peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar—berfungsi sebagai panduan bagi perguruan tinggi untuk “mengintegrasikan” kebijakan mutu ke dalam semua aspek operasional dan proses pembelajaran. Peraturan Pengintegrasian SPMI dalam manajemen perguruan tinggi, dapat dilihat pada pasal 69, ayat (1)b Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Namun, di perguruan tinggi, implementasi ini tidak selalu berjalan dengan mulus sesuai rencana. Kesenjangan (gap) sering muncul antara perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya. Kebijakan yang dirancang di tingkat strategis di lingkungan kementerian, namun seringkali sulit diterjemahkan ke dalam tindakan nyata di unit-unit operasional di kampus. Sulitnya komunikasi-koordinasi internal juga memperburuk kesulitan ini.
Dalam konteks ini, teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier memberikan penjelasan menarik tentang mengapa kebijakan yang tampak baik di atas kertas sering mengalami tantangan berat dalam penerapannya.
Para pimpinan perguruan tinggi, baik rektor, ketua maupun direktur, merasa “pusing tujuh keliling” bagaimana cara-cara praktis mengelola SPMI dengan baik dan benar. Mereka menyadari bahwa keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada desain kebijakan, namun juga pada kemampuan organisasi dalam menghadapi kompleksitas masalah dan dinamika faktor eksternal.
Teori Mazmanian dan Sabatier menekankan bahwa “kompleksitas” masalah adalah salah satu faktor penting yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan (Mazmanian & Sabatier, Implementation and Public Policy, 1983). Dalam perguruan tinggi, perubahan menuju penerapan budaya mutu bukan hanya masalah teknis, tetapi juga melibatkan adaptasi di seluruh organisasi. Managing change merupakan salah satu tantangan besar bagi pengelola organisasi.
Birokrasi yang kaku, struktur yang berlapis dan (pola pikir, pola sikap dan pola perilaku) yang sudah terbentuk menjadi hambatan dalam proses perubahan. Organisasi sudah sulit untuk lincah fleksibel mengikuti perubahan lingkungan (struktural yang lembam atau inersia). Aktor-aktor internal, seperti pimpinan, dosen dan staf administrasi, sering kali enggan meninggalkan kebiasaan (habit) lama, sehingga membuat implementasi kebijakan SPMI berjalan lambat atau tidak konsisten.
Siklus PPEPP nomor tiga, yang terdiri dari monitoring-evaluasi (monev) dan audit mutu secara berkala, kerap dipandang sebagai tugas administratif semata. Alih-alih digunakan sebagai “tools” untuk perbaikan berkelanjutan (kaizen), audit dan monev seringkali tidak dianggap strategis oleh sebagian besar pelaksana di lapangan.
Resistensi (penolakan) tersebut menggambarkan bagaimana faktor “budaya mutu” berpengaruh besar terhadap efektivitas kebijakan pemerintah. Semakin kompleks dan beragam perilaku aktor dalam sebuah organisasi, seperti yang dijabarkan oleh Mazmanian dan Sabatier, semakin berat pula kebijakan tersebut dapat dijalankan dengan baik.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Salah satu aspek krusial dalam teori Mazmanian dan Sabatier adalah bahwa kebijakan pemerintah yang efektif harus mampu mengarahkan implementasi secara jelas. Tujuan yang spesifik dan instrumen yang memadai sangat penting agar kebijakan dapat dijalankan sesuai harapan stakeholder. Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 telah menyediakan kerangka (framework) kebijakan yang mengatur penjaminan mutu di perguruan tinggi.
Keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada kerangka kebijakan, tetapi juga pada kemampuan perguruan tinggi untuk mengintegrasikan PPEPP ke dalam strategi operasional sehari-hari. Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa setiap tahap PPEPP berjalan “selaras” dengan manajemen mutu di semua level, mulai dari statuta, RIP, Renstra, Kebijakan SPMI, Perangkat PPEPP, Standar, Prosedur dan Instruksi Kerja.
Keterlibatan dan koordinasi langsung dari pimpinan puncak sangat penting agar PPEPP tidak sekadar menjadi formalitas administratif belaka. Pimpinan harus mampu berkomunikasi dan memotivasi seluruh komponen organisasi untuk melihat PPEPP sebagai instrumen peningkatan mutu yang berkelanjutan. Pimpinan harus menjadi role model yang terdepan untuk dicontoh anggota organisasi. Tanpa komitmen penuh dari segenap pimpinan dan keterlibatan seluruh elemen, kebijakan yang baik di atas kertas sulit memberikan dampak (impact) nyata pada peningkatan mutu pendidikan.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Faktor lingkungan eksternal memainkan peran penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan SPMI. Perguruan tinggi harus mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan FUCA, BANI dan kebijakan nasional serta memenuhi tuntutan akreditasi dari lembaga eksternal. Dinamika ini membuat pelaksanaan PPEPP tidak hanya bergantung pada internal kampus, tetapi juga pada perubahan lingkungan yang berlaku di tingkat nasional dan global.
Perubahan lingkungan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) menuntut perguruan tinggi untuk beradaptasi cepat, tepat dan fleksibel. Dalam perspektif Mazmanian dan Sabatier, keberhasilan implementasi kebijakan bergantung pada kemampuan perguruan tinggi menghadapi dinamika ini melalui penyusunan (pemutakhiran) visi-misi, koordinasi internal, desain kebijakan yang jelas, dan adaptasi terus menerus terhadap perubahan faktor eksternal.
Mazmanian dan Sabatier menggaris bawahi bahwa dukungan politik dan lingkungan eksternal sangat krusial dalam memengaruhi keberhasilan kebijakan (Mazmanian & Sabatier, 1983). Ketika ada perubahan undang-undang, kebijakan akreditasi atau peraturan pendidikan, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa “Standar SPMI” tetap relevan dan selaras dengan tuntutan terbaru. Keterlambatan dalam beradaptasi bisa menghambat pencapaian mutu yang diharapkan. Dengan kata lain. standar SPMI harus terus menerus di mutakhirkan (update) agar tetap relevant.
Monitoring dan evaluasi internal menjadi sangat krusial agar dokumen SPMI dapat terus diperbarui sesuai perkembangan eksternal. Perguruan tinggi harus melakukan evaluasi berkala dan menerapkan umpan balik untuk mengatasi kesenjangan antara perubahan eksternal, regulasi dan praktik. Ini memastikan bahwa kebijakan SPMI tetap efektif dan mampu menghadapi perubahan di lingkungan yang dinamis.
Implementasi SPMI dan PPEPP di perguruan tinggi merupakan proses dinamis dan kompleks yang memerlukan keterlibatan seluruh komponen organisasi. Melalui kerangka teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier, dapat dipahami bahwa keberhasilan kebijakan tidak hanya bergantung pada perumusan yang baik, namun juga pada pelaku aktor-aktor di lapangan.
Perguruan tinggi yang mampu mengintegrasikan PPEPP ke dalam praktik manajemen kampus tidak hanya akan memenuhi regulasi, tetapi juga berpeluang untuk meningkatkan mutu pendidikan secara terus menerus. Proses ini membutuhkan komitmen dari seluruh elemen, termasuk pimpinan puncak, dosen, dan staf administrasi, agar kebijakan SPMI berjalan efektif dan efisien. Segenap SDM di perguruan tinggi, bersama-sama perlu memperkuat budaya mutu organisasi.
Budaya mutu organisasi meliputi pola pikir, pola sikap dan pola perilaku yang sesuai dengan standar SPMI yang telah ditetapkan. Perlu membangun etos kerja yang kuat, yaitu komitmen untuk kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas.
Dengan komunikasi-koordinasi yang efektif dan pemantauan yang berkesinambungan, siklus PPEPP dapat berfungsi sebagai instrumen perubahan yang nyata. Audit mutu internal, dan Monev internal memungkinkan perguruan tinggi menyesuaikan kebijakan SPMI dengan perkembangan eksternal, memastikan bahwa peningkatan mutu tidak berhenti hanya pada pemenuhan standar, tetapi terus berkembang untuk menghadapi tantangan era VUCA dan BANI saat ini dan di masa yang akan datang. Stay Relevant!
Baca juga: Pengorbanan dan Dedikasi: Fondasi Kepemimpinan SPMI
Referensi:
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi