
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Alkisah, Politeknik X (fiktif), sebuah institusi pendidikan vokasi di sebuah kepulauan yang tenang, berdiri di bawah kepemimpinan Dr. Fulan, seorang direktur yang berwawasan luas dan bertekad kuat. Meskipun Politeknik X telah memiliki tenaga pengajar berkualitas dan fasilitas sarana prasarana yang memadai, prestasi institusi ini belum sepenuhnya mencerminkan potensinya. Perjalanan panjang Politeknik X masih diwarnai oleh tingkat kelulusan yang stagnan dan keterampilan (skills) lulusan yang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dunia kerja. Setiap tahun, Dr. Fulan menyaksikan dengan kagum bagaimana institusi lain berhasil melahirkan lulusan yang siap kerja, inovatif, dan unggul dalam daya saing global. Di tengah perenungan panjang di ruang kerjanya, Dr. Fulan menyadari bahwa perubahan besar harus dimulai, harus dimulai saat ini. Inspirasi itu datang ketika ia berkenalan dengan konsep benchmarking, sebuah strategi manajemen mutu yang penting untuk diimplementasikan.
Dalam dunia yang semakin begejolak dan kompleks, yang sering disebut sebagai era BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, and Incomprehensible), perguruan tinggi seperti Politeknik X dituntut untuk melakukan peningkatan mutu secara terus menerus atau continuous improvement.
Tuntutan tersebut tidak hanya berasal dari persaingan nasional, namun juga di ranah regional dan internasional. Peningkatan mutu tidak boleh hanya terpaku pada pencapaian akademik saja, namun juga pada ranah non akademik juga. Institusi harus memastikan lulusan yang mampu menjawab tantangan dunia kerja, memenuhi standar industri, dan menjadi pemimpin masa depan yang kompeten. Dalam konteks ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hadir sebagai instrumen strategis, yang diimplementasikan melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) untuk menjamin proses peningkatan mutu yang sesuai harapan stakeholder.
Untuk memperkuat implementasi SPMI, konsep benchmarking yang diuraikan oleh Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education menawarkan solusi efektif dalam mencapai peningkatan mutu yang diharapkan.
Benchmarking memberikan ruang bagi institusi untuk bercermin pada praktik terbaik, mengidentifikasi kesenjangan, dan mengadaptasi solusi inovatif yang relevan. Lebih dari sekadar meniru, benchmarking adalah proses belajar untuk tumbuh bersama, dengan visi menuju institusi pendidikan yang unggul, berkualitas, dan berdaya saing tinggi. Berbekal semangat dan motivasi baru, Dr. Fulan siap memimpin Politeknik X dalam mengoptimalkan strategi benchmarking untuk mewujudkan transformasi yang diharapkan.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
SPMI adalah sebuah sistem yang disusun secara sistematis untuk memastikan mutu pendidikan dapat terjaga dan meningkat secara terus menerus. Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), perguruan tinggi dapat menetapkan standar yang relevan, melaksanakan rencana aksi, mengevaluasi, mengendalikan penyimpangan, serta memperbaiki kualitas sesuai harapan pemangku kepentingan. Lebih dari sekadar prosedur administratif formalitas, siklus PPEPP merupakan langkah penting yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Siklus iterasi PPEPP ini memungkinkan terjadinya perbaikan yang berkelanjutan.
Namun, walaupun kerangka PPEPP telah terbangun dengan baik, tantangan implementasi tak dapat dielakkan. Keterbatasan sumber daya (resources), resistensi dari karyawan, serta ketiadaan tolok ukur yang memadai sering kali menghambat upaya peningkatan mutu.
Di sinilah peran benchmarking menjadi penting. Konsep ini membantu dalam membandingkan kinerja institusi dengan praktik terbaik, serta memberikan inspirasi dan strategi yang tepat.
Dr. Fulan memahami betul tantangan tersebut dan dengan tekad yang kuat, ia berkomitmen untuk mengoptimalkan benchmarking sebagai tools untuk mengejar ketertinggalan.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Benchmarking adalah proses sistematis untuk membandingkan kinerja organisasi dengan praktik terbaik dari organisasi lain yang lebih unggul.
Melalui benchmarking, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi kesenjangan (gaps) kinerja apa saja yang muncul, memahami praktik terbaik, dan mengadaptasi langkah-langkah strategis yang diperlukan. Sallis menjelaskan bahwa benchmarking bukan sekadar proses meniru, melainkan sebuah upaya belajar dari pengalaman pihak lain yang lebih maju (unggul) dalam bidang tertentu.
Sebagai contoh, dalam benchmarking terkait tata kelola, sebuah perguruan tinggi dapat membandingkan sistem manajemen akademik dan keuangan dengan institusi yang diakui unggul dalam efisiensi tata kelola. Misal, Politeknik X belajar dari Universitas Y yang telah berhasil menerapkan sistem tata kelola berbasis teknologi informasi untuk mempermudah proses administrasi akademik dan transparansi anggaran. Hasilnya, Politeknik X dapat mengadaptasi teknologi yang sejenis untuk meningkatkan efisiensi dan layanan yang lebih baik kepada mahasiswa serta stakeholder lainnya.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Dalam penerapan SPMI berbasis PPEPP, benchmarking hadir sebagai tools penting dalam mengevaluasi efektivitas kebijakan dan program perguruan tinggi. Jenis pertama adalah internal benchmarking, yaitu proses membandingkan kinerja antar fakultas atau program studi di dalam satu institusi. Misalnya, Fakultas Hukum membandingkan tingkat kelulusan mahasiswa dengan Fakultas Farmasi untuk mengevaluasi efektivitas metode pengajaran.
Pendekatan ini membantu perguruan tinggi memahami capaian antar fakultas atau prodi internal, mengidentifikasi kesenjangan (gaps) yang terjadi, dan mendorong terciptanya kompetisi sehat untuk mencapai standar SPMI terbaik.
Selanjutnya functional benchmarking, jenis ini fokus pada perbandingan fungsi-fungsi spesifik dengan institusi lain yang memiliki praktik lebih unggul. Misalnya, pengelolaan kurikulum, sistem penilaian pembelajaran, atau layanan administrasi yang lebih memuaskan. Dengan metode ini, perguruan tinggi dapat belajar dari keberhasilan institusi lain dan melakukan adaptasi metode tersebut sesuai dengan kebutuhan internal.
Terakhir generic benchmarking, jenis ini memungkinkan perguruan tinggi untuk belajar dari organisasi di luar dunia pendidikan, misal ke pabrik, hotel atau kantor-kantor swasta lainnya. Praktik manajemen mutu yang diterapkan di sektor non-pendidikan, seperti marketing, efisiensi sumber daya atau inovasi layanan, sering kali relevan dan dapat diadaptasi sesuai konteks institusi pendidikan. Melalui ketiga jenis ini, institusi memiliki keleluasaan dalam menentukan tolok ukur yang paling strategis guna mendorong peningkatan mutu secara berkelanjutan (continuous improvement).
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Pada tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menjadi tools penting bagi perguruan tinggi untuk menetapkan standar SPMI yang lebih tinggi. Dengan melakukan perbandingan terhadap institusi terbaik, perguruan tinggi dapat merumuskan target kinerja yang tidak hanya realistis, tetapi juga optimis dan ambisius. Data dari benchmarking memberi perspektif baru mengenai target dan potensi yang dapat dicapai, mendorong perguruan tinggi untuk siap berkompetisi dalam menetapkan standar mutu yang lebih unggul.
Memasuki tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP), praktik terbaik yang diperoleh dari hasil benchmarking dapat diadopsi dan disesuaikan dengan konteks lokal perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat belajar dari bagaimana institusi lain melaksanakan standar SPMI mereka secara efektif dan efisien. Adaptasi ini memungkinkan perguruan tinggi untuk merumuskan strategi pelaksanaan yang lebih terukur dan selaras dengan karakteristik internal mereka, sehingga implementasi berjalan optimal dan menghasilkan dampak yang bermanfaat.
Pada tahap Evaluasi Pemenuhan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menyediakan data yang diperlukan untuk mengukur kesenjangan antara kinerja aktual dengan target yang telah ditetapkan. Misalnya, jika tingkat kelulusan di suatu perguruan tinggi hanya mencapai 80%, sementara institusi pembanding mencapai 90%, maka benchmarking membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang perlu diperbaiki. Analisis kesenjangan (gaps) ini menjadi pijakan (baseline) untuk merancang strategi perbaikan yang lebih tepat sasaran, memastikan kelemahan diatasi dengan pendekatan yang sistematis dan berbasis data. Kegiatan benchmarking di integrasikan dengan kegiatan audit mutu internal, monev dan assessment yang selama ini sudah dijalankan.
Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) kemudian berfokus pada penerapan tindakan koreksi, korektif dan preventif berdasarkan hasil evaluasi benchmarking. Tindakan ini bukan hanya untuk menutup kesenjangan, namun juga memastikan bahwa pencapaian mutu tidak hanya bersifat sementara, melainkan berkelanjutan. Melalui pengendalian yang efektif, perguruan tinggi dapat menjaga konsistensi dalam mencapai target dan mengantisipasi tantangan yang mungkin muncul di masa depan.
Akhirnya, pada tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP), benchmarking menjadi sumber inspirasi untuk merumuskan kebijakan dan program inovatif, dan untuk meningkatkan standar yang relevan. Dengan memahami praktik terbaik (best practice), perguruan tinggi akan mampu meningkatkan mutu internal, dan juga membangun budaya perbaikan berkelanjutan di setiap unit kerja organisasi. Nilai-nilai seperti keterbukaan dan optimisme terhadap perubahan, kolaborasi antar unit, dan semangat untuk belajar dari keberhasilan pihak lain perlu ditanamkan sebagai shared values. Nilai-nilai inilah yang akan menumbuhkan budaya inovasi yang kokoh dan mendorong perguruan tinggi untuk terus bertransformasi menuju keunggulan yang berkelanjutan (continuous improvement).
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Meskipun benchmarking memberikan manfaat signifikan bagi penguatan SPMI, nyatanya penerapannya tidak selalu berjalan lancar.
Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan akses terhadap data kinerja institusi lain. Mengapa? Ya, karena hal ini sering dianggap sebagai informasi sensitif dan bersifat tertutup atau rahasia. Situasi ini menuntut adanya semangat kolaborasi dan keterbukaan antar perguruan tinggi untuk berbagi praktik terbaik secara transparan demi kemajuan bersama. Tanpa sinergi dan kepercayaan, proses benchmarking akan sulit mencapai tujuannya kita harapkan bersama.
Tantangan lain, terkait kemampuan adaptasi praktik terbaik dari institusi lain. Setiap perguruan tinggi memiliki budaya, karakteristik, dan konteks lokal yang unik, sehingga penerapan langsung tanpa penyesuaian sering kali tidak efektif dan tidak relevan. Oleh sebab itu, institusi perlu memahami konteksnya secara mendalam dan melakukan modifikasi yang tepat agar praktik tersebut dapat berjalan selaras dengan kebutuhan institusi.
Namun, di balik tantangan semua ini, benchmarking memberi peluang strategis untuk membangun keunggulan kompetitif. Dengan memahami kekuatan dan kelemahan internal melalui siklus PPEPP serta mengambil pelajaran dari keberhasilan institusi lain, perguruan tinggi dapat mengoptimalkan potensi mereka. Pendekatan berbasis data yang sistematis dan inovatif akan membantu perguruan tinggi merumuskan kebijakan, visi dan misi yang lebih efektif dan membawa transformasi nyata. Dengan leadership yang kuat dan visi yang jelas, Politeknik X di bawah arahan Dr. Fulan siap menjawab tantangan era BANI dengan semangat kolaborasi, inovasi dan komitmen menuju unggul.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Era digital telah membuka jalan baru bagi perguruan tinggi untuk melakukan benchmarking tanpa harus hadir secara fisik, murah dan praktis namun tidak kalah efektif.
Melalui internet, perguruan tinggi dapat mengakses laporan publikasi, studi kasus, dan data dari institusi-institusi terbaik di seluruh dunia, misalnya kampus Harvard, MIT atau Oxford. Platform seperti Google, webaite resmi institusi, dan sumber daring lainnya memungkinkan pengumpulan informasi yang cepat, luas, dan efisien. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam membandingkan praktik terbaik secara global dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan kunjungan langsung.
Selain itu, penggunaan media digital seperti ChatGPT atau alat kecerdasan buatan lainnya dapat membantu menganalisis tren, menemukan inovasi, dan menyarankan langkah-langkah strategis. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat tetap kompetitif dan relevan di tengah persaingan global, sekaligus mempercepat proses adaptasi dan transformasi terhadap praktik terbaik. Pemanfaatan media digital bukan hanya menjadi alternatif, tetapi juga solusi efektif dan efisien untuk mendorong transformasi menuju unggul.
Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!
Penguatan SPMI melalui siklus PPEPP merupakan strategi penting untuk memastikan mutu pendidikan di perguruan tinggi. Namun, agar implementasi PPEPP lebih efektif, konsep benchmarking seperti yang diuraikan oleh Edward Sallis menjadi tools penting dalam mengevaluasi kinerja, mengidentifikasi best practice, dan merumuskan langkah perbaikan (koreksi, korektif dan preventif) yang berkelanjutan.
Sinergi dan integrasi antara benchmarking dan siklus PPEPP tidak hanya mendorong peningkatan mutu internal, namun juga memperkuat posisi (mission differentiation) perguruan tinggi dalam persaingan global.
Dengan komitmen yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan, perguruan tinggi dapat mewujudkan visi menjadi institusi yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Dr. Fulan siap melaksanakan benchmarking dengan sebaik-baiknya.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Mulk ayat 2, “(Allah) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa peningkatan mutu dan inovasi adalah bagian dari ikhtiar manusia untuk mencapai amal terbaik di hadapan Allah. Dengan tekad, doa, dan semangat yang sungguh-sungguh, perguruan tinggi dapat menjadi lembaga yang tidak hanya unggul secara akademik, namun juga memberi manfaat luas bagi masyarakat dan bangsa. Stay Relevant!
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi