بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Ketika Outcome-Based Education (OBE) dijalankan tanpa ‘why’, ia kehilangan ruhnya. Bukan sistem yang salah, tapi cara kita melupakan makna di balik setiap proses belajar.”
Kadang saya membayangkan, bagaimana jika kampus punya lagu tema seperti Koes Plus — “Why do you love me?” Mungkin refreinnya akan berubah jadi, “Why do you teach me?” Pertanyaan sederhana yang nyaris tak pernah kita ajukan. Kita bicara banyak tentang kurikulum, CPL, RPS, rubrik, indikator, tapi lupa menanyakan: mengapa semua ini dilakukan? Why?
Kita sering bangga mengatakan, “Kampus kami sudah berbasis OBE.” Tapi ketika menelusuri ruang kelas, yang tampak sering kali berbeda. OBE hidup di dokumen, tapi belum tentu di pembelajaran. Di banyak tempat, Outcome-Based Education berubah jadi ritual administratif: dokumen diperbarui, borang dipenuhi, lalu dinilai. Mahasiswa tetap pasif, dosen tetap kejar tayang. Namanya ganti, jadi lebih keren, tapi kebiasaannya masih sama.
Padahal, William Spady, sang perancang OBE, menulis bahwa pendidikan berbasis capaian bukan sekadar cara mengajar baru, melainkan cara berpikir baru tentang manusia. Inlah inti dari Clarity of Focus: fokus pada hasil akhir yang bermakna — bukan sekadar nilai angka, tetapi perubahan diri mahasiswa. Spady percaya setiap orang bisa mencapai hasil terbaiknya, semua orang bisa jadi the best, asal diberi waktu, cara, dan dukungan yang tepat. Namun, di kampus kita, yang sering berlimpah justru formulir, format dan formula, bukan pemahaman.
Di sinilah ide Simon Sinek terasa relevan. Dalam buku Start With Why, ia mengingatkan bahwa semua organisasi yang exist, mampu bertahan lama, selalu memulai dari “why”. Tanpa itu, kita hanya bergerak karena kewajiban dan prosedur bukan keyakinan. Begitu pula dengan OBE: kalau kita tak tahu why-nya, kurikulum hanya jadi daftar kegiatan tanpa jiwa. Kita menyusun RPS, merumuskan CPL, menilai tugas — tapi tak tahu persis arah mana yang sedang dituju. Kita kehilangan alasan mengapa pendidikan harus berubah.
W. Edwards Deming, penggagas manajemen mutu, menyebut perbaikan sejati lahir dari siklus refleksi: Plan–Do–Check–Act — yang di perguruan tinggi dikenal dengan PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan. Tapi banyak kampus berhenti di tahap ketiga: evaluasi. Hasil audit disimpan rapi, rapat mutu dilakukan, tapi perbaikan sering hanya menjadi catatan, bukan tindakan. Kita lupa bahwa refleksi tanpa aksi hanyalah mimpi di siang bolong.
Kebijakan nasional pun sebenarnya sudah berubah arah. Permendikbudristek Nomor 39 Tahun 2025 menegaskan bahwa mutu sejati bukan soal keseragaman, tapi kebermaknaan. Kampus diberi ruang untuk melampaui standar, bukan sekadar mematuhinya. Artinya, pendidikan tinggi tak lagi diukur dari seberapa patuh kita terhadap format, melainkan seberapa relevan dan berdampak kegiatan belajar itu bagi manusia dan masyarakat luas.
Namun, bahaya tetap mengintai: Goodhart’s Law — ketika ukuran dijadikan target, ukuran itu kehilangan makna. Begitu CPL dan rubrik berubah jadi target administrasi, yang tumbuh bukan pembelajaran, tapi kepatuhan semu. Kita menjadi sibuk menilai hasil, tapi lupa menemani proses. Akibatnya, mahasiswa belajar untuk memenuhi kriteria, bukan untuk menemukan arti. Dan barangkali dosen pun melakukan hal yang sama — mengajar untuk memenuhi format, bukan untuk menyalakan makna.
Mungkin masalahnya bukan pada OBE, tapi pada cara kita memeluknya. Kita menjadikannya sistem, padahal ia mestinya menjadi kesadaran. Padahal, jika OBE dipahami secara jernih, ia memberi ruang bagi dosen untuk berefleksi. Menyusun RPS seharusnya seperti bercermin: siapa mahasiswa kita, kemampuan apa yang ingin dikembangkan, dan pengalaman belajar seperti apa yang bisa menumbuhkan mereka. Ketika dosen menemukan why-nya sendiri, ia tak lagi sekadar mengajar, tapi membimbing.
Sama halnya dengan kampus. Setiap perguruan tinggi lahir dari konteks, sejarah, dan cita sosial yang berbeda. Ada yang menekankan moralitas, ada yang menonjolkan inovasi, ada yang tumbuh dari nilai kemanusiaan. Itu semua sah dan perlu dirawat. Spady menyebutnya sebagai High Expectations — keyakinan bahwa setiap institusi dan individu punya potensi tertinggi bila diberi ruang untuk berkembang dengan cara sendiri. Maka membedakan diri bukan tentang bersaing, tapi tentang berkontribusi.
OBE seharusnya menjadi cermin visi-misi kampus, bukan seragam yang membuat semua terlihat sama. Ketika kampus menemukan why-nya, setiap program studi tahu arah perubahan yang diinginkan. SPMI (sistem penjaminan mutu internal) bukan lagi sistem kontrol, tapi ekosistem belajar yang hidup. Setiap siklus PPEPP bukan laporan, melainkan percakapan tentang bagaimana dosen dan mahasiswa sama-sama bertumbuh. Itu momen ketika “penjaminan mutu” berubah menjadi “pemeliharaan makna”.
Kita sering lupa bahwa mutu tidak datang dari dokumen, tapi dari kebiasaan berpikir jujur. Dari keberanian dosen bertanya: apakah mahasiswa benar-benar belajar, atau hanya menyelesaikan tugas? Dari kesediaan pimpinan kampus untuk mendengarkan, bukan hanya menilai. Dari kemauan untuk memperbaiki bukan karena akreditasi, tapi karena nurani akademik dan semangat untuk tumbuh.
Akhirnya, mungkin OBE tak pernah hilang. Yang hilang hanya why-nya — alasan kenapa kita mengajar, menilai, dan memperbaiki. Karena pada dasarnya, pendidikan bukan tentang berapa banyak standar SPMI yang terpenuhi, tapi seberapa dalam manusia berubah setelah melaluinya. Inilah makna berdampak.
Evaluasi bukanlah palu, melainkan cermin. Ia tak dibuat untuk menghukum, melainkan untuk mengingatkan arah perjalanan. Dan bila suatu hari kita berhenti bertanya “mengapa”, mungkin saat itulah mutu berhenti tumbuh.
Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Deming, W. E. (1986). Out of the Crisis. Massachusetts Institute of Technology, Center for Advanced Engineering Study.
- Goodhart, C. A. E. (1975). Problems of monetary management: The UK experience. In Papers in Monetary Economics (Vol. 1). Reserve Bank of Australia.
- Kemendikbudristek. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
- Sinek, S. (2009). Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action. New York, NY: Portfolio/Penguin.
- Spady, W. G. (1994). Outcome-Based Education: Critical Issues and Answers. Arlington, VA: American Association of School Administrators.
Instagram: @mutupendidikan




