• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

Daily Archive 30/07/2024

SPMI dan Pilihan Gaya Kepemimpinan

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan mekanisme yang esensial bagi perguruan tinggi untuk memastikan bahwa proses Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) memenuhi standar mutu yang diinginkan.

Keberhasilan implementasi SPMI sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan yang digunakan.

Kurt Lewin, seorang pakar psikolog, mengajukan Teori 3 (tiga) Gaya Kepemimpinan yaitu: gaya otoriter, gaya demokratis, dan gaya laissez-faire.

Artikel singkat ini mencoba mengulas bagaimana model gaya kepemimpinan dari Lewin dapat diterapkan dalam konteks SPMI. Penerapan gaya kepemimpinan yang sesuai, InsyaAllah akan membantu untuk mencapai peningkatan mutu yang berkelanjutan di perguruan tinggi.

Teori Tiga Gaya Kepemimpinan

Hasil penelitian Kurt Lewin dan tim kerjanya mengidentifikasi 3 (tiga) gaya kepemimpinan utama, yaitu:

  1. Gaya Kepemimpinan Demokratis (Democratic Leadership):
    • Ciri-Ciri: Pemimpin mendorong partisipasi dan keterlibatan anggota kelompok (tim SPMI) dalam pengambilan keputusan. Diskusi dan masukan dari anggota sangat dihargai. Ide-ide dan kreatifitas sangat dihargai.
    • Konteks SPMI: Gaya ini sangat cocok untuk implementasi SPMI karena mendorong partisipasi dan kolaborasi, meningkatkan rasa memiliki dan komitmen terhadap mutu pendidikan.
  2. Gaya Kepemimpinan Otoriter (Authoritarian Leadership):
    • Ciri-Ciri: Pemimpin (Rektor, Dekan) membuat semua keputusan sendiri, memberikan instruksi yang jelas dan spesifik, serta mengontrol jalannya kegiatan secara ketat.
    • Konteks SPMI: Gaya ini mungkin efektif dalam “situasi darurat” atau ketika keputusan cepat diperlukan untuk mengatasi masalah kualitas yang mendesak. Gaya ini dapat diterapkan bila bawahan cenderung malas, santai dan tidak suka membuat target yang tinggi. Perlu diingat, penggunaan berlebihan gaya ini, dapat mengurangi motivasi dan partisipasi karyawan.
  3. Gaya Kepemimpinan “Memberi Kebebasan” (Laissez-Faire):
    • Ciri-Ciri: Pemimpin memberikan kebebasan (wewenang) penuh kepada anggota kelompok untuk membuat keputusan dan menyelesaikan pekerjaan mereka sendiri, dengan sedikit atau tanpa arahan.
    • Konteks SPMI: Gaya ini bisa efektif di mana anggota tim yang sangat kompeten dan termotivasi bekerja secara mandiri. Karyawan yang mandiri ingin diberi kebebasan untuk aktualisasi diri. Namun perlu berhati hati, pemberian kebebasan yang berlebih, serta kurangnya arahan dan kontrol pimpinan dapat menyebabkan ketidakpastian dan penurunan produktivitas.
Implikasi Gaya Kepemimpinan

Proses “Kaizen” dalam SPMI dilakukan melalui “Siklus PPEPP”, berikut contoh pemilihan gaya kepemimpinan yang sesuai:

  1. Penetapan Standar SPMI (Standard Setting):
    • Contoh Gaya Demokratis: Pimpinan melibatkan seluruh staf akademik dan administratif dalam proses penetapan standar mutu. Diskusi kelompok dan brainstorming dapat digunakan untuk memastikan standar yang ditetapkan realistis dan dapat dicapai.
    • Contoh Gaya Otoriter: Pimpinan menetapkan sendiri standar yang harus dicapai oleh anggota tim (unit kerja). Gaya ini cocok bila pimpinan menguasai semua persoalan (ahli dibidang SPMI), sementara bawahan cenderung malas dan pasif, suka cari target yang gampang.
    • Contoh Gaya Laissez-Faire: Pimpinan memberi kebebasan penuh agar bawahan menetapkan sendiri isi standar, indikator dan target yang harus dicapai. Gaya ini cocok bila bawahan memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dan suka tanggung jawab.
  2. Pelaksanaan Standar SPMI (Implementation):
    • Contoh Gaya Demokratis: Pimpinan mendorong kolaborasi dan adaptasi yang diperlukan selama pelaksanaan. Mendiskusikan bagaimana langkah-langkah dan melaksanakan kegiatan penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan Standar SPMI sebagai tolok ukur pencapaian.
    • Contoh Gaya Otoriter: Pimpinan mengambil peran yang lebih otoriter (tegas) untuk memastikan bahwa semua anggota memahami prosedur dan tanggung jawab mereka. Memberikan instruksi dan pengawasan dalam pelaksanaan standar SPMI. Gaya cocok bila bawahan masih belum dewasa, belum memiliki komitmen dan rasa tanggung jawab.
    • Contoh Gaya Laissez-Faire: Pimpinan memberi wewenang penuh dengan sedikit kontrol dalam proses pelaksanaan dan implementasi standar SPMI. Gaya cocok bila bawahan sudah matang, kompeten dan self-driver.
  3. Evaluasi Pelaksanaan Standar (Evaluation):
    • Contoh Gaya Demokratis: Proses evaluasi diusahakan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar lebih efektif. Pimpinan mengadakan pertemuan evaluasi rutin di mana setiap orang dapat memberikan umpan balik dan saran untuk perbaikan. Bawahan memberikan masukan tentang metode evaluasi yang tepat. Masukan terhadap perbaikan AUdit Mutu Internal, Monitoring dan evaluasi (monev) maupun metode assessment.
    • Contoh Gaya Otoriter: Pimpinan memerintahkan dengan tegas kegiatan AMI dan Monev, memantau dengan ketat implementasi pelaksanaannya.
    • Contoh Gaya Laissez-Faire: Pimpinan memberikan delegasi dan wewenang penuh untuk menyelenggarakan kegiatan evaluasi SPMI. Bawahan dibebaskan untuk mengambil keputusan upaya peningkatan proses Audit dan Monev.
  4. Pengendalian (Control):
    • Kepemimpinan Demokratis: Mendorong transparansi dan keterlibatan dalam proses pengendalian dapat meningkatkan komitmen terhadap pemeliharaan standar mutu. Semua tim diajak dan dilibatkan untuk mencari tindakan koreksi, korektif dan preventif yang terbaik.
    • Kepemimpinan Otoriter: Gaya ini dapat dipilih di mana perlu pengendalian ketat untuk memastikan kepatuhan terhadap standar. Pimpinan dengan tegas mengawal pencapaian target standar yang telah ditetapkan, dan langsung memberikan perintah upaya perbaikan yang perlu dilakukan. Namun, penting untuk menjaga keseimbangan agar tidak mengurangi motivasi kerja dosen dan karyawan pelaksana.
    • Contoh Gaya Laissez-Faire: Upaya perbaikan (tindakan korektif) diserahkan sepenuhnya pada tim pelaksana. Pimpinan dapat mengambil gaya ini bila bawahan cukup dewasa, suka tantangan, mandiri dan kreatif.
  5. Peningkatan Standar (Standard Improvement):
    • Kepemimpinan Demokratis: Pimpinan (rektor, ketua, direktur) menggunakan pendekatan kolaboratif untuk terus meningkatkan standar mutu. Diskusi terbuka dan inovasi dapat dihasilkan dari partisipasi aktif seluruh anggota. Anggota diajak mendiskusikan target standar baru yang lebih SMART, target yang lebih relevan dan menantang.
    • Contoh Gaya Otoriter: Bila anak buah menunjukkan gelagat kurang dewasa, pasif, tidak kreatif, malas, maka gaya otoriter dapat digunakan. Bawahan yang “malas” (tipe X) akan cenderung menetapkan target yang rendah dan mudah dicapai tanpa harus bekerja keras. Dalam kondisi ini pimpinan harus mengambil alih peran untuk menetapkan standar yang tinggi.
    • Contoh Gaya Laissez-Faire: Sebaliknya, bila bawahan sangat cerdas, pekerja keras, suka tantangan, maka pimpinan bisa memberikan kebebasan penuh untuk menetapkan “peningkatan standar SPMI”, gaya yang digunakan ini adalah Laissez-Faire, beri mereka kebebasan penuh untuk mandiri dan berkreasi. Pimpinan hanya mengontrol dari jarak jauh.
Kesimpulan

Gaya kepemimpinan yang efektif adalah kunci keberhasilan implementasi SPMI di perguruan tinggi. Dengan menerapkan prinsip-prinsip dari Teori Gaya Kepemimpinan Lewin, pemimpin dapat menyesuaikan pendekatan mereka untuk memenuhi kebutuhan spesifik dalam setiap tahap SPMI.

Setiap perguruan tinggi memiliki tingkat kematangan bawahan yang berbeda beda, tentu memerlukan gaya kepemimpinan yang disesuaikan. Lewin menawarkan 3 (tiga) gaya kepemimpinan.

Kepemimpinan demokratis, dengan kolaborasi, partisipasi dan keterlibatan yang tinggi, umumnya paling efektif untuk mendorong komitmen dan kolaborasi yang diperlukan dalam peningkatan mutu berkelanjutan (kaizen).

Namun, dalam situasi-situasi tertentu, kepemimpinan otoriter (tegas) atau laissez-faire (pelimpahan penuh) juga dapat diterapkan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Stay Relevant!

Implikasi Teori Dua Faktor Herzberg bagi Keberhasilan SPMI

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah mekanisme yang disusun oleh Kementerian Pendidikan untuk memastikan bahwa institusi pendidikan tinggi mencapai dan mempertahankan standar mutu yang diinginkan.

Implementasi SPMI yang efektif tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah, memerlukan motivasi tinggi dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), terutama tenaga struktural, pimpinan, dosen dan karyawan.

Tenaga strutural perguruan tinggi, dengan “dikomandani” oleh pimpinan (Rektor, Direktur, Ketua), wajib menjalankan siklus PPEPP agar implementasi SPMI dapat berjalan efektif.

Permasalahannya adalah sejauh mana tenaga struktural perguruan tinggi (khususnya pimpinan) berhasil “memotivasi” para staf (dosen dan karyawan) agar mampu memberikan karya terbaik untuk peningkatan standar mutu pendidikan?

Teori Motivasi 2 Faktor

Teori Dua Faktor (2 factors theory) atau sering disebut Teori “Motivasi-Higiene” dikembangkan oleh Frederick Herzberg, seorang psikolog yang memfokuskan penelitiannya pada motivasi kerja karyawan. Teori 2 Faktor ini, pertama kali diperkenalkan melalui bukunya “The Motivation to Work” yang diterbitkan pada tahun 1959.

Herzberg melakukan penelitian dengan mewawancarai lebih dari 200 insinyur dan akuntan untuk memahami faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka puas atau tidakpuas di dunia kerja.

Dalam konteks tersebut, Teori Dua Faktor yang dikembangkan oleh Herzberg dapat memberikan “wawasan berharga” tentang bagaimana memotivasi tenaga struktural perguruan tinggi untuk mendukung dan berkontribusi secara efektif terhadap keberhasilan SPMI.

Implikasi Faktor “Motivator”

Faktor Motivator (intrinsic Factors) berkaitan dengan “isi” pekerjaan itu sendiri dan dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja. Faktor ini terdiri dari:

  1. Prestasi (Achievement):
    • Penerapan dalam SPMI: Mengakui dan merayakan prestasi karyawan dalam implementasi SPMI, seperti pencapaian (melampaui) standar mutu tertentu atau keberhasilan dalam audit internal, dapat meningkatkan motivasi.
    • Contoh: Memberikan penghargaan atau sertifikat penghargaan kepada unit kerja atau individu yang berhasil meningkatkan proses atau hasil akademik sesuai dengan standar SPMI.
  2. Pengakuan (Recognition):
    • Penerapan dalam SPMI: Memberikan pengakuan secara terbuka terhadap kontribusi karyawan (pencapaian standar SPMI) dalam rapat atau publikasi internal (buletin kampus).
    • Contoh: Menyebutkan nama karyawan atau unit kerja yang berperan penting dalam laporan kemajuan SPMI atau dalam buletin kampus.
  3. Pekerjaan itu sendiri (The Work Itself):
    • Penerapan dalam SPMI: Menyusun pekerjaan yang menarik, menantang dan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk terlibat dalam proyek peningkatan mutu.
    • Contoh: Melibatkan karyawan dalam tim pengembangan kurikulum atau proyek penelitian yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan.
  4. Tanggung Jawab (Responsibility):
    • Penerapan dalam SPMI: Memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada dosen dan karyawan dalam proses pengambilan keputusan (decision making) terkait SPMI.
    • Contoh: Program desentralisasi terkait wewenang pengambilan keputusan. Unit kerja diberi tanggung jawab dan wewenang untuk mengambil keputusan tanpa harus berkonsultasi dengan atasan.
  5. Kemajuan (Advancement) dan Pertumbuhan (Growth):
    • Penerapan dalam SPMI: Memberikan peluang pengembangan karir dan pelatihan terkait SPMI.
    • Contoh: Menyediakan program pelatihan berkelanjutan tentang manajemen mutu dan kesempatan untuk menghadiri konferensi atau seminar terkait. Misalnya mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh mutupendidikan.com
Implikasi Faktor “Higiene” (Pemelihara)

Faktor Higiene (extrinsic factors) berkaitan dengan konteks pekerjaan dan tidak secara langsung meningkatkan kepuasan kerja, tetapi “ketidakhadiran” faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja.

  1. Kebijakan Perusahaan dan Administrasi (Company Policies and Administration):
    • Penerapan dalam SPMI: Mengembangkan kebijakan MSDM yang “adil dan transparan” terkait implementasi SPMI.
    • Contoh: Menyusun panduan dan prosedur operasional standar (SOP) yang jelas dan mudah diakses oleh semua karyawan. Karyawan merasa nyaman dengan kebijakan dan sistim administrasi yang mudah, adil dan transparan.
  2. Supervisi (Supervision):
    • Penerapan dalam SPMI: Menyediakan supervisi yang bersahabat, mendukung dan konstruktif.
    • Contoh: Para penyelia (supervision) atau masing-masing kepala unit kerja mengadakan sesi bimbingan dan mentoring secara rutin untuk membantu karyawan memahami, menguasai dan melaksanakan tugas terkait SPMI.
  3. Hubungan Interpersonal (Interpersonal Relationships):
    • Penerapan dalam SPMI: Mendorong atmosfir hubungan kerja yang harmonis dan kolaboratif.
    • Contoh: Mengadakan kegiatan team-building, gathering dan diskusi kelompok untuk memperkuat hubungan antar dosen dan karyawan.
  4. Kondisi Kerja (Working Conditions):
    • Penerapan dalam SPMI: Memastikan lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif.
    • Contoh: Meningkatkan fasilitas kerja seperti ruang kerja yang ergonomis dan akses ke sumber daya teknologi yang memadai. Ruang kerja dicat bersih, desain interior tertata rapi (estetika), ruang bersih dan nyaman. Tersedia kantin, sarana olah raga dan pengembangan minat bakat.
  5. Gaji (Salary) dan Keamanan Kerja (Job Security):
    • Penerapan dalam SPMI: Memberikan kompensasi yang adil dan memastikan keamanan kerja.
    • Contoh: Menyediakan insentif finansial (gaji) bagi dosen / karyawan yang berkontribusi signifikan terhadap pencapaian standar mutu dan memastikan adanya kontrak kerja yang stabil.
Kesimpulan

Penerapan teori 2 (dua) Faktor Herzberg dalam implementasi SPMI dapat membantu perguruan tinggi meningkatkan motivasi dan kepuasan dosen dan karyawan.

Dengan memenuhi “faktor motivator” (untuk meningkatkan kepuasan kerja) dan memenuhi “faktor higiene” (untuk mengurangi ketidakpuasan), InsyaAllah institusi pendidikan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan mendukung keberhasilan SPMI. Stay Relevant!

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami