Urgensi Indikator Kinerja dalam Standar Pengelolaan Perguruan Tinggi


Pendahuluan

Di tengah dinamika dan kompleksitas perguruan tinggi modern, kebutuhan akan tata kelola yang efektif menjadi semakin mendesak.

Tanpa indikator, mutu pengelolaan hanya menjadi klaim semu—tidak bisa diuji, tidak bisa dievaluasi, apalagi ditingkatkan. Padahal, perguruan tinggi di era disrupsi digital membutuhkan sistem pengelolaan yang responsif, berbasis data, dan berorientasi pada hasil.

Dalam dunia manajemen dan psikologi perilaku, dikenal adagium populer: “What gets measured gets managed.” Meskipun kutipan ini sering dikaitkan dengan tokoh manajemen seperti Peter Drucker, esensi dari pernyataan tersebut lebih mencerminkan pendekatan behavioristik yang diyakini oleh para psikolog seperti B.F. Skinner—bahwa perilaku dapat dibentuk dan dikendalikan jika dapat diobservasi dan diukur. Prinsip ini sangat relevan dalam tata kelola perguruan tinggi, di mana pengelolaan yang baik hanya mungkin terjadi bila didasarkan pada ukuran kinerja yang objektif dan terstruktur.

Tanpa Ukuran, Tak Ada Arah

Misalnya, standar “pengelolaan pembelajaran berkualitas” terdengar mulia, tetapi akan menjadi abstrak jika tidak dijabarkan menjadi ukuran seperti persentase RPS yang tervalidasi, waktu tanggapan dosen terhadap tugas mahasiswa, atau jumlah sesi refleksi kurikulum per semester. Tanpa ukuran, standar tersebut tidak bisa dievaluasi dengan objektif—ia menjadi sekadar jargon.

Dari sudut pandang organizational behavior, kondisi ini memperkuat kesenjangan persepsi antar individu dalam organisasi. Robbins & Judge (2024) menekankan bahwa dalam organisasi yang tidak memiliki kejelasan peran dan tujuan bersama, muncul ketidakpastian, penurunan motivasi, dan bahkan konflik antarunit. Maka, indikator kinerja bukan hanya alat manajerial, tetapi juga instrumen pembangun shared meaning yang menyatukan seluruh elemen institusi dalam narasi mutu yang sama.

Indikator Bukan Beban, Tapi Kompas

Misalnya, sebuah prodi yang memiliki indikator “persentase lulusan tepat waktu” akan lebih terarah dalam merancang kebijakan pembimbingan skripsi, sosialisasi akademik, hingga pembenahan administrasi akhir studi.

Di sinilah Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memainkan peran strategis. Melalui regulasi Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI bukan lagi sekadar kewajiban akreditasi, tetapi menjadi kerangka tata kelola berbasis mutu yang relevan dan terintegrasi. Di dalamnya, indikator kinerja menjadi bagian dari standar yang ditetapkan, dilaksanakan, dievaluasi, dan ditingkatkan secara berkelanjutan. Artinya, SPMI hadir sebagai sistem kendali arah yang berbasis pada data, bukan asumsi.

PPEPP dan Kaizen: Perjalanan Menuju Perbaikan Nyata

Keunggulan pendekatan SPMI terletak pada siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Dalam konteks manajemen mutu, siklus ini merupakan perwujudan nyata dari filosofi kaizen, yaitu perbaikan berkelanjutan. Melalui PPEPP, indikator kinerja tidak hanya ditetapkan dan diukur, tetapi juga dianalisis secara mendalam untuk kemudian ditindaklanjuti secara sistemik.

Misalnya, jika indikator “kepuasan mahasiswa terhadap layanan akademik” menunjukkan tren penurunan, maka melalui PPEPP, unit layanan bisa mengevaluasi penyebabnya, melakukan pengendalian atas prosedur yang kurang efektif, dan merancang program peningkatan seperti pelatihan staf atau pembaruan sistem informasi.

Penutup

Dalam sistem mutu yang baik seperti SPMI, indikator menjadi bahasa bersama yang menyatukan visi institusi dengan realitas kerja harian. Ia memungkinkan organisasi untuk belajar dari dirinya sendiri dan tumbuh secara adaptif.

PPEPP hadir sebagai alat yang bukan hanya mendata, tetapi mendorong perbaikan. Seperti dalam filosofi kaizen, mutu bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan panjang yang dijalani dengan kesadaran, kolaborasi, dan komitmen untuk menjadi lebih baik. Dan dalam perjalanan itu, indikator adalah penunjuk arah yang tak boleh dilupakan.


Scroll to Top