• 08123070905
  • mutupendidikan.info@gmail.com

SPMI dan Self-Fulfilling Prophecy

SPMI dan Self-fulfilling prophecy

SPMI dan Self-Fulfilling Prophecy

Pendahuluan

Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kerangka kerja (framework) yang esensial bagi perguruan tinggi dalam upaya memastikan mutu pendidikan yang tinggi dan berkelanjutan.

SPMI mencakup serangkaian proses (siklus) yang melibatkan penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar (PPEPP) yang bertujuan untuk menjamin dan meningkatkan mutu institusi pendidikan tinggi.

Salah satu pendekatan (strategi) yang dapat memperkuat efektivitas SPMI adalah konsep self-fulfilling prophecy”, di mana harapan dan keyakinan terhadap suatu situasi atau individu dapat mempengaruhi hasil yang dicapai.

Artikel singkat ini mencoba mengkaji bagaimana self-fulfilling prophecy dapat diintegrasikan dalam SPMI untuk meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi.

Self-Fulfilling Prophecy (SFP)

Self-fulfilling prophecy, (atau pygmalion effect) diperkenalkan pertama kali oleh Robert K. Merton pada tahun 1948, menggambarkan fenomena di mana harapan atau prediksi seseorang terhadap situasi atau individu dapat mempengaruhi tindakan dan perilaku yang akhirnya membuat prediksi tersebut menjadi kenyataan.

Konsep self-fulfilling prophecy (SFP) telah lama dikenal dalam psikologi sosial. Sederhananya, keyakinan seseorang (our beliefs) terhadap suatu hal dapat menciptakan kondisi yang mengkonfirmasi keyakinan tersebut.

Kalau kita “yakin bisa”, maka akan cenderung hasilnya akan positif, demikian juga berlaku kebalikannya, kalau kita pesimis, hasilnya akan cenderung negatif.

Dalam konteks pendidikan tinggi, self-fulfilling prophecy dapat menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Ketika para sivitas akademika, mulai dari pimpinan hingga mahasiswa, memiliki keyakinan kuat bahwa perguruan tinggi akan mampu mencapai keunggulan, maka mereka akan cenderung berperilaku dan bekerja sesuai dengan keyakinan tersebut.

Self-Fulfilling Prophecy atau Pygmalion Effect

Ketika pimpinan perguruan tinggi (manajer), dosen, dan staf administrasi memiliki harapan tinggi terhadap capaian akademik dan operasional, mereka cenderung bertindak / berperilaku sesuai dengan harapan tersebut.

Misalnya, para dosen yang percaya bahwa mahasiswa memiliki kecerdasan dan potensi besar, akan lebih termotivasi untuk memberikan pengajaran yang berkualitas dan mendukung perkembangan mahasiswa secara maksimal.

Sebaliknya, keyakinan dan harapan dosen rendah terhadap potensi mahasiswa, dapat menghambat motivasi dan kinerja, baik dari sisi pengajar maupun mahasiswa.

Integrasi SFP dalam SPMI

Agar implementasi SPMI dapat berjalan dengan baik, maka integrasi SFP dapat dilakukan melalui siklus PPEPP, misalnya melalui:

  1. Penetapan Standar SPMI yang Ambisius namun tetap Realistis. Proses penetapan standar SPMI harus mencerminkan “keyakinan” bahwa perguruan tinggi mampu mencapai mutu yang tinggi. Standar yang ditetapkan harus ambisius namun realistis, sehingga dapat mendorong seluruh sivitas akademika untuk berusaha mencapai target-target tersebut. Harapan tinggi yang terinternalisasi dalam standar SPMI akan menciptakan lingkungan yang mendukung pencapaian mutu yang lebih baik.
  2. Pelaksanaan dengan Pendekatan Positif Implementasi standar SPMI harus dilakukan dengan pendekatan yang positif, di mana setiap anggota perguruan tinggi merasa diperhatikan, didukung dan dihargai. Komunikasi yang efektif mengenai tujuan, target dan manfaat dari standar SPMI akan meningkatkan keterlibatan dan komitmen seluruh pihak. Dalam hal ini, peran pimpinan sangat penting dalam menumbuhkan keyakinan bahwa setiap individu mampu berkontribusi dalam pencapaian mutu.
  3. Evaluasi dan Umpan Balik Konstruktif Evaluasi berkala (periodik) terhadap kinerja institusi harus dilakukan dengan memberikan umpan balik yang “konstruktif”. Umpan balik yang fokus pada potensi dan perbaikan, daripada sekadar kritik atau mencari-cari kesalahan. Evaluasi yang konstruktif akan memotivasi individu untuk terus meningkatkan diri. Pimpinan harus mampu mengkomunikasikan “keyakinan” bahwa perbaikan dan pencapaian target mutu adalah hal yang dapat diwujudkan.
  4. Pengendalian dengan Pendekatan Penghargaan Pengendalian mutu melalui monitoring dan supervisi harus dilengkapi dengan sistem penghargaan (reward) bagi pencapaian yang baik. Pengakuan atas keberhasilan akan memperkuat keyakinan bahwa usaha yang dilakukan tidak sia-sia dan mendorong upaya yang lebih keras untuk mencapai standar yang lebih tinggi. Unit kerja yang berhasil mencapai atau melampaui standar perlu diberi pengakuan/ penghargaan.

Baca juga: SPMI dan Implementasi Teori Penguatan

  1. Peningkatan Berkelanjutan dengan Budaya Positif Budaya peningkatan berkelanjutan (kaizen) harus diinternalisasi dalam seluruh aktivitas perguruan tinggi. Ini mencakup keyakinan bahwa peningkatan mutu adalah proses yang terus-menerus dan setiap individu berperan dalam proses ini. Self-fulfilling prophecy dapat dipelajari dan diperkuat melalui pelatihan dan pengembangan yang berfokus pada penguatan kapasitas dan kompetensi sivitas akademika.

Penutup

Penguatan SPMI melalui konsep self-fulfilling prophecy menawarkan pendekatan yang efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi.

Dengan menetapkan standar yang tinggi, melaksanakan dengan pendekatan positif, memberikan umpan balik konstruktif, mengendalikan dengan penghargaan, dan memupuk budaya peningkatan berkelanjutan, perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pencapaian mutu yang lebih tinggi.

Keyakinan (beliefs) dan harapan positif terhadap kemampuan institusi dan individu akan mendorong perilaku dan tindakan yang sejalan dengan tujuan mutu, sehingga memperkuat efektivitas SPMI secara keseluruhan. Stay Relevant!

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

admin

MOTTO: Senantiasa bergerak dan berempati untuk menebar manfaat bagi Mutu Pendidikan di Indonesia

×

Layanan Informasi

× Hubungi Kami