SPMI, OBE dan Mission Differentiation

OBE dan Membedakan Diri: Saat Kampus Menemukan Misinya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“Ketika OBE dipahami sebagai perjalanan menemukan misi, kampus berhenti meniru dan mulai berkontribusi. Mutu sejati lahir dari keunikan yang bermakna.”

Setiap kali membaca visi-misi kampus di brosur atau laman resmi, kalimatnya hampir selalu sama. “Unggul, berdaya saing global, berkarakter, inovatif.” Semua terdengar indah dan megah, tapi entah kenapa, terasa seperti gema dari ruang yang sama. Seolah kita semua berlayar di lautan yang sama — penuh kapal serupa, dengan bendera berbeda tapi arah yang tak jauh-jauh amat.

Padahal, pendidikan tinggi tidak pernah dimaksudkan menjadi lomba seragam. Ia mestinya perjalanan menemukan jati diri yang unik dan spesial. Kampus yang sungguh hidup bukan yang paling sibuk meniru, tapi yang paling jujur memahami mengapa ia perlu ada. Membedakan diri bukan berarti merasa lebih hebat, melainkan tahu dengan jernih: untuk apa kampus ini berdiri, dan siapa yang ingin kita tumbuhkan.

William Spady, bapak Outcome-Based Education (OBE), menegaskan bahwa pendidikan hanya bermakna jika punya kejelasan arah — clarity of focus. Kita tak bisa bicara capaian, kurikulum, atau RPS sebelum tahu “manusia macam apa” yang ingin kia bangun. Dalam konteks kampus, inilah inti dari misi: sebuah kompas yang menuntun semua proses akademik agar tetap menuju tujuan yang sama.

Masalahnya, banyak lembaga mulai dari bawah. Segera RPS disusun, CPL ditulis, asesmen dibuat — tapi misi organisasi masih samar. Akibatnya, OBE berhenti sebagai ritual dokumen, bukan transformasi budaya belajar. Kita bicara outcome tanpa tahu why-nya.

Di sinilah argumentasi Simon Sinek terasa relevan. Dalam bukunya Start With Why, ia menulis: “People don’t buy what you do, they buy why you do it.” Mahasiswa pun demikian. Mereka tidak hanya datang karena jurusan, prodi atau fasilitas, tapi karena percaya pada nilai yang dihidupi kampus itu. “Why” institusional adalah alasan moral keberadaan sebuah perguruan tinggi. Jika itu kabur, seluruh sistem OBE yang sudah dibangun, kehilangan jantungnya.

Bayangkan kalau kampus menulis visinya “menjadi universitas unggul,” tapi sehari-hari sibuk mengejar ranking tanpa pernah menanyakan apakah risetnya berdampak dan menjawab kebutuhan masyarakat. Maka unggul itu berubah menjadi kosmetik mutu, bukan kontribusi sosial.

Dalam Buku Panduan Kurikulum Pendidikan Tinggi 2024, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan menegaskan bahwa kurikulum berbasis OBE harus berangkat dari visi dan misi unik tiap perguruan tinggi — sebuah semangat yang sejalan dengan prinsip mission differentiation. Setiap kampus didorong untuk menurunkan kurikulumnya dari arah dan jati diri lembaganya sendiri, bukan sekadar menyalin dari universitas lain.

Kebijakan baru pun mempertegas arah itu. Permendikbudristek Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa mutu tidak berhenti pada kepatuhan terhadap standar, melainkan pada kemampuan kampus untuk menyesuaikan dan melampaui standar tersebut secara relevan dan berdampak. Regulasi ini menggeser paradigma: keseragaman bukan lagi tolok ukur mutu — kebermaknaanlah yang menjadi ukurannya.

W. Edwards Deming, tokoh manajemen mutu, sudah lama menulis tentang hal ini lewat siklus Plan–Do–Check–Act, yang dalam sistem SPMI (sistem penjaminan mutu internal) kita diterjemahkan menjadi PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Tapi PPEPP baru bernyawa bila “Plan”-nya jelas. Tanpa arah, semua evaluasi (monev dan audit) hanya mengulang pekerjaan administratif. Kampus yang tidak tahu misi akhirnya menilai dirinya dari seberapa cepat mengumpulkan laporan, bukan dari seberapa dalam ia mengubah kehidupan.

Analogi yang lebih mudah dipahami datang dari dunia bisnis. Kim dan Mauborgne (2005) memperkenalkan konsep Blue Ocean Strategy — menciptakan ruang baru yang belum dijelajahi, alih-alih terus bertarung di lautan merah yang penuh kompetisi. Kampus pun bisa belajar dari sini. Selama kita berebut predikat “unggul” dalam cara yang sama, kita terjebak di laut merah yang makin sesak. Padahal, lautan biru pendidikan masih sangat luas: kampus perlu inovasi, kampus bisa jadi penggerak budaya lokal, pusat inovasi sosial, atau ruang pembelajaran lintas disiplin dengan nilai-nilai yang kokoh.

Membedakan diri (diferensiasi) bukan hanya soal branding, tapi keberanian menentukan kontribusi yang khas. Kampus yang fokus pada vokasi jangan minder terhadap universitas riset. Memang beda misinya. Begitu pula kampus kecil di daerah — barangkali justru di sana muncul inovasi kemanusiaan yang tak terdeteksi ranking global. Seperti taman yang luas dan indah karena ragam bunganya, ekosistem pendidikan tinggi juga hanya akan hidup jika tiap kampus tumbuh menurut karakternya sendiri.

Masalahnya, misi sering ditulis sebagai kalimat seremonial. Ia dibacakan di rapat senat, tapi jarang dijadikan bahan percakapan di ruang dosen dan di kelas. Padahal, jika setiap dosen memahami arah besar kampus, maka setiap mata kuliah bisa menjadi langkah kecil menuju misi itu. Inilah makna sejati dari Outcome-Based Education: semua yang dilakukan, sekecil apa pun, bermuara pada hasil akhir yang telah ditetapkan.

Deming menyebutnya continuous improvement. Orang Jepang menyebut “Kaizen”. Ingat, peningkatan bukan berarti memperbanyak pekerjaan, melainkan memperdalam pemahaman. Mungkin sudah waktunya kampus tidak lagi bertanya “apa lagi yang harus kita kerjakan?”, melainkan “apa yang sebenarnya ingin kita capai?”

Pada akhirnya, membedakan diri bukan soal persaingan, tapi soal kontribusi. Kampus yang benar-benar berdampak bukan yang paling sibuk mengejar akreditasi, tetapi yang paling tulus menepati janjinya kepada masyarakat. OBE hanya hidup jika misi kampus hidup — bukan ditempel di dinding, tapi di hati sivitasnya.

Mungkin sebelum menulis RPS atau CPL, kita perlu menulis ulang “Why”, alasan kampus ini berdiri. Karena misi bukan hanya kalimat di visi-misi, melainkan cermin dari nurani lembaga: mengapa kita ada, untuk siapa kita mengajar, dan manfaat apa yang ingin kita hadirkan di dunia ini.

Stay Relevant!



Referensi:

  • Deming, W. E. (1986). Out of the Crisis. MIT Press.
  • Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi (Edisi ke-5). Kemdikbudristek.
  • Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta.
  • Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue Ocean Strategy: How to Create Uncontested Market Space and Make the Competition Irrelevant. Harvard Business School Press.
  • Sinek, S. (2009). Start With Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action. Penguin.
  • Spady, W. (1994). Outcome-Based Education: Critical Issues and Answers. American Association of School Administrators.



Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top