SPMI dan Mutu dalam Kehidupan sehari hari

Mutu yang Membumi: Dari Ruang Kelas hingga Kantin Kampus

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“Mutu kampus bukan sekadar borang. Ia hidup di ruang kelas, kantin, hingga toilet yang bersih—hal kecil yang membentuk pengalaman nyata.”

Kalau ngomongin mutu kampus, pikiran banyak orang biasanya langsung melayang ke hal-hal besar: akreditasi, borang tebal, rapat panjang yang penuh jargon, atau inspeksi auditor. Padahal, bagi mahasiswa maupun dosen, sebagai stakeholder utama, mutu itu sederhana saja. Mutu ada di ruang kelas yang bersih dan kondusif, di dosen yang sabar, di pelayanan “one gate” yang cepat, atau bahkan di kantin kampus yang higienis. Sayangnya, aspek kecil inilah yang sering terabaikan, karena energi habis di tataran dokumen.

Di atas kertas, sistem penjaminan mutu (SPMI dan SPME) memang mengagumkan. Permen 39 Tahun 2025 menegaskan bahwa mutu pendidikan tinggi mencakup aspek akademik maupun nonakademik: pendidikan, penelitian, pengabdian, organisasi, keuangan, tenaga, hingga sarana prasarana. Lengkap semua. Tapi justru karena ruang lingkup terlalu luas, sering kali kampus sibuk membuktikan diri di atas laporan, bukan menghadirkan mutu di kehidupan sehari-hari. Padahal mahasiswa tidak merasakan akreditasi langsung, mereka lebih ingat apakah dosennya hadir tepat waktu, menjelaskan dengan jelas, apakah ruang kelas nyaman, apakah signal wifi lancar, apakah kantin ramah di kantong, dan—ini yang sering dilupakan—apakah toilet kampus bersih.

Soal toilet mungkin terdengar sepele, tapi justru di situlah mutu kampus diuji. Toilet yang bersih, wangi, dan terawat memberi sinyal bahwa kampus peduli pada mutu sejati. Sebaliknya, toilet yang kotor akan menghapus impresi positif lain. Mutu bukan hanya ada di ruang seminar dengan proyektor canggih, tapi juga di ruang-ruang kecil yang dipakai setiap hari. Inilah wujud mutu yang benar-benar membumi.

Dalam teori manajemen mutu, Parasuraman, Zeithaml, dan Berry memperkenalkan model SERVQUAL yang menilai mutu layanan lewat lima dimensi: keandalan, daya tanggap, jaminan, empati, dan bukti fisik. Kalau kita pakai kacamata ini, kampus bisa mengukur mutunya bukan hanya dari jumlah borang, laporan atau sertifikat, tapi dari layanan nyata sehari-hari. Misalnya, apakah staf akademik cepat merespons pertanyaan mahasiswa, apakah dosen menunjukkan empati saat mahasiswa kesulitan, apakah fasilitas kampus dirawat dan terjaga dengan baik, apakah tanaman di halaman kampus terawat indah, atau bahkan apakah toilet kampus dijaga kebersihannya setiap hari. Mutu yang membumi adalah mutu yang bisa dirasakan, dinikmati bukan hanya dibaca.

IDEO (penggagas konsep Design Thinking) melalui tokohnya Tim Brown juga menekankan pentingnya human-centered design. Prinsipnya sederhana: rancanglah sistem dengan berangkat dari kebutuhan nyata manusia. Kalau diterapkan di kampus, berarti sistem mutu harus dimulai dengan mendengarkan customer voice, suara mahasiswa dan dosen, bukan hanya mengikuti format baku dari kementerian. Bukankah lebih masuk akal kalau evaluasi mutu dimulai dari pertanyaan sederhana: apa yang membuat mahasiswa merasa belajar dengan tenang, apa yang membuat dosen bisa mengajar dengan sepenuh hati, apa yang membuat mereka merasa kampus benar-benar layak ditinggali setiap hari? Kalau kampus mau serius, seharusnya pengalaman manusia (customer experience) jadi pusat, bukan fokus pada dokumen.

Lebih jauh lagi, Henri Lefebvre lewat theory of everyday life mengingatkan bahwa kualitas hidup terlihat dalam rutinitas sehari-hari, bukan hanya dalam gebyar momen besar. Kalau ini ditarik ke kampus, mutu sejati hadir dalam interaksi kecil yang akrab: sapaan satpam yang ramah di gerbang, dosen yang meluangkan waktu ekstra untuk menjelaskan, mahasiswa yang nyaman berdiskusi tanpa takut salah, petugas administrasi yang proaktif, tidak membuat birokrasi berbelit, hingga toilet bersih yang harum, yang membuat siapa pun merasa dihargai sebagai manusia. Semua hal sederhana itu mungkin tidak masuk borang akreditasi, tapi di situlah mahasiswa merasakan “mutu kampus yang sejati”.

Kenyataannya, banyak kampus masih terjebak di dua dunia yang terpisah: dunia dokumen yang penuh formalisme dan dunia keseharian yang penuh Ironis, dua dunia ini jarang bertemu. Dokumen bisa saja menyatakan kampus “unggul”, tapi mahasiswa bisa merasa mutu kampus biasa-biasa saja, tidak istimewa karena realitas yang mereka alami tidak seindah laporan. Di sinilah perlunya keberanian untuk membumikan mutu, menurunkan standar besar menjadi pengalaman sehari-hari yang benar-benar terasa.

Guru saya, K.H. Ihya Ulumiddin, pernah mengingatkan bahwa inti dari mutu dalam kehidupan sehari-hari sesungguhnya adalah akhlak dalam memperlakukan sesama. Beliau menyampaikan dalam bahasa Jawa empat hal yang sederhana tapi dalam maknanya: nguwongno uwong, menempatkan orang lain sebagai manusia yang layak dihormati; nyenengno uwong, menghadirkan kebahagiaan bagi orang lain; nggatekno uwong, memberi perhatian yang tulus; dan ora ngelakno, jangan sampai menyakiti. Kalau prinsip-prinsip ini dihidupkan di kampus, mutu tidak lagi berhenti pada laporan, tapi benar-benar terasa dalam relasi sehari-hari antara dosen, mahasiswa, staf, dan siapa pun yang menjadi bagian dari komunitas akademik.

Hikmah yang bisa diambil sederhana: mutu bukan hanya urusan pimpinan kampus, LPM atau auditor, tapi urusan semua orang yang ada di lingkungan kampus. Quality is everyone’s responsibility. Mutu ada pada dosen yang konsisten hadir tepat waktu, ada pada mahasiswa yang menjaga kebersihan kelas, ada pada staf yang melayani dengan tulus, dan ada pada petugas kebersihan yang memastikan toilet harum dan membahagiakan. Kalau semua orang bergerak dengan kesadaran ini, mutu tidak lagi sekadar indikator dalam borang, melainkan budaya bersama.

Kampus perlu mulai berinovasi dengan pendekatan yang lebih sederhana, jujur dan membumi. Misalnya, lakukan survei kepuasan kecil setiap akhir semester yang benar-benar di follow up, bukan sekadar formalitas dengikuti SOP. Atau adakan forum diskusi santai antara mahasiswa dan pimpinan untuk mendengar langsung keluhan dan ide. Dengan pendekatan ini, mutu tidak lagi dipersepsikan sebagai beban administratif, melainkan sebagai jalan cerdas menuju kenyamanan, kebahagiaan, dan kebermaknaan hidup akademik.

Mutu yang membumi akan awet tahan lama daripada mutu yang sekadar formalitas. Borang dan laporan mungkin selesai diunggah, tapi pengalaman mahasiswa dan dosen akan melekat di ingatan mereka seumur hidup. Itulah alasan mengapa mutu kampus sebaiknya tidak hanya diukur dari nilai akreditasi, tapi dari senyum mahasiswa yang merasa dihargai, dari dosen yang bisa mengajar dengan tenang, dari suasana kampus yang sehat, bahkan dari toilet yang tetap bersih setiap hari. Karena mutu sejati bukan yang hanya tercatat, melainkan yang benar-benar hidup.

Mutu sejati pada akhirnya bukan diukur dari seberapa banyak formulir yang selesai diisi, atau seberapa tebal laporan yang diunggah. Ia diukur dari seberapa tulus kita bekerja dengan ihsan—menyuguhkan yang terbaik dalam setiap aspek dunia kampus, sekecil apa pun itu. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu…” (HR. Muslim). Ihsan artinya kesungguhan untuk memberi yang terbaik, bukan asal sekadar menggugurkan kewajiban.

Maka menjaga kebersihan toilet, melayani mahasiswa dengan ramah, mengajar dengan sabar, atau sekadar tersenyum ketika ditanya, semuanya adalah bagian dari ihsan. Kalau kampus bisa menghadirkan budaya ihsan, mutu bukan lagi beban administratif, melainkan nafas keseharian yang membawa keberkahan. Dan pada titik itu, mutu akan benar-benar membumi—dirasakan, dinikmati, dihidupi, dan diwariskan.

Stay Relevant!



Referensi:

  • Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1988). SERVQUAL: A multiple-item scale for measuring consumer perceptions of service quality. Journal of Retailing, 64(1), 12–40.
  • Brown, T. (2009). Change by design: How design thinking creates new alternatives for business and society. Harper Business.
  • Lefebvre, H. (1991). Critique of everyday life (Vol. 1). Verso. (Original work published 1947)


Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top