بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“AI bisa rapikan laporan, tapi tak bisa gantikan hati dan empati. Mutu sejati kampus lahir dari jiwa manusia, bukan sekadar algoritma.”
Ada satu cerita kecil yang sering mampir di obrolan dosen-dosen kampus. Katanya sekarang banyak laporan mutu bisa diselesaikan hanya dengan “minta tolong” ke AI. Tinggal kasih data mentah, sebentar kemudian keluar teks rapi: ada analisis, ada grafik, bahkan sudah dilengkapi rekomendasi dan ide tindak lanjut. Semua terlihat canggih, semua terlihat meyakinkan. Tapi setelah laporan itu diunggah, ada yang merasa kosong: “Kalau semua bisa dikerjakan mesin, terus di mana peran refleksi kita sebagai pendidik?” Pertanyaan ini mungkin sederhana, tapi justru itulah pintu masuk ke perdebatan besar: di era pascadigital, ketika borang bisa diurus robot, apa sebenarnya yang tidak bisa digantikan AI?
Mari kita introspeksi dan jujur sebentar. AI, big data, dan semua perangkat digital memang membawa manfaat nyata. Pekerjaan administrasi yang dulu bikin kepala pening sekarang bisa selesai dengan beberapa klik saja. Tidak ada lagi form ganda, copy-paste berulang, atau lembur hanya demi tanda tangan. Mutu di kampus dan implementasi SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) seperti mendapat mesin turbo. Namun, apakah mutu sejati hanya soal kecepatan dan kerapihan laporan? Kalau jawabannya iya, maka kita sedang mereduksi pendidikan jadi sekadar data points. Padahal inti mutu kampus bukan sekadar angka, tapi bagaimana interaksi, inspirasi, dan nilai hidup mengalir di dalamnya.
Di sinilah pentingnya melihat kembali teori pendidikan humanistik yang pernah digagas psikolog bernama Carl Rogers. Ia menekankan bahwa inti belajar adalah person-centered: hubungan otentik, empati, dan penerimaan tanpa syarat. Mahasiswa bukan sekadar penerima materi, tapi manusia dengan kebutuhan untuk tumbuh. Dan dosen bukan sekadar pengisi borang, melainkan fasilitator yang hadir dengan empati, kehangatan dan kepedulian. Apakah AI bisa memberi empati itu? Sulit. AI bisa meniru gaya bahasa yang ramah, tapi rasa tulus dan keaslian tetap hanya lahir dari manusia.
Selain itu, Daniel Goleman mengingatkan kita melalui konsep emotional intelligence. Mutu kampus tidak hanya ditentukan oleh struktur kurikulum atau standar akreditasi, melainkan juga oleh kemampuan civitas akademika membangun relasi yang sehat: mendengarkan, memotivasi, mengelola konflik. Seorang kaprodi yang cerdas emosi bisa menenangkan tim saat akreditasi, menguatkan dan memotivasi dosen muda yang sedang lelah, atau memberi ruang mahasiswa untuk bersuara. AI bisa memberi data tren kepuasan mahasiswa, tapi hanya manusia yang bisa memeluk dan merasakan kegelisahan mereka.
Lebih baru lagi, muncul gagasan Digital Humanism yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh seperti Christiane Floyd, Roberto Saracco, dan komunitas riset di Wina sejak 2019. Ide ini lahir dari kesadaran bahwa teknologi tidak boleh dilepaskan dari nilai-nilai kemanusiaan. AI dan big data memang menawarkan efisiensi, tapi kalau tidak dikawal, ia bisa membuat kampus terjebak dalam “mutu yang mekanis”: semua rapi, tapi hambar. Digital Humanism mengingatkan bahwa teknologi harus ditempatkan di bawah kontrol manusia, dipandu etika, dan diarahkan untuk menjaga martabat serta kebebasan. Jadi, pertanyaan kuncinya bukan “apa yang bisa AI lakukan untuk mutu kampus?”, melainkan “apa yang harus tetap kita jaga sebagai manusia di balik sistem mutu?”
Dari tiga pijakan teori ini kita bisa menarik benang merah: mutu sejati tetap lahir dari interaksi manusia, keterampilan hubungan antar manusia, bukan dari algoritma. AI boleh membantu, tapi ia hanya instrumen. Justru dengan adanya AI, energi manusia seharusnya lebih bebas dipakai untuk hal-hal yang tidak bisa digantikan: refleksi kritis, dialog penuh makna, keberanian mengambil keputusan etis, dan membangun komunitas belajar yang sehat. Kalau dosen tidak lagi sibuk mengisi form manual, ia bisa lebih banyak mendengarkan mahasiswa. Kalau auditor tidak lagi menghabiskan waktu memeriksa kertas, ia bisa berdiskusi tentang strategi perbaikan. Inilah peluang besar era pascadigital, sayang kalau dilewatkan begitu saja.
Tentu ada tantangan. Sebagian orang mungkin tergoda membiarkan AI mengambil alih segalanya, praktis katanya. Hasilnya, laporan mutu memang cepat selesai, tapi tidak pernah disentuh refleksi manusia. Kampus bisa terlihat gemerlap di dashboard, tapi rapuh dalam kenyataan. Ini bahaya yang nyata. Justru itu, kita harus menetapkan komitmen dan garis batas: apa yang boleh digantikan mesin, apa yang harus dijaga manusia. Borang bisa otomatis, tapi diskusi kurikulum tetap perlu ruang tatap muka. Laporan bisa ditulis algoritma, tapi keputusan arah penelitian tetap butuh kearifan akademik.
Hikmahnya, era pascadigital membuka peluang untuk membersihkan mutu dari beban administratif yang tidak perlu. Saat AI mengurus angka, kita bisa kembali ke ruh pendidikan: empati, kebijaksanaan, keberanian mencoba.
Maka inovasi yang ditawarkan bukan sekadar digitalisasi, melainkan humanisasi mutu.
Mari kita bayangkan kampus yang dashboardnya rapi, tapi ruang kelasnya tetap hangat. Laporan bisa dihasilkan AI, tapi keputusan selalu melewati diskusi dan refleksi kolektif. Inilah keseimbangan yang akan membuat mutu bukan hanya efisien, tapi juga hidup dan membahagiakan.
Di atas semua kecanggihan mesin, manusia tetap memiliki sesuatu yang tidak bisa ditiru: jiwa. Allah telah berfirman, “Demi jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya” (QS. Asy-Syams [91]:7–8). Ayat ini mengingatkan bahwa inti manusia adalah hati nurani yang mampu membedakan benar dan salah, serta memilih jalan kebaikan. Sementara AI hanya mampu menghitung, manusia mampu merenung, merasakan dan menimbang dengan kebijaksanaan.
Maka mutu pascadigital bukan sekadar soal dashboard, grafik atau algoritma, tetapi bagaimana kita tetap menjaga agar ruh kemanusiaan tidak hilang. AI boleh membantu membereskan laporan, tapi yang membuat ilmu bermanfaat dan bermakna hanyalah jiwa-jiwa yang jujur, tulus, dan berani berbuat baik. Dan pada akhirnya, mutu sejati bukan yang tertulis di sistem, melainkan yang hidup di hati nurani manusia. Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York, NY: Bantam Books.
- Floyd, C., & Saracco, R. (2019). Manifesto on digital humanism. Vienna: TU Wien.
- Rogers, C. R. (1969). Freedom to learn. Columbus, OH: Charles E. Merrill.
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
Instagram: @mutupendidikan




