SPMI dan Storytelling

Misi dan Budaya Mutu: The Power of Storytelling

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com

Pendahuluan

Di tengah derasnya arus globalisasi dan kompetisi di dunia pendidikan tinggi, banyak perguruan tinggi terjebak dalam upaya saling meniru. Mereka berlomba menambahkan program studi baru, membangun gedung megah, atau mengejar peringkat, tanpa benar-benar memahami apa yang menjadi kekuatan unik dan berbeda dari institusinya. Padahal, dalam teori Blue Ocean Strategy yang dikemukakan oleh Kim dan Mauborgne (2005), institusi justru akan lebih unggul jika mampu menciptakan ruang pasar baru yang belum diperebutkan oleh kompetitor. Di dunia akademik, ruang baru itu bernama mission differentiation—kemampuan perguruan tinggi untuk menunjukkan identitas, misi, dan keunikan perannya di tengah peta pendidikan nasional maupun global.

Namun, misi yang tertulis indah di dokumen visi-misi sering kali gagal hidup di hati para dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Ia berhenti menjadi sekadar kalimat di poster dinding kampus atau halaman awal borang akreditasi. Di sinilah peran budaya mutu menjadi penting, bukan hanya sebagai sistem pengendalian mutu, tetapi juga sebagai jiwa yang menghidupkan misi itu di setiap proses pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Dan untuk menghidupkan budaya mutu, dibutuhkan sebuah jembatan yang menyatukan nalar dan rasa: storytelling.

Lebih dari Sekadar Misi

Mission differentiation bukan sekadar pernyataan. Ia adalah brand promise, janji yang ditawarkan kampus kepada mahasiswa, mitra industri, dan masyarakat. Janji ini harus khas, berbeda, dan memiliki relevansi sosial yang kuat. Tidak semua kampus harus menjadi universitas riset kelas dunia, sama seperti tidak semua rumah sakit harus menjadi pusat kanker nasional. Diferensiasi misi berarti memilih peran yang spesifik dan berkomitmen menjalankannya dengan konsisten, sambil terus meningkatkan mutu layanan sesuai dengan harapan pemangku kepentingan.

SPMI, sebagai sistem mutu berbasis regulasi nasional, justru memberikan ruang bagi perguruan tinggi untuk merancang standar-standar yang selaras dengan misi uniknya. Lewat PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—setiap kampus diberi alat untuk merawat kaizen, semangat perbaikan berkelanjutan, dalam mengejar misinya yang spesifik. Namun, misi dan mutu akan tetap menjadi slogan kosong jika tidak diinternalisasi, jika tidak diceritakan dengan cara yang menyentuh hati.

Cerita yang Menyentuh, Bukan Sekadar Klaim

Manusia terhubung dengan cerita, bukan dengan tabel atau laporan. Cerita membuat orang paham, merasa, dan akhirnya percaya. Ini selaras dengan teori narrative persuasion dalam ilmu komunikasi yang menunjukkan bahwa informasi yang disampaikan dalam bentuk narasi lebih mudah diterima dan diingat oleh audiens. Dalam konteks budaya mutu dan mission differentiation, storytelling berperan menghubungkan apa yang ditulis di dokumen dengan apa yang dialami dan diyakini oleh civitas akademika.

Misalnya, sebuah kampus kecil di daerah bisa saja memiliki misi “memberdayakan masyarakat pesisir melalui inovasi berbasis lokal.” Kalimat itu akan menjadi hidup jika diceritakan melalui pengalaman mahasiswa yang membantu nelayan meningkatkan hasil tangkapan dengan teknologi sederhana yang mereka kembangkan. Atau dosen yang setia mendampingi UMKM lokal mengelola keuangan mereka secara digital. Cerita seperti ini bukan hanya menunjukkan misi, tetapi menghidupkannya—dan membuatnya berbeda dari misi kampus lain.

Membedakan Diri Lewat Narasi

Di era di mana informasi mudah diakses dan kampus mudah dibandingkan, keunikan sebuah perguruan tinggi harus lebih dari sekadar daftar program studi atau fasilitas. Keunikan itu ada pada why—pada alasan mengapa kampus itu berdiri dan untuk siapa ia berjuang. Storytelling menjadi cara efektif untuk mengkomunikasikan why tersebut. Cerita yang kuat bukan hanya menjelaskan keunggulan, tetapi juga membangun koneksi emosional dengan audiens, mengajak mereka merasa menjadi bagian dari perjalanan itu.

Psikologi pendidikan menegaskan bahwa meaningful learning terjadi ketika pembelajar menemukan hubungan antara pengetahuan yang diterima dengan kehidupannya. Dalam konteks kampus, mahasiswa akan lebih mudah merasa terhubung dengan institusi ketika misi kampus diceritakan melalui kisah nyata, bukan sekadar paparan di PPT saat orientasi. Ini pula yang akan memperkuat positioning kampus di mata mitra industri, lembaga pemerintah, dan masyarakat luas. Mereka tidak hanya melihat kampus sebagai lembaga pendidikan, tetapi sebagai institusi yang punya peran dan kontribusi yang jelas.

Strategi Storytelling untuk Positioning

Membangun narasi yang kuat untuk mempertegas misi kampus memerlukan konsistensi dan ketulusan. Cerita yang disampaikan harus berbasis data yang valid—hasil PPEPP, capaian tracer study, testimoni mahasiswa, dan pengalaman pengabdian masyarakat. Namun, data itu perlu dibungkus dalam alur yang menyentuh: ada tokoh, ada tantangan, ada proses, dan ada transformasi. Pendekatan ini sejalan dengan teori elaboration likelihood model yang menyebut bahwa pesan yang disampaikan melalui jalur afektif dan naratif cenderung lebih berpengaruh dalam membangun sikap.

Storytelling juga bisa diintegrasikan dalam berbagai kanal komunikasi kampus: di media sosial, buletin, webinar, hingga dalam laporan mutu tahunan. Tidak sekadar menampilkan angka, tetapi membagikan perjalanan di balik pencapaian itu. Cerita tentang tim audit internal yang berhasil menemukan solusi kreatif untuk efisiensi proses, atau pengalaman mahasiswa yang menjalani magang di lokasi terpencil demi menerapkan inovasi dari kampus, adalah contoh narasi yang akan memperkuat positioning kampus di hati audiens.

Penutup

Mission differentiation bukan hanya tentang pernyataan visi yang berbeda, tetapi tentang bagaimana kampus tersebut secara konsisten menjalankan dan menghidupkan misinya. Budaya mutu melalui SPMI dan PPEPP menjadi fondasi penting untuk menjaga agar misi itu dijalankan secara sistematis dan berkelanjutan. Namun, untuk mengikat seluruh elemen institusi dan pemangku kepentingan dalam semangat misi itu, dibutuhkan lebih dari sekadar regulasi. Dibutuhkan cerita. Cerita yang kuat dan relevan.

Melalui storytelling, perguruan tinggi dapat membangun positioning yang kuat, yang otentik. Kita perlu menghidupkan budaya mutu, dan menegaskan perannya di tengah masyarakat. Cerita bukan sekadar pelengkap, melainkan kekuatan utama dalam mempertegas siapa diri kita, untuk siapa kita hadir, dan ke mana kita akan melangkah. Karena di balik setiap standar dan sistem, ada manusia yang ingin terhubung, memahami, dan berkontribusi. Dan manusia, secara fitrah, sejak dulu, belajar dan tergerak oleh cerita.

Stay Relevant!




Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top