
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di banyak perguruan tinggi, strategi kampus seringkali hanya “hidup” di dalam dokumen resmi seperti Renstra, Statuta, dan SPMI. Namun ketika ditanya ke unit-unit pelaksana, banyak yang tak memahami—apalagi merasa terlibat dalam—strategi tersebut. Akibatnya, program kerja berjalan sendiri-sendiri, tidak terhubung dengan arah strategis kampus.
Padahal dalam Pedoman Implementasi SPMI 2024, dikatakan bahwa sistem mutu tidak hanya soal dokumen, tapi budaya. Agar budaya mutu tumbuh, strategi kampus harus dibumikan—dipahami, dimiliki, dan dijalankan oleh seluruh unsur institusi.
Artikel ini membahas bagaimana menyederhanakan bahasa strategis agar bisa dipahami oleh semua level unit kerja, sekaligus mendorong integrasi antar dokumen, motivasi kerja, dan kepemimpinan transformatif.
Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?
Salah satu kendala implementasi strategi kampus adalah bahasa dokumen yang terlalu teknokratis. Renstra, Statuta, dan RIP sering ditulis dengan gaya legalistik, abstrak, dan jauh dari bahasa sehari-hari. Ini membuat dosen, tendik, dan bahkan kepala unit kerja merasa bahwa dokumen strategis hanya milik “pimpinan pusat.”
Penyederhanaan bahasa bukan berarti menyederhanakan substansi. Yang diperlukan adalah menerjemahkan visi, misi, dan strategi ke dalam narasi operasional yang bisa dipahami unit kerja.
Misalnya, visi tentang “menjadi pusat kewirausahaan lokal berbasis digital” harus diterjemahkan ke dalam kegiatan prodi, LPPM, dan kemahasiswaan secara kontekstual dan konkrit.
Baca juga: Kampus Ideal: Gabungan Estetika dan Fungsi
Sebelum strategi disosialisasikan, kampus perlu melakukan Evaluasi Diri Institusi (EDI) yang menyeluruh. EDI akan memberikan data tentang persepsi, kekuatan, dan kelemahan unit-unit dalam memahami dan menjalankan arah kampus. EDI yang berbasis SWOT akan memetakan aspek internal dan eksternal yang bisa menjadi pengungkit atau penghambat strategi.
Menurut Edward Sallis dalam TQM for Education, evaluasi mutu terbaik adalah yang melibatkan semua unsur institusi, bukan hanya top-level management. EDI yang baik akan membuka ruang diskusi dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap strategi. Dengan demikian, dokumen tidak lagi disusun “untuk akreditasi”, tapi sebagai hasil refleksi kolektif.
Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?
Statuta adalah akar hukum, RIP adalah batang visi jangka panjang, Renstra adalah cabang strategi lima tahunan, dan Renop adalah daun yang tumbuh tiap tahun. SPMI adalah sistem yang menjaga seluruh pohon tetap hidup dan produktif. Jika dokumen ini disusun tanpa keterhubungan, strategi akan kehilangan arah.
Dalam pendekatan PPEPP, penetapan standar mutu harus dimulai dari visi dan misi kampus. Maka statuta dan RIP menjadi rujukan utama dalam menyusun Renstra dan Renop. Pedoman SPMI 2024 menyebut bahwa sistem mutu hanya efektif jika standar, program, dan evaluasi berjalan dalam satu sistem yang terintegrasi. Oleh karena itu, pembumian strategi juga menuntut integrasi antar dokumen.
Baca juga: Membangun Budaya Mutu: Apakah Pemimpin Anda Memiliki Skor 9,9 di Managerial Grid?
Strategi tidak akan jalan tanpa pemimpin yang konsisten dan inspiratif. Pimpinan kampus harus menjadi “juru bicara utama” misi institusi, bukan hanya saat penyusunan dokumen, tapi dalam percakapan sehari-hari. Dalam konteks SPMI, kepemimpinan adalah bagian penting dari pelaksanaan dan pengendalian mutu.
Komunikasi internal juga memegang peran penting. Forum koordinasi lintas unit, infografis strategi, dashboard IKU, hingga media internal bisa menjadi alat untuk menyampaikan arah strategis secara berkelanjutan.
Jika setiap unit paham perannya dalam strategi besar kampus, maka partisipasi dan motivasi kerja akan meningkat.
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Budaya mutu tidak tumbuh dari dokumen, tapi dari motivasi dan kesadaran kolektif. Setiap unit perlu tahu: “mengapa ini penting untuk saya?” Jika strategi hanya dimaknai sebagai beban administratif, maka akan sulit dibumikan. Oleh karena itu, penting mengaitkan strategi kampus dengan nilai-nilai unit dan keseharian mereka.
Dalam konteks PPEPP, tahap Pengendalian dan Peningkatan harus dilakukan dengan pendekatan coaching dan refleksi. Bukan sekadar audit, tetapi percakapan dua arah yang membangun kepercayaan dan perbaikan bersama. Ini selaras dengan prinsip TQM: mutu lahir dari keterlibatan semua orang dalam proses peningkatan berkelanjutan.
Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya
Membumikan strategi kampus adalah pekerjaan kepemimpinan, komunikasi, dan sistem. Tidak cukup hanya punya dokumen yang lengkap—yang lebih penting adalah semua unit memahami, merasa terlibat, dan bergerak dalam arah yang sama.
Statuta, RIP, Renstra, Renop, dan SPMI bukan kumpulan file, tapi ekosistem arah dan mutu.
Dengan pendekatan PPEPP, berbasis EDI dan SWOT, serta dipandu semangat mission differentiation, strategi kampus bisa menjadi realitas sehari-hari. Maka tugas kita bukan sekadar merancang strategi yang hebat, tapi membuatnya “hidup” di setiap ruang kerja, kelas, dan laboratorium kampus. Stay Relevant!
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi