Program Kampus: Jangan Hanya Heboh di Awal, Hilang di Tengah Jalan

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“Program kampus sering heboh saat diluncurkan, lalu cepat padam. Kuncinya bukan euforia awal, tapi sistem yang menjamin keberlanjutan.”

Di banyak kampus, kita sering melihat program-program baru yang lahir dengan semarak. Spanduk terpasang, media sosial ramai, mahasiswa berbondong-bondong ikut serta, dan pimpinan kampus tampil bangga di panggung peresmian. Namun, tak lama kemudian, program itu lenyap begitu saja, hilang ditelan bumi. Klinik karier yang semula menjanjikan bimbingan intensif hanya bertahan satu tahun. Kelas tambahan literasi digital yang ramai di awal, tiba-tiba berhenti ketika dosen penggagas pindah jabatan. Forum riset dosen muda yang semula diharapkan menjadi wadah peningkatan publikasi perlahan sepi dan akhirnya mati. Fenomena ini tidak jarang terjadi, dan hampir selalu menimbulkan pertanyaan: mengapa program yang tampak penting tidak bisa berumur panjang?

Kenyataannya, banyak program di perguruan tinggi lahir dari inisiatif dan semangat personal. Ada dosen penuh dedikasi yang rela berkorban waktu, ada pimpinan fakultas yang visioner, atau ada mahasiswa yang kreatif dan aktif menggerakkan komunitas. Semua ini baik dan patut diapresiasi. Namun, semangat individu seringkali hanya memberi nyala api sesaat. Begitu dukungan itu hilang, atau perhatian kampus teralihkan pada hal lain, api pun padam. Di titik ini terlihat kelemahan mendasar manajemen program pendidikan tinggi: gagalnya melembagakan inisiatif sehingga program tidak berkelanjutan.

Dalam literatur manajemen, Griffin menegaskan bahwa efektivitas tidak cukup diukur dari keberhasilan merancang dan mengeksekusi kegiatan, tetapi juga dari kemampuan mempertahankan manfaat jangka panjang. Program yang lahir, berjalan sejenak, lalu mati, sejatinya bukan tanda sukses, melainkan gejala kegagalan sistemik. Hikmah yang bisa dipetik adalah bahwa keberhasilan sejati dalam mengelola program bukanlah seberapa gebyar dan megah peresmiannya, melainkan seberapa lama manfaatnya bisa dirasakan oleh mahasiswa, dosen, dan masyarakat. Dari sini kita belajar bahwa kampus tidak boleh hanya berorientasi pada pencitraan sesaat, melainkan harus menata fondasi agar program bertahan dan berdampak dalam jangka panjang.

Robbins dan Judge dalam kajian perilaku organisasi mengingatkan bahwa organisasi yang hanya bergantung pada individu akan rapuh. Semangat personal memang bisa menjadi motor awal, tetapi jika tidak diikat dalam sistem kelembagaan, organisasi tidak akan mampu menjaga kesinambungan. Contohnya nyata di banyak fakultas, di mana program berhenti begitu inisiator/ penggagasnya tidak lagi terlibat. Hikmah yang muncul adalah bahwa institusi pendidikan tidak bisa menaruh harapan besar hanya pada satu atau dua sosok inspiratif. Kampus harus belajar membangun sistem yang mampu menyerap semangat individu lalu mengubahnya menjadi energi kolektif yang bertahan.

Regulasi terbaru Permendiktisaintek Nomor 39 Tahun 2025 tentang penjaminan mutu pendidikan tinggi sebenarnya sudah memberi jalan keluar. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) hadir agar mutu dijaga bukan secara musiman, melainkan secara berkesinambungan. Di dalamnya, siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—menawarkan pendekatan yang sederhana tetapi kuat.

Jika sebuah program benar-benar penting, ia harus masuk dalam standar SPMI, memiliki target dan indikator capaian, dialokasikan sumber daya, dievaluasi secara berkala, dan ditingkatkan terus-menerus.

Dengan demikian, keberlanjutan tidak lagi bergantung pada siapa penggagasnya, tetapi pada sistem yang melembagakannya.

Pelajaran besar yang bisa disimpulkan adalah bahwa perguruan tinggi tidak boleh lagi mengukur keberhasilan dari seberapa banyak program baru yang dilaunching, melainkan dari seberapa kuat sistem yang menopangnya. Program yang baik bukan hanya yang bisa berjalan, tetapi juga yang bisa bertahan, beradaptasi, dan memberi dampak jangka panjang. Keberlanjutan adalah inti dari efektivitas manajemen pendidikan. Tanpa itu, kampus hanya sibuk mengulang pola lama: merayakan kelahiran, lalu melupakan kematian program.

Saran inovatif untuk mengatasi persoalan ini tidak selalu harus rumit. Kampus bisa mulai dengan mengintegrasikan program penting ke dalam dokumen SPMI, menyiapkan tim lintas unit untuk mengelola bersama, dan mendokumentasikan prosedur agar pengetahuan tidak hilang ketika individu berganti. Selain itu, evaluasi harus dilakukan bukan sekadar sebagai ritual audit, melainkan sebagai sarana refleksi untuk memahami kebutuhan baru dan memperbarui pendekatan. Program literasi digital, misalnya, bisa terus diperkuat dengan memasukkan materi terbaru sesuai tren teknologi. Klinik karier bisa diperluas cakupannya dengan menggandeng alumni dan mitra industri. Forum riset dosen muda bisa dilembagakan melalui dukungan reguler dari fakultas atau universitas, bukan hanya bergantung pada dana hibah sesaat.

Pada akhirnya, perguruan tinggi yang matang bukanlah yang paling banyak meluncurkan program baru, tetapi yang paling konsisten menjaga keberlanjutan dan relevansi programnya. Cerita sukses sejati bukanlah kisah heboh di awal, melainkan perjalanan panjang yang memberi manfaat nyata bagi civitas akademika dan masyarakat luas.

Jika kampus ingin benar-benar menjadi motor perubahan yang berdampak, maka setiap program harus dirancang bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk esok, lusa, dan masa depan yang lebih panjang. Inilah cara agar api yang dinyalakan tidak segera padam, melainkan terus memberi terang bagi perjalanan pendidikan tinggi di negeri ini.

Stay Relevant!


Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top