Dunia pendidikan tinggi di Indonesia sedang menghadapi krisis yang signifikan. Sebanyak 84 perguruan tinggi swasta (PTS) terancam ditutup (news.detik.com) karena gagal memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Kasus ini menyoroti kerapuhan sistem pendidikan tinggi di era transformasi besar. Perguruan tinggi yang sebelumnya dianggap eksis kini mengalami kelalaian dalam pengelolaan dan gagal memenuhi standar mutu yang ditetapkan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tantangan dalam dunia pendidikan semakin sulit diprediksi. Lingkungan BANI (Brittle, Anxious, Non-linear, and Incomprehensible) mencerminkan kondisi yang rapuh, cemas, tidak linier, dan sulit dipahami.
Di tengah situasi ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) tidak lagi dapat berjalan dengan pendekatan konvensional. Perguruan tinggi harus lebih adaptif dan inovatif untuk menjaga mutu di dunia yang semakin tidak stabil.
Transformasi pendidikan tinggi sangat diperlukan untuk menghindari kegagalan yang lebih luas. Penyesuaian terhadap tantangan lingkungan BANI menjadi kunci bagi institusi pendidikan agar tetap relevan dan kompetitif.
Di tengah realitas ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perguruan tinggi tidak bisa lagi berjalan dengan cara-cara yang konvensional.
SPMI dengan kerangka Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) masih tetap dibutuhkan dan tetap penting. Namun, perguruan tinggi harus menyesuaikan sistem ini agar tetap fleksibel dan adaptif. Lingkungan yang terus berubah menuntut inovasi dan kemampuan untuk merespons perubahan secara cepat.
Sistem pendidikan tinggi yang “terlihat kokoh” ternyata sangat rentan terhadap guncangan. Ini bisa dilihat dari ketidakstabilan ekonomi, perubahan teknologi, hingga perubahan mendadak dalam kebijakan. Kerapuhan ini memaksa perguruan tinggi untuk membangun fondasi SPMI yang lebih kuat dan tahan terhadap tekanan eksternal.
Penetapan standar SPMI (dalam PPEPP) harus mempertimbangkan kemungkinan krisis yang tak terduga. Bukan lagi sekadar mengikuti prosedur, namun SPMI harus dirancang dengan ketahanan untuk menghadapi perubahan drastis.
Ketidakpastian juga “menciptakan kecemasan” di kalangan stakeholder pendidikan. Mahasiswa, dosen, dan masyarakat khawatir tentang masa depan pekerjaan, relevansi kurikulum, dan daya saing di pasar kerja global.
SPMI harus merespons Anxious (kecemasan) ini dengan memberikan kepastian dalam pelaksanaannya. Proses yang transparan, adaptif, dan komunikatif menjadi kunci agar institusi tetap relevan. Institusi harus mampu meyakinkan stakeholder bahwa standar SPMI “telah sesuai” (relevan) dengan tuntutan zaman.
Di era BANI, non-linearitas juga menjadi tantangan besar. Perubahan kecil dapat berdampak sangat besar, dan sering kali hubungan sebab-akibat, sulit untuk diprediksi. Di sinilah evaluasi pemenuhan standar berbasis data menjadi krusial dalam kerangka PPEPP.
Evaluasi pemenuhan standar SPMI, tidak lagi bisa dilakukan dengan cara-cara lama yang konvensional. Perguruan tinggi harus memanfaatkan pendekatan data dinamis, real-time, dan menyesuaikan tindakan secepat mungkin (as soon as possible) ketika terjadi penyimpangan. Metode Monitoring (MoNev) dan Audit Mutu Internal (AMI), harus terus ditingkatkan efektifitasnya.
Pandemi COVID-19, 3-4 tahun yang lalu, memaksa pergeseran drastis ke pembelajaran daring, yang mengubah mutu pendidikan secara tidak linier. Institusi yang siap dengan teknologi dapat mempertahankan kualitas pembelajaran, sementara yang kurang siap, harus menerima kenyataan pahit mengalami penurunan mutu. Perbedaan kecil dalam akses teknologi menghasilkan dampak besar pada hasil pendidikan.
Di sisi lain, penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) telah mendisrupsi metode penilaian tradisional. Penilaian tidak lagi berdasarkan ujian tertulis semata, melainkan lebih pada keterampilan dan kemampuan adaptasi mahasiswa terhadap teknologi, menunjukkan bahwa mutu pendidikan tidak lagi bergerak secara linier.
Selain itu, perubahan kurikulum yang cepat diperlukan untuk menghadapi otomatisasi dan AI di dunia kerja. Institusi yang cepat beradaptasi, mampu menghasilan lulusan yang lebih siap, sebaliknya yang lamban akan tertinggal. Mutu pendidikan semakin sulit diprediksi dan berubah drastis sesuai dengan tuntutan global.
Baca juga: Transformatif SPMI: Kunci Bertahan di Era BANI
Kompleksitas informasi di era BANI telah membuat pengendalian pelaksanaan standar pendidikan tinggi menjadi lebih sulit. Banyaknya data dan informasi yang beredar (berlimpah) sering kali membuat pengambilan keputusan tidak sederhana. Hal ini menuntut adanya inovasi dalam pengendalian pelaksanaan standar pendidikan tinggi.
SPMI harus fleksibel dan terbuka terhadap pendekatan baru. Penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan big data bisa membantu mengolah informasi yang kompleks. Selain itu, pengendalian pelaksanaan standar perlu menciptakan ruang untuk eksperimen yang terukur dan berani mengambil risiko.
Pada akhirnya, peningkatan mutu di lingkungan BANI tidak bisa lagi mengikuti pola linier. Peningkatan kecil-kecilan (continuous improvement) tidak cukup untuk menghadapi tantangan besar di dunia yang serba tidak pasti. Perguruan tinggi harus berani melakukan transformasi yang radikal.
Inovasi dalam metode pengajaran, kurikulum, dan teknologi pembelajaran harus terus menjadi prioritas. Peningkatan ini tidak hanya bersifat inkremental, tetapi juga tranformatif revolusioner, di mana institusi proaktif mencari terobosan dan peluang inovasi untuk terus memperbaiki mutu.
Sejalan dengan jurnal ilmiah dalam Scientific Journal of Astana IT University: Innovative Development of Educational Systems in The BANI environment oleh Bushuyev (2023), institusi pendidikan perlu mengadopsi pendekatan berbasis kompetensi. Pengintegrasian teknologi baru dan pembangunan budaya inovasi serta ketahanan menjadi kunci untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
Dengan pendekatan berbasis kompetensi, perguruan tinggi dapat lebih fokus pada pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri. Ini juga memastikan bahwa lulusan siap menghadapi kompleksitas dunia kerja yang terus berubah.
Pengintegrasian teknologi baru, seperti pembelajaran berbasis digital, big data dan AI, memungkinkan institusi beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan yang tidak terduga. Teknologi ini juga membantu mempercepat proses evaluasi dan pengendalian pelaksanaan standar pendidikan tinggi.
Pada akhirnya, membangun budaya inovasi dan ketahanan adalah langkah krusial dalam menjawab tantangan BANI. Institusi yang terus berinovasi akan lebih siap menghadapi era disrupsi dan ketidakpastian.
Untuk menghadapi tantangan di era BANI, SPMI dan siklus PPEPP harus lebih responsif terhadap perubahan. Solusi yang cepat dan fleksibel menjadi kebutuhan utama bagi perguruan tinggi saat ini.
Proses penjaminan mutu tidak bisa lagi bergantung pada siklus PPEPP yang kaku dan formal. Pendekatan yang lebih berbasis data, real-time, dan iteratif harus diterapkan.
Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat beradaptasi lebih baik terhadap perubahan. Standar SPMI akan tetap relevan bahkan di tengah disrupsi yang tidak terduga.
Jika inovasi dan ketahanan diterapkan, dampaknya bisa signifikan pada 84 PTS yang terancam ditutup. Budaya inovasi di semua level dapat menghidupkan kembali sistem mutu mereka.
Inovasi akan memperbaiki kelalaian dalam pengelolaan. Ini juga membantu institusi menghadapi ketidakpastian dengan solusi yang kreatif.
Ketahanan sistem penjaminan mutu tidak diukur dari sekadar kepatuhan terhadap aturan. Ketangguhan di tengah disrupsi menjadi ukuran utama keberhasilan SPMI.
Jika 84 PTS mampu mengadopsi pendekatan ini, mereka dapat bertahan dan bersaing kembali. Hanya dengan inovasi dan transformasi berkelanjutan, mutu pendidikan dapat terus terjaga.
Dengan demikian, SPMI menjadi instrumen yang tangguh dan relevan untuk menjaga mutu pendidikan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi