SPMI, OBE dan Atomic Habits

Membangun Budaya OBE Lewat Atomic Habits

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“Perubahan besar tak lahir dari gebrakan sesaat, tapi dari kebiasaan kecil yang konsisten. Di situlah OBE dan mutu kampus menemukan maknanya.”

Mutu kampus sering kali dibayangkan sebagai urusan besar: akreditasi, audit, atau laporan tahunan. Padahal, dasar dari semua itu sebenarnya sederhana — kebiasaan (habits) kecil yang dilakukan setiap hari. Dari cara dosen memberi umpan balik, cara mahasiswa mencatat refleksi, sampai cara pimpinan menindaklanjuti evaluasi. Atomic Habits karya James Clear mengajarkan bahwa perubahan kecil bisa menghasilkan prestasi besar. Bisa jadi Outcome-Based Education (OBE) dan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) selama ini terlalu sibuk mengejar mimpi dan hal-hal besar, sampai lupa memastikan kebiasaan kecilnya hidup.

Outcome-Based Education (OBE) menekankan bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti pada nilai IPK, tapi pada hasil nyata: kemampuan mahasiswa menerapkan ilmunya di dunia kerja dan masyarakat. Sedangkan SPMI, lewat siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar Mutu), adalah sistem yang memastikan mutu terus menerus diperbaiki (continuous improvement). Tapi di balik semua itu, ada hal yang jarang dibahas: bahwa sistem tidak akan berjalan tanpa kebiasaan. Sehebat apa pun dokumen mutu dibuat, secanggih apapun teknologi digunakan, tanpa habits yang mendukung, semua hanya sia-sia, jadi kegiatan formalitas saja.

James Clear mengatakan, “Kita tidak naik setinggi tujuan kita, kita jatuh sejauh sistem kita.” Kalimat itu terasa relevan di dunia kampus. Sistem di sini bukan sekadar struktur organisasi, standar atau SOP, tetapi juga pola perilaku kecil yang diulang setiap hari. Maka jika mutu ingin berjaya, yang perlu diubah bukan hanya aturan dan targetnya, tapi kebiasaan orang-orang di dalamnya.

James Clear menguraikan empat prinsip penting. Prinsip pertama, Make it Obvious — buatlah jelas. Kebiasaan baik tidak akan tumbuh dalam lingkungan yang kabur. Dalam konteks kampus, ini berarti membuat tujuan mutu dan outcome pembelajaran benar-benar terlihat oleh semua pihak. Tidak boleh abu-abu, harus clear. Mahasiswa tahu apa yang harus dicapai, dosen tahu indikator yang harus diperkuat, dan pimpinan tahu apa yang sedang dituju. Transparansi data, dashboard mutu, atau refleksi terbuka bisa menjadi bentuk dari kejelasan ini. SPMI berperan besar pada tahap ini: menjadikan sistem mutu sesuatu yang jelas, mudah dilihat dan dipahami, bukan hanya diketahui oleh segelintir pejabat. Masalah yang sering terjadi, standar mutu hanya diketahui oleh UPM (unit Penjaminan Mutu) saja, belum ada dashboard yang mudah diakses.

Prinsip kedua, Make it Attractive — buatlah menarik dan menyenangkan. Fakta yang sering muncul, tidak semua orang suka berbicara tentang mutu, karena selama ini mutu sering identik dengan target, audit dan koreksi. Padahal, dalam budaya yang sehat, mutu harus jadi sesuatu yang menyenangkan. Kampus dapat membangun ekosistem apresiasi, di mana dosen yang mencoba hal baru, membuat asesmen inovatif, atau menulis refleksi pembelajaran diberi ruang untuk berbagi (praktik knowledge management). Dalam OBE, keberhasilan bukan hanya diukur dari kepatuhan, tapi juga dari semangat belajar yang menular. Ketika mutu menjadi bagian dari kebanggaan bersama, bukan sekadar kewajiban, maka energi positif itu akan menumbuhkan budaya baru, semangat baru.

Prinsip ketiga, Make it Easy — buatlah sederhana, buatlah mudah. Banyak kebijakan yang baik menjadi gagal atau mati suri, bukan karena niatnya salah, tapi karena rumit implementasi. Dalam konteks kampus, prinsip ini berarti menyederhanakan proses tanpa mengorbankan esensi. Leonardo Da Vinci mengatakan: “Simplicity is the ultimate sophistication,” (Kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi). Formulir dan borang evaluasi yang bisa diisi cepat, sistem digital yang ringan, atau umpan balik otomatis bisa mengurangi friksi yang membuat dosen enggan berpartisipasi. OBE menuntut desain kurikulum yang sederhana tapi bermakna. SPMI pun perlu menjadi sistem yang membantu, bukan membebani. Ketika kebiasaan baik menjadi mudah dilakukan, otomatis konsistensi akan lahir dengan sendirinya.

Prinsip keempat, Make it Satisfying — buatlah memuaskan. Orang cenderung akan mengulangi sesuatu jika merasa senang atau bangga setelah melakukannya. Dalam kampus, penghargaan bukan selalu berupa uang atau sertifikat, tapi bisa berupa pengakuan, kesempatan, atau sekadar rasa dihargai. Setiap kali dosen berhasil memperbaiki pembelajaran, berikan ruang bagi refleksi bersama. Ketika mahasiswa merasakan manfaat nyata dari asesmen OBE, beri mereka ruang untuk berbagi pengalaman. Kepuasan kecil seperti ini adalah bentuk “dopamin” dalam organisasi: membuat kebiasaan mutu terasa menyenangkan dan menjadi “candu” untuk diulang.

Jika keempat prinsip ini dijalankan dengan konsisten, budaya mutu tidak perlu lagi dipaksakan. Tidak menjadi beban. Ia akan tumbuh alami, seperti kebiasaan membaca yang tumbuh dari cinta buku, bukan dari perintah guru. Kampus berbasis kebiasaan bukan kampus yang paling banyak formnya, tapi yang paling sadar bahwa perubahan besar lahir dari langkah kecil yang terus diulang. OBE dan SPMI hanya akan hidup bila menjadi bagian dari keseharian, bukan sekadar seremonial atau gebyar tahunan.

Inti dari semua ini sederhana: mutu sejati tidak lahir dari sistem yang rumit, tetapi dari kebiasaan (habits) yang konsisten. James Clear menulis, “Success is the product of daily habits—not once-in-a-lifetime transformations.” Begitu pula kampus: mutu bukan hasil dari satu kali evaluasi besar, tetapi dari kebiasaan refleksi yang terus diperbarui. Ingat prinsip kaizen atau continuous improvement. Ketika OBE, SPMI, dan kebiasaan manusia bersatu dalam ritme yang seimbang, di sanalah pendidikan benar-benar hidup — bukan di atas formulir, tapi di hati dan perilaku orang-orangnya.

Dalam tradisi Islam ada tuntunan dan pesan yang sangat agung. Seperti pesan Nabi Muhammad ﷺ dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang terus-menerus meskipun sedikit.”

Pesan ini bukan hanya ajaran spiritual, tetapi juga prinsip universal tentang konsistensi dan perbaikan diri. Dalam dunia pendidikan, ia mengingatkan kita bahwa transformasi tidak lahir dari semangat sesaat, melainkan dari langkah-langkah kecil yang dijaga dengan tekun (istiqomah) dan penuh makna.

Begitu pula dalam penerapan OBE dan SPMI, keberhasilan sejatinya tidak datang dari proyek besar yang gebyar bersinar sesaat, namun dari kebiasaan reflektif yang terus hidup di keseharian kampus. Evaluasi kecil, umpan balik yang tulus, dan tindak lanjut sederhana adalah bentuk “amalan kecil” yang justru membangun mutu secara berkelanjutan (kaizen).

Sebab perubahan sejati tidak selalu tumbuh di ruang rapat atau di tumpukan laporan, melainkan di ruang kelas dan interaksi manusiawi yang jujur. Kampus yang setia pada kebiasaan baik, lalu dijaga, diperkuat, akan menemukan dirinya tumbuh — bukan karena keajaiban, bukan karena kesaktian, tapi karena konsistensi. Dan mungkin, di sanalah letak perjuangan yang paling manusiawi: menjadi lebih baik sedikit demi sedikit, rutin setiap hari.

Stay Relevant!



Daftar Pustaka

  • Clear, J. (2018). Atomic habits: An easy & proven way to build good habits and break bad ones. New York: Avery.
  • Covey, S. R. (1989). The 7 habits of highly effective people: Powerful lessons in personal change. New York: Free Press.
  • Spady, W. G. (1994). Outcome-based education: Critical issues and answers. Arlington, VA: American Association of School Administrators.
  • Ministry of Education, Culture, Research, and Technology of Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
  • Deming, W. E. (1986). Out of the crisis. Cambridge, MA: MIT Press.



Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top