بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“OBE dan SPMI hanya instrumen; ruh pendidikan sejati lahir dari ekspektasi tinggi yang tulus dari para pendidik.”
Seorang mahasiswa berdiri gemetar, gugup di depan kelas, tangannya bergetar sambil menggenggam kertas presentasi. Kalimat pertama yang keluar terbata-bata, disambut bisik-bisik kecil dari teman sekelas. Suasana terasa tegang, hingga dosennya mendekat, menatap penuh senyum dan berkata lembut, “Kamu pasti bisa, coba ulangi lagi dengan tenang.”
Kalimat sederhana itu ternyata bisa mengubah segalanya. Sang mahasiswa menarik napas, mencoba lagi, dan perlahan menemukan ritme. Apa yang terjadi di kelas itu bukan sekadar pembelajaran teknis, melainkan perwujudan dari satu prinsip besar dalam pendidikan: pentingnya harapan tinggi yang tulus dari seorang pendidik kepada siswanya. William Spady, tokoh pemerhati Outcome-Based Education (OBE), menyebutnya high expectations, sebuah prinsip yang menegaskan bahwa setiap mahasiswa memiliki potensi yang tinggi, untuk melampaui batas yang ia kira mustahil.
Prinsip ini sering disalahpahami. Banyak orang mengira ekspektasi tinggi sama dengan memberi tugas yang banyak, berlapis-lapis, membuat standar yang mencekik, atau menekan mahasiswa dengan berbagai ujian yang sulit. Padahal high expectations bukan soal beban, melainkan “keyakinan” (high expectations).
Ia lahir dari kepercayaan bahwa semua manusia hebat, termasuk mahasiswa. Mahasiswa bisa melejit, berkembang jika diberikan dukungan dan kesempatan. Ekspektasi tinggi menuntut dosen untuk melihat potensi mahasiswa lebih dalam daripada sekadar angka-angka ujian dan indeks prestasi.
“Dalam dunia OBE, ekspektasi tinggi inilah yang menjadi ruh, sementara kurikulum, asesmen, dan dokumen SPMI hanyalah instrumen.”
Jika kita kaitkan dengan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), prinsip ini seharusnya memberi inspirasi dalam seluruh siklus mutu. Mutu sejati bukanlah laporan rapi yang dikirim ke lembaga akreditasi, melainkan keyakinan dan budaya bahwa mahasiswa bisa jadi hebat, berkembang setahap demi setahap.
Sayangnya, di beberapa kampus ekspektasi sering berubah jadi formalitas. Rencana Pembelajaran Semester ditulis indah, standar mutu ditetapkan tinggi, tetapi di ruang kelas kepercayaan itu redup, tidak hidup. Mahasiswa hanya dikejar nilai, dosen hanya dikejar publikasi, akhirnya mutu terpinggirkan, terjebak di atas kertas.
Psikologi pendidikan memberi pijakan ilmiah tentang mengapa ekspektasi tinggi begitu urgent and important. Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson lewat penelitian klasik mereka di tahun 1968 memperkenalkan Pygmalion Effect.
Mereka membuktikan bahwa ketika guru menaruh keyakinan tinggi, ekspektasi tinggi, murid cenderung meningkat kinerjanya. Sebaliknya, jika ekspektasinya rendah, prestasi murid juga ikut terjun bebas, merosot. Fenomena self-fulfilling prophecy ini menjelaskan mengapa kepercayaan seorang pendidik dapat menjadi bahan bakar yang luar biasa.
Dalam konteks OBE dan SPMI, dosen yang percaya pada kemampuan mahasiswa akan memiliki harapan yang tinggi, memberi perhatian lebih, bimbingan lebih sabar, dan umpan balik lebih konstruktif. Semua itu pada akhirnya akan menghasilkan mutu pendidikan yang sesungguhnya.
Selain itu, Carol Dweck melalui teorinya tentang Growth Mindset (2006) menjelaskan bahwa kemampuan manusia bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis, bisa berkembang melalui usaha, strategi yang tepat, dan dukungan kuat dari lingkungan.
Jika mahasiswa atau dosen terjebak dalam fixed mindset, ekspektasi tinggi hanya akan menjadi momok menakutkan. Namun, jika mereka percaya bahwa potensi dan kecerdasan bisa tumbuh, maka ekspektasi tinggi akan terasa sebagai peluang (opportunities), bukan ancaman.
Prinsip-prinsip ini mendukung gagasan Spady: ekspektasi tinggi harus dibarengi dengan keyakinan bahwa setiap orang bisa berubah dan bisa berkembang.
Lebih jauh lagi, Jacquelynne Eccles dan Allan Wigfield melalui Expectancy-Value Theory menegaskan bahwa motivasi seseorang untuk berusaha dipengaruhi oleh dua elemen: sejauh mana ia percaya dirinya bisa berhasil (expectancy) dan seberapa penting ia menilai tugas yang diberikan (value).
Ekspektasi tinggi akan sia-sia bila mahasiswa tidak melihat makna (manfaat) dalam tugas atau outcome yang diminta. Inilah sebabnya OBE menekankan relevansi capaian pembelajaran dengan dunia nyata.
Jika mahasiswa merasa bahwa apa yang ia pelajari penting untuk karier masa depannya, maka ekspektasi tinggi justru akan menjadi motivasi kuat untuk bergerak maju.
Namun jalan menuju penerapan ekspektasi tinggi memang tidak semudah membalik telapak tangan, pasti penuh tantangan. Banyak kampus terjebak dalam birokrasi, sibuk dengan tanda tangan dan administrasi mutu yang rumit.
Dosen terhimpit oleh tumpukan laporan, sehingga waktu untuk mendampingi mahasiswa berkurang. Mahasiswa sendiri datang dari latar belakang yang beragam—ada yang harus bekerja sambil kuliah, ada yang akses belajarnya terbatas. Dalam kondisi seperti ini, ekspektasi tinggi bisa terasa sulit atau tidak realistis.
Meski demikian, jalan sunyi ini tetap perlu ditempuh. Harus tetap optimis. Ekspektasi tinggi bisa dimulai dari tindakan kecil: dosen yang memberi komentar membangun, bukan sekadar angka. Kampus yang menyediakan ruang mentoring, bukan hanya ruang ujian. Sistem mutu yang menilai proses belajar, bukan hanya kepatuhan administratif.
Di era digital, teknologi bisa menjadi penopang, bukan penghalang. Data mutu bisa dikelola otomatis sehingga dosen punya lebih banyak waktu untuk hal esensial: mendidik mahasiswa. Jika budaya ini tumbuh, maka SPMI tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai panduan dan pemberi arah untuk mewujudkan keyakinan bersama bahwa mahasiswa bisa berkembang.
Ekspektasi tinggi memang jarang diperbincangkan. Ia hadir diam-diam di ruang kelas, dalam percakapan kecil antara dosen dan mahasiswa, dalam dorongan halus agar seorang pemuda berani bangkit, mencoba lagi ketika gagal.
Prinsip high expectations adalah napas yang menjaga pendidikan tetap manusiawi. William Spady mengajarkan bahwa outcome sejati bukan sekadar memenuhi standar, melainkan menumbuhkan manusia yang mampu melampaui dirinya.
Rosenthal dan Jacobson menunjukkan bahwa harapan guru bisa menjadi kenyataan bagi para murid. Dweck menegaskan bahwa setiap manusia bisa berkembang dengan mindset yang tepat, yaitu growth mindset. Eccles dan Wigfield mengingatkan bahwa semua itu hanya akan efektif jika mahasiswa merasa apa yang mereka jalani bermanfaat dan bermakna.
Jika empat pilar pemikiran ini bersatu, maka OBE dan SPMI tidak akan lagi menjadi rutinitas administrasi. Ia akan menjelma menjadi ruang hidup yang melahirkan generasi muda, para mahasiswa yang tangguh dan berdaya.
Pada akhirnya, prinsip high expectations dalam pendidikan bukan sekadar soal metode, melainkan keyakinan bahwa manusia dapat tumbuh menjadi lebih baik dari dirinya hari ini. Dalam banyak tradisi, yang disebut “terbaik” bukanlah mereka yang hanya unggul di atas kertas, melainkan mereka yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi sesama.
Dalam tradisi Islam, hal ini ditegaskan dengan firman Allah: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran [3]:110). Ayat ini menegaskan bahwa mahasiswa, dengan segala potensinya, adalah bagian dari generasi terbaik—bukan sekadar penerima ilmu, tetapi calon pembawa kebaikan bagi masyarakat dan dunia. Maka seorang dosen yang menaruh ekspektasi tinggi kepada mahasiswanya sejatinya sedang mempercayai amanat besar ini: membentuk manusia yang bermanfaat dan berdaya.
Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. New York, NY: Random House.
- Eccles, J. S., & Wigfield, A. (2020). From expectancy-value theory to situated expectancy-value theory: A developmental, social cognitive, and sociocultural perspective on motivation. Contemporary Educational Psychology, 61, 101859.
- Rosenthal, R., & Jacobson, L. (1968). Pygmalion in the classroom: Teacher expectation and pupils’ intellectual development. New York, NY: Holt, Rinehart & Winston.
- Spady, W. G. (1994). Outcome-based education: Critical issues and answers. Arlington, VA: American Association of School Administrators.
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
Instagram: @mutupendidikan




