بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Expanded Opportunities mengingatkan kita: mutu bukan soal seragam, tapi memberi peluang adil agar setiap mahasiswa bisa tumbuh dan berhasil.”
Di sebuah kelas kampus, dua mahasiswa duduk berdampingan. Mereka sedang belajar di kelas. Yang satu cepat menyalin rumus dan mengangguk penuh percaya diri, sementara yang lain menatap layar kosong, bingung, tertinggal beberapa langkah. Sistem pendidikan kita sering berasumsi bahwa keduanya harus sampai di garis akhir pada waktu yang sama. Padahal setiap orang punya irama belajar yang berbeda. Punya kecepatan belajar yang berbeda. Inilah yang disebut perbedaan individu (individual differences).
Mengapa gagasan Expanded Opportunities dari William Spady terasa begitu relevan? Karena keberhasilan bukan hanya milik mereka yang cepat, melainkan hak semua mahasiswa, tanpa kecuali. Semua mahasiswa berhak diberi kesempatan yang diperluas (expanded opportunities) sesuai keunikan masing-masing.
Prinsip ini lahir dari kerangka Outcome-Based Education (OBE), yang menempatkan hasil pembelajaran (outcome) sebagai tujuan utama. Spady percaya bahwa setiap mahasiswa bisa mencapai capaian yang diharapkan, mereka bisa berprestasi, asalkan diberi cukup waktu, cara, dan dukungan yang sesuai. Ia menolak pandangan bahwa pendidikan adalah lomba seragam di mana hanya sebagian yang bisa bertahan. Dengan Expanded Opportunities, pendidikan justru diibaratkan sebagai taman: setiap makhluk tumbuh dengan cara dan musimnya sendiri. Burung belajar terbang, ikan belajar berenang, kera belajar memanjat pohon—dan semuanya berharga dalam keunikannya.
Jika prinsip ini diterapkan dalam konteks Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), maka jelas bahwa mutu sejati tidak akan lahir dari proses yang seragam. SPMI seharusnya memberi ruang bagi setiap dosen dan program studi untuk berinovasi dengan cara masing-masing, bukan sekadar memastikan semua laporan tersusun rapi. Sebab mutu bukan diukur dari banyaknya dokumen, tetapi dari bagaimana kampus menciptakan pengalaman belajar yang inklusif—yang memberi kesempatan bagi setiap mahasiswa untuk tumbuh dan berkembang sesuai kemampuannya.
Teori psikologi pendidikan memberi dasar kuat mengapa Expanded Opportunities penting. Benjamin Bloom, dengan gagasannya tentang Mastery Learning, menekankan bahwa hampir semua mahasiswa bisa mencapai penguasaan tinggi jika diberi waktu dan strategi belajar yang tepat. Artinya, kegagalan sering kali bukan karena mahasiswa tidak mampu, tetapi karena sistem tidak memberi mereka kesempatan cukup. Prinsip ini sangat sejalan dengan Spady: fokus pada outcome yang sama, tetapi dengan jalur, metode dan tempo yang boleh berbeda.
Lev Vygotsky melengkapi dengan teori Zone of Proximal Development (ZPD). Ia menjelaskan bahwa setiap individu, termasuk mahasiswa punya zona perkembangan unik: ada hal yang bisa mereka lakukan sendiri, dan ada yang hanya bisa dicapai dengan bantuan orang lain. Bantuan inilah yang disebut “scaffolding”, bisa datang dari dosen, teman sebaya, atau bahkan teknologi. Tanpa scaffolding yang memadai, mahasiswa akan sulit belajar. Kondisi ini akan membuat potensinya terkubur. Expanded Opportunities pada dasarnya adalah menyediakan scaffolding berlapis agar semua mahasiswa dapat melampaui batas dirinya.
Carol Ann Tomlinson kemudian menegaskan lewat konsep Differentiated Instruction bahwa pengajaran tidak bisa seragam. Mahasiswa hadir dengan minat, latar belakang, dan cara belajar yang berbeda. Maka dosen dituntut memberi variasi strategi: sebagian mahasiswa mungkin lebih nyaman menulis esai, sebagian lain lebih mampu menunjukkan pemahaman lewat presentasi atau proyek kreatif. Inilah wujud nyata inklusivitas: bukan semua diperlakukan sama, melainkan semua diberi kesempatan adil untuk menunjukkan gaya dan keunikan masing-masing.
Namun, penerapan prinsip ini di Indonesia tidak tanpa tantangan. Banyak kampus masih terjebak dalam birokrasi mutu, di mana dosen lebih sibuk menyiapkan borang laporan daripada menyiapkan kesempatan belajar. Infrastruktur pendidikan juga belum merata; mahasiswa di daerah terpencil sering tertinggal karena akses internet dan teknologi terbatas. Selain itu, keterbatasan SDM dan dana membuat variasi pembelajaran sering dianggap beban tambahan. Ada pula stigma budaya: variasi dan fleksibilitas dianggap sebagai kelonggaran, bukan strategi untuk menumbuhkan mutu.
Meski begitu, peluang tetap terbuka lebar. Era digital memberi kemungkinan besar untuk pembelajaran daring, blended learning, serta mentoring sejawat. Mahasiswa kini bisa belajar melalui modul daring, proyek kolaboratif, atau bimbingan senior. Kampus juga bisa memanfaatkan AI dan teknologi untuk otomatisasi data mutu, sehingga dosen lebih punya waktu mendampingi mahasiswa secara langsung.
Peraturan dan regulasi terbaru, Permendiktisaintek Nomor 39 Tahun 2025, sebenarnya menjadi dasar yang sangat mendukung. Berbeda dengan aturan sebelumnya, Permen ini tidak lagi menjerat kampus pada detail administratif, tetapi mendorong mutu berkelanjutan, inklusif, adaptif, dan melampaui standar. Regulasi ini bahkan memberi ruang untuk pengakuan pembelajaran lampau, micro-credential, serta kurikulum lintas program studi dan lintas negara. Dengan kata lain, pemerintah sudah menyiapkan landasan yang bagus agar Expanded Opportunities bukan sekadar jargon, tetapi praktik nyata.
Untuk itu, kampus perlu berani berkreasi dan berinovasi. Pertama, memberi fleksibilitas waktu dan penilaian, misalnya dengan mastery-based assessment yang memungkinkan mahasiswa mengulang tugas sampai benar-benar menguasai. Kedua, menyediakan scaffolding digital dan peer mentoring agar mahasiswa saling menopang. Ketiga, menawarkan pilihan bentuk-bentuk penugasan sehingga mahasiswa bisa mengekspresikan pemahaman lewat cara yang sesuai dengan kekuatan mereka. Dan keempat, menerapkan model implementasi bertahap (step by step) agar OBE tidak membebani dosen maupun mahasiswa, melainkan tumbuh perlahan tetapi berkelanjutan.
Hikmah terbesarnya, prinsip Expanded Opportunities mengajarkan bahwa inklusivitas bukan hanya membuka pintu kampus selebar mungkin, tetapi juga memastikan setiap mahasiswa punya kesempatan yang sama, jalan yang adil untuk berkembang. Mutu sejati tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari keberanian mengakui perbedaan dan menumbuhkan potensi masing-masing. Pendidikan, pada akhirnya, adalah keyakinan bahwa semua mahasiswa bisa berhasil—asal diberi kesempatan yang cukup.
Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Bloom, B. S. (1968). Learning for mastery. UCLA Evaluation Comment, 1(2), 1–12. University of California, Los Angeles.
- Tomlinson, C. A. (1999). The differentiated classroom: Responding to the needs of all learners. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).
- Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
- Spady, W. G. (1994). Outcome-Based Education: Critical issues and answers. Arlington, VA: American Association of School Administrators.
Instagram: @mutupendidikan




