Dosen atau AI? Menimbang Peran Baru Pengajar di Era Generative AI

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills mutupendidikan.com

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

“Era GenAI: otoritas dosen bergeser dari ‘paling tahu’ ke pemimpin tabayyun—menjaga mutu, etika, dan makna belajar bersama mahasiswa.”

Apa jadinya ketika mesin menjawab lebih cepat dari pengajar, tapi belum tentu lebih bijak? Di titik ini, peran dosen bukan runtuh—ia sedang bergeser. Perubahan itu terasa baik di kelas luring maupun LMS: mahasiswa datang dengan draf yang sudah “diolah” AI, dosen menimbang mana yang relevan, mana yang layak diteruskan, mana yang harus direvisi atau dibongkar ulang. Pertanyaannya bukan siapa yang paling cepat memberi jawaban, melainkan siapa yang menjaga kualitas pertanyaan, kualitas jawaban dan arah belajar.

Dari sisi kebijakan Pemerintah, sinyalnya sudah jelas. Pemanfaatan Generative AI di perguruan tinggi diposisikan sebagai komitmen peningkatan mutu dan penyiapan SDM unggul, sebagaimana ditekankan oleh Abdul Haris, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) Kemendikbudristek. Artinya, teknologi ini tidak dipandang sebagai lawan pengajar, melainkan ruang baru bagi profesi dosen untuk menunjukkan “kepemimpinan” akademik. Otoritas tidak lagi diukur dari seberapa banyak ilmu yang dihafal dosen, melainkan dari bagaimana ia mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, jujur soal batas alat, dan konsisten memandu cara berpikir mahasiswa.

Pada tahap ini, Role Theory—sebagaimana diuraikan R. L. Kahn dan Robert K. Merton—membantu menjelaskan rasa gamang yang muncul. Ketika ekspektasi lama dan baru saling tarik menarik, terjadilah konflik dan ambiguitas peran. Dosen yang dulu dipahami sebagai penyampai materi kini perannya bergeser, diminta menjadi kurator sumber, mentor proses, dan evaluator autentik. Mahasiswa berharap jawaban cepat, institusi menuntut mutu, publik menginginkan integritas. Tidak heran sebagian pengajar merasa bingung, identitas kerjanya telah bergeser. Sadar dan mengakui kegamangan ini justru awal yang sehat, karena dari sanalah peran baru bisa dirumuskan lebih tegas.

Koridor kebijakan menjadi kunci agar pergeseran itu tidak membingungkan. Sri Suning Kusumawardani, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Ditjen Diktiristek, menekankan pentingnya aturan kampus yang jelas: apa yang boleh, yang sebaiknya, dan yang dilarang dalam penggunaan AI. Tujuannya bukan mengekang, melainkan memberi kepastian peran. Dosen tahu ruang geraknya; mahasiswa paham tugas dan tanggung jawabnya. Agar kesinambungan terjaga, kebijakan internal sebaiknya dituangkan eksplisit dalam standar SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal)—bukan hanya surat edaran sekali jalan. Cantumkan prinsip, prosedur, dan instrumen yang konkret dalam dokumen SPMI, lalu jalankan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan) agar kebijakan AI benar-benar hidup di kelas dan dipatuhi bersama. Dengan begitu, pergantian pimpinan, dosen, atau tren alat tidak mudah menggoyang mutu; standar tetap berjalan karena tertanam di sistem.

Setelah regulasi disusun dan garisnya cukup tegas, langkah berikutnya adalah praktik di ruang-ruang pembelajaran. Kelas butuh desain yang mendorong proses pembelajaran yang efektif, bukan hanya produk. Itu berarti penting disusun tugas berjenjang, pertanyaan penuntun, dan ruang refleksi yang nyata. AI boleh membantu memecah konsep, memberi contoh variasi, atau mensimulasikan skenario. Namun keputusan kapan alat dipakai, seberapa jauh, dan untuk tujuan apa tetap pada dosen pengajar. Peran dosen berubah dari “pemberi jawaban” menjadi “perancang pengalaman belajar” yang memastikan mahasiswa belajar bernalar kritis: menilai bukti, menyusun argumen, dan merevisi cara pikirnya ketika menemukan celah.

Di sini, gagasan seorang filsuf, ulama muslim yang memberi penopang nilai yang kuat. Imam Al-Ghazali—ulama dan pemikir abad ke-11/12—mengingatkan bahwa inti pendidikan bukan berhenti pada informasi, melainkan niat yang jujur, adab ilmiah, dan ilmu yang benar-benar bermanfaat. Pendidik adalah murabbi, pembimbing akhlak dan integritas proses, bukan sekadar pengalih pengetahuan. Dalam kelas berbantuan AI, pandangan ini terasa sangat relevan: tugas dosen memurnikan niat belajar, menuntun cara bertabayyun terhadap sumber referensi, dan memastikan pengetahuan berbuah pada tindakan yang bertanggung jawab, yang bermakna—bukan sekadar hasil yang tampak rapi.

Panduan global juga memberi inspirasi. UNESCO, badan PBB untuk pendidikan, menegaskan prinsip sederhana: pusatnya tetap pada “manusia”. AI seharusnya memberdayakan manusia, baik guru maupun pelajar, bukan mengambil alih keduanya. Implikasinya jelas: alat dipilih karena nilai pedagogiknya. Ketika perangkat mampu merangkum dan menjelaskan dengan cepat, waktu di kelas mesti dialihkan untuk hal-hal yang tidak mudah diautomasikan—penalaran berbasis bukti, kreativitas lintas disiplin, kolaborasi yang bermakna, serta literasi etika dan data. Keempatnya tumbuh dari kebiasaan berpikir kritis yang dibimbing, bukan dari kecepatan mengetik.

Di level ruang-ruang pembelajaran, inspirasi yang menarik datang dari pengalaman Ethan Mollick, dosen Wharton School (University of Pennsylvania). Ia menunjukkan bagaimana AI dapat membuat pengajaran lebih efektif karena waktu pengajar tidak tenggelam dalam rutinitas administratif. Diskusi menjadi lebih tajam ketika mahasiswa datang dengan gagasan awal, lalu diminta menunjukkan proses—apa yang mereka coba, apa yang gagal, dan mengapa memilih langkah tertentu. Pekerjaan rumah tak lagi berhenti di “hasil akhir”; yang dinilai adalah proses, jejak berpikir, dari draf pertama sampai revisi. Dalam skenario semacam ini, dosen tampil sebagai sutradara yang mengatur ritme, menyorot detail penting, dan menjaga koherensi alur cerita.

Tentu saja akan ada sisi-sisi yang harus diwaspadai. Plagiarisme, bias dalam data, jawaban yang terdengar meyakinkan padahal lemah, sampai ketergantungan yang dipoles sebagai efisiensi. Jalan keluarnya bukan menutup pintu, melainkan menebalkan literasi. Asesmen autentik perlu jadi norma: menilai proses dan penalaran, bukan sekadar produk. Transparansi pemakaian alat ditulis apa adanya. Atribusi dibuat jelas. Ketika AI keliru, itu jadi momen belajar—mengupas mengapa salah, prompt dan data apa yang kurang, dan bagaimana memperbaikinya. Di sinilah peran dosen sebagai penjaga mutu proses terlihat kuat: bukan karena selalu benar, tetapi karena berani merawat kejujuran intelektual.

Jika dirangkum, kita melihat jalinan yang saling menguatkan. Komitmen dan regulasi nasional memberi legitimasi, Role Theory membantu memahami dampak pergeseran peran, SPMI memastikan kesinambungan kebijakan di level institusi, dan praktik nyata di kelas membuktikan nilai tambah. AI memperluas jangkauan, dosen menjaga arah dan integritasnya. Ketika mahasiswa bertanya “boleh pakai AI?”, jawaban paling sehat bukan ya atau tidak, melainkan pertanyaan balik: untuk tujuan apa, dengan batas apa, dan bagaimana kamu mempertanggungjawabkannya. Cara bertanya ini menegaskan pusat kendali tetap pada manusia yang belajar dan mengajar.

Di atas semua perangkat dan kerangka kerja diatas, kita kembali ke standar yang Allah tetapkan: “Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka telitilah (tabayyun)…” (QS Al-Ḥujurāt: 6). Inilah puncak hikmah untuk kelas yang serba cepat: sebelum memutuskan, cek & recek sumbernya, uji alasannya, pertanggungjawabkan keputusannya. AI boleh membantu mencari dan merangkum, tetapi tabayyunlah yang mengembalikan marwah dan otoritas pada manusia—dosen dan mahasiswa yang bersama-sama menjaga martabat ilmu serta kejujuran belajar.

Maka, “Dosen atau AI?” akhirnya berubah jadi “Dosen dan AI.” Mesin memperluas jangkauan, dosen memandu proses tabayyun, dan kebenaran kita cari bersama—dengan keberanian mengoreksi diri ketika kita keliru. Selama tabayyun menjadi kompas, ruang kuliah akan tetap tempat paling manusiawi untuk melahirkan pengetahuan. Dan ketika pengetahuan itu kita rawat dengan adab, teknologi akan menjadi cahaya; sebab kecerdasan yang ditemani kejujuran memudahkan langkah, dan kecerdasan yang ditemani takwa menunjukkan jalan pulang yang paling indah.

Stay Relevant!

Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top