بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kebijakan Pemerintah yang dipandang cukup strategis untuk meningkatkan dan menjaga mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menekankan pentingnya perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk mendorong perbaikan mutu secara berkelanjutan (kaizen).
Namun, di tengah tuntutan peningkatan mutu dan perubahan undang-undang dan peraturan menteri, muncul pertanyaan kritis: Apakah siklus PPEPP cukup efektif dalam mendongkrak mutu pendidikan tinggi di Indonesia?, atau hanya berakhir sebagai beban formalitas administratif belaka? Evaluasi komprehensif diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan SPMI tidak hanya menjadi prosedur rutin, namun juga mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap mutu dan relevansi pendidikan di Indonesia.
Untuk menjawab persoalan tersebut, diperlukan evaluasi komprehensif atas implementasi SPMI guna menilai efektivitas kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Kerangka evaluasi William N. Dunn akan dipakai sebagai pisau analisis dalam kajian ini. Teori dari Dunn memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pelaksanaan kebijakan.
William N. Dunn adalah seorang profesor di Graduate School of Public and International Affairs, University of Pittsburgh. Ia dikenal luas atas kontribusinya dalam analisis kebijakan publik melalui karya seperti Public Policy Analysis: An Integrated Approach, yang digunakan secara global dalam studi kebijakan dan administrasi publik.
Dunn mengusulkan 6 (enam) kriteria evaluasi, yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, keadilan, responsivitas, dan kelayakan.
Enam kriteria diatas tidak hanya membantu menilai keberhasilan kebijakan, namun juga mengidentifikasi tantangan, kendala serta area-area yang memerlukan perbaikan dalam siklus PPEPP. Analisis dengan 6 kriteria diatas dapat memberikan wawasan tentang bagaimana kebijakan SPMI dapat dioptimalkan untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan (kaizen).
Kriteria pertama menurut Dunn adalah efektivitas. Dalam konteks SPMI, efektivitas diukur berdasarkan keberhasilan mencapai target yang relevan dan peningkatan akreditasi perguruan tinggi.
Jika siklus PPEPP diterapkan dengan benar, perguruan tinggi diharapkan mampu meningkatkan mutu dalam dua aspek yaitu akademik dan non-akademik.
Namun, ada dugaan, bahwa pelaksanaan siklus PPEPP seringkali tidak merata di seluruh program studi. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan tersebut benar-benar memberikan dampak signifikan atau hanya berakhir sebagai formalitas / prosedur administratif tanpa perubahan yang substansial.
Selain itu, efektivitas kebijakan SPMI dapat dievaluasi melalui indikator kinerja yang dicapai melalui pencapaian target dari standar SPMI, contoh seperti publikasi ilmiah, peningkatan kompetensi lulusan, dan kepuasan mahasiswa. Keberhasilan pencapaian target standar SPMI ini tidak hanya diukur dari kepatuhan administratif, namun dari dampak nyata terhadap mutu pendidikan dan relevansi lulusan di pasar tenaga kerja.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Efisiensi menekankan penggunaan resources (sumber daya) secara optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Dalam pelaksanaan siklus PPEPP, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa budget, infrastruktur, dan tenaga SDM digunakan secara efektif untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Namun di beberapa perguruan tinggi, implementasi SPMI sering kali menghadapi tantangan berupa keterbatas anggaran dan kapasitas (skills) sumber daya manusia, terutama di perguruan tinggi swasta di daerah-daerah. Proses penting seperti evaluasi dan pengendalian mutu memerlukan sistem informasi serta dukungan administrasi yang memadai, namun tidak semua perguruan tinggi memiliki kemampuan tersebut, sehingga menghambat pencapaian dari standar SPMI.
Permasalahan diatas memunculkan pertanyaan penting: Apakah kebijakan SPMI mampu berjalan efisien di semua jenis perguruan tinggi?
Efisiensi siklus PPEPP sangat bergantung pada keterampilan manajerial dan komitmen pimpinan perguruan tinggi dalam mengalokasikan sumber daya secara strategis. Tanpa pengelolaan yang baik, kebijakan SPMI berisiko menjadi boros dan mahal tanpa memberikan hasil signifikan.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Kecukupan untuk menjawab pertanyaan apakah kebijakan yang disusun cukup untuk memecahkan masalah yang ingin diatasi.
Dalam konteks SPMI, kebijakan SPMI disusun bertujuan untuk memastikan standar SPMI dipenuhi oleh perguruan tinggi, program studi dan unit kerja.
Bagaimana dalam praktiknya? Diduga tidak semua masalah pendidikan tinggi dapat diselesaikan hanya melalui penerapan PPEPP. Beberapa masalah seperti rendahnya minat penelitian di kalangan dosen atau kurangnya keterlibatan industri dalam pengembangan kurikulum mungkin tidak sepenuhnya teratasi melalui kebijakan SPMI.
Oleh sebab itu, kebijakan SPMI dianggap cukup atau memadai (adequacy) bila mampu memperbaiki “sebagian besar” aspek mutu pendidikan, meskipun mungkin belum mencakup untuk seluruh dimensi mutu di perguruan tinggi. Oleh karena itu, perguruan tinggi “perlu aktif” melakukan penyesuaian dan inovasi kebijakan agar penerapan PPEPP dapat memenuhi kebutuhan internal sekaligus menjawab tantangan eksternal.
Kriteria keadilan atau pemerataan, dilakukan untuk mengukur sejauh mana manfaat kebijakan didistribusikan “secara adil” (equity) di antara semua pihak yang terlibat.
Kebijakan SPMI harus memastikan bahwa seluruh program studi dan unit di perguruan tinggi mendapatkan perhatian dan dukungan yang adil serta memadai. Namun, dalam praktik diduga bahwa terdapat ketimpangan dalam penerapan PPEPP, di mana program studi unggulan atau fakultas yang lebih mapan cenderung mendapatkan dukungan sumber daya yang lebih besar.
Akses yang merata terhadap sumber daya pendidikan juga menjadi indikator penting dalam menilai keadilan kebijakan. Perguruan tinggi perlu memastikan semua mahasiswa dari berbagai latar belakang mendapatkan layanan pendidikan tanpa diskriminasi.
Responsivitas, bermakna kemampuan perguruan tinggi untuk menyesuaikan kebijakan dengan perubahan regulasi dan tuntutan pemangku kepentingan.
Dalam dunia pendidikan tinggi yang dinamis, kebijakan SPMI harus responsif-adaptif terhadap perkembangan teknologi, tuntutan industri, dan kebutuhan mahasiswa. Namun, birokrasi yang kompleks dan kurangnya komunikasi-koordinasi sering kali menjadi penghambat dalam penerapan kebijakan SPMI yang cepat dan tepat.
Beberapa perguruan tinggi menunjukkan kemampuan responsif dengan memodifikasi kurikulum dan mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan mutu pendidikan. Akan tetapi, tidak semua institusi memiliki fleksibilitas yang sama. Hal ini menimbulkan tantangan dalam menjaga agar standar SPMI yang ditetapkan perguruan tinggi tetap relevan dengan kebutuhan dan tuntutan yang berkembang.
Kriteria terakhir adalah kelayakan (appropriateness), yang menilai apakah kebijakan SPMI relevan dengan masalah yang dihadapi dan selaras dengan tujuan pendidikan tinggi.
Kebijakan SPMI akan dianggap tepat jika mampu mendukung pencapaian visi dan misi perguruan tinggi serta memenuhi standar nasional dan internasional. Kelayakan juga berkaitan dengan sejauh mana kebijakan SPMI mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi eksternal perguruan tinggi.
Diduga kuat, di beberapa perguruan tinggi kebijakan SPMI hanya menjadi rutinitas administratif belaka, tanpa menyentuh permasalahan substansial. Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa siklus PPEPP tidak hanya berfokus pada kepatuhan formal, namun juga pada peningkatan mutu yang signifikan dan berkelanjutan (continuous improvement).
Baca juga: Kurangi Kerumitan SPMI, Bisakah?
Evaluasi kebijakan SPMI dengan prspektif 6 (enam) kriteria William Dunn memberikan wawasan mendalam tentang efektivitas dan mutu kebijakan di perguruan tinggi.
SPMI yang dijalankan melalui siklus PPEPP memiliki potensi besar dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada faktor-faktor utama, seperti ketersediaan sumber daya, komitmen pimpinan, dan responsivitas terhadap perubahan kebutuhan.
Dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi mampu menjalankan kebijakan SPMI secara efisien dan merata. Beberapa perguruan tinggi menghadapi kendala dalam penerapan siklus PPEPP, baik karena keterbatasan sumber daya maupun hambatan komunikasi-koordinasi. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi dan penyesuaian berkelanjutan agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan baik dan benar sesuai dengan dinamika pendidikan tinggi.
Penerapan 6 kriteria dari Dunn membantu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kebijakan serta memberikan arahan untuk perbaikan.
Perguruan tinggi harus memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjadi kewajiban formalitas-administratif, namun juga sebagai tools (alat) strategis untuk mencapai keunggulan dan peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Dengan komitmen dan pengelolaan (management) yang tepat, siklus PPEPP dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam menjamin mutu dan relevansi pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Pasal 31
(1) Standar pengelolaan merupakan kriteria minimal
mengenai perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan
dan pengendalian kegiatan pendidikan untuk mencapai
standar kompetensi lulusan.
(2) Perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan dan
pengendalian kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan prinsip tata
kelola perguruan tinggi yang baik untuk melaksanakan
misi perguruan tinggi.
Pasal 32
(1) Perencanaan kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan oleh perguruan tinggi
dengan menyusun perencanaan pengembangan jangka
panjang yang dinyatakan dalam rencana strategis
perguruan tinggi.
(2) Perencanaan kegiatan pendidikan untuk peningkatan
proses dan hasil belajar secara berkelanjutan dituangkan
dalam rencana jangka menengah dan jangka pendek.
Pasal 33
(1) Pelaksanaan kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan:
a. dengan menjunjung tinggi integritas dan etika
akademik; dan
b. dalam kerangka kebebasan akademik, kebebasan
mimbar akademik, dan otonomi keilmuan yang
bertanggung jawab.
(2) Pelaksanaan kegiatan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) minimal meliputi:
a. pengelolaan dan pelayanan kepada mahasiswa;
b. pengelolaan sumber daya; dan
c. pengelolaan data dan informasi dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Pasal 34
(1) Pengawasan dan pengendalian kegiatan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan
dalam bidang akademik dan nonakademik berdasarkan
misi perguruan tinggi.
(2) Pengawasan dan pengendalian kegiatan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal meliputi:
a. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan
pendidikan serta efektivitas kebijakan akademik;
b. pemantauan potensi risiko;
c. penjaminan kepatuhan pada pengaturan otoritas
akademik dan etika akademik;
d. penerimaan, pendokumentasian, pemrosesan dan
penyelesaian keluhan, laporan atau pengaduan
terhadap dugaan pelanggaran etika akademik,
pelanggaran peraturan perguruan tinggi, dan
pelanggaran peraturan perundang-undangan; dan
e. pelaporan dan akuntabilitas terhadap pemanfaatan
bantuan pendanaan dan/atau sumber daya dari
mitra.
Pasal 35
Pengelolaan dan pelayanan kepada mahasiswa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf a minimal meliputi:
a. penerimaan mahasiswa baru;
b. penyiapan mahasiswa; dan
c. layanan mahasiswa.
Pasal 36
(1) Penerimaan mahasiswa baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf a dilakukan berdasarkan potensi
serta prestasi mahasiswa dalam bidang akademik
dan/atau nonakademik.
(2) Penerimaan mahasiswa baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bersifat:
a. afirmatif dengan menunjukkan keberpihakan
kepada mahasiswa yang kurang mampu secara
ekonomi;
b. inklusif dengan memperhatikan kebutuhan khusus
mahasiswa; dan
c. adil dengan memberi kesempatan terbuka tanpa
membedakan suku, agama, ras, dan antargolongan.
(3) Penerimaan mahasiswa baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1):
a. diumumkan secara terbuka di laman resmi
perguruan tinggi dan dapat diakses oleh masyarakat;
dan
b. dilakukan melalui mekanisme seleksi yang
transparan dan akuntabel.
(4) Perguruan tinggi dalam penerimaan mahasiswa baru
dapat melakukan rekognisi pembelajaran lampau sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
(1) Penyiapan mahasiswa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 huruf b dilakukan bagi mahasiswa baru yang
akan mulai mengikuti pendidikan.
(2) Penyiapan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) minimal meliputi:
a. penjelasan umum perguruan tinggi;
b. cara belajar yang menjunjung prinsip integritas
akademik;
c. cara mewujudkan kampus yang bebas dari
kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi;
dan
d. cara beradaptasi pada kehidupan di perguruan tinggi
yang aman, sehat, dan ramah lingkungan.
(3) Seluruh kegiatan dalam penyiapan mahasiswa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus bebas dari
kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi.
Pasal 38
(1) Layanan mahasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 huruf c minimal meliputi layanan:
a. administrasi akademik;
b. bimbingan konseling;
c. kesehatan; dan
d. keperluan dasar untuk mahasiswa berkebutuhan
khusus.
(2) Layanan mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberikan oleh unit khusus atau terintegrasi dalam
pengelolaan perguruan tinggi.
Pasal 39
(1) Pengelolaan data dan informasi dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf c bertujuan
untuk:
a. memastikan keamanan, kebenaran, akurasi,
kelengkapan dan kemutakhiran data akademik;
b. mendukung perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pengambilan keputusan dalam
pengelolaan perguruan tinggi;
c. melaporkan data profil dan kinerja perguruan tinggi
pada PD Dikti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
d. menyediakan data dan informasi perguruan tinggi
yang dapat diakses publik.
(2) Data dan informasi perguruan tinggi yang dapat diakses
publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
disajikan minimal melalui laman resmi perguruan tinggi.
Instagram: @mutupendidikan
Info Pelatihan Mutu Pendidikan
BAB I
Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pasal 2
(1) Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dilakukan melalui penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar pendidikan tinggi.
(2) Standar pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. SN Dikti; dan
b. standar pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh perguruan tinggi
Demikian Ketentuan dalam Bab 1 Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, semoga bermanfaat.
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi