بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah kebijakan Pemerintah yang dipandang cukup strategis untuk meningkatkan dan menjaga mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menekankan pentingnya perguruan tinggi menerapkan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) untuk mendorong perbaikan mutu secara berkelanjutan (kaizen).
Namun, di tengah tuntutan peningkatan mutu dan perubahan undang-undang dan peraturan menteri, muncul pertanyaan kritis: Apakah siklus PPEPP cukup efektif dalam mendongkrak mutu pendidikan tinggi di Indonesia?, atau hanya berakhir sebagai beban formalitas administratif belaka? Evaluasi komprehensif diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan SPMI tidak hanya menjadi prosedur rutin, namun juga mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap mutu dan relevansi pendidikan di Indonesia.
Untuk menjawab persoalan tersebut, diperlukan evaluasi komprehensif atas implementasi SPMI guna menilai efektivitas kebijakan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Kerangka evaluasi William N. Dunn akan dipakai sebagai pisau analisis dalam kajian ini. Teori dari Dunn memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pelaksanaan kebijakan.
William N. Dunn adalah seorang profesor di Graduate School of Public and International Affairs, University of Pittsburgh. Ia dikenal luas atas kontribusinya dalam analisis kebijakan publik melalui karya seperti Public Policy Analysis: An Integrated Approach, yang digunakan secara global dalam studi kebijakan dan administrasi publik.
Dunn mengusulkan 6 (enam) kriteria evaluasi, yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, keadilan, responsivitas, dan kelayakan.
Enam kriteria diatas tidak hanya membantu menilai keberhasilan kebijakan, namun juga mengidentifikasi tantangan, kendala serta area-area yang memerlukan perbaikan dalam siklus PPEPP. Analisis dengan 6 kriteria diatas dapat memberikan wawasan tentang bagaimana kebijakan SPMI dapat dioptimalkan untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan (kaizen).
Kriteria pertama menurut Dunn adalah efektivitas. Dalam konteks SPMI, efektivitas diukur berdasarkan keberhasilan mencapai target yang relevan dan peningkatan akreditasi perguruan tinggi.
Jika siklus PPEPP diterapkan dengan benar, perguruan tinggi diharapkan mampu meningkatkan mutu dalam dua aspek yaitu akademik dan non-akademik.
Namun, ada dugaan, bahwa pelaksanaan siklus PPEPP seringkali tidak merata di seluruh program studi. Ketidakkonsistenan ini menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan tersebut benar-benar memberikan dampak signifikan atau hanya berakhir sebagai formalitas / prosedur administratif tanpa perubahan yang substansial.
Selain itu, efektivitas kebijakan SPMI dapat dievaluasi melalui indikator kinerja yang dicapai melalui pencapaian target dari standar SPMI, contoh seperti publikasi ilmiah, peningkatan kompetensi lulusan, dan kepuasan mahasiswa. Keberhasilan pencapaian target standar SPMI ini tidak hanya diukur dari kepatuhan administratif, namun dari dampak nyata terhadap mutu pendidikan dan relevansi lulusan di pasar tenaga kerja.
Baca juga: Ketika Mutu Tidak Lagi Linier
Efisiensi menekankan penggunaan resources (sumber daya) secara optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Dalam pelaksanaan siklus PPEPP, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa budget, infrastruktur, dan tenaga SDM digunakan secara efektif untuk mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan.
Namun di beberapa perguruan tinggi, implementasi SPMI sering kali menghadapi tantangan berupa keterbatas anggaran dan kapasitas (skills) sumber daya manusia, terutama di perguruan tinggi swasta di daerah-daerah. Proses penting seperti evaluasi dan pengendalian mutu memerlukan sistem informasi serta dukungan administrasi yang memadai, namun tidak semua perguruan tinggi memiliki kemampuan tersebut, sehingga menghambat pencapaian dari standar SPMI.
Permasalahan diatas memunculkan pertanyaan penting: Apakah kebijakan SPMI mampu berjalan efisien di semua jenis perguruan tinggi?
Efisiensi siklus PPEPP sangat bergantung pada keterampilan manajerial dan komitmen pimpinan perguruan tinggi dalam mengalokasikan sumber daya secara strategis. Tanpa pengelolaan yang baik, kebijakan SPMI berisiko menjadi boros dan mahal tanpa memberikan hasil signifikan.
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Kecukupan untuk menjawab pertanyaan apakah kebijakan yang disusun cukup untuk memecahkan masalah yang ingin diatasi.
Dalam konteks SPMI, kebijakan SPMI disusun bertujuan untuk memastikan standar SPMI dipenuhi oleh perguruan tinggi, program studi dan unit kerja.
Bagaimana dalam praktiknya? Diduga tidak semua masalah pendidikan tinggi dapat diselesaikan hanya melalui penerapan PPEPP. Beberapa masalah seperti rendahnya minat penelitian di kalangan dosen atau kurangnya keterlibatan industri dalam pengembangan kurikulum mungkin tidak sepenuhnya teratasi melalui kebijakan SPMI.
Oleh sebab itu, kebijakan SPMI dianggap cukup atau memadai (adequacy) bila mampu memperbaiki “sebagian besar” aspek mutu pendidikan, meskipun mungkin belum mencakup untuk seluruh dimensi mutu di perguruan tinggi. Oleh karena itu, perguruan tinggi “perlu aktif” melakukan penyesuaian dan inovasi kebijakan agar penerapan PPEPP dapat memenuhi kebutuhan internal sekaligus menjawab tantangan eksternal.
Kriteria keadilan atau pemerataan, dilakukan untuk mengukur sejauh mana manfaat kebijakan didistribusikan “secara adil” (equity) di antara semua pihak yang terlibat.
Kebijakan SPMI harus memastikan bahwa seluruh program studi dan unit di perguruan tinggi mendapatkan perhatian dan dukungan yang adil serta memadai. Namun, dalam praktik diduga bahwa terdapat ketimpangan dalam penerapan PPEPP, di mana program studi unggulan atau fakultas yang lebih mapan cenderung mendapatkan dukungan sumber daya yang lebih besar.
Akses yang merata terhadap sumber daya pendidikan juga menjadi indikator penting dalam menilai keadilan kebijakan. Perguruan tinggi perlu memastikan semua mahasiswa dari berbagai latar belakang mendapatkan layanan pendidikan tanpa diskriminasi.
Responsivitas, bermakna kemampuan perguruan tinggi untuk menyesuaikan kebijakan dengan perubahan regulasi dan tuntutan pemangku kepentingan.
Dalam dunia pendidikan tinggi yang dinamis, kebijakan SPMI harus responsif-adaptif terhadap perkembangan teknologi, tuntutan industri, dan kebutuhan mahasiswa. Namun, birokrasi yang kompleks dan kurangnya komunikasi-koordinasi sering kali menjadi penghambat dalam penerapan kebijakan SPMI yang cepat dan tepat.
Beberapa perguruan tinggi menunjukkan kemampuan responsif dengan memodifikasi kurikulum dan mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan mutu pendidikan. Akan tetapi, tidak semua institusi memiliki fleksibilitas yang sama. Hal ini menimbulkan tantangan dalam menjaga agar standar SPMI yang ditetapkan perguruan tinggi tetap relevan dengan kebutuhan dan tuntutan yang berkembang.
Kriteria terakhir adalah kelayakan (appropriateness), yang menilai apakah kebijakan SPMI relevan dengan masalah yang dihadapi dan selaras dengan tujuan pendidikan tinggi.
Kebijakan SPMI akan dianggap tepat jika mampu mendukung pencapaian visi dan misi perguruan tinggi serta memenuhi standar nasional dan internasional. Kelayakan juga berkaitan dengan sejauh mana kebijakan SPMI mampu beradaptasi dengan perubahan kondisi eksternal perguruan tinggi.
Diduga kuat, di beberapa perguruan tinggi kebijakan SPMI hanya menjadi rutinitas administratif belaka, tanpa menyentuh permasalahan substansial. Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa siklus PPEPP tidak hanya berfokus pada kepatuhan formal, namun juga pada peningkatan mutu yang signifikan dan berkelanjutan (continuous improvement).
Baca juga: Kurangi Kerumitan SPMI, Bisakah?
Evaluasi kebijakan SPMI dengan prspektif 6 (enam) kriteria William Dunn memberikan wawasan mendalam tentang efektivitas dan mutu kebijakan di perguruan tinggi.
SPMI yang dijalankan melalui siklus PPEPP memiliki potensi besar dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada faktor-faktor utama, seperti ketersediaan sumber daya, komitmen pimpinan, dan responsivitas terhadap perubahan kebutuhan.
Dalam praktiknya, tidak semua perguruan tinggi mampu menjalankan kebijakan SPMI secara efisien dan merata. Beberapa perguruan tinggi menghadapi kendala dalam penerapan siklus PPEPP, baik karena keterbatasan sumber daya maupun hambatan komunikasi-koordinasi. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi dan penyesuaian berkelanjutan agar kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan baik dan benar sesuai dengan dinamika pendidikan tinggi.
Penerapan 6 kriteria dari Dunn membantu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kebijakan serta memberikan arahan untuk perbaikan.
Perguruan tinggi harus memastikan bahwa SPMI tidak hanya menjadi kewajiban formalitas-administratif, namun juga sebagai tools (alat) strategis untuk mencapai keunggulan dan peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Dengan komitmen dan pengelolaan (management) yang tepat, siklus PPEPP dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam menjamin mutu dan relevansi pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Implementasi Kebijakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah regulasi penting ditetapkan pemerintah untuk memastikan peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar—berfungsi sebagai panduan bagi perguruan tinggi untuk “mengintegrasikan” kebijakan mutu ke dalam semua aspek operasional dan proses pembelajaran. Peraturan Pengintegrasian SPMI dalam manajemen perguruan tinggi, dapat dilihat pada pasal 69, ayat (1)b Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Namun, di perguruan tinggi, implementasi ini tidak selalu berjalan dengan mulus sesuai rencana. Kesenjangan (gap) sering muncul antara perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya. Kebijakan yang dirancang di tingkat strategis di lingkungan kementerian, namun seringkali sulit diterjemahkan ke dalam tindakan nyata di unit-unit operasional di kampus. Sulitnya komunikasi-koordinasi internal juga memperburuk kesulitan ini.
Dalam konteks ini, teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier memberikan penjelasan menarik tentang mengapa kebijakan yang tampak baik di atas kertas sering mengalami tantangan berat dalam penerapannya.
Para pimpinan perguruan tinggi, baik rektor, ketua maupun direktur, merasa “pusing tujuh keliling” bagaimana cara-cara praktis mengelola SPMI dengan baik dan benar. Mereka menyadari bahwa keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada desain kebijakan, namun juga pada kemampuan organisasi dalam menghadapi kompleksitas masalah dan dinamika faktor eksternal.
Teori Mazmanian dan Sabatier menekankan bahwa “kompleksitas” masalah adalah salah satu faktor penting yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan (Mazmanian & Sabatier, Implementation and Public Policy, 1983). Dalam perguruan tinggi, perubahan menuju penerapan budaya mutu bukan hanya masalah teknis, tetapi juga melibatkan adaptasi di seluruh organisasi. Managing change merupakan salah satu tantangan besar bagi pengelola organisasi.
Birokrasi yang kaku, struktur yang berlapis dan (pola pikir, pola sikap dan pola perilaku) yang sudah terbentuk menjadi hambatan dalam proses perubahan. Organisasi sudah sulit untuk lincah fleksibel mengikuti perubahan lingkungan (struktural yang lembam atau inersia). Aktor-aktor internal, seperti pimpinan, dosen dan staf administrasi, sering kali enggan meninggalkan kebiasaan (habit) lama, sehingga membuat implementasi kebijakan SPMI berjalan lambat atau tidak konsisten.
Siklus PPEPP nomor tiga, yang terdiri dari monitoring-evaluasi (monev) dan audit mutu secara berkala, kerap dipandang sebagai tugas administratif semata. Alih-alih digunakan sebagai “tools” untuk perbaikan berkelanjutan (kaizen), audit dan monev seringkali tidak dianggap strategis oleh sebagian besar pelaksana di lapangan.
Resistensi (penolakan) tersebut menggambarkan bagaimana faktor “budaya mutu” berpengaruh besar terhadap efektivitas kebijakan pemerintah. Semakin kompleks dan beragam perilaku aktor dalam sebuah organisasi, seperti yang dijabarkan oleh Mazmanian dan Sabatier, semakin berat pula kebijakan tersebut dapat dijalankan dengan baik.
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Salah satu aspek krusial dalam teori Mazmanian dan Sabatier adalah bahwa kebijakan pemerintah yang efektif harus mampu mengarahkan implementasi secara jelas. Tujuan yang spesifik dan instrumen yang memadai sangat penting agar kebijakan dapat dijalankan sesuai harapan stakeholder. Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 telah menyediakan kerangka (framework) kebijakan yang mengatur penjaminan mutu di perguruan tinggi.
Keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada kerangka kebijakan, tetapi juga pada kemampuan perguruan tinggi untuk mengintegrasikan PPEPP ke dalam strategi operasional sehari-hari. Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa setiap tahap PPEPP berjalan “selaras” dengan manajemen mutu di semua level, mulai dari statuta, RIP, Renstra, Kebijakan SPMI, Perangkat PPEPP, Standar, Prosedur dan Instruksi Kerja.
Keterlibatan dan koordinasi langsung dari pimpinan puncak sangat penting agar PPEPP tidak sekadar menjadi formalitas administratif belaka. Pimpinan harus mampu berkomunikasi dan memotivasi seluruh komponen organisasi untuk melihat PPEPP sebagai instrumen peningkatan mutu yang berkelanjutan. Pimpinan harus menjadi role model yang terdepan untuk dicontoh anggota organisasi. Tanpa komitmen penuh dari segenap pimpinan dan keterlibatan seluruh elemen, kebijakan yang baik di atas kertas sulit memberikan dampak (impact) nyata pada peningkatan mutu pendidikan.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Faktor lingkungan eksternal memainkan peran penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan SPMI. Perguruan tinggi harus mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan FUCA, BANI dan kebijakan nasional serta memenuhi tuntutan akreditasi dari lembaga eksternal. Dinamika ini membuat pelaksanaan PPEPP tidak hanya bergantung pada internal kampus, tetapi juga pada perubahan lingkungan yang berlaku di tingkat nasional dan global.
Perubahan lingkungan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) menuntut perguruan tinggi untuk beradaptasi cepat, tepat dan fleksibel. Dalam perspektif Mazmanian dan Sabatier, keberhasilan implementasi kebijakan bergantung pada kemampuan perguruan tinggi menghadapi dinamika ini melalui penyusunan (pemutakhiran) visi-misi, koordinasi internal, desain kebijakan yang jelas, dan adaptasi terus menerus terhadap perubahan faktor eksternal.
Mazmanian dan Sabatier menggaris bawahi bahwa dukungan politik dan lingkungan eksternal sangat krusial dalam memengaruhi keberhasilan kebijakan (Mazmanian & Sabatier, 1983). Ketika ada perubahan undang-undang, kebijakan akreditasi atau peraturan pendidikan, perguruan tinggi perlu memastikan bahwa “Standar SPMI” tetap relevan dan selaras dengan tuntutan terbaru. Keterlambatan dalam beradaptasi bisa menghambat pencapaian mutu yang diharapkan. Dengan kata lain. standar SPMI harus terus menerus di mutakhirkan (update) agar tetap relevant.
Monitoring dan evaluasi internal menjadi sangat krusial agar dokumen SPMI dapat terus diperbarui sesuai perkembangan eksternal. Perguruan tinggi harus melakukan evaluasi berkala dan menerapkan umpan balik untuk mengatasi kesenjangan antara perubahan eksternal, regulasi dan praktik. Ini memastikan bahwa kebijakan SPMI tetap efektif dan mampu menghadapi perubahan di lingkungan yang dinamis.
Implementasi SPMI dan PPEPP di perguruan tinggi merupakan proses dinamis dan kompleks yang memerlukan keterlibatan seluruh komponen organisasi. Melalui kerangka teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier, dapat dipahami bahwa keberhasilan kebijakan tidak hanya bergantung pada perumusan yang baik, namun juga pada pelaku aktor-aktor di lapangan.
Perguruan tinggi yang mampu mengintegrasikan PPEPP ke dalam praktik manajemen kampus tidak hanya akan memenuhi regulasi, tetapi juga berpeluang untuk meningkatkan mutu pendidikan secara terus menerus. Proses ini membutuhkan komitmen dari seluruh elemen, termasuk pimpinan puncak, dosen, dan staf administrasi, agar kebijakan SPMI berjalan efektif dan efisien. Segenap SDM di perguruan tinggi, bersama-sama perlu memperkuat budaya mutu organisasi.
Budaya mutu organisasi meliputi pola pikir, pola sikap dan pola perilaku yang sesuai dengan standar SPMI yang telah ditetapkan. Perlu membangun etos kerja yang kuat, yaitu komitmen untuk kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas dan kerja ikhlas.
Dengan komunikasi-koordinasi yang efektif dan pemantauan yang berkesinambungan, siklus PPEPP dapat berfungsi sebagai instrumen perubahan yang nyata. Audit mutu internal, dan Monev internal memungkinkan perguruan tinggi menyesuaikan kebijakan SPMI dengan perkembangan eksternal, memastikan bahwa peningkatan mutu tidak berhenti hanya pada pemenuhan standar, tetapi terus berkembang untuk menghadapi tantangan era VUCA dan BANI saat ini dan di masa yang akan datang. Stay Relevant!
Baca juga: Pengorbanan dan Dedikasi: Fondasi Kepemimpinan SPMI
Referensi:
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) telah menjadi regulasi penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu perguruan tinggi di Indonesia. Siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP) memastikan bahwa standar mutu diterapkan secara berkelanjutan (kaizen), sehingga perguruan tinggi dapat mempertahankan dan meningkatkan mutu sesuai dengan tuntutan zaman.
SPMI berperan penting dalam membantu perguruan tinggi menjaga konsistensi dalam mutu layanan pendidikan. Regulasi SPMI Pendidikan tinggi, diatur dalam Permendikbudristek no 53 tahun 2023 pasal 67 sampai dengan pasal 70.
Akan tetapi, dengan perubahan cepat dalam dunia pendidikan serta perkembangan teknologi digital, perguruan tinggi harus mengadopsi pendekatan baru yang lebih strategis.
Transformasi digital dalam SPMI bukan lagi sebuah pilihan, namun merupakan kebutuhan untuk tetap relevan dan kompetitif di era global.
Digitalisasi SPMI memungkinkan perguruan tinggi meningkatkan efisiensi, responsivitas, dan aksesibilitas layanan, yang berujung pada peningkatan mutu dan kepuasan mahasiswa. Melalui SPMI digital, perguruan tinggi tidak hanya mengadopsi teknologi dalam aspek administratif, namun juga dalam meningkatkan mutu pengajaran, pelayanan, penelitian serta interaksi dengan mahasiswa.
Menurut temuan jurnal “Student Satisfaction and Retention: Impact of Service Quality and Digital Transformation” oleh Forid et al. (2022), dicatat bahwa “keandalan tetap menjadi pilar utama kepuasan mahasiswa, karena layanan yang andal secara langsung memengaruhi pengalaman pendidikan mereka.”
Dalam konteks SPMI digital, keandalan layanan pendidikan dan administrasi harus dipastikan melalui sistem digital yang terintegrasi dan dapat diandalkan. Digitalisasi di sini berperan penting dalam menjamin kecepatan dan akurasi layanan, mulai dari pendaftaran mahasiswa hingga penyediaan materi pembelajaran secara online.
Perguruan tinggi yang sukses menerapkan SPMI digital akan mampu memberikan pengalaman yang lebih baik bagi mahasiswa melalui layanan yang responsif dan terpercaya. Ini juga sejalan dengan temuan jurnal bahwa “pembeda dalam kepuasan mahasiswa adalah responsif dan kehandalan dalam layanan.” Layanan yang cepat tanggap terhadap keluhan, kebutuhan akademik, serta komunikasi yang lebih efisien akan memperkuat kepercayaan dan kepuasan mahasiswa.
Temuan dalam jurnal diatas juga menegaskan bahwa “transformasi digital bukan lagi sebuah kemewahan, tetapi sebuah keharusan untuk memenuhi harapan mahasiswa modern dan meningkatkan kepuasan mereka.” Perguruan tinggi yang gagal mengadopsi teknologi digital dalam SPMI akan tertinggal di belakang.
Sistem digital tidak hanya mempercepat proses administrasi, tetapi juga memungkinkan perguruan tinggi untuk memantau dan mengevaluasi mutu dengan data yang lebih tepat dan akurat.
Dalam era ini, layanan berbasis teknologi seperti platform LMS (e-learning), penggunaan big data untuk analisis kinerja akademik, serta aplikasi digital untuk komunikasi antara dosen dan mahasiswa menjadi sangat penting. Perguruan tinggi yang mampu memanfaatkan teknologi informasi (IT) akan dapat dengan cepat beradaptasi dan meningkatkan efektivitas proses PPEPP secara keseluruhan.
Temuan jurnal berikutnya, “Empati, meskipun penting, tidak secara signifikan mempengaruhi kepuasan mahasiswa, mahasiswa lebih memprioritaskan aspek fungsional daripada aspek emosional dalam kualitas layanan.”
Hal diatas menandakan bahwa dalam implementasi SPMI digital, perguruan tinggi harus berfokus pada aspek fungsional, seperti efisiensi sistem dan kemudahan akses layanan, daripada terlalu menekankan interaksi emosional. Apa artinya empati dan keramahtamahan bila tidak diimbangi dengan aspek fungsional dari layanan digital yang ada.
Penguatan layanan digital yang mudah digunakan dan diakses kapan saja menjadi prioritas utama. Dengan mengoptimalkan aspek-aspek yang lebih fungsional, perguruan tinggi dapat meminimalisasi kesenjangan antara harapan mahasiswa dan layanan yang diterima, yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan dan retensi mahasiswa.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
Jurnal diatas juga menemukan, “Retensi mahasiswa sangat terkait dengan kepuasan. Mahasiswa yang puas cenderung menyelesaikan studi dan mempromosikan institusi.”
Dalam konteks ini, SPMI digital tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan mutu akademik, namun juga mempertahankan mahasiswa dan meningkatkan reputasi perguruan tinggi. Mahasiswa yang puas dengan sistem pendidikan berbasis digital akan lebih loyal dan cenderung menyelesaikan studi dengan baik.
SPMI digital juga membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk membangun komunitas alumni yang kuat dan proaktif, yang dapat berkontribusi pada pertumbuhan institusi di masa yang akan datang.
Melalui integrasi SPMI digital, perguruan tinggi dapat memanfaatkan teknologi untuk menciptakan layanan yang lebih responsif dan andal, sesuai dengan tuntutan mahasiswa modern. Digitalisasi SPMI memberikan perguruan tinggi kemampuan untuk menghadirkan layanan pendidikan yang lebih cepat, tepat, dan mudah diakses, baik dari segi administrasi maupun pembelajaran. Kecepatan dan keandalan dalam pelayanan sangat penting karena berkontribusi langsung terhadap kepuasan mahasiswa. Pengelolaan berbasis digital ini memastikan perguruan tinggi lebih efisien dalam memantau dan mengelola mutu pendidikan mereka.
Transformasi digital, seperti yang dikemukakan dalam temuan Forid et al. (2022), memiliki dampak yang signifikan dalam meningkatkan kepuasan mahasiswa dan memperkuat daya saing perguruan tinggi di tingkat global. Teknologi memungkinkan universitas untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa yang semakin digital-savvy dan mengharapkan pengalaman pendidikan yang lebih modern. Hal ini juga memungkinkan perguruan tinggi untuk berinovasi dalam metode pembelajaran dan administrasi, yang pada akhirnya mendukung efektivitas SPMI dan meningkatkan reputasi mereka di kancah internasional.
Di era digital, kualitas layanan bukan hanya soal pencapaian standar, tetapi soal menciptakan keunggulan kompetitif yang baru.
Dengan SPMI digital, perguruan tinggi dituntut tidak hanya sekedar melaksanakan standar SPMI, namun juga menetapkan standar baru yang lebih tinggi untuk pendidikan berkelanjutan.
Transformasi ini tidak hanya memastikan perguruan tinggi mampu bersaing di era global, tetapi juga memberikan fondasi bagi inovasi yang mendukung keberlanjutan dan relevansi pendidikan di masa depan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan framework penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi.
Menurut Permendikbudristek 53 tahun 2023, dalam pasal 68 ayat 1, diatur tentang implementasi siklus PPEPP.
Melalui siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan), SPMI memungkinkan perguruan tinggi untuk menyesuaikan proses pendidikan sesuai dengan standar minimal yang ditetapkan oleh pemerintah. Siklus ini memastikan bahwa institusi secara berkelanjutan memantau dan memperbaiki kinerja pendidikan, menciptakan standar mutu yang konsisten dan terukur.
Namun, di tengah tantangan global yang terus berkembang seperti kemajuan teknologi dan perubahan kebutuhan pasar tenaga kerja, perguruan tinggi dituntut untuk lebih adaptif.
Sistem mutu yang hanya memenuhi standar statis tidak lagi cukup; diperlukan kemampuan dinamis untuk merespons perubahan eksternal dengan cepat.
Dalam konteks ini, integrasi McKinsey 7S Model menawarkan pendekatan yang relevan untuk memperkuat SPMI. Model ini memberikan panduan yang komprehensif untuk menyelaraskan tujuh elemen kunci dalam organisasi, yaitu struktur, strategi, sistem, staf, keterampilan, gaya, dan nilai bersama, sehingga perguruan tinggi dapat secara fleksibel menyesuaikan diri dengan lingkungan yang terus berubah.
McKinsey 7S Model adalah kerangka kerja yang digunakan secara luas untuk membantu organisasi mengelola perubahan dengan menyelaraskan tujuh elemen utama: struktur, strategi, sistem, staf, keterampilan, gaya, dan nilai bersama.
Dalam konteks perguruan tinggi, model Mc kinsey 7S menjadi sangat relevan karena setiap elemen tersebut harus bekerja bersama secara sinergis untuk memastikan keberhasilan implementasi SPMI. Pendekatan ini memungkinkan perguruan tinggi untuk mengelola perubahan internal yang diperlukan untuk mencapai tujuan strategis dengan lebih efektif.
Dengan melakukan evaluasi dan penyesuaian terus-menerus terhadap elemen-elemen 7S, perguruan tinggi dapat beradaptasi lebih cepat terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal, seperti perkembangan teknologi, perubahan regulasi dan kebutuhan pasar kerja. Hal ini memastikan bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi tidak hanya memenuhi standar SPMI yang ditetapkan, tetapi juga memperkuat daya saing perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan perubahan zaman.
Konsep McKinsey 7S telah terbukti efektif dalam membantu organisasi beradaptasi dengan perubahan lingkungan, seperti yang dijelaskan dalam jurnal “Implementing McKinsey 7S Model of Organizational Diagnosis and Planned Change, Best Western Italy Case Analysis” yang diterbitkan dalam Journal of International Business and Management (JIBM). DOI: https://doi.org/10.37227/JIBM-2021-09-1438
Studi kasus di Best Western Italy menunjukkan bahwa perusahaan tersebut berhasil mengelola perubahan organisasi (managing change) dengan menyesuaikan setiap elemen dalam model 7S.
Jurnal diatas menekankan bahwa perubahan yang berhasil hanya dapat terjadi ketika semua elemen organisasi—struktur, strategi, sistem, staf, keterampilan, gaya, dan nilai bersama—“berfungsi secara harmonis”.
Dalam konteks perguruan tinggi, penerapan konsep 7S juga diperlukan untuk memperkuat Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Struktur organisasi perguruan tinggi harus dirancang agar mendukung pelaksanaan strategi mutu yang telah ditetapkan. Misalnya, pembagian peran dan tanggung jawab antara fakultas, departemen, dan unit pendukung harus dikelola dengan baik untuk mencapai tujuan strategis secara efektif.
Sejauh mana pola sentralisasi dan desentralisasi organisasi dibangun agar iklim inovatif dapat terwujud. Sejauh mana sinkronisasi dan integrasi pekerjaan dapat dibangun agar tercapai sinergi yang optimal.
Selain itu, sistem penilaian dan evaluasi di perguruan tinggi harus dirancang sedemikian rupa agar memberikan informasi yang akurat dan relevan kepada para stakeholder (pemangku kepentingan).
Dengan sistem evaluasi yang tepat, perguruan tinggi dapat lebih cepat melakukan perbaikan untuk memastikan bahwa peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan secara tepat waktu dan terukur.
Nilai bersama (shared values) dalam organisasi, seperti yang diuraikan dalam jurnal JIBM, memainkan peran penting dalam memfasilitasi perubahan. Di perguruan tinggi, nilai-nilai seperti inovasi, komitmen terhadap keunggulan akademik, dan inklusivitas harus terus diperkuat. Nilai-nilai ini menciptakan budaya perguruan tinggi yang mendukung keberhasilan implementasi SPMI.
Budaya organisasi yang dipandu oleh nilai-nilai bersama ini tidak hanya memastikan keberhasilan perubahan, tetapi juga memberikan arah bagi setiap langkah dalam pengelolaan mutu di perguruan tinggi. Dengan demikian, nilai bersama (shared values) menjadi pusat dari perubahan yang berkelanjutan, memastikan setiap elemen berfungsi secara sinergis.
Dalam lingkungan pendidikan tinggi yang semakin kompleks, penyesuaian terhadap elemen 7S menjadi kunci penting untuk menjaga fleksibilitas dan keberlanjutan mutu. Dengan mengintegrasikan konsep 7S ke dalam SPMI, perguruan tinggi berpeluang memastikan keberhasilan mereka dalam menghadapi tantangan masa depan.
Agar perguruan tinggi tetap unggul, relevan dan kompetitif, evaluasi berkelanjutan terhadap elemen-elemen dalam McKinsey 7S sangat penting. Lingkungan pendidikan tinggi terus berkembang, sehingga perguruan tinggi harus terus menilai dan menyesuaikan staf (staff), keterampilan (skills), serta gaya kepemimpinan (style) mereka.
Staf akademik dan administratif harus memiliki keterampilan yang sesuai dengan perkembangan zaman, baik dalam hal pengajaran, penelitian, pengabdian, maupun administrasi.
Selain keterampilan (skills), gaya kepemimpinan (style) di perguruan tinggi juga harus mendukung proses manajemen (systems) yang inovatif dan fleksibel. Pemimpin perguruan tinggi harus mampu berperan sebagai agen perubahan (change agent) yang mendorong budaya inovatif dan lingkungan akademik yang dinamis. Dengan gaya kepemimpinan yang “proaktif dan responsif”, perguruan tinggi akan lebih siap menghadapi perubahan lingkungan eksternal dan memperkuat implementasi SPMI.
Proses evaluasi yang terus-menerus terhadap elemen-elemen McKinsey 7S tidak hanya membantu perguruan tinggi beradaptasi dengan perubahan, tetapi juga memastikan setiap elemen mendukung tujuan strategis perguruan tinggi (pencapaian visi dan misi). Evaluasi yang berkelanjutan memungkinkan setiap elemen, seperti staf, keterampilan, dan sistem, untuk tetap relevan dengan kebutuhan institusi.
Evaluasi terhadap staf mencakup penilaian kompetensi dalam menghadapi perubahan teknologi dan metodologi pengajaran baru. Perguruan tinggi harus menyediakan pelatihan yang memadai untuk memastikan bahwa staf memiliki keterampilan yang relevan dengan perkembangan terkini.
Lebih jauh lagi, keterampilan manajemen (skills) juga harus dinilai secara berkala untuk memastikan bahwa sistem dan proses yang dijalankan dapat mendukung implementasi strategi secara efektif. Keterampilan ini penting dalam menghadapi perubahan kebijakan pendidikan, perkembangan teknologi, dan tuntutan pasar tenaga kerja.
Seperti yang diuraikan dalam jurnal diatas, evaluasi berkelanjutan terhadap elemen-elemen organisasi membantu menjaga fleksibilitas dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan masa depan.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Integrasi McKinsey 7S Model ke dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memberikan perguruan tinggi alat (tools) yang cukup handal untuk menghadapi tantangan global.
Evaluasi dan adaptasi terus-menerus terhadap elemen-elemen kunci seperti struktur, strategi, sistem, staf, keterampilan, gaya kepemimpinan, dan nilai bersama (shared values) menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga mutu pendidikan.
Dalam dunia pendidikan yang semakin dinamis, perguruan tinggi tidak hanya dituntut untuk memenuhi standar SPMI yang ada, tetapi juga perlu membangun kapabilitas internal yang tangguh.
Sebagaimana diuraikan dalam jurnal “Implementing McKinsey 7S Model of Organizational Diagnosis and Planned Change, Best Western Italy Case Analysis”, penerapan 7S membantu organisasi tetap relevan di tengah perubahan.
Jurnal diatas menjelaskan bagaimana Best Western Italy berhasil melakukan perubahan signifikan dengan menyesuaikan setiap elemen organisasi agar berjalan selaras. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan elemen-elemen internal secara sinergis sangat penting untuk menghadapi tantangan organisasi di masa depan.
Dalam konteks perguruan tinggi, evaluasi terhadap elemen-elemen seperti staf (staff) dan keterampilan (skills) sangat diperlukan untuk memastikan mereka tetap relevan dengan perkembangan terbaru di bidang pendidikan, teknologi, dan riset.
Perguruan tinggi harus memastikan bahwa sistem (systems) dan struktur organisasi (structure) dapat mendukung inovasi dan fleksibilitas yang dibutuhkan untuk menjawab tuntutan zaman. Penyesuaian ini tidak hanya memastikan keberlanjutan mutu, tetapi juga memperkuat kapabilitas institusi untuk tetap kompetitif.
Nilai bersama (shared values) dan budaya organisasi juga memainkan peran sentral dalam memastikan keberhasilan SPMI. Nilai-nilai seperti komitmen terhadap inovasi, kolaborasi, dan keunggulan akademik harus terus dijaga dan diperkuat. Nilai ini menciptakan landasan moral yang kuat dan memotivasi seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja menuju tujuan yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan demikian, integrasi McKinsey 7S Model tidak hanya membantu perguruan tinggi memenuhi standar, tetapi juga membangun kapabilitas yang tangguh dan fleksibel untuk menghadapi masa depan.
“Untuk berhasil dalam dunia yang terus berubah, perguruan tinggi tidak cukup hanya memenuhi standar SPMI; namun mereka harus menciptakan standar-standar baru untuk layanan pendidikan terbaik, McKinsey 7S model dapat menjadi toolnya” Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi (PT) memberikan kerangka (framework) yang kuat untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan secara konsisten.
SPMI membantu institusi menjalankan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP) guna mencapai standar mutu yang diharapkan. Namun, dalam era kompetisi global, bila PT hanya berpegang pada “isi” standar SPMI saja tentu tidak cukup untuk meraih keunggulan.
Perguruan tinggi saat ini, dituntut “harus” lebih fleksibel dan inovatif untuk menghadapi perubahan cepat dalam teknologi, pasar kerja, dan kebijakan pendidikan. Di sinilah pentingnya SPMI dinamis, yang menggabungkan siklus PPEPP dengan pendekatan dynamic capabilities. Hal ini memungkinkan institusi untuk tidak hanya mempertahankan standar mutu, tetapi juga terus berinovasi dan beradaptasi secara efektif dengan perubahan eksternal yang sangat cepat.
Teori dynamic capabilities yang dikembangkan oleh David J. Teece dalam jurnal berjudul “Dynamic Capabilities as (Workable) Management Systems Theory” menyoroti pentingnya organisasi memiliki kemampuan untuk beradaptasi dalam lingkungan yang berubah.
Teece menyatakan bahwa untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, organisasi harus mampu merasakan (sensing), merebut (seizing), dan mentransformasi (transforming) peluang. Jurnal ini diterbitkan di Journal of Management & Organization, Volume 24, Nomor 3, tahun 2018 oleh Cambridge University Press.
Dalam konteks perguruan tinggi, kemampuan dinamis ini sangat penting. Perguruan Tinggi tidak hanya harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh SPMI, namun juga harus mampu merespons perubahan di bidang pendidikan.
Perubahan ini bisa berupa perkembangan teknologi baru, gaya hidup (budaya), kebijakan pemerintah yang diperbarui, atau perubahan kebutuhan pasar kerja. Dengan kemampuan untuk cepat (speed) merespons perubahan, perguruan tinggi akan dapat terus relevan dan persaingan di tingkat nasional, regional maupun global.
Kemampuan dinamis ini memungkinkan perguruan tinggi untuk berinovasi dan menyesuaikan strategi mereka sesuai dengan kebutuhan zaman. Hal ini memastikan bahwa “institusi tidak hanya berfokus pada standar SPMI yang ada“, tetapi juga proaktif dalam mencari peluang baru yang mendukung pertumbuhan organisasi.
Siklus PPEPP dalam SPMI memberikan struktur untuk melakukan kaizen atau continuous improvement, tetapi proses ini harus lebih dari sekadar formalitas. Feedback yang diterima melalui evaluasi harus memicu tindakan nyata dan transformasi dalam sistem pendidikan.
Dalam pasal 68 ayat 2 Permendikbudristek no 53 tahun 2023 disebutkan bahwa feedback / evaluasi SPMI dilakukan melalui Monitoring Evaluasi (Monev), Audit Mutu Internal (AMI) dan atau Assessment (penilaian).
Perguruan tinggi (PT) yang berhasil adalah mereka yang mampu merespons hasil evaluasi (dalam PPEPP) dengan perubahan signifikan, memastikan mereka akan tetap relevan (stay relevant) dalam persaingan global.
Feedback bukanlah akhir, tetapi awal dari inovasi baru.
Di era digital, teknologi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendasar bagi perguruan tinggi yang ingin tetap kompetitif.
Institusi yang berhasil memanfaatkan teknologi IT dapat meningkatkan efisiensi proses pembelajaran melalui platform e-learning dan hybrid learning, seperti yang dilakukan oleh Universitas Harvard dan MIT melalui platform edX, yang memungkinkan mahasiswa dari seluruh dunia mengakses kursus dari jarak jauh.
Contoh lain dari pemanfaatan teknologi dibidang kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini membantu dalam proses pembelajaran adaptif, di mana teknologi mampu menyesuaikan materi berdasarkan tingkat pemahaman siswa, seperti yang diterapkan di Arizona State University.
Selain itu, teknologi juga memainkan peran penting dalam meningkatkan efisiensi administrasi.
Perguruan tinggi yang menggunakan sistem manajemen informasi berbasis cloud, dapat mengelola proses akademik, data keuangan, hingga SDM dengan lebih efisien. Stanford University, memanfaatkan big data dan analytics untuk memantau kinerja mahasiswa dan mendukung pengambilan keputusan (decision making process) berbasis data yang lebih baik.
Teknologi juga membuka pintu kolaborasi internasional, memperluas peluang riset dan inovasi. Cambridge University telah bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia melalui inisiatif riset berbasis teknologi. Hal ini membuktikan bahwa kolaborasi lintas negara, yang dimediasi oleh teknologi, mampu membawa institusi ke level yang lebih tinggi.
SPMI dinamis tidak hanya tentang proses internal, namun juga tentang bagaimana perguruan tinggi “terhubung” berinteraksi dengan dunia luar.
Koneksi dengan pemerinah, dengan industri, dan universitas global menjadi kunci dalam menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan berkelanjutan. Perguruan tinggi harus memiliki kemampuan untuk “membaca” perubahan zaman dan menciptakan kolaborasi yang menguntungkan bagi semua pihak.
SPMI dinamis memberikan perguruan tinggi kemampuan untuk lebih dari sekadar memenuhi standar SPMI yang telah ditetapkan.
Dengan mengintegrasikan pendekatan dynamic capabilities seperti yang dijelaskan oleh David J. Teece dalam jurnalnya “Dynamic Capabilities as (Workable) Management Systems Theory”, perguruan tinggi dapat mengembangkan kapabilitas adaptif yang memungkinkan mereka tetap relevan di tengah perubahan global yang cepat.
Dengan mengintegrasikan siklus SPMI—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—dengan “kapabilitas dinamis”, institusi dapat dengan lebih baik merespons tantangan dan peluang baru yang muncul di bidang teknologi, pendidikan dan pasar kerja.
Di era digital ini, perguruan tinggi yang sukses bukan hanya yang mengikuti aturan dan standar formal, tetapi yang mampu berinovasi secara berkelanjutan. Inovasi ini mungkin datang dari penerapan teknologi terbaru dalam pembelajaran, penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan pasar global, atau kolaborasi lintas negara yang menghasilkan riset-riset mutakhir.
Dengan pendekatan dynamic capabilities, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa mereka tidak hanya mampu bertahan dalam lingkungan yang berubah, tetapi juga berkembang untuk mencapai keunggulan kompetitif di tingkat internasional (global).
Baca juga: SPMI: Tanggung Jawab Kolektif?
Penting bagi perguruan tinggi untuk memahami bahwa kapabilitas dinamis harus berjalan seiring dengan proses SPMI. Standar mutu tidak boleh menjadi tujuan akhir, melainkan fondasi bagi inovasi yang lebih besar. Standar SPMI harus terus berubah mengikuti proses inovasi yang terus dilakukan.
Dengan memiliki kapabilitas untuk bertransformasi sesuai tuntutan zaman, institusi pendidikan tinggi akan lebih siap menghadapi masa depan yang semakin ketat dalam persaingan.
Sebagai penutup, penulis menggarisbawahi pentingnya SPMI yang dinamis:
“SPMI yang unggul bukan hanya tentang memenuhi standar, melainkan tentang menciptakan inovasi dan kapabilitas yang memungkinkan perguruan tinggi untuk berkembang di tingkat regional dan internasional.” Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan pilar penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi. Di tengah kompetisi yang semakin ketat, terutama dalam program studi bisnis, manajemen, ekonomi, dan akuntansi, akreditasi menjadi alat penting untuk menilai mutu institusi. Lembaga Akreditasi Mandiri Ekonomi, Manajemen, Bisnis, dan Akuntansi (LAMEMBA) berperan dalam mengevaluasi program studi di bidang ini untuk memastikan apakah mereka memenuhi standar mutu yang yang dipersyaratkan.
Namun, di balik keberhasilan akreditasi LAMEMBA, ada satu kunci utama yang tak bisa diabaikan: SPMI yang efektif. Sistem ini bukan hanya formalitas tuntutan regulasi, melainkan mekanisme yang menjaga agar seluruh aspek pendidikan berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan, dari penetapan visi hingga evaluasi berkelanjutan. Tanpa SPMI yang kokoh, program studi akan kesulitan mencapai akreditasi yang diinginkan.
SPMI bukan hanya formalitas administrasi dalam pendidikan tinggi, tetapi merupakan mekanisme inti yang menentukan bagaimana mutu pendidikan dijaga, dikendalikan, dan ditingkatkan. SPMI memastikan bahwa setiap elemen dalam sistem pendidikan bekerja sesuai standar yang telah ditetapkan, untuk menjaga konsistensi dan relevansi mutu.
Dalam kerangka SPMI, siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar) berfungsi sebagai landasan kokoh untuk penjaminan mutu yang berkelanjutan. Setiap tahap ini membantu perguruan tinggi menetapkan standar mutu, melaksanakan kegiatan sesuai standar, mengevaluasi hasilnya, dan mengambil langkah perbaikan yang diperlukan, sehingga mutu pendidikan terus berkembang (ditingkatkan).
Pada tahap Penetapan Standar Pendidikan Tinggi, rektor bertanggung jawab untuk menetapkan visi strategis terkait mutu pendidikan. Visi ini harus mengikuti perkembangan terkini di bidang ekonomi, manajemen, bisnis, dan akuntansi, agar standar yang ditetapkan relevan dengan kebutuhan akademik dan industri.
Visi dan misi yang kuat menjadi fondasi penetapan standar pendidikan tinggi. Standar ini diterjemahkan menjadi indikator yang dapat diukur, sehingga program studi dapat mencapai target yang telah ditetapkan.
Tanpa perencanaan yang SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, and Time-Bound), seperti kata Benjamin Franklin, “If you fail to plan, you plan to fail.” Tanpa visi dan standar yang relevan, program studi akan kesulitan memenuhi persyaratan ketat dari LAMEMBA dan berisiko gagal dalam meraih akreditasi.
Tahap Pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi melibatkan stakeholder di perguruan tinggi. Dekan, kepala program studi, dan kepala unit kerja bertanggung jawab memastikan pelaksanaan standar mutu yang telah ditetapkan. Pada tahap ini, SPMI berperan penting dalam menjaga mutu proses pembelajaran, termasuk mutu pengelolaan kurikulum, mutu metode pengajaran, mutu penelitian, dan mutu pengabdian kepada masyarakat.
Kerjasama dengan dunia usaha dunia industri (DUDI) juga menjadi kunci dalam tahap ini, agar lulusan memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Dalam konteks akreditasi LAMEMBA, relevansi kurikulum dan keterlibatan industri sangat penting untuk memastikan lulusan siap bersaing di pasar tenaga kerja global.
Untuk mencapai target dan indikator SPMI, motivasi 4K sangat relevan: “Kerja keras” dalam melaksanakan standar mutu, “kerja cerdas” dengan inovasi dan adaptasi, “kerja tuntas” untuk mencapai hasil maksimal, dan “kerja ikhlas” dalam dedikasi untuk peningkatan mutu pendidikan.
Pelaksanaan Standar yang baik harus didukung oleh Evaluasi Pemenuhan Standar Pendidikan Tinggi yang baik pula. Tahap ini memungkinkan program studi melakukan penilaian mendalam (assessment) terhadap pencapaian yang telah dilakukan, seperti mutu pembelajaran, kinerja dosen, serta kontribusi dalam penelitian dan pengabdian masyarakat.
“Evaluasi yang menyeluruh adalah kunci untuk memastikan bahwa standar mutu yang telah ditetapkan benar-benar terlaksana.”
Salah satu alat penting dalam evaluasi adalah tracer study, yang mengukur seberapa baik lulusan terserap di dunia kerja dan bagaimana kontribusi mereka di dunia usaha dan dunia industri.
Penilaian terhadap mutu penelitian juga sangat penting, terutama yang berdampak langsung pada pengembangan ekonomi dan bisnis. Penelitian yang aplikatif menunjukkan relevansi akademik dengan dunia nyata, yang menjadi bagian penting dari evaluasi SPMI.
Untuk mendukung proses evaluasi ini, diperlukan sinergi 3 tools evaluasi: Audit Mutu Internal untuk menilai kesesuaian terhadap standar mutu, Monitoring dan Evaluasi (Monev) untuk mengawasi dan memperbaiki proses berkelanjutan, serta Penilaian (assessment) untuk mengukur pencapaian hasil akhir. Sinergi ketiga alat ini memastikan evaluasi berjalan komprehensif dan berkelanjutan, sehingga program studi dapat terus meningkatkan mutu pendidikan.
Setelah evaluasi dilakukan, program studi memasuki tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi, di mana hasil evaluasi dianalisis secara mendalam. Jika ditemukan kekurangan atau penyimpangan, tindakan korektif segera diambil. Tahap ini tidak hanya berfokus pada perbaikan yang bersifat reaktif, tetapi juga proaktif dalam menjaga standar mutu yang tinggi.
Pengendalian yang efektif melibatkan tiga tindakan perbaikan utama. Pertama, koreksi untuk menghilangkan simtom (gejala), yaitu perbaikan langsung pada masalah yang terlihat. Kedua, korektif untuk menghilangkan akar masalah, agar penyebab mendasar dari masalah tersebut tidak muncul kembali. Langkah ini penting untuk mencegah terjadinya masalah serupa muncul kembali di masa depan.
Selain itu, tindakan preventif (pencegahan) juga diperlukan sebagai bagian dari budaya mutu. Dengan menginternalisasi pencegahan dalam setiap proses, program studi tidak hanya merespons masalah yang ada, tetapi juga mencegah masalah baru muncul, sehingga siap menghadapi tantangan akreditasi LAMEMBA yang ketat dan memastikan mutu pendidikan tetap terjaga.
Tahap terakhir dalam PPEPP adalah Peningkatan Standar Pendidikan Tinggi, yang menjadi inti dari SPMI yang berkelanjutan. Pada tahap ini, program studi tidak hanya berupaya untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan, tetapi juga berusaha melampaui ekspektasi.
Proses peningkatan yang berkelanjutan (kaizen) menjadi kunci untuk menjaga mutu yang relevan dan terus berkembang.
Peningkatan juga dapat dicapai melalui “inovasi“, terobosan baru dalam berbagai aspek di perguruan tinggi (akademik dan non akademik). Langkah-langkah ini memastikan bahwa program studi tidak hanya mengikuti tren, namun juga menciptakan real impact bagi dunia akademik dan profesional. Dalam hal ini, program studi harus mengadopsi strategi “mission differentiation“, yaitu menyesuaikan keunggulan dan misi program dengan kebutuhan unik dari bidang atau industri yang mereka layani.
Budaya mutu yang kuat harus diinternalisasi oleh seluruh civitas akademika, mulai dari top management (pimpinan tertinggi) hingga tenaga pengajar dan staf pendukung. Pola pikir, pola sikap dan pola perilaku sesuai dengan Standar Mutu Pendidikan. Dengan demikian, setiap individu dalam institusi memiliki peran dalam menjalankan peningkatan mutu yang berkelanjutan (kaizen), memperkuat diferensiasi misi, dan memastikan program studi tetap unggul dan relevan di tengah lingkungan eksternal yang sangat dinamis.
Baca juga: SPMI Butuh Kecepatan, Bukan “Slow Respon”
LAMEMBA, sebagai lembaga akreditasi mandiri yang fokus pada ekonomi, manajemen, bisnis, dan akuntansi, menetapkan standar penilaian yang ketat. Standar ini menekankan relevansi dengan industri, kualitas lulusan, serta kontribusi akademik yang nyata. Untuk mencapai akreditasi yang sukses, perguruan tinggi harus menunjukkan bahwa sistem penjaminan mutu internal (SPMI) mereka berjalan secara holistik-komprehensif melalui pelaksanaan PPEPP.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang efektif menjadi “rahasia di balik kesuksesan akreditasi LAMEMBA”. Hanya melalui SPMI yang kokoh dan dinamis, program studi dapat meningkatkan mutu dan relevansinya, serta memenuhi ekspektasi yang ditetapkan oleh dunia pendidikan dan industri. Setiap tahap dari siklus PPEPP memberikan kerangka kerja untuk mengelola, mengawasi, dan memperbaiki mutu.
“SPMI tak bisa berjalan sendiri (auto pilot), hanya dengan komitmen bersama seluruh civitas akademika, mutu bisa kita capai.”
Komitmen yang kuat dari rektor, dekan, kaprodi, hingga kepala unit kerja diperlukan untuk menjalankan sistem mutu dengan konsistensi dan efisiensi. Tanpa dukungan dari setiap elemen perguruan tinggi, pelaksanaan PPEPP hanya akan menjadi formalitas belaka, “keterpaksaan” untuk memenuhi regulasi.
Secara keseluruhan, SPMI yang efektif adalah fondasi utama untuk mencapai akreditasi unggul di LAMEMBA. Penguatan setiap tahapan PPEPP akan membantu perguruan tinggi tidak hanya meraih pengakuan atas mutu program studinya, namun juga memperkuat “reputasi institusi” secara keseluruhan. Reputasi yang tinggi akan menarik lebih banyak peminat (mahasiswa dan kerjasama industri).
Dengan komitmen bersama dan implementasi SPMI yang kokoh, perguruan tinggi tidak hanya siap menghadapi akreditasi, tetapi juga mampu menavigasi tantangan yang muncul dari dunia kerja yang semakin kompleks dan dinamis. Ini memastikan keberlanjutan mutu dan daya saing lulusan di masa yang akan datang. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah instrumen utama untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi, khususnya di Indonesia. Walaupun sering “diasumsikan” bahwa tanggung jawab utama SPMI berada di pundak Rektor atau Kepala Penjaminan Mutu, kenyataannya SPMI melibatkan lebih banyak pihak.
SPMI adalah “sistem mutu” yang seharusnya dikelola secara kolektif oleh semua aras / tingkatan manajemen. Mulai dari rektor, dekan, kepala program studi, hingga kepala unit kerja, setiap manajer memiliki “role” / peran penting dalam memastikan bahwa sistem penjaminan mutu berjalan efektif di seluruh aspek perguruan tinggi.
SPMI tidak hanya menjadi tanggung jawab Rektor atau pimpinan tertinggi (Ketua / Direktur). Semua aras / lapisan manajemen terlibat dalam mengimplementasikan dan memantau mutu di berbagai aspek institusi. Dari mutu akademik, administrasi, hingga layanan penelitian dan pengabdian masyarakat, setiap elemen ini membutuhkan keterlibatan aktif dari seluruh stakeholder di perguruan tinggi.
Memang benar Rektor memegang peran strategis dalam menetapkan visi dan arah kebijakan mutu institusi. Namun, keberhasilan SPMI dalam praktik memerlukan kolaborasi yang erat dengan Dekan, Kepala Departemen, Kepala Program Studi, dan Kepala Unit Kerja. Mereka bertanggung jawab untuk menerjemahkan visi dan kebijakan tersebut ke dalam langkah-langkah operasional di tingkat fakultas dan program studi masing-masing.
Sebagai pimpinan tertinggi, Rektor memiliki tanggung jawab untuk menetapkan kebijakan mutu strategis atau Kebijakan SPMI. Rektor memimpin dalam menetapkan visi dan misi perguruan tinggi, serta memastikan bahwa SPMI selaras dengan tujuan strategis jangka panjang perguruan tinggi. Selain itu, Rektor bertanggung jawab menyediakan resources yang diperlukan—baik dari sisi finansial, SDM, teknologi, dan lain-lain—untuk mendukung pelaksanaan SPMI di seluruh institusi.
Agar berhasil, Rektor tidak boleh bekerja sendiri. Pelaksanaan SPMI berada di tangan berbagai pimpinan di tingkatan lebih rendah, termasuk Dekan dan Kepala Program Studi, yang bertugas menerjemahkan kebijakan strategis menjadi langkah-langkah nyata (operasional) di lapangan.
Masing-masing Dekan dan Kaprodi, menterjemahkan kebijakan strategis Rektorat menjadi Standar Pendidikan Tinggi untuk masing-masing Fakultas, baik Standar Pendidikan dan Pengajaran, Standar Penelitian dan Pengabdian Masyarakat.
Dekan wajib mengimplementasikan dan mengelola SPMI di tingkat fakultas. Dekan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan SPMI yang ditetapkan oleh Rektor diimplementasikan di fakultas masing-masing. Dalam hal ini, Dekan juga berfungsi “sebagai jembatan” antara kebijakan tingkat universitas dan pelaksanaan di tingkat program studi.
Kepala Program Studi memainkan peran “krusial” dalam mengelola mutu di tingkat program studi. Mereka bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kurikulum, penelitian, dan layanan mahasiswa berjalan sesuai standar mutu yang telah ditetapkan. Selain itu, Kepala Program Studi juga terlibat dalam memantau Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Indikator Kinerja Tambahan (IKT) untuk memastikan bahwa program studi mencapai standar SPMI yang telah ditetepkan.
Selain elemen akademik, Kepala Unit Kerja juga memainkan peran penting dalam menjamin mutu layanan non-akademik.
Misalnya, layanan administrasi kemahasiswaan, teknologi informasi, dan perpustakaan berperan mendukung proses akademik. Kepala Unit Kerja bertanggung jawab untuk memastikan bahwa layanan tersebut berjalan sesuai standar SPMI yang mendukung keberhasilan akademik dan kepuasan mahasiswa.
Mutu layanan non-akademik tidak bisa diabaikan dalam SPMI. Kinerja unit-unit ini berkontribusi secara langsung terhadap keberhasilan SPMI secara keseluruhan. Tanpa dukungan dari unit-unit kerja yang efisien, sulit bagi program akademik untuk mencapai mutu yang optimal.
Salah satu elemen penting dalam SPMI adalah siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar). Dalam siklus ini, semua stakeholder manajerial, dari Rektor hingga Kepala Unit Kerja, memiliki peran spesifik yang saling memperkuat dan saling melengkapi.
Siklus PPEPP | Peran Manajerial |
---|---|
Penetapan Standar Pendidikan Tinggi | Rektor menetapkan kebijakan dan standar mutu strategis, yang kemudian diterjemahkan oleh Dekan dan Kepala Program Studi dalam konteks operasional fakultas dan program studi. |
Pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi | Dekan, Kepala Program Studi, dan Kepala Unit Kerja melaksanakan kebijakan tersebut dengan memantau implementasi di bidang akademik dan non-akademik. |
Evaluasi Pemenuhan Standar Pendidikan Tinggi | Setiap stakeholder internal terlibat dalam proses audit dan penilaian kinerja. Kepala Penjaminan Mutu, bersama dengan unit-unit terkait, mengoordinasikan evaluasi ini untuk menilai apakah standar mutu yang ditetapkan telah tercapai. |
Pengendalian Pelaksanaan Standar Pendidikan Tinggi | Dilakukan melalui pemantauan terus-menerus dan pengambilan langkah-langkah korektif dan preventif bila ditemukan kekurangan. |
Peningkatan Standar Pendidikan Tinggi | Melibatkan seluruh level pimpinan untuk terus mencari cara memperbaiki sistem penjaminan mutu agar lebih efektif dan efisien. |
Teori Sistem pertama kali dipelopori oleh Ludwig von Bertalanffy, seorang peneliti biologi asal Austria pada tahun 1940-an. Teori sistem berpendapat bahwa sebuah sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling berinteraksi dan membentuk satu kesatuan.
Dalam konteks organisasi atau institusi pendidikan, teori ini menjelaskan bahwa setiap bagian atau elemen, seperti individu, departemen, atau unit kerja, tidak dapat bekerja sendiri sendiri. Setiap elemen saling kait mengkait dan memengaruhi keseluruhan sistem, yang menciptakan hasil yang lebih besar (sinergi) dari sekadar jumlah masing-masing elemen tersebut.
Pemahaman teori sistem dalam SPMI menekankan bahwa keberhasilan mutu perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh upaya individu atau satu unit kerja saja, namun oleh koordinasi dan sinergi antar unit kerja.
Dengan demikian, setiap aras pimpinan—mulai dari Rektor hingga Kepala Unit Kerja—memiliki peran yang tidak hanya berdiri sendiri, namun saling melengkapi, saling berkontribusi melalui interaksi dinamis untuk mencapai tujuan kolektif. Interaksi yang efektif antara elemen-elemen ini menentukan keberhasilan keseluruhan sistem mutu.
Dengan tanggung jawab yang tersebar di seluruh aras manajemen, jelas bahwa SPMI adalah sebuah sistem yang membutuhkan komitmen untuk “kepemilikan bersama“. Rektor memimpin di tingkat kebijakan strategis, sementara Dekan, Kepala Program Studi, dan Kepala Unit Kerja bertanggung jawab untuk menjalankan dan memastikan implementasi di lapangan.
Kolaborasi di antara stakeholder internal ini sangat penting untuk memastikan keberhasilan SPMI. Setiap tingkatan manajemen “memiliki peran spesifik” dalam siklus PPEPP. Mereka harus saling melengkapi (sinergi) untuk memastikan mutu pendidikan yang berkelanjutan dan responsif terhadap tantangan zaman.
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) adalah tanggung jawab kolektif yang melibatkan semua stakeholder internal di perguruan tinggi. Rektor, Dekan, Kepala Departemen, Kepala Program Studi, dan Kepala Unit Kerja semuanya memiliki peran masing-masing dalam memastikan keberhasilan sistem ini.
Bila satu bagian tidak berjalan, maka akan mengganggu bagian yang lain.
“Setiap elemen dalam sistem Perguruan Tinggi memiliki peran penting, dan interaksi positif antar elemenlah yang menentukan kesuksesan.”
Kepemilikan SPMI tidak hanya ada di tangan satu individu atau posisi tertentu, melainkan tersebar di seluruh elemen manajerial, yang bersama-sama bertanggung jawab untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan di perguruan tinggi.
Dengan konsep “kepemilikan kolektif” ini, perguruan tinggi dapat lebih agile, adaptif dan responsif terhadap perubahan, sekaligus memastikan bahwa SPMI berjalan dengan efektif dan berkelanjutan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Dunia pendidikan tinggi di Indonesia sedang menghadapi krisis yang signifikan. Sebanyak 84 perguruan tinggi swasta (PTS) terancam ditutup (news.detik.com) karena gagal memenuhi standar akreditasi yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).
Kasus ini menyoroti kerapuhan sistem pendidikan tinggi di era transformasi besar. Perguruan tinggi yang sebelumnya dianggap eksis kini mengalami kelalaian dalam pengelolaan dan gagal memenuhi standar mutu yang ditetapkan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tantangan dalam dunia pendidikan semakin sulit diprediksi. Lingkungan BANI (Brittle, Anxious, Non-linear, and Incomprehensible) mencerminkan kondisi yang rapuh, cemas, tidak linier, dan sulit dipahami.
Di tengah situasi ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) tidak lagi dapat berjalan dengan pendekatan konvensional. Perguruan tinggi harus lebih adaptif dan inovatif untuk menjaga mutu di dunia yang semakin tidak stabil.
Transformasi pendidikan tinggi sangat diperlukan untuk menghindari kegagalan yang lebih luas. Penyesuaian terhadap tantangan lingkungan BANI menjadi kunci bagi institusi pendidikan agar tetap relevan dan kompetitif.
Di tengah realitas ini, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perguruan tinggi tidak bisa lagi berjalan dengan cara-cara yang konvensional.
SPMI dengan kerangka Siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) masih tetap dibutuhkan dan tetap penting. Namun, perguruan tinggi harus menyesuaikan sistem ini agar tetap fleksibel dan adaptif. Lingkungan yang terus berubah menuntut inovasi dan kemampuan untuk merespons perubahan secara cepat.
Sistem pendidikan tinggi yang “terlihat kokoh” ternyata sangat rentan terhadap guncangan. Ini bisa dilihat dari ketidakstabilan ekonomi, perubahan teknologi, hingga perubahan mendadak dalam kebijakan. Kerapuhan ini memaksa perguruan tinggi untuk membangun fondasi SPMI yang lebih kuat dan tahan terhadap tekanan eksternal.
Penetapan standar SPMI (dalam PPEPP) harus mempertimbangkan kemungkinan krisis yang tak terduga. Bukan lagi sekadar mengikuti prosedur, namun SPMI harus dirancang dengan ketahanan untuk menghadapi perubahan drastis.
Ketidakpastian juga “menciptakan kecemasan” di kalangan stakeholder pendidikan. Mahasiswa, dosen, dan masyarakat khawatir tentang masa depan pekerjaan, relevansi kurikulum, dan daya saing di pasar kerja global.
SPMI harus merespons Anxious (kecemasan) ini dengan memberikan kepastian dalam pelaksanaannya. Proses yang transparan, adaptif, dan komunikatif menjadi kunci agar institusi tetap relevan. Institusi harus mampu meyakinkan stakeholder bahwa standar SPMI “telah sesuai” (relevan) dengan tuntutan zaman.
Di era BANI, non-linearitas juga menjadi tantangan besar. Perubahan kecil dapat berdampak sangat besar, dan sering kali hubungan sebab-akibat, sulit untuk diprediksi. Di sinilah evaluasi pemenuhan standar berbasis data menjadi krusial dalam kerangka PPEPP.
Evaluasi pemenuhan standar SPMI, tidak lagi bisa dilakukan dengan cara-cara lama yang konvensional. Perguruan tinggi harus memanfaatkan pendekatan data dinamis, real-time, dan menyesuaikan tindakan secepat mungkin (as soon as possible) ketika terjadi penyimpangan. Metode Monitoring (MoNev) dan Audit Mutu Internal (AMI), harus terus ditingkatkan efektifitasnya.
Pandemi COVID-19, 3-4 tahun yang lalu, memaksa pergeseran drastis ke pembelajaran daring, yang mengubah mutu pendidikan secara tidak linier. Institusi yang siap dengan teknologi dapat mempertahankan kualitas pembelajaran, sementara yang kurang siap, harus menerima kenyataan pahit mengalami penurunan mutu. Perbedaan kecil dalam akses teknologi menghasilkan dampak besar pada hasil pendidikan.
Di sisi lain, penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) telah mendisrupsi metode penilaian tradisional. Penilaian tidak lagi berdasarkan ujian tertulis semata, melainkan lebih pada keterampilan dan kemampuan adaptasi mahasiswa terhadap teknologi, menunjukkan bahwa mutu pendidikan tidak lagi bergerak secara linier.
Selain itu, perubahan kurikulum yang cepat diperlukan untuk menghadapi otomatisasi dan AI di dunia kerja. Institusi yang cepat beradaptasi, mampu menghasilan lulusan yang lebih siap, sebaliknya yang lamban akan tertinggal. Mutu pendidikan semakin sulit diprediksi dan berubah drastis sesuai dengan tuntutan global.
Baca juga: Transformatif SPMI: Kunci Bertahan di Era BANI
Kompleksitas informasi di era BANI telah membuat pengendalian pelaksanaan standar pendidikan tinggi menjadi lebih sulit. Banyaknya data dan informasi yang beredar (berlimpah) sering kali membuat pengambilan keputusan tidak sederhana. Hal ini menuntut adanya inovasi dalam pengendalian pelaksanaan standar pendidikan tinggi.
SPMI harus fleksibel dan terbuka terhadap pendekatan baru. Penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan big data bisa membantu mengolah informasi yang kompleks. Selain itu, pengendalian pelaksanaan standar perlu menciptakan ruang untuk eksperimen yang terukur dan berani mengambil risiko.
Pada akhirnya, peningkatan mutu di lingkungan BANI tidak bisa lagi mengikuti pola linier. Peningkatan kecil-kecilan (continuous improvement) tidak cukup untuk menghadapi tantangan besar di dunia yang serba tidak pasti. Perguruan tinggi harus berani melakukan transformasi yang radikal.
Inovasi dalam metode pengajaran, kurikulum, dan teknologi pembelajaran harus terus menjadi prioritas. Peningkatan ini tidak hanya bersifat inkremental, tetapi juga tranformatif revolusioner, di mana institusi proaktif mencari terobosan dan peluang inovasi untuk terus memperbaiki mutu.
Sejalan dengan jurnal ilmiah dalam Scientific Journal of Astana IT University: Innovative Development of Educational Systems in The BANI environment oleh Bushuyev (2023), institusi pendidikan perlu mengadopsi pendekatan berbasis kompetensi. Pengintegrasian teknologi baru dan pembangunan budaya inovasi serta ketahanan menjadi kunci untuk mempersiapkan mahasiswa menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
Dengan pendekatan berbasis kompetensi, perguruan tinggi dapat lebih fokus pada pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri. Ini juga memastikan bahwa lulusan siap menghadapi kompleksitas dunia kerja yang terus berubah.
Pengintegrasian teknologi baru, seperti pembelajaran berbasis digital, big data dan AI, memungkinkan institusi beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan yang tidak terduga. Teknologi ini juga membantu mempercepat proses evaluasi dan pengendalian pelaksanaan standar pendidikan tinggi.
Pada akhirnya, membangun budaya inovasi dan ketahanan adalah langkah krusial dalam menjawab tantangan BANI. Institusi yang terus berinovasi akan lebih siap menghadapi era disrupsi dan ketidakpastian.
Untuk menghadapi tantangan di era BANI, SPMI dan siklus PPEPP harus lebih responsif terhadap perubahan. Solusi yang cepat dan fleksibel menjadi kebutuhan utama bagi perguruan tinggi saat ini.
Proses penjaminan mutu tidak bisa lagi bergantung pada siklus PPEPP yang kaku dan formal. Pendekatan yang lebih berbasis data, real-time, dan iteratif harus diterapkan.
Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat beradaptasi lebih baik terhadap perubahan. Standar SPMI akan tetap relevan bahkan di tengah disrupsi yang tidak terduga.
Jika inovasi dan ketahanan diterapkan, dampaknya bisa signifikan pada 84 PTS yang terancam ditutup. Budaya inovasi di semua level dapat menghidupkan kembali sistem mutu mereka.
Inovasi akan memperbaiki kelalaian dalam pengelolaan. Ini juga membantu institusi menghadapi ketidakpastian dengan solusi yang kreatif.
Ketahanan sistem penjaminan mutu tidak diukur dari sekadar kepatuhan terhadap aturan. Ketangguhan di tengah disrupsi menjadi ukuran utama keberhasilan SPMI.
Jika 84 PTS mampu mengadopsi pendekatan ini, mereka dapat bertahan dan bersaing kembali. Hanya dengan inovasi dan transformasi berkelanjutan, mutu pendidikan dapat terus terjaga.
Dengan demikian, SPMI menjadi instrumen yang tangguh dan relevan untuk menjaga mutu pendidikan. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Di era digital atau yang dikenal sebagai era BANI, kecepatan komunikasi menjadi faktor penting dalam mendukung operasional organisasi, termasuk perguruan tinggi. BANI menggambarkan lingkungan yang rapuh, gelisah, non-linier, dan sulit dipahami, sehingga menuntut organisasi untuk dapat beradaptasi dengan cepat. Dalam situasi seperti ini, kecepatan dalam menyampaikan dan menerima informasi sangat penting agar organisasi tetap dapat berjalan efektif, efisien dan responsif.
Dalam penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi, kecepatan informasi memainkan peran penting di setiap tahapan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar). Dengan respons yang cepat dan tepat, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap tahap SPMI berjalan sesuai rencana, serta mampu melakukan peningkatan secara terus-menerus untuk mencapai mutu yang lebih baik.
Penggunaan email dan WhatsApp sebagai media komunikasi di perguruan tinggi sudah cukup meluas. Kedua platform ini sering digunakan untuk bertukar informasi secara cepat antara unit kerja dan individu di dalam organisasi. Respons yang cepat di email dan WhatsApp menjadi sangat penting dalam menjaga kelancaran siklus SPMI, memastikan setiap tugas dan keputusan berjalan sesuai rencana.
Namun, untuk individu-individu tertentu, kebiasaan yang lambat merespons pesan digital dapat menjadi hambatan serius. Ketika pesan tidak direspon dengan cepat, proses dalam PPEPP, seperti penetapan standar SPMI, akan terkendala jadwal penyusunannya. Akibatnya, kelancaran dan efektivitas pelaksanaan penjaminan mutu di perguruan tinggi dapat terganggu secara signifikan.
Ron Ashkenas, dalam Management: How to Loosen Organizational Boundaries (Journal of Business Strategy) menekankan pentingnya kecepatan sebagai salah satu kunci kesuksesan organisasi.
Kecepatan sangat relevan dalam konteks perguruan tinggi, terutama ketika terkait dengan respons terhadap pesan di platform digital seperti email dan WhatsApp. Dalam dunia akademik yang dinamis, respons cepat terhadap informasi menjadi penting untuk menjaga efektivitas operasional.
Email dan WhatsApp tidak hanya memfasilitasi pertukaran informasi antar individu dan unit kerja dalam perguruan tinggi, tetapi juga membantu memastikan setiap tahapan dalam siklus PPEPP berjalan sesuai rencana. Setiap tahapan, mulai dari penetapan standar hingga peningkatan standar, membutuhkan respons yang cepat dan tepat agar proses penjaminan mutu tidak terhambat.
Keterlambatan dalam merespons pesan, baik melalui email maupun WhatsApp, dapat menimbulkan penundaan yang signifikan dalam pelaksanaan standar dan pengendalian standar. Ketika individu atau tim tidak merespons pesan tepat waktu, tugas yang seharusnya segera ditindaklanjuti menjadi terhambat, dan ini dapat berdampak langsung pada efektivitas SPMI di perguruan tinggi.
Kecepatan merespons pesan digital, terutama email dan WhatsApp, menjadi sangat penting dalam setiap tahap PPEPP. Pada tahap Penetapan standar, keputusan terkait kebijakan mutu sering kali memerlukan persetujuan lintas unit yang mungkin disampaikan melalui email. Jika email yang berisi “konfirmasi” atau “masukan penting” terlambat direspon, proses penetapan kebijakan bisa terhambat dan mengganggu kelancaran tahapan berikutnya.
Pada tahap Evaluasi Pelaksanaan Standar SPMI, pengumpulan data dari berbagai unit harus dilakukan dengan cepat agar analisis bisa segera dilakukan. Respons yang lambat terhadap pesan-pesan elektronik yang meminta data evaluasi dapat menunda proses analisis tersebut. Akibatnya, tindakan perbaikan yang seharusnya segera dilakukan juga akan tertunda.
WhatsApp, meskipun sering dianggap sebagai platform komunikasi informal, kini menjadi alat penting untuk koordinasi dalam banyak konteks, termasuk di pendidikan tinggi. Kemampuan WA dalam menyampaikan pesan instan menjadikannya sangat berguna untuk pengambilan keputusan cepat. Oleh karena itu, lambat merespons pesan WhatsApp dalam perguruan tinggi dapat berpengaruh langsung terhadap efisiensi dan efektivitas implementasi PPEPP.
Baca juga: Penguatan SPMI melalui Komunikasi Internal Perguruan Tinggi
Kecepatan merespons pesan email dan WhatsApp berhubungan erat dengan budaya organisasi (quality culture). Perguruan tinggi yang mendorong respons cepat menunjukkan bahwa mereka menghargai efisiensi dan waktu. Ini cermin komitmen mereka terhadap mutu dan kelancaran operasional.
Sebaliknya, jika individu dalam organisasi terbiasa menunda merespons, dan terjadi “pembiaran”, hal ini mencerminkan kurangnya perhatian organisasi terhadap mutu pendidikan. Penundaan bisa mengganggu alur kerja dan menghambat koordinasi, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan mutu pekerjaan.
Organisasi yang responsif, lebih mampu menjaga reputasi mutu dan mampu mencapai target operasional standar dengan lebih baik.
Untuk membangun budaya organisasi yang mendukung respons cepat terhadap pesan digital, perguruan tinggi perlu menetapkan standar waktu respons yang jelas dan dapat diukur. Misalnya kebijakan setiap pesan yang membutuhkan tindakan segera harus direspon maksimal 1-2 jam agar tidak menghambat alur kerja.
Pesan yang tidak mendesak, organisasi dapat membuat kebijakan boleh dijawab dalam maksimal 12 jam. Dengan demikian, setiap pesan memiliki prioritas yang jelas dan ditangani sesuai tingkat kepentingannya. Konsisten kebijakan ini membantu menjaga keteraturan dan meminimalkan penundaan dalam proses komunikasi.
Selain itu, pelatihan time management (manajemen waktu) bagi staf karyawan dan dosen sangat diperlukan. Pelatihan ini membantu mereka mengelola pesan digital yang terus meningkat tanpa mengorbankan efisiensi kerja. Dengan keterampilan manajemen waktu yang baik, individu dapat merespons pesan dengan lebih cepat dan efektif. Ada banyak aplikasi project management yang dapat digunakan seperti trello, manday.com dan lain sebagainya.
Baca juga: Apakah SPMI Benar-Benar Menjamin Mutu Pendidikan?
Sebagai penegasan akhir, SPMI membutuhkan kecepatan, bukan “slow respon.”
Kecepatan dalam merespons pesan email, WhatsApp atau aplikasi lain, menjadi kunci utama untuk memastikan keberhasilan implementasi PPEPP di perguruan tinggi. Respons cepat memastikan bahwa setiap tahap dalam siklus PPEPP berjalan sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Kebiasaan lambat merespons pesan digital dapat menjadi problem serius bagi tercapainya standar mutu yang diinginkan.
Penundaan dalam komunikasi bisa memperlambat pengambilan keputusan, menghambat perbaikan, dan merusak efektivitas penjaminan mutu di perguruan tinggi.
Dengan membangun budaya “fast respon“, perguruan tinggi dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Teknologi yang tepat, seperti fitur prioritas di email atau WhatsApp, juga harus dimanfaatkan untuk mendukung kelancaran komunikasi dan mencegah keterlambatan.
Penetapan standar komunikasi yang jelas akan memperkuat sistem penjaminan mutu. Ini akan memastikan bahwa siklus PPEPP berjalan efektif, mendukung peningkatan mutu secara berkelanjutan, dan memperkuat reputasi perguruan tinggi. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi berperan penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu akademik dan non akademik melalui siklus PPEPP (Perencanaan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar).
Ketentuan pemerintah tentang SPMI diatur dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023 pasal 67 sampai pasal 70.
Sementara ketentuan sebelumnya, SPMI diatur dalam Permenristekdikti no 62 tahun 2016. Jadi sudah cukup lama peraturan tentang SPMI diwajibkan pada perguruan tinggi di Indonesia.
Bagaimana evaluasi terhadap efektivitas implementasi SPMI selama ini?
Efektivitas SPMI diyakini sangat bergantung pada bagaimana institusi mengelola pengetahuan melalui aktifitas knowledge management (KM).
Carl Frappaolo, seorang praktisi dan pakar KM, mendefinisikan knowledge management sebagai “pemanfaatan kebijaksanaan kolektif untuk meningkatkan responsivitas dan inovasi.”
Frappaolo menekankan bahwa knowledge management bertujuan untuk memanfaatkan pengetahuan bersama dari seluruh anggota organisasi, sehingga organisasi dapat lebih tanggap terhadap perubahan dan tantangan.
Knowledge Management mendorong inovasi, mendorong keunggulan kompetitif dan pertumbuhan. Dengan knowledge management yang efektif, perguruan tinggi dapat mengidentifikasi pengetahuan kunci yang mendorong inovasi dan keunggulan kompetitif.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam penerapan Knowledge Management adalah fenomena knowledge hoarding atau“penghindaran berbagi pengetahuan”
Fenomena di mana individu cenderung tidak bersedia berbagi pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini tentu saja dapat menghambat kolaborasi dan inovasi di lingkungan perguruan tinggi.
Dalam jurnal Management Science Letters: “Knowledge Management Processes and Innovation Performance: The Moderating Effect of Employees’ Knowledge Hoarding” (Lina Al-Abbadi dkk.), peneliti menyoroti fenomena Knowledge hoarding (Penghindaran Berbagi Pengetahuan).
Fenomena ini sering disebabkan oleh kurangnya kepercayaan antar anggota organisasi serta adanya tekanan kompetitif di lingkungan akademik.
Di Indonesia, fenomena ini diduga juga terjadi, misalnya ketika dosen yang mengikuti pelatihan, seminar, atau workshop tidak berbagi informasi atau materi yang diperoleh dengan kolega atau institusi.
Hal diatas dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti keinginan untuk menjaga posisi kompetitif, meningkatkan reputasi pribadi, atau memperoleh keuntungan dalam persaingan akademik.
Fenomena Knowledge Hoarding ini berdampak buruk terhadap dinamika organisasi, kinerja inovasi dan kinerja kolektif.
Lina Al-Abbadi juga menyebutkan bahwa Knowledge Hoarding berdampak negatif pada proses manajemen pengetahuan dan kinerja inovasi.
Ketika informasi tidak disebarluaskan di internal organisasi. Proses inovasi di Institusi menjadi lambat dan kurang efisien.
Inovasi dalam bidang akademik memerlukan pertukaran ide yang bebas dan terbuka antar individu, dan perilaku knowledge hoarding akan sangat membatasi aliran informasi yang sangat dibutuhkan dalam proses peningkatan mutu.
Lebih jauh, iklim organisasi yang tidak mendukung knowledge sharing (berbagi pengetahuan) dapat menciptakan ketidakpercayaan antar staf akademik, yang memperburuk kolaborasi dan interaksi kerja.
Penting untuk dipahami, perbedaan konsepsi antara penghindaran berbagi pengetahuan (knowledge hoarding), penyembunyian pengetahuan (knowledge hiding), dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing).
Knowledge hoarding tidak selalu dilakukan dengan niat buruk, terkadang individu melakukan sebagai strategi untuk melindungi tujuan dan kepentingan pribadi.
Dalam lingkungan akademik, perilaku knowledge hoarding tentu dapat merusak iklim inovasi, merusak dinamika organisasi dan memperlambat perkembangan mutu pendidikan.
Sebaliknya, Sharing knowledge (berbagi pengetahuan) dipandang sebagai tindakan positif yang mendorong sinergi, kolaborasi dan inovasi.
Tantangan di depan, Perguruan tinggi yang ingin unggul, harus mampu menciptakan iklim yang sehat dan mendorong budaya berbagi informasi dan pengetahuan.
Dalam konsep Islam, knowledge hoarding atau penghindaran berbagi pengetahuan bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Islam mendorong penyebaran ilmu untuk kebaikan bersama.
Ajaran Islam mewajibkan umatnya untuk berbagi ilmu, walaupun dalam skala yang kecil, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW, “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”
Umat dilarang untuk menyembunyikan ilmu yang bermanfaat, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 159), yang memperingatkan bahwa mereka yang menahan petunjuk Allah akan mendapat hukuman pembalasan.
Lebih lanjut, Islam juga menekankan pentingnya berbagi ilmu sebagai bentuk amal jariyah.
Ilmu yang bermanfaat apabila dibagi akan terus memberikan pahala bahkan setelah seseorang meninggal.
Untuk menjawab tantangan diatas, perguruan tinggi perlu memperkuat tata kelola dengan mengintegrasikan knowledge management secara lebih mendalam dalam standar SPMI perguruan tinggi.
Salah satu tips yang dapat diambil adalah dengan menambahkan komponen/ klausul manajemen pengetahuan dalam isi standar tata kelola institusi.
Dengan mengintegrasikan KM secara menyeluruh dalam standar tata kelola, perguruan tinggi diharapkan dapat mencegah atau mengurangi perilaku Knowledge Hoarding.
Dengan demikian budaya kolaborasi dan inovasi muncul dan berkembangan dengan baik.
Hal ini sejalan dengan tujuan SPMI (PPEPP), meningkatkan mutu pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat secara terus menerus (continuous improvement).
Baca juga: Sinergi SPMI dan Knowledge Management
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi tidak dapat dipisahkan dari penerapan knowledge management yang efektif dan efisien.
Tantangan berupa knowledge hoarding di kalangan staf akademik, Insya Allah akan dapat diatasi melalui kebijakan tata kelola yang lebih kolaboratif dan transparan.
Jurnal “Knowledge Management Processes and Innovation Performance: The Moderating Effect of Employees’ Knowledge Hoarding” menyoroti bahwa perilaku knowledge hoarding dapat menghambat inovasi dan mengurangi kinerja institusi secara keseluruhan.
Oleh karena itu, dengan menambahkan atau meningkatkan “isi” standar tata kelola perguruan tinggi berbasis knowledge management, institusi akan dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, kolaboratif, dan inovatif. Stay Relevant!
Oleh: Bagus Suminar, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi