
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam bukunya The Death of Expertise, Tom Nichols menjelaskan sebuah fenomena yang cukup menarik: “masyarakat masa kini, era internet dan informasi, ditengarai semakin kehilangan kepercayaan terhadap otoritas ahli”. Beliau menjelaskan bagaimana era internet dengan akses informasi yang bebas tanpa batas telah melahirkan apa yang disebut sebagai ilusi pengetahuan, yang salah satu penyebabnya karena “kepercayaan berlebihan pada informasi internet”. Banyak kalangan (masyarakat) merasa bahwa dengan browsing di internet sudah cukup untuk menyamai pengetahuan mendalam dari para ahli, sudah merasa ahli. Fenomena ini, kombinasi antara keengganan untuk berpikir kritis, diinformasi dan ketidakpercayaan yang semakin meluas terhadap lembaga-lembaga, termasuk institusi pendidikan.
Kondisi perubahan eksternal ini akhirnya menjadi tantangan, termasuk untuk pendidikan tinggi dimana terdapat para ahli yang menekuni disiplin ilmu tertentu. Tantangan ini berarti tantangan terhadap Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), dimana SPMI dirancang untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berkelanjutan.
Dalam konteks masyarakat yang semakin skeptis terhadap otoritas akademik, SPMI menghadapi tantangan berat untuk membuktikan relevansi dan transparansinya.
Otoritas ahli di perguruan tinggi, seperti para profesor, dosen senior, dekan, atau rektor yang berpengalaman, sering kali menghadapi resistensi (penolakan) ketika mereka mencoba mempromosikan usulan (gagasan) kebijakan berbasis penelitian. Nah, bagaimana mengelola resistensi ini?
Nichols berpendapat, salah satu cara untuk memulihkan kepercayaan (trust) publik terhadap otoritas keahlian adalah dengan memastikan adanya bukti transparansi dan keterbukaan. Institusi perlu meyakinkan publik bahwa gagasan mereka didasarkan pada bukti-bukti yang sahih, integritas, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Nichols menyatakan bahwa literasi informasi adalah salah satu cara paling efektif untuk melawan disinformasi (informasi yang simpang siur).
Masyarakat yang tidak terampil dalam memverifikasi informasi cenderung mengabaikan kompleksitas yang melekat pada informasi tersebut. Akhirnya informasi yang diterima ditelan mentah mentah. Dalam konteks pendidikan tinggi, literasi informasi adalah hal wajib yang harus dimiliki para lulusan perguruan tinggi. Perguruan tinggi wajib menghasilkan lulusan yang mampu berpikir kritis. Selain itu, untuk eksternal, melalui program pengabdian kepada masyarakat, perguruan tinggi dapat berkontribusi dalam mendorong literasi digital di kalangan masyarakat luas.
Standar kurikulum, standar proses dan standar penilaian dan standar terkait lainnya, (dalam dokumen SPMI) harus dirancang untuk mendorong program literasi. Dengan metode ini, mahasiswa tidak hanya belajar memahami fakta-fakta, namun juga menghargai bagaimana proses keilmuan terbentuk, baik melalui penelitian, verifikasi, dan dialog kritis. Dengan demikian, perguruan tinggi akan dapat berperan sebagai pioner dalam membangun generasi yang kritis dan tanggap terhadap tantangan era informasi.
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Seperti yang telah disampaikan diatas, Nichols mengkritik para ahli atas kurangnya transparansi dalam proses keilmuan mereka, hal tersebut menjadi salah satu penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap otoritas keahlian. Untuk mengembalikan marwah tersebut, penting sekali bagi para ahli untuk membuktikan bahwa penelitian dan standar mereka didasarkan pada data yang dapat diverifikasi. Dalam konteks pendidikan tinggi, Standar dan perangkat SPMI memiliki peran strategis dalam membangun ekosistem penjaminan mutu yang terbuka dan transparan. Langkah awal yang dapat ditempuh adalah mempublikasikan hasil evaluasi mutu pendidikan, sehingga dapat diakses, dimengerti dan dipahami oleh masyarakat luas.
SPMI harus dipastikan benar-benar relevan, oleh karena itu harus dipastikan ada keterlibatan pemangku kepentingan, seperti dunia usaha, dunia industri, masyarakat, dan pemerintah. Dialog rutin perguruan tinggi dengan publik adalah elemen penting untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Dengan melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan standar SPMI, perguruan tinggi akan semakin mendapat legitimasi, dan juga memastikan bahwa model kurikulum yang ditawarkan tetap relevan dan sesuai dengan kebutuhan nyata.
Baca juga: Mutu Pendidikan Tinggi: Memahami Esensi dan Dampaknya
Nichols menekankan bahwa bukti empiris yang dapat diverifikasi adalah cara paling tepat untuk melawan skeptisisme terhadap otoritas keahlian.
Dalam konteks SPMI, perguruan tinggi dapat menerapkan pendekatan “evaluasi berbasis dampak” yang secara langsung mengukur kontribusi layanan pendidikan terhadap masyarakat. Misalnya, perguruan tinggi dapat memantau sejauh mana mutu lulusan berhasil memberikan solusi terhadap berbagai problem sosial atau menciptakan inovasi yang relevan di dunia kerja.
Hasil evaluasi ini harus disampaikan kepada masyarakat secara jelas dan transparan. Cara ini dapat membangun narasi bahwa keahlian tidak hanya relevan, namun juga menghasilkan dampak nyata (impact) yang bermanfaat. Dengan cara ini, perguruan tinggi membuktikan bahwa proses akademik tidak hanya bersifat teoretis, namun tetap berkontribusi konkret dan menjawab kebutuhan masyarakat modern.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Sebagai langkah konkret, dokumen SPMI dapat di update dengan menambahkan panduan tentang pelibatan pemangku kepentingan. Dunia usaha – dunia industri (DUDI) dapat dilibatkan untuk memberikan masukan (input) tentang kebutuhan hard skills dan soft skills yang sesuai dengan perkembangan industri. Selain itu, dokumen SPMI dapat berisi pedoman / panduan untuk memastikan bahwa hasil evaluasi mutu pendidikan dipublikasikan dalam format yang sederhana, transparan, dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Perangkat SPMI juga harus diintegrasikan dengan teknologi berbasis data untuk meningkatkan efisiensi evaluasi dan pelaporan. Langkah ini sejalan dengan prinsip-prinsip manajemen mutu, membuktikan bahwa perguruan tinggi siap untuk merespons tantangan zaman dengan pendekatan teknologi berbasis data.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Nichols dalam buku The Death of Expertise, menguraikan bahwa keahlian tidak dapat dipertahankan hanya melalui klaim otoritas semata, namun harus dibuktikan dengan semangat integritas, keterbukaan, dan “impact” nyata. Nichols menegaskan, akses informasi yang tanpa batas, disinformasi, dan budaya anti-intelektualisme telah merongrong penghormatan terhadap para ahli dan institusi. Dalam situasi ini, pendidikan tinggi (termasuk SPMI) menghadapi tantangan besar untuk memulihkan kepercayaan publik, apakah perguruan tinggi siap?
Kebijakan SPMI dan seluruh perangkat dokumennya (seperti siklus PPEPP, standar dan SOP) dapat menjadi instrumen strategis untuk menunjukkan bagaimana lembaga pendidikan tinggi dapat berperan optimal sebagai penjaga ilmu sekaligus penggerak transformasi sosial.
Dengan langkah-langkah strategis seperti penguatan literasi informasi, transparansi proses penjaminan mutu, dialog yang terbuka dengan masyarakat, dan evaluasi berbasis dampak nyata, perguruan tinggi dapat unggul dalam menjamin mutu pendidikan, dan juga menciptakan narasi baru yang menempatkan keahlian sebagai landasan utama kemajuan bangsa.
Perguruan tinggi harus tetap dijaga relevansinya, agar fenomena masyarakat yang semakin skeptis terhadap otoritas keilmuan dapat diperbaiki. Dengan SPMI, budaya mutu dan komitmen, perguruan tinggi Insya Allah dapat menjadi motor penggerak untuk perbaikan budaya penghormatan terhadap otoritas keahlian. Stay Relevant!
Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam lingkungan pendidikan tinggi, sarana dan prasarana kampus (sering disingkat “sarpras”) memiliki peran krusial dalam mendukung proses belajar mengajar. Namun, sering muncul diskusi mengenai apakah prioritas utama harus diberikan pada “faktor estetika” atau “fungsionalitas”. Kenyataannya, kedua aspek tersebut sama pentingnya untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan produktif bagi mahasiswa, dosen, staf serta stakeholder lainnya.
Don Norman dalam buku beliau The Design of Everyday Things menjelaskan bahwa desain yang baik harus intuitif fungsional dan estetis. Intuitif artinya user dapat menggunakan fasilitas sarpras tanpa kebingungan, sedangkan estetis bertujuan menciptakan daya tarik visual (keindahan) yang meningkatkan pengalaman pengguna. Bila hal tersebut diterapkan di kampus, gedung yang indah tidak hanya menarik secara emosional namun juga mampu memenuhi kebutuhan praktis proses belajar mengajar di kampus.
Baca juga: Kampus Impian: Seperti Apa Sarana dan Prasarana yang Ideal di Mata Mahasiswa?
Elemen-elemen unsur estetika seperti warna, bentuk, tekstur, dan pencahayaan, semuanya mempengaruhi persepsi pengguna. Misal pemilihan warna untuk ruang perpustakaan, dapat digunakan untuk menciptakan atmosfir tertentu—warna cerah dapat meningkatkan energi di ruang diskusi, warna netral cocok untuk ruang belajar yang tenang.
Selain itu, tekstur permukaan dan pencahayaan adalah elemen kunci dalam estetika desain sarana prasarana. Pencahayaan alami melalui kaca jendela dapat meningkatkan estetika ruang dan juga mampu membantu konsentrasi dan produktivitas. Elemen public space, ruang terbuka seperti area hijau, kolam atau taman dapat memberikan keseimbangan antara alam dan lingkungan, menciptakan tempat yang nyaman untuk diskusi dan interaksi sosial.
Baca juga: Lingkungan Kerja Ideal: Sarana Prasarana untuk Dosen dan Karyawan
Fungsionalitas sarpras kampus merupakan elemen krusial dalam mendukung proses pendidikan. Fungsionalitas memastikan bahwa fasilitas digunakan secara efektif dan efisien, memenuhi kebutuhan akademik dan operasional dengan optimal. Don Norman, dalam The Design of Everyday Things, menegaskan bahwa fungsionalitas dimulai dari desain yang responsif, mudah dipahami, dan nyaman digunakan. Contohnya, kampus dengan jalur navigasi yang jelas, lift yang mudah diakses, atau ruang kelas yang fleksibel untuk berbagai metode pengajaran memberikan pengalaman yang lebih baik bagi penggunanya.
Fungsionalitas juga erat kaitannya dengan efisiensi. Tata letak modular, misalnya, memungkinkan perguruan tinggi mengakomodasi berbagai kebutuhan, seperti seminar, diskusi kelompok, atau aktivitas kolaboratif, dengan fleksibilitas tinggi. Selain itu, perhatian pada keberlanjutan juga menjadi bagian dari fungsionalitas modern. Penggunaan bahan ramah lingkungan tidak hanya mencerminkan komitmen kampus terhadap pelestarian lingkungan, tetapi juga memberikan pesan kuat bahwa institusi pendidikan ini memahami dan mendukung prinsip keberlanjutan.
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Stakeholder kampus (pemangku kepentingan)—termasuk pimpinan, mahasiswa, dosen, alumni, dan mitra eksternal—menginginkan fasilitas sarpras yang mencerminkan nilai-nilai (values) institusi. Estetika memberikan daya tarik keindahan yang membuat mahasiswa “merasa bangga” dengan kampus mereka. Di sisi lain, fungsionalitas memastikan sarpras dapat digunakan dengan nyaman dan efisien.
Richard P. Dober dalam bukunya Campus Design menjelaskan bahwa desain kampus yang ideal harus mencerminkan “identitas” (jati diri) institusi. Gedung kampus bisa dirancang dengan berbagai pilihan model, misal dengan konsep estetika modern (kesan inovasi), atau dirancang dengan elemen tradisional (kesan budaya lokal). Semua pilihan ini tentu saja tidak boleh mengorbankan aspek fungsionalitas, seperti aksesibilitas atau kemudahan navigasi antar ruang.
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Estetika dalam sarpras yang terpadu berfungsi sebagai alat “komunikasi visual” untuk memperkenalkan “misi unik” institusi (mission differentiation). Misal, kampus dengan misi ramah lingkungan (keberlanjutan) dapat menunjukkan komitmen melalui desain berbasis ekologi, seperti taman vertikal, daur ulang dan penggunaan material ramah lingkungan.
Don Norman menjelaskan, desain yang baik harus selaras dengan nilai-nilai (values) dan tujuan organisasi. Kampus dengan misi teknologi tinggi, dapat membangun gedung dengan desain masa depan (futuristik), pencahayaan berbasis LED, dan ruang-ruang yang terlihat modern. Adapun, universitas yang berbasis budaya, dengan misi melestarikan warisan lokal, dapat memasukkan unsur-unsur elemen tradisional sebagai bentuk komunikasi visual dari misi unik institusi.
Ketika estetika diintegrasikan dengan “misi unik” institusi, tidak hanya ruang fisik yang diperindah, tetapi juga narasi institusi diperkuat.
Hal ini menjadi daya tarik bagi mahasiswa yang mencari kampus yang sesuai dengan nilai-nilai (minat dan bakat) mereka. Dengan demikian, estetika menjadi “alat strategis” untuk membangun identitas institusi yang unik dan relevan.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Bagi kampus dengan anggaran terbatas, membangun sarpras yang fungsional sekaligus estetik menjadi tantangan tersendiri. Konsep smart design dari Don Norman dalam The Design of Everyday Things menawarkan solusi. Norman menekankan pentingnya desain yang sederhana, multifungsi, ruang modular, hemat biaya, tetapi tetap memenuhi kebutuhan pengguna (prinsip user-centered design). Institusi dapat memprioritaskan elemen-elemen desain yang memberikan “high impact, low cost“, dampak besar dengan biaya minimal, seperti pencahayaan alami untuk mengurangi ketergantungan pada energi listrik.
Kampus juga dapat mengadopsi pendekatan bertahap (sedikit demi sedikit) dalam renovasi sarana prasarana. Prioritas utama diberikan pada area yang memiliki interaksi tinggi, seperti ruang belajar, perpustakaan, atau kafetaria. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan bahan dan material lokal yang terjangkau namun tidak kalah kualitas.
Elemen hijau seperti taman, kolam sederhana atau menambah mural kreatif di sudut-sudut kampus dapat menjadi solusi estetis yang murah meriah. Dengan metode ini, kampus kecil tetap dapat mengkomunikasikan misi unik-nya melalui estetika tanpa harus mengeluarkan biaya besar, sekaligus dapat mengembangkan lingkungan pendidikan yang inklusif dan inspiratif.
Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan kerangka manajemen mutu yang wajib diimplementasikan sesuai dengan regulasi pemerintah. Dalam dokumen SPMI, standar sarana dan prasarana menekankan bahwa fasilitas pendidikan harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan dasar (standar minimal), sarana prasarana yang baik harus dirancang untuk mendukung efektivitas pembelajaran dan inklusivitas bagi semua pengguna.
Dalam kaitannya dengan estetika dan fungsionalitas, institusi memiliki peluang untuk melampaui standar SN Dikti dengan menambahkan indikator baru yang lebih progresif.
Panduan desain berbasis estetika dan fungsionalitas diperlukan untuk memastikan setiap elemen fasilitas tidak hanya memenuhi kebutuhan praktis, namun juga mencerminkan identitas, misi unik dan visi perguruan tinggi. Implementasi standar sarpras SPMI yang visioner, memberikan pengalaman belajar holistik bagi seluruh stakeholder, menjadikan kampus sebagai tempat kreativitas, kebanggaan, dan keberlanjutan.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Estetika dan fungsionalitas bukanlah dua hal yang bertentangan, namun saling melengkapi. Integrasi keduanya juga berperan strategis dalam memperkuat mission differentiation, mencerminkan nilai-nilai unik institusi, dan membangun reputasi yang kuat.
Bahkan bagi kampus dengan keterbatasan budget, pendekatan desain yang kreatif dapat membantu membangun fasilitas yang estetis dan fungsional tanpa membebani anggaran. Dengan pembangunan bertahap, dan memprioritaskan area-area utama, berlahan tapi pasti, kampus dapat menciptakan lingkungan yang inspiratif dan inklusif.
Penerapan SPMI sebagai panduan manajemen mutu harus menjadi komitmen bersama yang dijalankan secara konsisten. SPMI tidak hanya perlu diimplementasikan, tetapi juga dievaluasi dan diperbarui secara berkelanjutan untuk memastikan relevansinya dengan kebutuhan zaman.
Standar sarana dan prasarana yang diterapkan harus dirancang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tetapi juga untuk mendukung keberlanjutan dan visi jangka panjang perguruan tinggi.
Harmonisasi antara estetika, fungsionalitas, dan misi unik institusi akan menciptakan kampus sebagai ruang belajar yang tidak hanya memenuhi standar mutu, tetapi juga menginspirasi. Dengan pendekatan yang terpadu ini, perguruan tinggi dapat menjadi tempat pendidikan yang unggul, inovatif, dan tetap relevan di tengah dinamika global. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI: “Satu Kali Dayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui”
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam dunia pendidikan tinggi yang semakin dinamis, mahasiswa masa kini—khususnya Generasi Z—tidak lagi sekadar mencari tempat untuk menimba ilmu. Mereka mendambakan lingkungan yang nyaman, yang artistik dan mendukung perkembangan diri secara holistik. Kampus idaman bukan hanya sekumpulan ruang-ruang belajar, melainkan sebuah ekosistem yang mengintegrasikan fasilitas modern dengan kebutuhan pembelajaran sekaligus pengembangan potensi terbaik individu. Ruang kelas yang nyaman, perpustakaan digital yang kaya sumber daya, hingga ruang terbuka hijau yang asri, kini menjadi elemen penting yang menentukan pengalaman pendidikan yang bermutu.
Di sisi lain, perguruan tinggi perlu memahami bahwa setiap mahasiswa membawa harapan dan kebutuhan yang beraneka ragam. Perbedaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti latar belakang, keluarga, bidang studi, dan aspirasi pribadi. Oleh karena itu, standar sarana dan prasarana dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) harus dirancang dengan mempertimbangkan suara mahasiswa sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) utama. Pendekatan partisipatif ini memastikan bahwa fasilitas kampus tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan formal dari Standar Nasional (SN) Dikti, namun juga relevan, bermakna, dan mampu memberikan dampak nyata bagi pemangku kepentingan. Harapannya, kampus dapat menjadi tempat yang benar-benar menginspirasi dan memfasilitasi perjalanan akademik segenap mahasiswa.
Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan
Ruang kelas yang memadai adalah kebutuhan mendasar di setiap kampus. Idealnya, ruang kelas tidak hanya dilengkapi dengan meja dan kursi, namun juga didukung oleh teknologi modern seperti proyektor, akses internet yang stabil, serta sistem penghawaan dan pencahayaan yang optimal. Mahasiswa menginginkan suasana belajar yang kondusif, di mana mereka dapat fokus tanpa gangguan, baik dari aspek teknis maupun lingkungan. Untuk itu, standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu merumuskan kriteria yang jelas sebagai landasan dalam merancang ruang kelas bermutu tinggi.
Laboratorium, khususnya bagi program studi berbasis ilmu eksakta, sains dan teknologi, juga menjadi elemen yang sangat penting. Fasilitas laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan mutakhir dan bahan praktikum yang memadai mencerminkan mutu pendidikan yang diberikan. Alat-alat ukur di laboratorium harus valid dan rutin di kalibrasi. Mahasiswa membutuhkan akses yang mudah dan adil terhadap fasilitas ini, tanpa harus berebut dan antri untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Oleh karena itu, pengelolaan laboratorium yang efisien dan inklusif harus menjadi bagian integral dari standar sarana dan prasarana yang ditetapkan dalam SPMI. Hal ini dilakukan guna memastikan pengalaman belajar yang mendukung eksplorasi akademik dan pengembangan keahlian secara optimal.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Di era digital, mahasiswa tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari berbagai sumber online yang memerlukan infrastruktur teknologi canggih. Kampus yang ideal dilengkapi dengan Wi-Fi berkecepatan tinggi yang dapat diakses di seluruh area, termasuk ruang kelas, perpustakaan, dan area umum lainnya. Selain itu, keberadaan Learning Management System (LMS) yang andal menjadi hal penting untuk mendukung pembelajaran berbasis online. Standar Sarpras SPMI sebaiknya menekankan pentingnya integrasi teknologi ini sebagai bagian dari sarana perlu di perguruan tinggi.
Perpustakaan digital juga menjadi elemen penting dalam kampus modern. Mahasiswa membutuhkan akses ke berbagai jurnal ilmiah, e-book, dan sumber daya lainnya tanpa harus terbatas pada ruang dan waktu. Dengan adanya perpustakaan digital yang dirancang sesuai standar sarana prasarana, mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan belajar secara mandiri dan memperluas wawasan.
Baca juga: Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?
Kampus ideal adalah kampus yang mudah diakses oleh semua mahasiswa, tanpa terkecuali, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Jalur yang ramah difabel, fasilitas untuk pengguna kursi roda, lift yang memadai, hingga ruang kelas yang dirancang agar mudah diakses, menjadi contoh nyata dari upaya mendukung inklusivitas. Standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mengakomodasi aspek aksesibilitas ini untuk memastikan bahwa setiap mahasiswa dapat belajar dalam lingkungan yang nyaman, menyenangkan, dan aman. Selain kenyamanan, perhatian pada risiko seperti gempa bumi atau kebakaran juga harus menjadi prioritas, dengan menyediakan alat pemadam api ringan (APAR), jalur evakuasi yang jelas, dan titik kumpul yang memadai.
Aksesibilitas juga berarti memberikan peluang yang setara bagi mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi untuk memanfaatkan sarana yang tersedia. Misalnya, laboratorium komputer yang dapat diakses secara gratis, kantin dengan harga terjangkau, pusat karier yang mendukung masa depan mahasiswa, hingga layanan konsultasi yang dapat diakses oleh semua. Fasilitas-fasilitas ini mencerminkan komitmen kampus dalam mendukung keberagaman dan inklusi, menciptakan lingkungan yang benar-benar memfasilitasi perkembangan intelektual dan sosial bagi setiap individu.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Kegiatan mahasiswa tidak hanya terbatas di ruang kelas, tetapi meluas ke berbagai aktivitas di luar ranah akademik. Kampus yang ideal harus menjadi tempat yang mendorong pengembangan minat dan bakat mahasiswa. Fasilitas seperti ruang organisasi, pusat olahraga, aula serbaguna, dan ruang musik menjadi elemen penting yang memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengasah keterampilan kepemimpinan (soft skills), berkolaborasi, dan menyalurkan kreativitas mereka. Standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mencakup fasilitas-fasilitas ini sebagai bagian integral dari sarana dan prasarana, guna menciptakan lingkungan kampus yang mendukung pertumbuhan individu yang holistik.
Selain itu, ruang hijau dan area relaksasi merupakan elemen yang tak kalah penting bagi mahasiswa. Taman, gazebo, atau area terbuka lainnya tidak hanya memberikan kesempatan untuk melepas penat, tetapi juga menjadi ruang untuk bersosialisasi dan membangun komunitas. Fasilitas-fasilitas ini menciptakan keseimbangan antara belajar dan relaksasi, sekaligus berkontribusi pada kesehatan mental mahasiswa. Dengan ruang-ruang yang dirancang untuk menyegarkan pikiran dan mendorong interaksi sosial, kampus menjadi lebih dari sekadar tempat belajar—ia menjadi rumah kedua yang nyaman dan inspiratif.
Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi
Richard P. Dober, melalui bukunya Campus Design, menawarkan prinsip-prinsip desain yang relevan untuk menciptakan kampus yang tidak hanya fungsional tetapi juga bermakna. Salah satu konsep utama yang diusung Dober adalah placemaking—proses menciptakan ruang yang mendukung identitas institusi dan kebutuhan komunitasnya. Dalam konteks mahasiswa, ini berarti kampus harus dirancang untuk memfasilitasi pembelajaran, kolaborasi, dan interaksi sosial, sekaligus mencerminkan nilai-nilai dan karakteristik unik perguruan tinggi tersebut (mission differentiation).
Rekomendasi Dober juga menekankan pentingnya konektivitas fisik antarbagian kampus. Jalur pejalan kaki, taman, dan ruang terbuka hijau menjadi elemen vital yang tidak hanya mendukung mobilitas tetapi juga mendorong interaksi kasual antar mahasiswa dan dosen. Selain itu, Dober merekomendasikan penggunaan elemen visual khas, seperti bangunan ikonik, monumen, atau lanskap unik, yang memberikan identitas kuat bagi kampus. Elemen-elemen ini tidak hanya memperkuat “kebanggaan” mahasiswa terhadap institusinya tetapi juga menciptakan daya tarik bagi calon mahasiswa baru (PMB).
Dengan mengadaptasi prinsip-prinsip Dober ke dalam konteks lokal, kampus-kampus di Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih bermakna, nyaman, dan sesuai dengan kebutuhan iklim tropis serta keberagaman budaya. Misalnya, ruang-ruang terbuka yang rindang, bangunan dengan ventilasi alami, dan taman yang dirancang untuk kegiatan sosial maupun akademik akan memberikan pengalaman belajar yang optimal bagi mahasiswa. Inspirasi dari Dober ini menjadi pijakan yang kuat dalam membangun kampus yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fungsional tetapi juga memberikan dampak emosional dan sosial yang mendalam.
Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI
Bagi kampus kecil dengan anggaran terbatas, membangun sarana dan prasarana yang ideal sering kali menjadi tantangan besar. Namun, keterbatasan finansial bukan berarti perguruan tinggi harus mengorbankan mutu. Pendekatan strategis dan kreatif dalam perencanaan dapat menjadi kunci untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya yang tersedia. Salah satu caranya adalah dengan fokus pada prioritas utama yang sesuai dengan kebutuhan mendesak dan misi institusi. Misalnya, sebuah perguruan tinggi yang berfokus pada pendidikan teknologi dapat memprioritaskan laboratorium komputer dengan perangkat terkini dibandingkan dengan fasilitas olahraga yang representatif. Penyesuaian ini memungkinkan kampus kecil untuk tetap kompetitif tanpa harus meniru model perguruan tinggi besar. Namun demikian, secara bertahap, kampus kecil dapat meningkatkan mutu sarana prasarana untuk rencana di kemudian hari. Grand design (rencana besar pengembangan sarana prasarana) harus dibuat dulu, agar pembangunan yang bertahap tidak terkesan tambal sulam, tidak hemat dan tidak indah.
Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management
Selain itu, “tema” sarana prasarana juga perlu disesuaikan dengan mission differentiation atau diferensiasi misi dari perguruan tinggi. Setiap kampus memiliki tujuan dan karakteristik unik yang dapat tercermin dalam desain dan fungsi fasilitasnya. Kampus yang berorientasi pada keberlanjutan, misalnya, dapat memanfaatkan desain ramah lingkungan yang hemat biaya seperti penggunaan ventilasi alami atau pencahayaan pasif. Sementara itu, perguruan tinggi berbasis seni dapat memanfaatkan ruang kreatif seperti galeri atau studio seni yang fleksibel untuk mencerminkan misi mereka.
Dengan memusatkan pengembangan pada misi unik kampus, perguruan tinggi kecil tidak hanya dapat menghemat anggaran namun juga menciptakan nilai tambah yang membedakan mereka dari institusi lain. Strategi ini menjadikan sarana dan prasarana sebagai elemen yang mendukung keberlanjutan akademik sekaligus memperkuat daya tarik institusi di mata mahasiswa dan masyarakat.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Mahasiswa masa kini semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan lingkungan. Kampus yang ideal adalah kampus yang mengadopsi praktik ramah lingkungan, seperti penggunaan energi terbarukan, pengelolaan limbah yang baik, dan inisiatif hijau lainnya. Standar SPMI dapat memasukkan keberlanjutan sebagai salah satu standar utama untuk memastikan bahwa kampus tidak hanya melayani generasi saat ini, tetapi juga generasi mendatang.
Prinsip desain yang bermakna, seperti yang direkomendasikan oleh Dober, dan strategi kreatif dalam menyiasati keterbatasan anggaran harus berjalan beriringan. Keduanya perlu berpadu dengan praktik keberlanjutan untuk menciptakan kampus yang tidak hanya relevan bagi generasi masa kini, tetapi juga mampu menghadirkan dampak positif yang melintasi waktu. Pendekatan ini memungkinkan kampus dari berbagai skala, baik besar maupun kecil, untuk mengoptimalkan fasilitas mereka sesuai dengan misi masing-masing.
Dengan fokus pada harapan mahasiswa (stakeholder utama), kampus dapat menjadi lebih dari sekadar tempat belajar. Ia akan menjadi ruang hidup yang mendukung pertumbuhan intelektual, emosional, dan sosial, menciptakan pengalaman pendidikan yang bermakna dan berdampak jangka panjang. Dalam konteks ini, kampus ideal tidak harus mahal, tetapi harus cerdas, adaptif, dan peduli terhadap keberlanjutan. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Kepemimpinan dalam pendidikan tinggi semakin diuji di era Artificial Intelligence (AI) yang penuh dinamika ini. Dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di Pendidikan Tinggi, kemampuan pemimpin untuk menyeimbangkan perhatian terhadap “tugas” (task) dan “manusia” (people) menjadi faktor penentu keberhasilan organisasi. Namun, tentu kita masih bertanya, apakah para pemimpin perguruan tinggi benar-benar memiliki kemampuan untuk mendekati atau mencapai skor 9,9—perpaduan ideal antara perhatian terhadap “tugas” dan perhatian terhadap “manusia”—dalam framework model Managerial Grid? Mari kita kupas bersama.
Model Managerial Grid, yang dikembangkan oleh Blake dan Mouton, menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana pemimpin dapat mengelola tim (bawahan) secara efektif. Dalam konteks SPMI, hal ini berarti menjaga keseimbangan antara pencapaian kinerja standar SPMI (perhatian pada “tugas”) dengan pencapaian hubungan harmonis pada “manusia” (bawahan). Skor 9,9 bukan hanya sekadar angka biasa, namun refleksi dari kepemimpinan yang ideal (team management).
Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?
Implementasi SPMI membutuhkan komitmen yang tinggi untuk menyusun dan mencapai standar mutu secara berkelanjutan. Komitmen ini harus dibangun bersama dengan budaya mutu yang terus berkembang, dan inti dari semua ini adalah fungsi kepemimpinan yang efektif. Lalu, seperti apa model kepemimpinan yang ideal untuk mendukung pencapaian standar SPMI? Dalam konteks ini, perhatian terhadap “tugas” (task) menjadi elemen yang sangat krusial. Pemimpin bertanggung jawab memastikan bahwa setiap tahap dalam siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) dilakukan secara konsisten, berbasis data, dan berorientasi pada hasil. Fokus yang kuat pada “tugas” menjadi landasan untuk mencapai keunggulan operasional dan efektivitas implementasi.
Namun, fokus yang berlebihan pada target dan angka-angka dapat menjadi pedang bermata dua. Tekanan untuk memenuhi standar yang tinggi sering kali menciptakan konflik atau bahkan kelelahan emosional di kalangan tim. Inilah mengapa perhatian terhadap “manusia” (people) menjadi sama pentingnya. Model kepemimpinan dengan skor 9,9 dalam Managerial Grid menjadi pengingat bahwa di balik target yang ambisius terdapat individu-individu yang membutuhkan perhatian, pengakuan, dan motivasi. Ketika pemimpin memberikan perhatian yang tulus kepada kesejahteraan tim—seperti memastikan keseimbangan kerja-hidup, menyediakan dukungan emosional, atau mengapresiasi kontribusi mereka—mereka tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang sehat, tetapi juga mendorong tim untuk berkomitmen secara kolektif terhadap pencapaian standar mutu SPMI yang lebih tinggi. Dengan keseimbangan ini, kepemimpinan tidak hanya menjadi alat pencapaian target, namun juga landasan untuk membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh dan berkelanjutan.
Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023
Keseimbangan antara fokus pada “tugas” dan “manusia”—yang tercermin dalam skor 9,9 pada Managerial Grid—tidak hanya menciptakan harmoni, namun juga memberdayakan tim untuk memberikan kinerja terbaik mereka. Ketika pemimpin menunjukkan perhatian tinggi terhadap “tugas” (yang direpresentasikan pada sumbu horizontal), mereka menetapkan target yang jelas, memberikan bimbingan strategis, dan memastikan setiap individu memahami tanggung jawab mereka dalam mencapai tujuan institusi. Tugas ini menjadi elemen kunci dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), yang sering kali membutuhkan koordinasi yang solid lintas departemen atau unit kerja.
Namun, keberhasilan SPMI tidak cukup hanya dengan perhatian pada “tugas” saja. Perhatian terhadap manusia (sumbu vertikal) menjadi sama pentingnya, memastikan bahwa setiap sumber daya manusia merasa didengarkan, dihargai, dan didukung. Gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada tugas semata (tipe 9,1) berisiko memicu konflik dan resistensi dalam organisasi. Sebaliknya, Gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada “manusia” semata (tipe 1,9) berisiko organisasi tidak produktif sama sekali, karena pimpinan terlalu fokus satu sisi, hanya perhatian pada manusia saja, sehingga pelaksanaan tugas cenderung diabaikan. Lalu bagaimana yang ideal? Yang ideal adalah seorang pemimpin tipe 9,9—yang mewujudkan kepemimpinan berbasis team management—adalah pemimpin yang paling ideal yang mampu mengubah resistensi menjadi kolaborasi.
Pemimpin tipe 9,9 menunjukkan empati, mendengarkan kritik dan masukan dari anggota tim, serta melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan ini tidak hanya menggerakkan tim untuk bekerja lebih efektif, tetapi juga menumbuhkan motivasi dan rasa memiliki yang mendalam terhadap organisasi. Pada akhirnya, gaya kepemimpinan ini menjadi landasan yang kokoh untuk mendorong keberhasilan SPMI sekaligus memperkuat budaya mutu dalam organisasi.
Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi
Budaya mutu yang berkelanjutan tidak dapat dicapai bila hanya mengandalkan “ketersediaan” dokumen kebijakan, standar dan prosedur (not sufficient). Budaya mutu memerlukan leadership yang kuat, leader yang inspiratif dan mampu membangun sinergi antara “tugas” dan “manusia”. Skor 9,9 pada Managerial Grid menjadi simbol “kepemimpinan ideal” yang mampu membawa perubahan positif dan membangun landasan mutu yang kokoh.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pemimpin di perguruan tinggi Anda telah mencapai keseimbangan ini? Jika belum, saatnya untuk berinvestasi dalam pengembangan kepemimpinan yang adaptif dan berorientasi pada keseimbangan. Stay Relevant!
Baca juga: Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di suatu pagi yang sibuk, Rektor Kampus Sangkuriang (fiktif), Dr. Hasan, memandang laporan tahunan progres kinerja mutu pendidikan tinggi di kantornya. Data menunjukkan tren stagnasi kualitas lulusan selama dua tahun terakhir, mimpi buruk bagi pimpinan. Walaupun berbagai kebijakan telah diambil, hasilnya tetap jauh dari harapan. Dr. Hasan bertanya-tanya: Apakah ada cara-cara lain untuk memecahkan lingkaran masalah ini? Dalam pencariannya, pak Rektor menemukan gagasan para pemikir manajemen mutu, yang dikenal sebagai guru-guru Total Quality Management (TQM), seperti Deming, Crosby, Peters, Juran, dan Ishikawa. Di sinilah perjalanan penguatan SPMI dimulai. Jangan kemana mana, ambil segelas kopi pahit (tanpa gula) lanjutkan membaca hingga tuntas.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Edward Deming, seorang pemikir visioner dalam dunia kualitas, memperkenalkan konsep System of Profound Knowledge yang mengajarkan bahwa organisasi harus memahami cara kerja sistem secara menyeluruh dan mengurangi variasi. Dalam siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar (siklus PPEPP), ide Deming dapat diterapkan melalui adaptasi siklus PDCA (Plan-Do-Check-Act). Perguruan tinggi dapat merancang strategi peningkatan mutu akademik dengan pendekatan iteratif, memungkinkan pembaruan berkelanjutan. Ungkapan bijak mengatakan “Kualitas tidak terjadi secara kebetulan; itu adalah hasil dari usaha yang cerdas.”
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Joseph Juran membawa perspektif unik tentang “Quality Trilogy” yang mencakup perencanaan kualitas, kontrol kualitas, dan perbaikan kualitas.
Dalam konteks perguruan tinggi, Juran mengingatkan bahwa perencanaan standar mutu harus sesuai dengan visi dan misi institusi, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan, termasuk mahasiswa dan masyarakat.
Prinsip “fitness for use” dari Juran menegaskan bahwa kualitas harus relevan dengan kebutuhan nyata dunia kerja dan inovasi global. Inilah tantangan bagi Kampus Sangkuriang, apakah mampu?
Bayangkan jika kurikulum di Kampus Sangkuriang dirancang dengan melibatkan pelaku industri secara langsung, sehingga setiap mata kuliah tidak hanya memenuhi standar akademik tetapi juga mencerminkan kebutuhan terkini dunia kerja. Lulusan kampus tidak hanya siap bekerja, tetapi juga memiliki daya saing global yang nyata.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Dengan pandangan “Quality is Free”, Crosby mengajarkan bahwa investasi dalam kualitas menghasilkan penghematan jangka panjang. Dalam pelaksanaan SPMI, pendekatan ini dapat diterapkan melalui pencegahan kesalahan dalam proses akademik dan administratif. Bayangkan jika setiap tugas akhir mahasiswa dirancang dengan bimbingan yang tepat, akan berapa banyak sumber daya yang dapat di hemat dari revisi yang tidak perlu?
Contoh lain, proses penerimaan mahasiswa baru dilakukan dengan sistem digital yang terintegrasi, sehingga mengurangi kesalahan administratif, mempercepat verifikasi dokumen, dan memberikan pengalaman pendaftaran yang lebih baik bagi calon mahasiswa. Tidak hanya menghemat waktu dan biaya, tetapi juga meningkatkan citra perguruan tinggi sebagai institusi yang efisien dan modern.
Tom Peters menginspirasi melalui konsep Management by Wandering Around (MBWA), yang mendorong pemimpin untuk terlibat langsung dengan tim mereka. Rektor dan dekan yang mendekati mahasiswa, dosen, dan staf administratif akan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, mempercepat proses deteksi masalah, dan memperkuat “rasa memiliki” terhadap kualitas institusi. “Keunggulan adalah hasil dari perhatian terus-menerus terhadap hal-hal kecil,” kata Peters, yang relevan dalam konteks pendidikan tinggi.
Bayangkan jika seorang rektor secara rutin mengunjungi kelas-kelas, mendengarkan langsung pengalaman belajar mahasiswa, dan berdiskusi dengan dosen mengenai tantangan pengajaran. Tidak hanya memperkuat hubungan dari berbagai pihak, namun juga memungkinkan pemimpin untuk mengambil keputusan berbasis data dan pengalaman nyata di lapangan, menciptakan budaya perbaikan (korektif dan preventif ) yang konsisten.
Ilustrasi lain, contoh seorang dekan yang secara teratur mengunjungi laboratorium atau ruang diskusi mahasiswa. Ia mendengar bahwa beberapa alat dan fasilitas laboratorium sering rusak dan segera mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Langkah sederhana ini menunjukkan bahwa kepemimpinan hadir dan peduli terhadap kebutuhan seluruh komunitas kampus.
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Ishikawa membawa alat praktis seperti fishbone diagram (diagram tulang ikan) untuk mengidentifikasi akar penyebab masalah. Perguruan tinggi harus dapat menggunakan pendekatan ini untuk menganalisis hambatan dalam pelaksanaan PPEPP, seperti keterbatasan data atau kurangnya koordinasi antarunit. Konsep “GKM” (Gugus Kendali Mutu) dari Ishikawa juga sangat penting, menekankan pentingnya partisipasi semua pihak dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Bayangkan jika sebuah fakultas membentuk tim GKM yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan staf untuk membahas tantangan dalam implementasi metode pembelajaran daring. Dengan masukan dari semua pihak, mereka dapat mengidentifikasi masalah-masalah teknis, kebutuhan pelatihan, atau cara meningkatkan interaksi, sehingga menghasilkan solusi dan rekomendasi yang lebih efektif dan diterima luas.
Belajar dari para guru ini, perguruan tinggi di Indonesia dapat mengoptimalkan siklus PPEPP secara lebih efektif. Dengan memahami sistem, merancang standar mutu yang relevan, dan melibatkan semua stakeholder, perguruan tinggi dapat menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan. Kunci keberhasilan adalah integrasi ide-ide besar dari para guru ini ke dalam konteks lokal tanpa kehilangan esensi globalnya.
Sebagai akhir perjalanan ini, kata-kata W. Edwards Deming memberikan filosofi dan pencerahan: “Tidak ada yang lebih berbahaya daripada merasa puas dengan status quo. Perubahan adalah awal dari perbaikan.” Mulai hal kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai sekarang. Dengan semangat ini, mari kita terus hidupkan “ruh” SPMI di setiap kampus, menuju pendidikan tinggi yang lebih bermutu dan unggul. Stay Relevant!
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di sebuah kota kecil yang tumbuh berkembang pesat, Universitas Sangkuriang (fiktif) menghadapi tantangan besar di era yang sering disebut sebagai BANI (Brittle, Anxious, Non-Linear, dan Incomprehensible). Perguruan tinggi ini mendapati dirinya berada di persimpangan kritis. Bingung bagaimana harus berbuat. Sementara jumlah calon mahasiswa menurun terus, teknologi berkembang lebih cepat daripada kemampuan institusi untuk beradaptasi, dan ketidakpastian global semakin terasa.
Rektor baru, Dr. Mira Kencana (fiktif), menyadari bahwa tanpa perubahan drastis, tanpa inovasi, universitas akan kehilangan relevansinya.
Dengan berbekal visi yang kuat, ia memutuskan untuk mengintegrasikan PPEPP dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dengan konsep Strategic Quality Management dari Edward Sallis. Langkah ini menjadi batu loncatan yang mengembirakan, membawa Universitas Sangkuriang keluar dari keterpurukan menuju era baru yang lebih inovatif dan menjanjikan. Tetaplah di sini, nikmati secangkir kopi hangat, dan teruslah membaca hingga akhir cerita!
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) adalah sebuah pendekatan dinamis yang menawarkan kerangka kerja (framework) sistematis bagi perguruan tinggi untuk terus meningkatkan kualitasnya.
Di tengah dunia BANI yang rapuh (brittle) dan kerap sulit diprediksi, PPEPP menjadi penopang yang kokoh. Pendekatan ini tidak hanya membantu institusi pendidikan bertahan, tetapi juga berpeluang tumbuh dan berkembang dalam menghadapi tantangan zaman.
Proses Penetapan Standar (dalam PPEPP) memberikan ruang bagi universitas untuk menetapkan standar yang fleksibel namun tetap berorientasi pada pencapaian hasil yang optimis. Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) yang terencana dengan baik menciptakan program kerja yang terintegrasi, menjaga rasa stabilitas di tengah kegelisahan (anxiousness). Evaluasi Pemenuhan Standar dan Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memungkinkan perguruan tinggi memahami pola-pola yang tidak linier dalam pendidikan, sementara Peningkatan Standar (dalam PPEPP) berkelanjutan menjadi kunci adaptasi dan transformasi di tengah perubahan yang sering kali tidak dapat dipahami (incomprehensible).
Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang menetapkan standar kompetensi lulusan yang mencerminkan kompetensi dan skills abad ke-21, seperti kemampuan berpikir kritis, literasi digital, dan kolaborasi lintas budaya. Dengan optimisme yang terukur, mereka merancang kurikulum yang tidak hanya memenuhi kebutuhan industri saat ini namun juga memberikan ruang untuk inovasi dan kreativitas. Melalui penerapan standar PPEPP, standar ini tidak hanya menjaga visi ideal namun juga peta jalan yang membimbing Universitas Sangkuriang menuju hasil yang terukur, efektif dan efisien.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Edward Sallis, dalam “Total Quality Management in Education,” memberikan inspirasi penting tentang bagaimana institusi dapat mengembangkan strategi mutu yang tangguh. Ia menekankan bahwa visi, misi, dan nilai adalah pilar utama yang memberikan arah dan stabilitas di tengah ketidakpastian.
Dalam Bab 14, Sallis memperkenalkan metode “SWOT analysis” sebagai alat strategis yang sangat penting. Dengan memahami kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats), perguruan tinggi dapat merancang rencana strategis yang tidak hanya reaktif namun juga “proaktif” dalam menghadapi tantangan era BANI.
Konsep “Moments of Truth” dari Sallis juga sangat relevan. Dalam konteks pendidikan tinggi, momen-momen ini mencakup pengalaman penting mahasiswa, seperti interaksi dan komunikasi dengan dosen, proses pendaftaran yang mudah, dan layanan akademik yang responsif berbasis online. Momen-momen ini menentukan bagaimana mahasiswa dan stakeholder lain memandang kualitas dan profesional institusi.
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management memungkinkan perguruan tinggi untuk mengelola kompleksitas dengan lebih baik. Hal ini juga ditekankan juga dalam Permendikbudristek 53 Tahun 2023, pasal 69 ayat (1)b yang berbunyi: Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi.
Dalam tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), analisis SWOT membantu menciptakan standar ideal (optimis) yang sesuai dengan kebutuhan masa kini dan masa depan. Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) berfokus pada penciptaan “Moments of Truth” yang positif, misal melalui pengembangan kurikulum yang relevan, pelatihan dosen, dan penyediaan layanan yang unggul.
Evaluasi Pemenuhan Standar dan Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memungkinkan perguruan tinggi untuk membaca pola perubahan yang tidak linier dan merancang solusi adaptif. Peningkatan Standar yang berkelanjutan (dalam PPEPP) menjadi jantung dari integrasi ini, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tidak hanya memperbaiki kondisi saat ini namun juga mempersiapkan keunggulan kompetitif untuk masa depan.
Sallis juga menegaskan bahwa inovasi adalah hasil dari budaya yang mendukung dan kepemimpinan yang visioner. Dalam era BANI, budaya inovasi harus menekankan partisipasi, komunikasi yang transparan, dan komitmen terhadap pembelajaran berkelanjutan. Universitas Sangkuriang mengadopsi pendekatan ini dengan melibatkan seluruh stakeholder dalam semua tahap siklus PPEPP.
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
“Strategi tanpa taktik adalah jalan paling lambat menuju kemenangan. Taktik tanpa strategi adalah kebisingan sebelum kekalahan,” merupakan interpretasi dari karya Sun Tzu, seorang ahli strategi dalam ilmu peperangan.
Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management adalah strategi yang tidak hanya menyelamatkan perguruan tinggi namun juga menciptakan landasan yang kokoh untuk prestasi dan keberlanjutan di masa depan.
Kasus Universitas Sangkuriang mengajarkan bahwa tantangan besar dapat diubah menjadi peluang besar melalui pendekatan yang strategis dan berkelanjutan. Dengan visi dan komitmen yang kuat terhadap mutu, perguruan tinggi dapat menjadi pelopor inovasi di tengah dunia yang rapuh, cemas dan tidak dapat diprediksi. Stay Relevant!
Di era tak pasti, arah pun kabur,
Mutu jadi lentera, sinarnya tak luntur.
PPEPP dan strategi, menyatu dalam asa,
Mengubah tantangan, jadi cahaya.
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Bayangkan sebuah perguruan tinggi fiktif bernama “Universitas Sangkuriang”. Dalam beberapa tahun terakhir, Kampus Sangkuriang menghadapi masalah besar: tingkat kelulusan yang stagnan, keterlibatan mahasiswa yang rendah, dan kritik dari stakeholder terkait relevansi kurikulumnya.
Meskipun mereka telah berupaya menerapkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), hasilnya belum menggembirakan. Para pemimpin Universitas Sangkuriang mulai bertanya-tanya, apakah ada cara-cara baru, pendekatan baru yang bisa mengurai benang kusut ini?
Di sinilah pentingnya “tools canggih” dalam SPMI. Dengan memanfaatkan pendekatan Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar ( 5 Siklus PPEPP) serta alat-alat praktis seperti yang dijelaskan oleh Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education, institusi pendidikan seperti Kampus Sangkuriang dapat mengubah tantangan (threats) menjadi peluang (opportunities).
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Sistem PPEPP adalah inti sari dari SPMI, yang terdiri dari lima siklus utama: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar. Dalam setiap tahap ini, perguruan tinggi membutuhkan alat analitik untuk memastikan proses berjalan sesuai rencana. Alat-alat ini bukan hanya membantu identifikasi masalah, namun juga menawarkan solusi yang inspiratif dan terstruktur.
Setiap langkah dalam siklus PPEPP sejatinya adalah pilar yang menopang keberlanjutan mutu. Tahap Penetapan Standar menjadi kompas yang mengarahkan visi perguruan tinggi, sementara Tahap Pelaksanaan Standar adalah roda yang menggerakkan upaya menuju tujuan. Tahap Evaluasi Pemenuhan Standar berfungsi sebagai cermin, memperlihatkan dengan jujur hasil dari perjalanan yang ditempuh. Tahap Pengendalian Pelaksanaan Standar memberikan kendali atas potensi penyimpangan, dan peningkatan menghadirkan esensi evolusi yang tak henti. Ketika kelima tahapan ini dikelola dengan presisi dan dedikasi, InsyaAllah institusi akan menemukan jalannya menuju kemajuan yang berkelanjutan.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Bab 10 dari buku Edward Sallis memberikan wawasan mendalam tentang berbagai alat yang dapat diterapkan dalam TQM di pendidikan. Berikut penjelasannya:
Sallis menekankan bahwa tools ini tidak hanya sekadar alat teknis, tetapi juga katalis untuk perubahan budaya mutu dalam organisasi. Alat-alat diatas mendorong pendekatan berbasis data dan kolaborasi yang memperkuat budaya mutu. Masih banyak alat-alat lain yang dapat digunakan fungsinya, misalnya: Histogram, Control Charts, Decision Matrix, SWOT Analysis, Force Field Analysis, Affinity Diagram, Scatter Diagram, Cause-and-Effect Matrix, Run Chart, Nominal Group Technique (NGT), Cost-Benefit Analysis, Kano Model dan lain sebagainya.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Penggunaan tools ini dalam setiap tahap PPEPP menciptakan sinergi yang kuat. Penetapan standar menjadi lebih akurat dengan brainstorming, pelaksanaan menjadi lebih efisien dengan flowcharts, evaluasi lebih mendalam dengan fishbone diagrams, dan pengendalian lebih terarah dengan Pareto analysis.
Kombinasi ini memungkinkan perguruan tinggi untuk tidak hanya memecahkan masalah (problem solving) namun juga mencegahnya (kegiatan preventif) di masa depan.
Lebih dari sekadar mekanisme, sinergi ini menciptakan ekosistem yang berorientasi pada mutu berkelanjutan. Dengan setiap tools yang digunakan secara strategis, perguruan tinggi dapat menanamkan pola pikir berbasis solusi di seluruh tingkat organisasi. Transformasi ini tidak hanya menyelesaikan persoalan spesifik, namun juga memperkuat komitmen semua stakeholder internal untuk bergerak menuju visi bersama, membangun institusi yang inovatif, adaptif, dan tangguh menghadapi perubahan.
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Dengan penerapan PPEPP yang diperkaya oleh tools canggih seperti yang disarankan oleh Edward Sallis, Kampus Sangkuriang dan institusi serupa—dapat melepaskan diri dari belenggu masalah mutu yang kompleks. Transformasi yang sejati mungkin membutuhkan waktu, namun pendekatan yang sistematis dan berbasis data menjadikan setiap langkah, sekecil apa pun, penting sebagai pijakan menuju perubahan besar.
Perlu diingat juga bahwa tools saja tidak cukup tanpa pemahaman dan kebijaksanaan pengguna. Seperti ungkapan bijak, “A fool with a tool is still a fool.” Dalam konteks pendidikan tinggi, alat-alat terbaik hanya akan berdampak jika digunakan oleh individu yang trampil, berkomitmen dan memiliki visi yang kuat.
Dengan memadukan alat yang tepat dengan kompetensi yang mendalam, perguruan tinggi dapat terus berinovasi dan bersinar cemerlang di tengah tantangan zaman. Stay Relevant!
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Seorang rektor perguruan tinggi terkemuka duduk di ruang rapat dengan ekspresi yang penuh perenungan. Beliau berpikir bagaimana cara menemukan solusi terbaik untuk penguatan sistem mutu yang ada. Hasil evaluasi program penjaminan mutu menunjukkan tren yang stagnan. Mahasiswa merasa kurang terlibat, dosen mengeluhkan beban administratif yang semakin berat, dan standar mutu hanya sekadar formalitas di atas kertas.
Dalam suasana rumit ini, salah satu anggota tim penjaminan mutu berdiri dan berkata, “Bagaimana jika kita mulai dengan membangun teamwork (tim kerja) yang lebih kuat?”
Pertanyaan sederhana ini rupanya menjadi pemicu transformasi besar yang mengubah wajah perguruan tinggi tersebut. Jangan kemana-mana, mari kita ikuti kisah selanjutnya, semangat!
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Penguatan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di perguruan tinggi adalah kunci keberhasilan dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Melalui pendekatan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), perguruan tinggi dapat memastikan bahwa seluruh aspek Tridharma—pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat—berjalan sesuai standar dan terus dikembangkan agar semakin baik.
Namun, keberhasilan PPEPP tidak cukup bila hanya mengandalkan prosedur teknis. “Kolaborasi tim yang solid” menjadi esensi dalam menyatukan berbagai langkah kecil (connecting the dots) menjadi perubahan besar.
Edward Sallis, dalam buku Total Quality Management in Education, menyebutkan bahwa kerja tim adalah blok bangunan kualitas yang fundamental. Melalui kerja tim, setiap individu membawa kontribusi unik yang, jika digabungkan, menciptakan sinergi luar biasa. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengatasi masalah, namun juga berkontribusi membangun budaya mutu yang holistik.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Sallis menguraikan bahwa tim kerja yang efektif memiliki beberapa karakteristik penting, seperti: tujuan bersama (shared goals) , komunikasi yang terbuka (open communication), dan kepemimpinan yang mendukung (Supportive Leadership).
Ia juga menjelaskan bahwa pembentukan tim melewati beberapa tahap, mulai dari “forming” (pembentukan) hingga “performing” (pelaksanaan). Dalam konteks SPMI, tahap-tahap ini menjadi inspirasi untuk mengintegrasikan berbagai perpustakaan, program studi, unit kerja, seperti biro akademik, fakultas, dan unit penjaminan mutu, ke dalam satu visi besar.
Selain itu, konsep “Quality Circles” (gugus kendali mutu) dari Sallis sangat relevan untuk diaplikasikan dalam evaluasi, inovasi dan peningkatan mutu. Quality Circles adalah kelompok kecil yang secara rutin bertemu untuk mendiskusikan dan memecahkan problem mutu di tempat kerja. Konsep ini sangat cocok diterapkan pada tahap evaluasi dan pengendalian PPEPP, di mana masukan dari berbagai stakeholder menjadi sangat penting.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Pada Tahap Penetapan Standar (dalam PPEPP), kerja tim diperlukan untuk menyelaraskan visi, misi, dan nilai institusi ke dalam standar operasional yang jelas. Standar harus disusun SMART (spesific, measurable, attainable, relevant dan timed). Proses ini membutuhkan diskusi lintas unit untuk memastikan standar yang ditetapkan cukup optimis dan relevan dengan kebutuhan mahasiswa dan dunia kerja.
Tahap Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memerlukan kepemimpinan (leadership) yang mampu menginspirasi dan memberdayakan tim. Dengan komunikasi dan motivasi yang efektif, tim dapat mengatasi berbagai kendala yang muncul selama implementasi.
Tahap Evaluasi Pemenuhan dan Pengendalian Pelaksanaan Standar (dalam PPEPP) memerlukan analisis data yang mendalam, yang hanya dapat dilakukan melalui kerja sama lintas unit. Forum diskusi dan brainstorming menjadi alat utama untuk menentukan langkah koreksi, korektif dan preventif yang tepat.
Akhirnya, Tahap Peningkatan Standar (dalam PPEPP) memerlukan semangat inovasi. Tim yang solid mampu menciptakan strategi baru, standar baru dan target baru seperti pembelajaran berbasis teknologi atau digitalisasi layanan, untuk meningkatkan pengalaman mahasiswa dan memenuhi kebutuhan dunia industri.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Kolaborasi tim bukan hanya alat teknis semata, namun juga, menjadi dasar dari budaya kualitas. Dengan membangun kerja tim yang solid, perguruan tinggi tidak hanya mencapai target standar SPMI, namun juga menciptakan lingkungan yang produktif, inspiratif dan inovatif. Pemimpin yang memahami dinamika tim mampu menciptakan atmosfer di mana setiap anggota merasa dihargai dan termotivasi untuk memberikan hasil yang terbaik.
Sebagai penutup, mari renungkan kata-kata Aristoteles: “Quality is not an act; it is a habit.” Transformasi SPMI melalui kolaborasi tim bukanlah pekerjaan sesaat, melainkan perjalanan panjang, kebiasaan yang menghubungkan setiap titik menuju keunggulan. Stay Relevant!
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Universitas Sangkuriang (fiktif), sebuah perguruan tinggi di Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam penerapan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Sebagai institusi yang berkembang cukup pesat, Universitas Sangkuring merasa bahwa SOP (standard operating procedure) mereka, yang terlampau rinci, kaku dan juga belum terintegrasi dengan SPMI, justru memperlambat proses inovasi. Ketika menghadapi tuntutan akreditasi BAN-PT dan tekanan dari stakeholder untuk menghasilkan lulusan berkualitas, universitas ini memutuskan untuk mengadopsi pendekatan baru, yaitu: “SOP berbasis prinsip”. Langkah ini tidak hanya mengubah cara kerja organisasi, namun juga meningkatkan daya adaptasi transformasional institusi terhadap perubahan dinamika eksternal.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan elemen penting bagi perguruan tinggi dalam memastikan mutu pendidikan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Dengan kerangka siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan standar), SPMI bertujuan menumbuhkan proses yang konsisten, berkelanjutan, dan selaras dengan visi misi institusi. Tetapi faktanya, banyak perguruan tinggi yang terjebak dengan SOP tradisional yang terlalu rinci dan kaku sehingga membatasi inovasi dan fleksibilitas organisasi. Pendekatan berbasis prinsip, seperti yang sedang diterapkan Universitas Sangkuriang, menawarkan harapan baru. Dengan mengurangi rincian prosedur yang kaku dan menggantinya dengan panduan strategis, institusi dapat lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan regulasi dan kebutuhan stakeholder. Hal ini juga sangat membantu dalam hal dokumen yang fleksibel, tidak perlu sering di update ketika menghadapi perubahan kebijakan.
Prosedur berbasis prinsip memberikan fokus pada hasil akhir daripada sekadar mematuhi proses tertentu.
Pendekatan ini sesuai dengan semangat Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 yang memberi otonomi kepada perguruan tinggi untuk menyesuaikan implementasi SPMI dengan konteks dan karakteristik institusi. Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang memodifikasi SOP mereka dengan menetapkan prinsip fleksibilitas dalam penilaian kinerja dosen. Sebelumnya, evaluasi didasarkan pada sistem rigid dengan indikator kuantitatif yang seragam. Setelah transformasi, prinsip “pembelajaran berpusat pada mahasiswa” menjadi dasar, memungkinkan dosen menyesuaikan metode pembelajaran mereka dengan kebutuhan mahasiswa. Hasilnya, kepuasan pembelajar meningkat, yang tercermin dalam survei internal yang menunjukkan kenaikan kepuasan mahasiswa.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Kontekstualisasi menjadi pilar utama dalam pendekatan prosedur berbasis prinsip. Setiap SOP harus dirancang untuk mencerminkan dan mendukung visi serta misi institusi, sekaligus menjawab kebutuhan khusus para pemangku kepentingan. Universitas Sangkuriang, sebagai contoh, menempatkan kebutuhan mahasiswa sebagai prioritas utama. Dengan keberagaman (diversity) latar belakang mahasiswa yang dimilikinya, universitas ini mengadopsi pendekatan yang inklusif, memastikan setiap individu merasa diterima dan memiliki kesempatan yang setara untuk meraih keberhasilan akademik.
Fleksibilitas menjadi pilar berikutnya. Prosedur berbasis prinsip memberikan ruang bagi inovasi dan memungkinkan adaptasi terhadap dinamika perubahan eksternal. SOP di Universitas Sangkuriang telah dirancang ulang terintegrasi dengan teknologi pendidikan terkini, menjadikannya lebih relevan dengan kebutuhan zaman tanpa mengorbankan standar mutu. Dengan cara ini, perguruan tinggi tidak lagi dibebani kebutuhan untuk terus-menerus merevisi dokumen ketika konteks dan tantangan berubah, melainkan mampu menyesuaikan diri secara elegan dalam setiap situasi.
Berorientasi hasil (outcome based) melengkapi pilar-pilar tersebut dengan menempatkan capaian sebagai fokus utama. Alih-alih tenggelam dalam kerumitan proses administratif, prosedur ini memastikan bahwa dampak nyata menjadi tolok ukur keberhasilan. Contohnya, keberhasilan suatu kegiatan tidak lagi diukur hanya dari kelengkapan dokumen, melainkan dari bagaimana kegiatan tersebut meningkatkan kompetensi lulusan, menjadikan mereka lebih siap menghadapi dunia kerja dan berkontribusi nyata bagi masyarakat. Dengan pendekatan ini, prosedur (SOP) menjadi lebih bermakna dan relevan bagi tujuan institusi yang lebih besar.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Misalnya, SOP tradisional (model lama) mengatur bahwa setiap mahasiswa wajib melakukan peminjaman buku secara langsung melalui loket layanan dengan mengisi formulir manual, disertai batas waktu peminjaman selama tujuh hari yang tidak dapat diperpanjang. Buku yang terlambat dikembalikan dikenakan denda sebesar Rp1.000 per hari. Selain itu, pengelolaan koleksi perpustakaan dilakukan dengan inventarisasi fisik setiap tiga bulan, dengan petugas diwajibkan mengikuti daftar ceklis tetap tanpa variasi.
Sebaliknya, SOP berbasis prinsip mengutamakan fleksibilitas dan inovasi. Dalam pendekatan ini, tujuan utama adalah memastikan layanan perpustakaan mudah diakses dan mendukung kebutuhan mahasiswa. Prosedur dipandu oleh prinsip inklusivitas dan adaptasi teknologi. Misalnya, mahasiswa dapat meminjam buku melalui sistem daring atau langsung di perpustakaan. Durasi peminjaman dapat disesuaikan berdasarkan jenis buku dan kebutuhan mahasiswa, dengan opsi perpanjangan yang fleksibel. Koleksi perpustakaan dikelola dengan pendekatan berbasis data, di mana petugas dapat menggunakan analitik digital untuk melacak penggunaan koleksi dan memprioritaskan penambahan buku yang relevan bagi mahasiswa.
Aspek | SOP Tradisional | SOP Berbasis Prinsip |
---|
Fokus | Prosedur teknis rinci, seperti peminjaman manual dan denda tetap. | Prinsip fleksibilitas, teknologi, dan inklusivitas dalam layanan. |
Metode Peminjaman | Harus dilakukan langsung di loket dengan formulir manual. | Dapat dilakukan secara daring melalui sistem aplikasi atau langsung di perpustakaan. |
Durasi Peminjaman | Tetap tujuh hari tanpa fleksibilitas. | Disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dan jenis koleksi, dengan opsi perpanjangan. |
Pengelolaan Koleksi | Inventarisasi manual setiap tiga bulan. | Menggunakan data analitik untuk memantau penggunaan dan memperbarui koleksi. |
Kelebihan | Konsistensi dan kemudahan implementasi untuk situasi stabil. | Responsif terhadap kebutuhan mahasiswa dan perubahan teknologi. |
Kekurangan | Kaku dan kurang fleksibel menghadapi kebutuhan dinamis. | Membutuhkan kompetensi dan adaptasi staf untuk memahami dan menerapkan prinsip. |
Dalam pengelolaan cuti kerja di perguruan tinggi, SOP tradisional (model lama) yang detail biasanya menetapkan prosedur yang ketat dengan struktur yang kaku. Sebagai contoh, seorang dosen yang ingin mengambil cuti tahunan harus mengajukan permohonan cuti dengan mengisi formulir resmi yang dicetak, disertai dokumen pendukung seperti jadwal perkuliahan dan tanggung jawab akademik. Permohonan ini harus disampaikan minimal 14 hari kerja sebelum tanggal cuti yang diinginkan dan memerlukan tanda tangan berjenjang dari Ketua Program Studi, Dekan, hingga bagian kepegawaian. Setelah semua pihak menyetujui, dokumen tersebut diserahkan ke bagian SDM untuk pencatatan akhir. Proses ini memastikan tidak ada konflik jadwal atau tanggung jawab akademik yang terabaikan, amun sering kali memakan waktu dan kurang fleksibel, terutama jika kebutuhan cuti bersifat mendadak, seperti kondisi kesehatan atau masalah keluarga.
Sebaliknya, SOP berbasis prinsip mengedepankan fleksibilitas dan tanggung jawab profesional tanpa mengabaikan kelancaran tugas operasional perguruan tinggi. Dalam pendekatan ini, dosen dapat mengajukan cuti melalui sistem daring, dengan menyertakan informasi penting seperti tanggal cuti yang diinginkan, rencana pengalihan tugas, dan status perkuliahan. Prinsip tanggung jawab diterapkan dengan memberikan kebebasan kepada dosen untuk merancang solusi pengganti, misalnya, menjadwalkan ulang kelas atau menunjuk dosen lain sebagai pengganti selama periode cuti. Persetujuan dari atasan langsung, seperti Ketua Program Studi atau Dekan, dilakukan melalui platform digital (online) tanpa memerlukan dokumen fisik. Prosedur ini dirancang untuk mempermudah proses administrasi, menjaga kelancaran operasional, dan tetap mempertimbangkan kebutuhan individu dosen.
Aspek | SOP Tradisional | SOP Berbasis Prinsip |
---|
Metode Pengajuan | Mengisi formulir manual dan dokumen fisik. | Pengajuan daring melalui sistem digital. |
Waktu Proses | Minimal 14 hari sebelum cuti. | Fleksibel, memungkinkan pengajuan mendadak sesuai kebutuhan. |
Persetujuan | Berjenjang, membutuhkan tanda tangan fisik dari berbagai pihak. | Persetujuan langsung melalui platform digital. |
Pengalihan Tugas | Harus dirinci dalam dokumen formal. | Dosen diberikan kebebasan mengatur jadwal pengganti. |
Kelebihan | Struktur jelas dan ketat untuk memastikan kepatuhan. | Fleksibel dan responsif terhadap situasi mendesak. |
Kekurangan | Kaku, memakan waktu lama. | Membutuhkan inisiatif dan tanggung jawab dari karyawan. |
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Pendekatan prosedur berbasis prinsip yang diterapkan Universitas Sangkuriang menjadi cermin bahwa inovasi dalam manajemen mutu pendidikan adalah sebuah keniscayaan yang harus diupayakan. Dengan menyesuaikan SOP berdasarkan prinsip fleksibilitas, orientasi hasil, dan kontekstualisasi, perguruan tinggi akan mampu melampaui keterbatasan pendekatan SOP tradisional yang sering kali kaku dan tidak adaptif.
Prosedur berbasis prinsip tidak hanya menghidupkan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sebagai instrumen perubahan, namun juga memperkuat daya saing institusi dalam menghadapi dinamika global yang terus berubah dan penuh ketidakpastian.
Prinsip-prinsip inovasi dan peningkatan mutu ini selaras dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendorong umatnya untuk terus belajar dan memperbaiki keadaan. Sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang apabila melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (profesional dan sempurna).” (HR. Thabrani). Hadist ini menggarisbawahi pentingnya kesungguhan dalam bekerja dan dedikasi untuk mencapai hasil terbaik. Dengan menjadikan nilai-nilai ini sebagai landasan, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan kualitas akademiknya tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan bangsa. Stay Relevant!
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Bayangkan sebuah universitas kecil di kepulauan terpencil yang bernama Universitas Sangkuriang (fiktif). Dua tahun yang lalu, institusi ini menghadapi ujian dan tantangan yang cukup besar. Banyak mahasiswa mengeluhkan mutu pembelajaran yang monoton, sementara angka kelulusan turun drastis dan banyak yang drop out. Mitra industri juga mulai mempertanyakan relevansi lulusan terhadap kebutuhan pasar tenaga kerja. Di tengah keterpurukan dan krisis kepercayaan ini, Dr. Fulan, rektor baru membawa visi untuk merombak sistem manajemen internal organisasi. Pak rektor memantapkan diri untuk mengintegrasikan manajemen perguruan tinggi dengan SPMI yang berbasis siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP).
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), semenjak ada peraturan baru yaitu Permendikbudristek 53 Tahun 2023 Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, mewajibkan semua perguruan tinggi untuk mengintegrasikan SPMI ke dalam manajemen perguruan tinggi. Hal ini diatur dalam pasal 69 ayat (1)b yang berbunyi: Perguruan tinggi dalam mengimplementasikan SPMI mempunyai tugas: mengintegrasikan implementasi SPMI pada manajemen perguruan tinggi.
Sejak satu tahun yang lalu, langkah awal yang visioner, Universitas Sangkuriang menetapkan misi unik yang menarik (mission differentiation). Pak Rektor menetapkan standar mutu baru yang mengintegrasikan kebutuhan lokal dengan aspirasi global. Dalam satu tahun, mereka mulai melihat hasil yang menggembirakan. Kurikulum dirancang ulang dengan melibatkan umpan balik dari mahasiswa dan mitra industri. Metode pengajaran di kelas menjadi lebih interaktif, dosen dan karyawan diberikan pelatihan intensif. Evaluasi rutin seperti audit dan monev, tidak hanya menyoroti area yang perlu diperbaiki namun juga merayakan dan mengapresiasi capaian-capaian kecil yang dihasilkan unit kerja, hal ini jelas mendorong semangat dan motivasi banyak pihak.
Kisah ilustrasi ini menggambarkan bagaimana SPMI yang diimplementasikan secara strategis dan efektif mampu mengubah arah sebuah institusi.
Prinsip-prinsip yang disampaikan Edward Sallis dalam Bab 2 bukunya Total Quality Management in Education memberikan fondasi yang relevan untuk memahami esensi kualitas. Manajemen kualitas sebagai konsep dinamis yang dapat diterapkan secara sistemik dalam organisasi pendidikan tinggi. Melalui pendekatan siklus PPEPP yang efektif, Universitas Sangkuriang tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang menjadi institusi yang relevan, berdaya saing, dan adaptif terhadap tuntutan masyarakat di era yang kompetitif ini.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Menurut konsep SPMI, siklus PPEPP melibatkan tahapan berkesinambungan (iterasi) mulai dari penetapan standar, pelaksanaan operasional berbasis standar, evaluasi pemenuhan standar, pengendalian pelaksanaan standar guna memastikan kepatuhan, hingga peningkatan standar untuk memastikan keberlanjutan kualitas. Siklus ini mencerminkan proses yang dinamis, di mana setiap tahap memberikan masukan berharga untuk perbaikan yang berkelanjutan.
Pendekatan ini sejalan dengan gagasan Edward Sallis bahwa kualitas dalam pendidikan tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang statis, tetapi harus terus berkembang, baik dari perspektif absolut maupun relatif.
Sallis menyoroti bahwa kualitas absolut berkaitan dengan pencapaian standar tertinggi tanpa kompromi. Sebagai contoh, universitas yang memiliki laboratorium berstandar internasional dengan peralatan tercanggih dan dosen yang telah menerima pengakuan global menunjukkan kualitas absolut. Di sisi lain, kualitas relatif berfokus pada kesesuaian tujuan (“fitness for purpose”). Sebagai contoh, perguruan tinggi di daerah terpencil yang mendesain program studi vokasi yang relevan dengan kebutuhan lokal, seperti pertanian atau pariwisata berbasis komunitas, mencerminkan kualitas relatif karena relevansi dan efisiensinya terhadap kebutuhan masyarakat sekitar.
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Dalam konteks pendidikan tinggi, implementasi SPMI yang kuat memerlukan pemahaman mendalam tentang “konsep kualitas”.
Institusi harus mampu menetapkan standar yang tidak hanya mencerminkan aspirasi akademik tetapi juga relevan dengan kebutuhan stakeholder seperti mahasiswa, industri, dan masyarakat luas.
Konsep Edward Sallis tentang kualitas sebagai kombinasi antara perspektif prosedural dan transformasional memberikan arah yang jelas untuk mengintegrasikan kedua pendekatan ini dalam SPMI. Pendekatan prosedural menekankan kepatuhan terhadap standar dan akuntabilitas, seperti dalam pengelolaan data akademik, penyusunan kurikulum, dan pelaksanaan akreditasi. Di sisi lain, pendekatan transformasional mendorong institusi untuk fokus pada inovasi berkelanjutan, pengembangan kapasitas tenaga pengajar, dan peningkatan pengalaman belajar mahasiswa.
Sebagai ilustrasi, Universitas Sangkuriang (fiktif) menerapkan program “Smart Village Initiative,” yang bertujuan untuk mendukung pembangunan pedesaan dengan inovasi teknologi berbasis lokal. Program MBKM ini memadukan kualitas absolut melalui pengenalan teknologi mutakhir seperti aplikasi pertanian pintar dengan kualitas relatif yang disesuaikan dengan kebutuhan petani lokal. Mahasiswa diberdayakan untuk terjun langsung ke lapangan, mempelajari masalah spesifik masyarakat pedesaan, dan mengembangkan solusi yang praktis serta relevan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan pengalaman belajar mahasiswa namun juga memberikan dampak nyata kepada masyarakat sekitar, mencerminkan keseimbangan antara kualitas global dan kebutuhan lokal.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Peran stakeholder dalam menentukan kualitas, sebagaimana digambarkan oleh Sallis, juga menjadi faktor penting dalam penguatan SPMI. Dalam hal ini, mahasiswa sebagai stakeholder utama pendidikan tinggi memegang peran sentral dalam mendefinisikan kualitas layanan akademik dan non-akademik. Proses PPEPP memungkinkan perguruan tinggi untuk secara aktif mengintegrasikan umpan balik mahasiswa ke dalam sistem manajemennya, baik melalui survei kepuasan, evaluasi hasil belajar, maupun keterlibatan mahasiswa dalam pengambilan keputusan akademik. Dengan demikian, kualitas tidak hanya diukur melalui standar formal namun juga melalui persepsi dan tingkat kepuasan para mahasiswa.
Baca juga: Mengasah Gergaji SPMI: Inspirasi dari The 7 Habits
Lebih jauh, Sallis menekankan bahwa “mutu” tidak dapat dicapai melalui kontrol eksternal semata, tetapi memerlukan komitmen internal yang kuat dari seluruh anggota organisasi. Hal ini tercermin dalam prinsip PPEPP yang mensyaratkan “partisipasi kolektif” dalam setiap tahap siklus.
Institusi harus membangun budaya organisasi yang mendorong keterbukaan, akuntabilitas, dan pembelajaran bersama. Budaya seperti ini mendukung implementasi Total Quality Management (TQM), di mana setiap individu memiliki tanggung jawab terhadap kualitas dan diberdayakan untuk berkontribusi dalam pencapaian visi institusi.
Penting pula untuk dicatat bahwa SPMI yang berbasis PPEPP tidak hanya berorientasi pada kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga pada peningkatan berkelanjutan.
Dalam pandangan Edward Sallis, kualitas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan harus dinamis dan responsif terhadap perubahan lingkungan eksternal.
Dengan mengadopsi prinsip Total Quality Management (TQM), perguruan tinggi dapat mengembangkan mekanisme yang fleksibel untuk menghadapi tantangan seperti disrupsi teknologi, kebutuhan pasar tenaga kerja yang berubah-ubah, dan meningkatnya persaingan global dalam sektor pendidikan tinggi.
Sebagai contoh, Universitas Sangkuriang (fiktif) menghadapi tantangan ketika pandemi memaksa peralihan mendadak ke pembelajaran daring. Dengan mengandalkan prinsip “Pendidikan harus tetap inklusif dan berkualitas dalam semua situasi,” mereka berhasil merancang platform hybrid yang tidak hanya mendukung mahasiswa dengan akses internet terbatas, tetapi juga memperkenalkan modul pembelajaran adaptif berbasis data. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap mahasiswa, terlepas dari latar belakangnya, tetap dapat menerima pendidikan yang bermakna. Universitas ini menunjukkan bahwa dengan prinsip yang kuat, institusi dapat merespons perubahan secara efektif tanpa kehilangan fokus pada esensi kualitas.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Sebagai penutup, prinsip-prinsip Total Quality Management yang dijelaskan oleh Edward Sallis dapat memberikan manfaat besar dalam penguatan SPMI melalui pendekatan PPEPP.
Kualitas bukanlah sekadar hasil akhir, melainkan sebuah proses yang terus berkembang seiring perubahan zaman dan kebutuhan pemangku kepentingan.
Ilustrasi kisah Universitas Sangkuriang memberikan contoh bagaimana prinsip-prinsip ini dapat diterapkan. Ketika Rektor Universitas Sangkuriang yang baru dilantik menyadari bahwa institusinya tertinggal dalam pengembangan pendidikan digital, ia mengambil langkah berani. Dengan visi yang jelas, ia memimpin transformasi besar dengan mengadopsi pendekatan PPEPP yang fokus pada penguatan mutu pendidikan daring. Melalui kolaborasi dengan dosen, mahasiswa, dan mitra industri, rektor berhasil membangun sistem pembelajaran yang tidak hanya memenuhi standar formal (minimal) namun juga berhasil melampaui standar sehingga dapat memuaskan kebutuhan mahasiswa dan masyarakat lokal.
Ungkapan bijak mengatakan, “Quality in a service or product is not what you put into it. It is what the customer gets out of it.” Kutipan ini menggarisbawahi pentingnya fokus pada dampak yang dirasakan oleh mahasiswa dan masyarakat sebagai penerima manfaat utama dari pendidikan tinggi. Dengan siklus PPEPP yang responsif, evaluasi berbasis data, dan kolaborasi yang erat dengan semua pemangku kepentingan, Universitas Sangkuriang menjadi contoh perguruan tinggi yang mampu menjadi agen perubahan yang relevan di tengah tantangan global. Komitmen terhadap kualitas ini tidak hanya memastikan keberlanjutan, tetapi juga menciptakan nilai yang bermakna bagi semua pihak yang dilayani. Stay Relevant!
Baca juga: Efek Pygmalion: Strategi Tersembunyi di Balik Penguatan SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi