
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Disclaimer:
“Tulisan ini disusun dalam dua semangat berbeda: pertama, sebagai inspirasi teknis bagi rekan-rekan kampus yang harus tetap menjalankan regulasi; lihat blog Inspirasi SPMI, kedua, sebagai masukan kritis apabila ruang revisi kebijakan masih terbuka. Kritik bukan berarti menolak mutu, tapi menuntut sistem yang lebih sehat.”
Ketika berbicara tentang mutu pendidikan tinggi, kita sering kali terburu-buru mencari format, instrumen, atau sistem yang bisa langsung diadopsi. Namun, jika kita melihat ke kampus-kampus terbaik di dunia seperti Harvard, MIT, Oxford, dan NUS, yang tampak justru bukan keseragaman bentuk, melainkan keluwesan sistem. Mereka tidak menjadikan mutu sebagai soal kepatuhan administratif, tetapi sebagai bagian dari budaya berpikir, berdiskusi, dan terus bertumbuh.
Di tengah arus regulasi mutu yang masih terasa teknis dan rinci, melakukan benchmarking digital ke kampus-kampus besar dunia membuka mata bahwa penjaminan mutu tidak selalu harus kaku.
Justru, semakin tinggi reputasi sebuah institusi, semakin longgar sistemnya terlihat di permukaan. Tapi jangan salah, kelonggaran itu bukan kelemahan, melainkan cermin dari kedewasaan manajerial dan kuatnya budaya akademik yang menopang sistem tersebut dari dalam.
Universitas seperti NUS di Singapura, sejak menjadi universitas otonom pada tahun 2006, mengembangkan sistem mutu internal yang kontekstual. Mereka mengikuti kerangka nasional QAFU, tetapi diberi keleluasaan penuh untuk menentukan bagaimana standar, proses evaluasi, dan tindak lanjutnya dilakukan (MOE Singapore, 2006). Siklus PDCA digunakan sebagai filosofi umum manajemen mutu, namun tidak diwajibkan dalam bentuk format yang kaku.
MIT dan Harvard, misalnya, menjalankan akreditasi melalui badan regional NECHE, namun tetap bebas membangun sistem mutu internal.
Fokus utama mereka bukan pada dokumentasi administratif, melainkan pada refleksi institusional melalui umpan balik mahasiswa, diskusi akademik, dan evaluasi lintas unit. Seperti yang dikemukakan Deming (1986), mutu sejati adalah hasil dari pembelajaran terus-menerus, bukan kepatuhan sesaat terhadap indikator atau target jangka pendek.
Oxford University memiliki sistem penjaminan mutu yang kuat tetapi tidak seragam. Setiap fakultas memiliki otonomi dalam menyusun proses refleksi dan pengendalian mutu sesuai dengan kebutuhan keilmuannya masing-masing.
Prinsip dasar yang dianut adalah transparansi, kolaborasi, dan kemampuan untuk menyesuaikan sistem dengan perubahan konteks akademik dan sosial (QAA UK, 2022).
Di Harvard, sistem QA dikembangkan secara desentralistik, dengan unit-unit seperti Harvard Business School atau School of Public Health membentuk kerangka mutu internal mereka sendiri. Masing-masing menjalankan siklus evaluasi dan peningkatan mutu yang tidak dibatasi oleh template formal. Ini sejalan dengan pendekatan total quality yang menekankan kualitas sebagai bagian dari budaya kerja, bukan sebagai aktivitas yang berdiri sendiri (Goetsch & Davis, 2014).
Salah satu ciri khas sistem mutu di kampus top dunia adalah adanya kepemilikan bersama. Mutu bukan hanya menjadi tugas unit penjaminan mutu, tetapi menjadi komitmen kolektif seluruh sivitas akademika.
Mahasiswa dilibatkan dalam penyusunan kebijakan akademik, dosen menjadi aktor utama dalam evaluasi dan pengembangan, dan pimpinan memfasilitasi proses refleksi ini secara strategis (Yukl, 2010; Goetsch & Davis, 2014).
Dalam kerangka manajemen, pendekatan ini merupakan integrasi antara POLC (fungsi manajemen: Planning, Organizing, Leading, Controlling) dan PDCA (siklus Plan, Do, Check, Act). Griffin (2022) menyebut bahwa perencanaan strategis dan siklus pengendalian adalah dua sisi dari koin yang sama—yang satu membentuk struktur, yang lain menghidupkannya.
Apa yang kita pelajari dari kampus-kampus dunia adalah bahwa mutu tumbuh dari partisipasi dan refleksi, bukan dari kepatuhan administratif semata. Dalam konteks Indonesia, Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 masih membawa semangat pengaturan yang sangat teknis.
Kewajiban penggunaan format PPEPP dan perangkat mutu yang seragam dikhawatirkan berisiko mengkerdilkan otonomi kampus dan menggeser fokus mutu dari budaya menjadi borang.
Menurut Denhardt & Denhardt (2007), dalam administrasi publik modern, peran pemerintah bukan lagi sebagai pengatur (steering), tetapi sebagai fasilitator (serving, not steering). Prinsip ini seharusnya menjadi pijakan dalam merancang regulasi mutu pendidikan tinggi. Pemerintah perlu memberi kerangka umum dan indikator dasar, namun membiarkan institusi menentukan jalannya sendiri. Ketika otonomi tumbuh, akuntabilitas justru menguat dari dalam.
Sebagai masukan terhadap Permen 53/2023, pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual sangat dibutuhkan. Sistem mutu internal seharusnya memungkinkan variasi metodologi, istilah, dan instrumen, asalkan memenuhi prinsip evaluasi dan peningkatan berkelanjutan. Negara tidak perlu mengatur cara berpikir kampus, cukup menetapkan hasil yang ingin dicapai dan membuka ruang dialog.
Belajar dari kampus dunia tidak berarti menyalin. Yang kita petik adalah semangatnya: membangun mutu yang tumbuh dari refleksi dan keterlibatan, bukan dari pemenuhan administratif semata. Mutu yang luwes justru lebih kuat, karena ia terhubung dengan kenyataan di dalam institusi, bukan hanya ekspektasi dari luar.
Kita tidak harus menjadi Oxford, Harvard atau MIT. Tapi kita bisa menanamkan prinsip yang sama: bahwa mutu sejati tumbuh dari rasa memiliki, dari refleksi yang jujur, dan dari kepercayaan bahwa setiap kampus tahu cara terbaik untuk berkembang.
Benchmarking bukanlah tentang meniru angka, tetapi memahami napas dari sistem yang hidup dan berkembang dalam ritme mereka sendiri – dengan irama mutu yang tumbuh dari dalam. Stay Relevant!
Kategori: Administrasi Publik, Benchmarking, Internasional
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di banyak perguruan tinggi, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) sering kali hanya dipahami sebagai tumpukan dokumen yang harus dipenuhi untuk keperluan akreditasi. Formatnya dipatuhi, isinya dilengkapi, tetapi semangat dasarnya sering luput dari perhatian: bahwa SPMI bukanlah sekadar formalitas, melainkan strategi manajemen mutu yang dirancang untuk menciptakan keunggulan institusional secara berkelanjutan.
Dalam konteks regulasi nasional, khususnya Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI menjadi bagian yang tak terpisahkan dari manajemen perguruan tinggi.
Namun esensinya jauh melampaui kepatuhan administratif. Ia adalah platform yang memberi ruang bagi organisasi untuk menata proses kerja, membangun budaya mutu, dan menciptakan perubahan yang nyata. Di sinilah empat perangkat SPMI memainkan peran penting—mereka bukan sekadar dokumen, melainkan pengungkit strategis.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan
Perangkat pertama dan paling mendasar adalah “Kebijakan SPMI”. Dokumen ini bukan hanya pernyataan niat, melainkan arah strategis mutu yang disepakati oleh pimpinan tertinggi perguruan tinggi.
Dokumen Kebijakan SPMI mengandung prinsip-prinsip dasar, nilai, serta komitmen institusi dalam membangun budaya mutu yang terstruktur dan sistematis. Dalam perspektif manajemen modern seperti dikemukakan Griffin, kebijakan yang jelas adalah pondasi dari fungsi manajerial pertama: perencanaan.
Kebijakan SPMI idealnya lahir dari kesadaran akan posisi strategis institusi (diferensiasi misi) di tengah ekosistem pendidikan tinggi. Ia menjadi kompas yang memandu penyusunan standar dan proses mutu. Tanpa arah yang jelas, sistem mutu akan mudah terjebak pada pendekatan reaktif—sekadar menjawab tuntutan luar, tanpa membangun kekuatan dari dalam.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Perangkat kedua adalah “Pedoman Penerapan Siklus PPEPP“—yang menjabarkan proses Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Di sinilah filosofi kaizen atau perbaikan berkelanjutan hidup dalam konteks pendidikan tinggi. Siklus ini bukan hanya prosedur administratif, melainkan instrumen strategis untuk memastikan mutu tidak stagnan, melainkan terus berkembang seiring waktu.
Dalam teori manajemen, PPEPP berfungsi sebagai sistem kontrol internal yang dinamis. Seperti dijelaskan oleh Griffin dalam Fundamentals of Management, fungsi kontrol memungkinkan organisasi menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan (Era VUCA dan BANI), memperkecil kesalahan, dan mengarahkan sumber daya ke tujuan yang tepat.
Dengan PPEPP yang efektif, perguruan tinggi tak hanya bertahan, tetapi mampu memimpin perubahan secara proaktif.
Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?
Perangkat ketiga, yaitu “Standar Mutu“, adalah bentuk konkret dari ekspektasi mutu dalam Tridharma perguruan tinggi. Standar ini mencakup kriteria masukan, proses, dan luaran yang harus dicapai oleh unit-unit kerja. Dalam konteks manajerial, standar berfungsi sebagai ukuran kinerja yang objektif—sebagaimana dijelaskan dalam kerangka pengendalian organisasi modern.
Standar mutu dalam SPMI bukan alat untuk menyeragamkan, melainkan fondasi untuk membangun keunikan institusi (diferensiasi misi).
Setiap perguruan tinggi diberi ruang untuk merumuskan standar berdasarkan karakter dan misi masing-masing. Ini sejalan dengan pendekatan kontingensi dalam manajemen, yang menekankan bahwa tidak ada satu solusi universal; strategi terbaik adalah yang paling sesuai dengan konteks spesifik organisasi.
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Perangkat terakhir dalam SPMI sering kali dipahami hanya sebagai formulir, laporan, atau bukti-bukti administratif. Padahal, Tata Cara Pendokumentasian justru menjadi penghubung utama antara dokumen dan tindakan, antara rencana dan pembuktian. Di sinilah kerja mutu yang tak kasat mata menjadi nyata dan tertelusuri.
Dalam praktik terbaik manajemen mutu, sistem ini diwujudkan melalui Document Control Center (DCC).
DCC bukan sekadar tempat penyimpanan file atau folder digital; ia adalah mekanisme pengendalian dokumen yang memastikan semua informasi mutu—mulai dari kebijakan, standar, hingga bukti pelaksanaan—dikelola secara terstruktur, terkendali, dan terdokumentasi dengan baik.
DCC memainkan peran penting dalam menjamin bahwa dokumen yang digunakan di seluruh unit kerja adalah versi terbaru dan sah. Ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal integritas sistem mutu. Dalam konteks PPEPP sebagai alat kaizen, DCC memfasilitasi proses evaluasi dan pengendalian yang dapat ditindaklanjuti, karena semua informasi terdokumentasi dengan akurasi dan keterlacakan yang tinggi.
Menurut Griffin (2022), salah satu fungsi penting dalam sistem kontrol organisasi adalah kemampuannya untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengelola informasi guna mendukung pengambilan keputusan yang lebih baik.
DCC adalah wujud konkret dari fungsi tersebut dalam ranah SPMI. Dengan dukungan DCC, perguruan tinggi tidak hanya siap menghadapi audit eksternal atau akreditasi, tetapi juga lebih siap untuk mengelola perubahan dan memperbaiki diri secara berkelanjutan.
Baca juga: Revisi Dokumen Strategis Kampus: Mana yang Harus Diperbarui Lebih Dulu?
SPMI tidak bisa dipandang hanya sebagai serangkaian kewajiban administratif. Ia adalah sistem strategis, alat manajerial, dan budaya institusional yang berorientasi pada perbaikan terus-menerus.
Empat perangkat utama—kebijakan, pedoman siklus PPEPP, standar mutu, dan tata cara dokumentasi—bukan sekadar format, melainkan pilar utama yang menopang mutu dan masa depan sebuah kampus.
Dengan menjadikan PPEPP sebagai alat kaizen dan mendesain standar mutu yang kontekstual, serta mengimplementasikan DCC sebagai sistem kendali informasi, perguruan tinggi dapat menjawab tantangan era disrupsi dengan kepercayaan diri. Lebih dari itu, melalui implementasi SPMI yang tepat, kampus tak hanya memenuhi regulasi, tetapi juga menciptakan nilai baru yang berkelanjutan—bagi mahasiswa, dosen, masyarakat, dan bangsa. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Stagnan? Mungkin Program Pelatihan Terabaikan!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Evaluasi dosen selama ini masih sering dipahami sebagai kewajiban administratif belaka. Mahasiswa diminta mengisi kuesioner di akhir semester, lalu hasilnya dikompilasi dan dijadikan bahan laporan. Dalam banyak kasus, hasil evaluasi hanya menjadi angka statistik yang dilihat sekilas oleh pimpinan atau dosen, tanpa proses reflektif yang bermakna. Padahal, di balik praktik evaluasi yang terkesan rutin ini, tersembunyi potensi besar untuk mendorong transformasi dalam budaya pengajaran dan pengembangan profesional dosen.
Dalam konteks pendidikan tinggi yang berorientasi mutu, evaluasi dosen seharusnya tidak lagi dilihat sebagai instrumen pengawasan semata, melainkan sebagai cermin pembelajaran bersama.
Evaluasi bukan tentang menghakimi, melainkan memahami. Ia menjadi ruang untuk bertanya: apa yang sudah berhasil? Apa yang perlu diperbaiki? Dan bagaimana pengajaran bisa lebih bermakna bagi mahasiswa?
Inilah semangat evaluasi yang menciptakan budaya reflektif—budaya yang menempatkan dosen sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Baca juga: Mengapa Standar Pengelolaan Harus Merata Hingga ke Prodi
Evaluasi dosen yang bermakna tidak cukup dilakukan hanya dengan menyebar kuesioner standar di akhir semester. Format semacam itu memang memiliki tempat dalam sistem mutu, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya bentuk umpan balik. Evaluasi sejati harus melibatkan proses refleksi dua arah: dari mahasiswa sebagai penerima manfaat langsung pembelajaran, dan dari dosen sendiri sebagai pelaksana proses akademik.
Evaluasi yang baik justru mendorong dosen untuk mengajukan pertanyaan kritis terhadap dirinya sendiri—tentang metode yang digunakan, respons mahasiswa, dan efektivitas pendekatan yang diterapkan.
Psikologi pembelajaran modern menggarisbawahi pentingnya umpan balik dalam proses belajar, baik bagi mahasiswa maupun pengajarnya. Dalam teori pembelajaran konstruktivis, seperti yang dikembangkan oleh Jerome Bruner dan John Dewey, proses belajar akan lebih kuat jika dilengkapi dengan refleksi terhadap pengalaman.
Menurut Dewey (1938), pengalaman tanpa refleksi adalah pengalaman yang tidak menghasilkan pembelajaran bermakna. Hal ini senada dengan pandangan Bruner (1960), bahwa pembelajaran efektif terjadi ketika peserta didik terlibat aktif dalam proses membangun makna dari pengalaman mereka.
Jika mahasiswa diharapkan belajar melalui refleksi, maka dosen pun harus berada dalam siklus pembelajaran yang sama—belajar dari pengalaman mengajar, dari dinamika kelas, dan dari suara mahasiswa. Evaluasi bukan akhir dari proses, tapi bagian dari siklus pembelajaran yang terus berkembang.
Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan
Di dunia akademik, refleksi bukan sekadar kontemplasi pribadi, tetapi bagian dari tanggung jawab profesional. Seorang dosen tidak hanya mengajar untuk memenuhi beban SKS, melainkan untuk membentuk manusia pembelajar yang kritis, adaptif, dan bermakna bagi lingkungannya. Dalam konteks ini, evaluasi dosen dapat menjadi jembatan antara kompetensi pedagogik dan pertumbuhan profesional berkelanjutan.
Refleksi atas hasil evaluasi memungkinkan dosen melihat dirinya dari sudut pandang mahasiswa—dan ini membuka ruang untuk perubahan.
Dalam manajemen pendidikan, konsep continuous improvement atau perbaikan berkelanjutan menjadi prinsip dasar. Ini selaras dengan pemikiran bahwa mutu tidak akan pernah tercapai secara final, tetapi terus dibangun melalui siklus belajar dan perbaikan.
“Quality is a journey not a destination” – Quality Gurus
Ketika refleksi menjadi kebiasaan, maka evaluasi bukan lagi momen yang menegangkan, melainkan kesempatan untuk mengasah kepekaan pedagogis dan menyesuaikan pendekatan agar lebih kontekstual dan relevan dengan zaman.
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di lingkungan pendidikan tinggi hadir bukan sekadar untuk memeriksa kelengkapan dokumen, tetapi untuk memastikan bahwa proses pendidikan—termasuk evaluasi dosen—berjalan dalam bingkai mutu yang terukur dan dapat ditingkatkan.
Evaluasi dosen menjadi bagian penting dalam siklus mutu yang dicanangkan oleh SPMI karena dari sinilah kampus dapat melihat wajah sebenarnya dari proses belajar-mengajar yang terjadi di ruang kelas.
SPMI mengharuskan setiap unit kerja di perguruan tinggi, termasuk program studi, untuk melakukan evaluasi dan perbaikan berdasarkan data dan umpan balik yang valid. Evaluasi dosen tidak boleh berhenti di angka, tetapi harus menjadi titik awal untuk menyusun program pengembangan dosen, pembaruan metode pembelajaran, dan peningkatan hubungan dosen-mahasiswa. Jika SPMI dijalankan secara konsisten dan reflektif, maka evaluasi dosen bukan hanya menjadi indikator administratif, tetapi pendorong utama dalam pembentukan budaya akademik yang sehat dan dinamis.
Baca Juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Untuk menjadikan evaluasi dosen sebagai alat perbaikan nyata, perguruan tinggi perlu menjalankan siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan.
Dalam konteks evaluasi dosen, ini berarti menetapkan standar kompetensi dan etika mengajar, melaksanakan proses evaluasi secara sistematis, menganalisis hasilnya, mengendalikan mutu melalui pelatihan atau mentoring, dan melakukan peningkatan berbasis refleksi.
Siklus PPEPP memberi struktur yang kuat untuk membangun budaya kaizen—yakni semangat perbaikan kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Evaluasi dosen, ketika dilihat sebagai bagian dari siklus ini, akan menjadi salah satu elemen strategis dalam pengembangan mutu pendidikan secara menyeluruh. Institusi tidak hanya berorientasi pada hasil evaluasi sebagai angka, tapi lebih pada makna dan tindak lanjutnya. Di sinilah refleksi menjadi jembatan antara evaluasi dan transformasi.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Evaluasi dosen yang bermakna tidak bisa dibangun dalam sistem yang hanya melihat angka statistik semata. Ia memerlukan semangat refleksi, ruang dialog, dan kemauan bersama untuk tumbuh. Di era ketika pembelajaran menuntut relevansi, inovasi, dan koneksi emosional antara pengajar dan peserta didik, budaya evaluasi juga harus berkembang. Evaluasi dosen harus menjadi bagian dari ekosistem belajar yang menumbuhkan kesadaran, bukan ketakutan.
Dengan menjalankan SPMI secara konsisten dan menerapkan PPEPP sebagai siklus penggerak mutu, perguruan tinggi dapat menumbuhkan budaya reflektif di kalangan dosen.
Evaluasi bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan profesional yang lebih matang, adaptif, dan berdampak. Karena sejatinya, dosen yang baik adalah mereka yang terus belajar—termasuk dari cermin evaluasi yang jujur dan membangun. Stay Relevant!
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Mutu perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh visi besar rektorat atau kekuatan lembaga penjaminan mutu (Unit LPM), tetapi juga sangat bergantung pada kualitas pengelolaan di tingkat paling operasional: program studi. Prodi adalah titik temu langsung antara institusi dan mahasiswa, tempat dimana tridharma perguruan tinggi diimplementasikan secara nyata.
Sayangnya, banyak perguruan tinggi masih menghadapi masalah ketimpangan kapasitas tata kelola antarunit, terutama antara pusat (rektorat) dan unit-unit akademik bawah seperti prodi atau jurusan.
Ketimpangan ini sering kali muncul karena standar pengelolaan hanya dikuatkan di tingkat institusi, sementara prodi berjalan tanpa panduan yang cukup atau sumber daya yang memadai. Dalam Fundamentals of Management (Griffin, 2022), ditegaskan bahwa efektivitas organisasi bergantung pada konsistensi fungsi manajemen di seluruh bagian, tidak hanya di tingkat atas. Jika satu bagian lemah, maka keseluruhan sistem terganggu.
Menurut Griffin (2022), dalam perspektif sistem, organisasi terdiri dari sejumlah subsistem yang saling bergantung. Ketika satu bagian terganggu, maka bagian lain akan terdampak, dan keseluruhan kinerja organisasi dapat menurun.
Hal inilah yang menjadikan pemerataan standar pengelolaan sebagai isu yang sangat strategis dalam pengembangan mutu pendidikan tinggi.
Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!
Di banyak perguruan tinggi, standar pengelolaan kerap dipahami sebagai domain rektorat atau lembaga mutu saja. Padahal, jika ingin sistem mutu berjalan efektif dan merata, prodi sebagai ujung tombak pelaksana harus memiliki kapasitas yang sama kuatnya. Prodi tidak hanya perlu menjalankan proses belajar mengajar, tetapi juga harus memiliki kemampuan dalam perencanaan, evaluasi, dokumentasi, hingga pelaporan kinerja secara sistematis. Ketika hal-hal ini tidak diperkuat, standar mutu hanya berhenti sebagai narasi di tingkat pusat.
Dari perspektif perilaku organisasi, hal ini mencerminkan asymmetry of control—ketimpangan kekuasaan dan informasi antarunit yang menyebabkan distorsi dalam implementasi kebijakan. Robbins dan Judge (2024) menyatakan bahwa organisasi dengan distribusi kendali yang tidak seimbang cenderung mengalami demotivasi di level bawah dan over-centralization di level atas.
Prodi yang tidak dilibatkan atau tidak dikuatkan dalam sistem mutu akan merasa sistem tersebut bukan milik mereka. Inilah yang kemudian membuat standar pengelolaan tidak berjalan secara organik di semua lini.
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 mendorong perguruan tinggi untuk mengembangkan SPMI yang kontekstual dan relevan dengan karakteristik unit-unit di dalamnya.
Ini berarti, SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) tidak boleh hanya menjadi dokumen pusat, tetapi harus hidup di setiap prodi.
Setiap unit, sekecil apapun, berhak dan wajib memiliki standar, indikator, serta mekanisme evaluasi yang selaras dengan sistem mutu institusi, namun tetap kontekstual dengan dinamika unit tersebut.
SPMI yang baik memungkinkan standar pengelolaan diterjemahkan menjadi pedoman kerja yang aplikatif bagi prodi. Misalnya, standar terkait pembelajaran, beban kerja dosen, layanan akademik, atau pelaporan capaian mahasiswa harus dijabarkan dalam bentuk SOP dan indikator yang dapat dilaksanakan di tingkat operasional. Ketika prodi punya otoritas dan pemahaman dalam merancang dan mengelola standar tersebut, maka siklus mutu akan berjalan lebih solid dan menyeluruh.
Baca juga: SPMI Bukan Hanya Urusan LPM: Saatnya Kebijakan SPMI Dibaca Semua Civitas Akademika!
Salah satu kekuatan utama dari sistem SPMI adalah adanya siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Siklus ini menjadi dasar bagi praktik manajemen mutu yang berorientasi pada kaizen, atau perbaikan berkelanjutan. Namun agar PPEPP bisa dijalankan secara efektif, setiap unit harus memiliki kapasitas yang setara dalam memahami dan melaksanakan fungsi-fungsi di dalam siklus tersebut. Jika hanya lembaga mutu yang menjalankan PPEPP, maka sistem akan timpang dan tidak dapat berkembang secara menyeluruh.
Prodi yang mampu melakukan evaluasi internal, mengendalikan prosesnya, serta melakukan peningkatan berdasarkan data dan refleksi, adalah prodi yang menjadi bagian aktif dari sistem mutu.
Ini tidak terjadi secara otomatis, melainkan harus dibangun melalui pelatihan, pendampingan, dan pembagian peran yang jelas. Ketika semua unit memahami PPEPP dan menjalankannya sebagai bagian dari keseharian kerja, maka organisasi akan tumbuh sebagai entitas pembelajar—yang belajar dari setiap langkah, bukan hanya dari pusat ke bawah (top – down), tetapi juga dari bawah ke atas (bottom – up).
Baca juga: Revisi Dokumen Strategis Kampus: Mana yang Harus Diperbarui Lebih Dulu?
Standar pengelolaan yang tidak merata adalah titik lemah yang bisa menghambat pertumbuhan mutu perguruan tinggi. Tanpa penguatan kapasitas di level prodi, standar yang disusun di pusat akan sulit membumi dan tidak berdampak nyata. Prodi bukan hanya pelaksana teknis, tetapi aktor utama dalam pencapaian mutu tridharma.
SPMI memberi peluang bagi semua unit untuk menjadi bagian dari sistem mutu yang hidup, dan PPEPP adalah alat yang memungkinkan perbaikan terus-menerus jika dijalankan bersama, bukan sendiri-sendiri.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah prodi mampu terlibat dalam pengelolaan mutu, melainkan apakah institusi sudah memberi ruang dan dukungan agar keterlibatan itu benar-benar terjadi. Karena mutu bukan hanya dibangun oleh pusat, tapi oleh seluruh unit—serempak dan setara. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI dan Ironi Lulusan Menganggur: Mutu di Atas Kertas, Bukan di Lapangan?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Wisuda adalah momen yang ditunggu-tunggu. Tapi, di balik toga dan senyum di pelataran kampus, ada kenyataan yang sering terabaikan: banyak lulusan yang kebingungan melangkah ke dunia kerja.
Mereka bukan tidak pintar, bukan pula kurang usaha. Namun ketika berhadapan dengan seleksi kerja, wawancara, atau simulasi proyek nyata, banyak yang “mentok”—tak tahu harus mulai dari mana.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu atau dua kampus, tapi sudah menjadi semacam trend nasional. Padahal, mereka telah menyelesaikan puluhan mata kuliah, tugas akhir, bahkan beberapa ikut organisasi atau magang. Jadi, apa yang salah? Salah satu jawabannya bisa jadi terletak pada fondasi sistem pendidikan tinggi itu sendiri—yaitu: Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Di era yang makin kompetitif, ijazah bukan lagi jaminan.
Dunia kerja sekarang lebih tertarik pada kompetensi nyata: apakah seseorang bisa berpikir kritis, beradaptasi cepat, menyelesaikan masalah, bekerja dalam tim, dan menggunakan teknologi secara efektif?
Sayangnya, sistem pendidikan tinggi kita masih sering terlalu fokus pada teori. Mahasiswa dibanjiri hafalan, dikejar deadline makalah, dan diuji dengan pilihan ganda. Namun ketika dihadapkan pada situasi nyata di tempat kerja—misalnya harus mempresentasikan ide di depan klien, menyusun anggaran, atau menangani pelanggan yang marah—mereka sering gagap. Di sinilah kita melihat jurang antara apa yang dipelajari di bangku kuliah dan apa yang dibutuhkan di lapangan.
Baca juga: SPMI Berkualitas? Mulai dari 10 Pilar TQM Edward Sallis!
SKL bukan sekadar formalitas administratif. Ia adalah jembatan penting yang menyambungkan dunia kampus dengan dunia kerja.
Dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SKL dijelaskan sebagai kriteria minimal mengenai kesatuan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang harus dicapai mahasiswa setelah lulus.
Jika SKL dirancang dengan baik dan relevan, maka seluruh sistem pendidikan akan bergerak dalam satu irama—dari kurikulum, metode pembelajaran, hingga cara menilai hasil belajar mahasiswa. Dengan kata lain, SKL adalah penentu arah: tanpa kompas yang jelas, kampus bisa saja mencetak lulusan yang hebat di atas kertas, tapi lemah dalam praktik.
Baca juga: SPMI Bukan Hanya Urusan LPM: Saatnya Kebijakan SPMI Dibaca Semua Civitas Akademika!
Ambil contoh seorang lulusan Konsentrasi Manajemen Pemasaran. Nilai IPK-nya nyaris sempurna, fasih bicara tentang konsep SWOT dan 4P dalam pemasaran. Namun, ketika ditugaskan untuk membantu tim sales menyusun strategi penetrasi pasar baru, ia kebingungan. Tidak tahu data apa yang dibutuhkan, tidak bisa membaca tren pasar, dan gugup saat harus menjelaskan ide di rapat mingguan.
Kejadian seperti ini bukan mitos. Ini adalah tanda bahwa kompetensi lulusan belum benar-benar terbangun selama masa kuliah. SKL yang tidak konkret, tidak dikaitkan dengan praktik nyata, akan menghasilkan lulusan yang kuat di teori tapi lemah di praktik.
Di sinilah pentingnya perumusan SKL yang menyatu dengan dunia profesional, bukan hanya akademis.
Baca juga: 7 Fakta Menarik Tentang IKU yang Perlu Kamu Tahu Sebagai Mahasiswa
Kabar baiknya, sistem pendidikan tinggi Indonesia memiliki alat pengawasan mutu internal yang lengkap: Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Sistem ini, sebagaimana dijelaskan dalam Buku Panduan Kurikulum 2024 dan diperkuat oleh Permendikbudristek 53/2023, menjadi tumpuan bagi kampus untuk menjaga, memeriksa, dan meningkatkan kualitas lulusannya.
SPMI bukan hanya tentang “mengisi borang” untuk akreditasi. Ia adalah mekanisme hidup yang bisa digunakan untuk melihat, misalnya: apakah SKL yang dirancang benar-benar tercapai? Apakah kurikulum masih relevan dengan tuntutan industri? Apakah metode pembelajaran cukup aplikatif?
Ketika SPMI berjalan optimal, kampus tidak hanya mencetak lulusan, tetapi mencetak lulusan yang berdaya saing.
Baca juga: PPEPP Bukan Beban, Tapi Solusi, Benarkah?
Agar SPMI tidak sekadar wacana, maka ia harus didukung oleh sebuah siklus kerja yang dikenal dengan nama PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan. Inilah “mesin penggerak” mutu pendidikan tinggi.
Bayangkan PPEPP sebagai sistem kontrol mutu layaknya dalam dunia manufaktur. Standar ditetapkan (SKL), kurikulum dijalankan, hasil belajar dievaluasi, lalu jika ditemukan kekurangan—langsung diperbaiki.
Dengan PPEPP, kampus bisa terus belajar dari kesalahan, terus menyesuaikan diri, dan terus meningkatkan kualitas lulusan secara sistemik. Ia bukan hanya alat akreditasi, tapi tools untuk perbaikan berkelanjutan.
Baca juga: PPEPP: Adaptasi PDCA untuk Pendidikan Tinggi Indonesia
Lulusan yang tidak siap kerja bukan hanya masalah mahasiswa, tapi juga cermin dari SPMI yang belum optimal. SKL yang kabur, tidak diimplementasikan dengan serius, atau tidak dievaluasi secara berkala bisa berujung pada lulusan yang gagap di dunia nyata.
Sudah saatnya kampus tidak hanya mengajar untuk sekedar kelulusan, tapi mengajar untuk kehidupan, untuk memberi manfaat yang optimal—untuk berkontribusi nyata di masyarakat dan dunia kerja.
Melalui SKL yang tajam, SPMI yang aktif, dan PPEPP yang dijalankan secara konsisten, perguruan tinggi bisa menjadi mesin pencetak SDM unggul yang benar-benar siap tempur di era kompetisi global. Stay Relevant!
Baca juga: Statuta Sudah Usang? Inilah Cara Cerdas Memulai Transformasi Perguruan Tinggi dari Akar
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan tuntutan global yang semakin kompleks, pendidikan tinggi tak lagi bisa berpuas diri dengan standar lulusan yang hanya berorientasi pada capaian akademik. Dunia kerja menuntut lulusan yang adaptif, inovatif, dan mampu terus belajar sepanjang hayat.
Oleh karena itu, merancang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang visioner dan kontekstual dengan dinamika abad ke-21 menjadi keniscayaan.
SKL bukan sekadar dokumen normatif, melainkan titik temu antara visi institusi pendidikan dengan harapan masyarakat, dunia kerja, dan masa depan itu sendiri. Dalam konteks ini, SKL harus menjadi jembatan antara kurikulum dan kebutuhan nyata di lapangan. Ia harus mencerminkan keterampilan hidup abad ke-21 seperti critical thinking, creativity, collaboration, dan communication—dikenal sebagai 4C—serta literasi digital dan kemampuan beradaptasi dalam dunia yang terus berubah.
Baca juga: Kunci Mutu Prodi: Saatnya SDM Pengelola Naik Level!
Transformasi besar dalam penyusunan SKL saat ini adalah pergeseran paradigma dari pendekatan berbasis konten ke capaian berbasis kompetensi. Jika sebelumnya SKL lebih menekankan pada seberapa banyak materi yang harus dikuasai, kini penekanannya bergeser pada apa yang mampu dilakukan lulusan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Pendekatan ini sejalan dengan amanat Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, yang menekankan pada capaian pembelajaran sebagai basis dari sistem penjaminan mutu internal perguruan tinggi.
SKL yang baik akan melandasi pengembangan kurikulum berbasis outcome dan mengarahkan pembelajaran kepada hasil yang berdampak nyata.
Di sinilah pentingnya “constructive alignment“, yaitu keterpaduan antara SKL, strategi pembelajaran, dan sistem asesmen.
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Tidak ada satu formulasi tunggal yang bisa diterapkan untuk semua program studi. SKL di bidang teknik tentu berbeda dengan yang ada di ilmu sosial, kesehatan, atau seni. Oleh karena itu, penyusunannya harus dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik keilmuan, profil lulusan yang diharapkan, serta kebutuhan masyarakat dan industri.
Sebagai contoh, SKL untuk prodi teknik informatika bisa menekankan kemampuan merancang sistem berbasis AI yang beretika, sementara untuk ilmu komunikasi lebih menekankan pada kecakapan mengelola informasi digital secara kritis.
Namun, keduanya tetap harus memuat dimensi soft skills, sikap profesional, serta kemampuan belajar mandiri yang kuat. Inilah esensi dari lifelong learner yang menjadi kunci daya saing bangsa.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan
Untuk menciptakan SKL yang visioner, penting sekali untuk merujuk pada future skills framework yang dikembangkan oleh berbagai lembaga global, seperti World Economic Forum (WEF), UNESCO, dan OECD. Keterampilan seperti emotional intelligence, kemampuan berinovasi, kepemimpinan kolaboratif, hingga literasi data sudah semestinya diinternalisasi dalam SKL setiap program studi.
Penting untuk diingat bahwa SKL bukan hanya tanggung jawab akademisi, tetapi juga perlu melibatkan pemangku kepentingan eksternal, termasuk asosiasi profesi dan pengguna lulusan.
Proses ini dapat difasilitasi melalui mekanisme SPMI, yaitu Sistem Penjaminan Mutu Internal, yang telah menjadi fondasi regulatif pendidikan tinggi di Indonesia. SPMI tidak hanya menjamin kesesuaian standar, tetapi juga menjadi alat refleksi untuk terus menyesuaikan diri dengan tantangan masa depan.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Dalam upaya menciptakan SKL yang terus relevan, pendekatan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) menjadi alat yang sangat efektif.
PPEPP pada dasarnya merupakan siklus reflektif yang membawa semangat kaizen—perbaikan berkelanjutan—ke dalam sistem pendidikan tinggi.
Melalui evaluasi berkala, baik lewat tracer study maupun audit mutu internal, institusi bisa menilai apakah SKL yang ditetapkan masih relevan dan terjangkau oleh mahasiswa. Jika ditemukan ketidaksesuaian antara harapan dunia kerja dan kompetensi lulusan, maka PPEPP mendorong tindakan korektif dan preventif berbasis data dan analisis akar masalah. Dengan demikian, SKL tidak menjadi dokumen mati, tetapi terus hidup dan tumbuh bersama dinamika zaman.
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Merancang SKL yang tajam dan relevan di era abad ke-21 bukanlah pekerjaan sekali jadi. Ia membutuhkan visi, partisipasi luas, serta komitmen terhadap mutu dan keberlanjutan.
Dalam konteks ini, SPMI dan PPEPP bukan sekadar alat administratif, tetapi jantung dari proses refleksi institusi untuk menghasilkan lulusan yang benar-benar siap menghadapi masa depan.
Jika perguruan tinggi serius membangun budaya mutu dan menghayati pentingnya SKL sebagai kompas capaian pembelajaran, maka lulusan yang dihasilkan tak hanya kompeten di atas kertas, tetapi juga relevan dan tahan banting di tengah arus perubahan global (era VUCA dan BANI) yang tak terelakkan. Pendidikan tinggi harus menjadi ekosistem yang membentuk insan pembelajar sepanjang hayat—dan semuanya berawal dari sebuah SKL yang dirancang dengan cermat dan bijak. Stay Relevant!
Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Kualitas sebuah program studi tidak hanya ditentukan oleh kurikulum atau akreditasi, tetapi juga oleh kemampuan para pengelolanya dalam memahami dan menjalankan sistem mutu secara berkelanjutan.
Di tengah tuntutan akuntabilitas dan daya saing global, sudah waktunya sumber daya manusia (SDM) pengelola—terutama ketua prodi, dekan, dan kepala unit mutu—tidak hanya menjadi pelaksana administratif, tetapi juga menjadi pemimpin mutu yang strategis.
Transformasi mutu program studi menuntut kehadiran figur-figur manajerial yang mampu mengelola perubahan, membaca tren, mengolah data, dan mengambil keputusan berbasis bukti. Ini hanya bisa terjadi jika kapasitas pengelola terus diperkuat melalui pelatihan, sertifikasi, dan pendampingan profesional yang terstruktur. Dalam konteks inilah, pengembangan kompetensi SDM pengelola menjadi kunci utama keberhasilan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI).
Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan
Memahami konsep mutu saja tidak lagi cukup. Dalam dinamika tata kelola program studi saat ini, setiap pengelola dituntut untuk memiliki keterampilan nyata dalam menerapkan prinsip-prinsip manajemen mutu di lapangan. Misalnya, bagaimana menyusun indikator capaian mutu yang terukur, bagaimana membaca data evaluasi diri dengan cermat, atau bagaimana menyusun tindak lanjut hasil audit internal yang berdampak nyata. Semua itu adalah keterampilan yang hanya bisa diperoleh melalui pengalaman, pelatihan, dan pembiasaan diri dalam sistem mutu yang hidup dan terukur.
Dalam pendekatan manajemen modern, terutama teori behavioral management, peran pemimpin bukan sekadar sebagai pengarah kebijakan, tetapi juga sebagai pelaku aktif dalam proses mutu. Ketua prodi yang trampil akan mampu memfasilitasi evaluasi pembelajaran, menginisiasi siklus PPEPP di tingkat prodi, dan menjadi jembatan antara kebijakan institusi dan kebutuhan dosen maupun mahasiswa.
Ketika pengelola prodi memiliki keterampilan manajerial yang kuat, maka mutu tidak hanya menjadi agenda institusi, tetapi menjelma dalam praktik sehari-hari di ruang kelas, laboratorium, dan ruang diskusi akademik
Baca juga: SPMI Berkualitas? Mulai dari 10 Pilar TQM Edward Sallis!
Saat ini, berbagai platform pelatihan daring menawarkan program peningkatan kapasitas pengelola prodi dan unit mutu.
Program seperti Pelatihan Auditor Mutu Internal, Workshop Evaluasi Diri Program Studi, hingga Sertifikasi Kompetensi Manajer Pendidikan Tinggi tersedia di berbagai institusi pelatihan, termasuk LLDIKTI, P4TK, dan lembaga pelatihan seperti mutupendidikan.com
Lebih dari sekadar pelatihan formalitas, program-program ini dirancang untuk meningkatkan managerial insight dan quality leadership. Materi yang diberikan meliputi strategi implementasi SPMI, analisis SWOT berbasis data mutu, hingga penerapan PPEPP sebagai pendekatan kaizen dalam organisasi akademik. Dalam jangka panjang, SDM pengelola yang mengikuti pelatihan ini akan lebih mampu mengarahkan prodi menuju mutu yang berkelanjutan dan berbasis bukti.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
SPMI sering dianggap sebagai beban administratif, padahal jika dipahami dengan benar, ia adalah alat manajemen mutu yang sangat memberdayakan. SPMI memberikan kerangka kerja yang jelas bagi pengelola untuk menetapkan standar, melaksanakan rencana kerja, mengevaluasi capaian, serta mengendalikan dan meningkatkan proses secara sistematis. Ini bukan hanya tentang dokumen dan formulir, tapi tentang self-regulation dan continuous improvement.
Regulasi terbaru dari Kementerian Pendidikan, khususnya Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, menegaskan pentingnya SPMI sebagai tulang punggung mutu internal yang berkesinambungan. Artinya, penguatan peran SDM pengelola juga menjadi bagian integral dari keberhasilan SPMI.
Tidak cukup hanya “ada sistem”, tetapi harus ada orang-orang kompeten yang mampu menjalankannya dengan visi, kegairahan dan ketekunan.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Dalam SPMI, siklus PPEPP bukan hanya prosedur tahunan. Ia adalah tools untuk menciptakan budaya perbaikan terus-menerus di setiap lini pengelolaan program studi.
Ketua prodi dan kepala unit mutu yang memahami PPEPP dengan baik tidak hanya akan melakukan evaluasi karena “waktunya evaluasi”, tetapi karena mereka tahu data hasil evaluasi itulah yang akan menuntun mereka dalam mengambil keputusan yang tepat.
Konsep ini sejalan dengan filosofi kaizen dalam Total Quality Management (TQM)—perbaikan kecil yang dilakukan terus-menerus. Melalui PPEPP, pengelola bisa membangun sistem mutu berbasis refleksi dan pembelajaran. Prodi yang awalnya stagnan bisa berkembang menjadi unit dinamis yang memiliki arah strategis. Tapi ini hanya bisa terjadi jika SDM-nya dibekali kompetensi yang memadai untuk menjalankan peran tersebut.
Baca juga: Statuta Sudah Usang? Inilah Cara Cerdas Memulai Transformasi Perguruan Tinggi dari Akar
Era baru mutu pendidikan tinggi membutuhkan SDM pengelola yang bukan hanya tahu, tapi juga tangguh.
Transformasi mutu tidak akan terjadi tanpa transformasi manusia di dalamnya. Ketua prodi, dekan, dan kepala unit mutu adalah garda depan perubahan—mereka bukan sekadar pengisi jabatan, tapi pemimpin yang menentukan arah masa depan institusi.
Saatnya naik level. Ikuti pelatihan, kejar sertifikasi, dan jadikan pengelolaan mutu sebagai arena kepemimpinan yang sesungguhnya. Dengan menjalankan SPMI dan PPEPP secara utuh dan strategis, mutu bukan lagi sekadar dokumen, tetapi akan terasa dalam setiap proses dan hasil pendidikan. Karena sejatinya, mutu bukan tujuan akhir—melainkan perjalanan yang terus bergerak maju bersama orang-orang yang siap berkembang. Stay Relevant!
Baca juga: Mutu adalah Kepemimpinan, Bukan Sekadar Administrasi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di tengah transformasi pendidikan tinggi yang terus bergerak mengikuti arus zaman, pertanyaan mendasar yang seharusnya terus digaungkan adalah: “Apa sebenarnya indikator keberhasilan pembelajaran?” Apakah sekadar nilai A dalam transkrip akademik? Atau sejauh mana mahasiswa mampu menerapkan pengetahuannya dalam konteks dunia nyata? Pergeseran paradigma dari sekadar mengejar skor menuju pencapaian kompetensi sejatinya bukan hanya sebuah wacana, tetapi panggilan untuk berubah. Sebab, dalam dunia kerja yang dinamis dan kompleks saat ini, keberhasilan belajar bukan lagi dinilai dari seberapa banyak yang dihafal, melainkan seberapa dalam seseorang memahami dan mampu menerapkannya.
Psikologi pembelajaran menegaskan bahwa hasil belajar yang bermakna berasal dari proses aktif, konstruktif, dan kontekstual. David Ausubel, misalnya, menekankan pentingnya meaningful learning, di mana informasi yang diterima siswa harus dikaitkan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki. Sementara itu, teori konstruktivisme menempatkan mahasiswa sebagai subjek aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri.
Maka dari itu, bila proses belajar hanya berorientasi pada hasil skor akhir berupa angka, kita telah melewatkan esensi utama dari proses pendidikan.
Baca juga: Bukan Copy-Paste! Begini Cara Bikin Standar Kompetensi Lulusan yang Tajam dan Relevan
Tidak bisa dipungkiri, sistem nilai akademik masih menjadi rujukan utama dalam mengukur pencapaian mahasiswa. Namun, berapa banyak lulusan ber-IPK tinggi yang merasa canggung ketika menghadapi persoalan riil di tempat kerja?
Patut diduga, saat ini ada kesenjangan antara prestasi akademik dan keterampilan praktis di lapangan.
Hal ini bukan karena mahasiswa malas belajar, melainkan karena sistem pembelajarannya tidak memfasilitasi penguasaan kompetensi secara utuh.
Penilaian yang hanya mengandalkan ujian akhir tertulis, misalnya, lebih mengukur daya ingat jangka pendek ketimbang kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Padahal, teori kognitif modern seperti taksonomi Bloom yang diperbarui oleh Anderson dan Krathwohl menunjukkan bahwa kemampuan tingkat tinggi seperti menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta jauh lebih bernilai dibanding sekadar mengingat. Jika evaluasi hanya menyentuh ranah dasar, maka wajar bila pembelajaran kita terasa dangkal.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
Dalam konteks ini, penting untuk mengaitkan pembelajaran dengan realitas dunia kerja dan kehidupan. Mahasiswa perlu mengalami proses belajar yang otentik, berbasis proyek, atau studi kasus yang memungkinkan mereka mengembangkan kompetensi secara kontekstual. Di sinilah tantangan terbesar institusi pendidikan tinggi: merancang pembelajaran yang tidak hanya informatif, tapi juga transformatif.
Kurikulum yang dirancang berbasis capaian pembelajaran (CPL) harus diterjemahkan secara serius dalam strategi dan metode pengajaran.
Dosen tidak cukup hanya menyampaikan materi, melainkan harus menjadi fasilitator belajar yang memicu diskusi kritis, kolaborasi, dan eksplorasi. Ketika proses ini terjadi secara konsisten, maka pembelajaran akan menyentuh lapisan kompetensi yang lebih dalam: bukan hanya tahu, tapi paham dan mampu.
Baca juga: SPMI Bukan Hanya Urusan LPM: Saatnya Kebijakan SPMI Dibaca Semua Civitas Akademika!
Untuk memastikan seluruh proses ini berjalan sistematis dan terarah, maka Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) menjadi kunci utama.
SPMI bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan fondasi untuk membangun budaya mutu di perguruan tinggi. Dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, SPMI ditegaskan sebagai mekanisme otonom yang dimiliki perguruan tinggi untuk menjamin bahwa seluruh proses pendidikan, termasuk pembelajaran, berjalan sesuai standar dan terus meningkat mutunya.
SPMI mendorong dosen dan manajemen program studi untuk tidak hanya menjalankan pembelajaran, tapi juga secara berkala melakukan refleksi dan perbaikan. Ini menjadi alat yang sangat penting untuk memastikan bahwa proses pembelajaran tidak berhenti pada apa yang direncanakan, tetapi benar-benar dievaluasi berdasarkan apa yang dicapai dan bagaimana dampaknya bagi mahasiswa.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Salah satu keunggulan dari SPMI adalah adanya siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan.
Siklus ini bisa dianggap sebagai bentuk konkret dari filosofi kaizen—perbaikan berkelanjutan yang dilakukan secara sistematis dan berbasis data. Dalam konteks proses pembelajaran, PPEPP memberikan kerangka kerja untuk menilai efektivitas metode pengajaran, kualitas asesmen, hingga kepuasan dan capaian belajar mahasiswa.
Kaizen versi PPEPP ini mendorong semua pihak untuk tidak cepat puas. Setelah pembelajaran dilaksanakan, tidak cukup hanya mengecek absensi atau nilai akhir. Harus ada evaluasi mendalam: Apakah mahasiswa benar-benar mencapai kompetensi? Apa hambatannya? Bagaimana perbaikannya? Dengan begitu, kualitas pembelajaran bisa terus ditingkatkan dari waktu ke waktu, sesuai dengan dinamika zaman dan kebutuhan mahasiswa.
Baca juga: Gamifikasi SPMI: Mungkinkah Diterapkan di Perguruan Tinggi?
Kini, saatnya kita semua—dosen, pengelola prodi, hingga pimpinan perguruan tinggi—mengukur ulang bagaimana kita mendefinisikan keberhasilan pembelajaran.
Mari, kita jangan lagi terjebak pada sekadar angka di lembar nilai. Keberhasilan sejati terletak pada kompetensi yang dibentuk, karakter yang dibangun, dan kesiapan mahasiswa menghadapi tantangan nyata.
Dengan memanfaatkan SPMI sebagai pilar mutu dan PPEPP sebagai alat kaizen institusional, perguruan tinggi Indonesia dapat melampaui standar formalitas dan benar-benar menciptakan pembelajaran yang bermakna. Sebab, di dunia nyata, bukan IPK yang diuji, melainkan kapasitas berpikir, bersikap, dan berkontribusi. Stay Relevant!
Baca juga: Mengapa GKM Gagal? Studi Kebutuhan Maslow dalam Manajemen Mutu
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Pernahkah Anda melihat Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dalam dokumen kurikulum yang terasa generik, hampir mirip antar program studi, dan sulit diukur? Kalimat-kalimat seperti “menguasai pengetahuan di bidangnya” atau “mampu berpikir kritis dan bertanggung jawab” sering muncul, tetapi apa artinya dalam konteks nyata—dan bagaimana memastikan itu benar-benar tercapai?
SKL seharusnya bukan sekadar formalitas atau pelengkap administrasi. Ia adalah “roda penggerak” utama dalam pendidikan tinggi.
Jika SKL disusun asal tempel dari dokumen kampus lain, maka risiko besarnya adalah menghasilkan lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, tidak menjawab visi institusi, dan akhirnya kehilangan daya saing. Karena itu, menyusun SKL harus melalui proses yang serius, berbasis data, reflektif terhadap jati diri kampus, dan kontekstual terhadap kebutuhan dunia kerja dan masyarakat.
Baca juga: Integrasi Nilai-Nilai Mutu: Cara Cerdas Menghidupkan SPMI di Kampus
Bukankah semua kampus punya tujuan yang sama—mendidik dan mencetak lulusan? Sekilas iya. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, ternyata setiap perguruan tinggi punya DNA yang berbeda. Ada kampus yang berfokus pada riset dan publikasi, ada yang menonjol dalam pengabdian masyarakat, ada pula yang mengusung semangat kewirausahaan, atau berbasis keislaman dan nilai-nilai lokal. Perbedaan ini bukan sekadar identitas, tapi fondasi penting dalam menentukan arah pendidikan dan kompetensi yang harus dibangun.
Karena itulah, menyusun Standar Kompetensi Lulusan (SKL) tidak bisa dilakukan dengan pendekatan satu untuk semua.
SKL harus lahir dari “misi unik” (mission differentiation) institusi—bukan sekadar hasil copy-paste dari dokumen kampus sebelah.
Jika kampus ingin melahirkan lulusan yang benar-benar relevan dan bermakna, maka SKL harus dirancang selaras dengan siapa mereka, ke mana mereka ingin melangkah, dan apa kontribusi khas yang ingin mereka berikan kepada masyarakat dan dunia.
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Salah satu kesalahan umum dalam menyusun SKL adalah terlalu normatif dan tidak operasional. Kalimatnya mungkin terdengar elegan, tapi tidak memberikan gambaran konkret tentang kemampuan apa yang harus dimiliki lulusan.
Padahal, SKL harus menjawab pertanyaan sederhana: Apa yang bisa dilakukan lulusan ketika ia keluar dari kampus ini?
Untuk menjawab itu, penyusun SKL harus mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), melakukan tracer study, berdiskusi dengan alumni, melibatkan asosiasi profesi, dan bahkan melakukan benchmarking ke standar internasional seperti AUN-QA, ABET, atau ACCSB. Dari sanalah akan muncul pemahaman mendalam: kompetensi apa yang benar-benar dibutuhkan. Dari sini pula SKL akan terasa relevan dan tajam, karena berbicara dalam bahasa kebutuhan nyata, bukan bahasa administratif.
Baca juga: SPMI Berkualitas? Mulai dari 10 Pilar TQM Edward Sallis!
Setelah SKL disusun, tugas belum selesai. Dokumen tersebut harus ditanamkan ke dalam seluruh proses pembelajaran, penilaian, dan evaluasi mutu. Di sinilah Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) memainkan peran vital.
SPMI bukan sekadar perangkat akreditasi, tapi sistem hidup yang dirancang untuk menjamin bahwa semua standar mutu—termasuk SKL—benar-benar diterapkan dan tercapai.
Melalui SPMI, kampus bisa membangun siklus mutu yang melibatkan seluruh pihak: dosen, pengelola prodi, mahasiswa, bahkan mitra industri. SKL yang telah ditetapkan akan dievaluasi secara periodik, dikaji apakah masih relevan dengan dinamika global, dan jika perlu, ditingkatkan. Tanpa SPMI, SKL hanya akan jadi dokumen pajangan. Tapi dengan SPMI yang berjalan aktif, SKL akan menjadi kompas utama pembentukan lulusan.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
SPMI menjadi efektif jika dijalankan dalam kerangka kerja yang sistematis—dan di sinilah siklus PPEPP hadir. Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan adalah lima tahap penting yang memastikan SKL tidak stagnan, tetapi terus tumbuh dan disempurnakan. Ini adalah bentuk nyata dari filosofi kaizen—perbaikan berkelanjutan dalam dunia kampus.
Sebagai contoh, jika evaluasi menunjukkan bahwa lulusan kurang kompeten dalam keterampilan digital, maka prodi bisa merevisi SKL, menambah mata kuliah, atau merancang proyek berbasis teknologi.
Dengan PPEPP, SKL tidak hanya ditetapkan di awal, tetapi juga dijaga dan disesuaikan seiring waktu. Pendidikan pun menjadi dinamis, reflektif, dan benar-benar berorientasi masa depan.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Blueprint Masa Depan Kampus yang Sering Diabaikan
Membuat SKL yang tajam dan relevan bukan pekerjaan instan. Ia bukan hasil copy-paste, melainkan hasil dari proses refleksi misi, identifikasi kebutuhan stakeholder, serta penyesuaian dengan regulasi dan standar global. Namun, bila disusun dengan benar, SKL akan menjadi poros utama pendidikan tinggi yang bermakna.
Dengan dukungan SPMI sebagai sistem mutu berbasis regulasi, dan PPEPP sebagai alat kaizen pendidikan, kampus punya fondasi kuat untuk membentuk lulusan yang tidak hanya lulus, tapi benar-benar kompeten.
Karena pada akhirnya, pendidikan tinggi bukan sekadar menghasilkan gelar, tapi membentuk manusia yang mampu menjawab tantangan zaman. Stay Relevant!
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Coba jujur deh, waktu dengar kata “SPMI”, yang terlintas di benak kita biasanya: laporan, form, rapat, dan segudang dokumen. Padahal, SPMI itu bukan cuma soal tumpukan kertas atau prosedur teknis. Di balik semua itu, ada filosofi penting yang bisa bikin kampus jadi lebih sehat, dinamis, dan berorientasi pada perbaikan berkelanjutan.
SPMI, sesuai dengan pedoman terbaru tahun 2024 dari Ditjen Diktiristek, adalah sistem yang dirancang supaya mutu kampus nggak jalan di tempat.
Tapi kuncinya bukan sekadar “menjalankan prosedur”, melainkan bagaimana kita bisa menginternalisasi nilai-nilai mutu itu ke dalam kebiasaan harian seluruh civitas akademika. Kalau cuma ngisi form tapi nggak ada perubahan nyata, ya percuma juga kan?
Baca juga: Transformasi Mutu Kampus Melalui Benchmarking Digital: Mungkinkah?
Banyak kampus sudah punya dokumen mutu lengkap—dari kebijakan sampai standar operasional. Tapi pertanyaannya, udah bener-bener hidup belum dokumen itu di lapangan? Nah, di sinilah pentingnya internalisasi nilai-nilai mutu. Artinya, semua orang di kampus—dosen, mahasiswa, staf—bener-bener memahami dan menjalankan prinsip-prinsip mutu dalam aktivitas sehari-hari.
Misalnya, standar pelayanan mahasiswa bukan cuma angka di kertas, tapi jadi komitmen bersama. Atau ketika dosen mengajar, mereka sadar bahwa peningkatan kualitas pembelajaran bukan buat akreditasi doang, tapi karena memang peduli sama hasil belajar mahasiswa. SPMI yang hidup ya yang kayak gitu—bukan yang cuma muncul waktu mau reakreditasi.
Baca juga: Antara Ideal dan Realitas: Apa Isi Kebijakan SPMI Kampusmu?
Nah, bicara soal sistem SPMI, pasti ketemu sama siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan.
Mungkin kesannya ribet, tapi sebenarnya PPEPP itu logika kerja yang sederhana dan masuk akal banget.
Kita mulai dari menetapkan standar, jalankan, evaluasi hasilnya, kendalikan deviasinya, lalu perbaiki terus. Gampang kan?
Kalau kampus bisa menjadikan PPEPP sebagai budaya berpikir, maka setiap unit kerja bakal terbiasa berpikir sistematis. Nggak asal-asalan bikin program, dan setiap keputusan didasarkan pada data serta refleksi. Inilah cara cerdas menghidupkan SPMI—bukan lewat banyak aturan, tapi lewat proses berpikir yang konsisten.
Baca juga: Merumuskan Mission Differentiation: 5 Langkah Menuju Kampus Otentik
Salah satu kesalahan umum adalah menganggap mutu cuma soal target kuantitatif: angka IPK, jumlah publikasi, lama studi, dan sebagainya. Padahal, nilai mutu itu lebih dalam dari itu. Mutu bicara soal sikap: apakah kita terbuka pada masukan? Mau belajar dari kesalahan? Konsisten dalam pelayanan? Nah, sikap-sikap kayak gitu yang membentuk budaya mutu sejati.
Di sinilah pentingnya pendekatan humanis dalam SPMI. Kampus bukan pabrik, dan mahasiswa bukan produk.
Tapi kalau kita bisa menanamkan semangat perbaikan terus-menerus di semua lini, dari rektor sampai cleaning service, maka kita sudah berada di jalur yang benar untuk menghidupkan SPMI secara menyeluruh.
Baca juga: Membumikan Strategi Kampus: Semua Unit Paham dan Bergerak Sesuai Arah
Kalau kita cuma menjalankan SPMI karena tuntutan regulasi, hasilnya ya biasa-biasa aja. Tapi kalau kita melihatnya sebagai peluang untuk tumbuh dan memperkuat identitas kampus, hasilnya bisa luar biasa.
SPMI yang baik bukan yang paling tebal dokumennya, tapi yang paling terasa dampaknya dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Jadi, yuk mulai sekarang kita ubah cara pandang kita. Integrasi nilai-nilai mutu ke dalam budaya kampus bukanlah kerja instan. Tapi dengan pendekatan yang cerdas dan kolaboratif, serta siklus PPEPP yang dijalankan dengan hati, SPMI akan jadi lebih dari sekadar sistem. Ia akan jadi denyut nadi kampus kita. Stay Relevant!
Baca juga: Mission Differentiation: Rahasia Kampus Kecil Bisa Unggul di Tengah Kompetisi Nasional
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi