بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam dunia pendidikan tinggi yang semakin dinamis, mahasiswa masa kini—khususnya Generasi Z—tidak lagi sekadar mencari tempat untuk menimba ilmu. Mereka mendambakan lingkungan yang nyaman, yang artistik dan mendukung perkembangan diri secara holistik. Kampus idaman bukan hanya sekumpulan ruang-ruang belajar, melainkan sebuah ekosistem yang mengintegrasikan fasilitas modern dengan kebutuhan pembelajaran sekaligus pengembangan potensi terbaik individu. Ruang kelas yang nyaman, perpustakaan digital yang kaya sumber daya, hingga ruang terbuka hijau yang asri, kini menjadi elemen penting yang menentukan pengalaman pendidikan yang bermutu.
Di sisi lain, perguruan tinggi perlu memahami bahwa setiap mahasiswa membawa harapan dan kebutuhan yang beraneka ragam. Perbedaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti latar belakang, keluarga, bidang studi, dan aspirasi pribadi. Oleh karena itu, standar sarana dan prasarana dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) harus dirancang dengan mempertimbangkan suara mahasiswa sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) utama. Pendekatan partisipatif ini memastikan bahwa fasilitas kampus tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan formal dari Standar Nasional (SN) Dikti, namun juga relevan, bermakna, dan mampu memberikan dampak nyata bagi pemangku kepentingan. Harapannya, kampus dapat menjadi tempat yang benar-benar menginspirasi dan memfasilitasi perjalanan akademik segenap mahasiswa.
Baca juga: Inovasi Sarana dan Prasarana: Menjawab Tantangan Pendidikan Masa Depan
Ruang kelas yang memadai adalah kebutuhan mendasar di setiap kampus. Idealnya, ruang kelas tidak hanya dilengkapi dengan meja dan kursi, namun juga didukung oleh teknologi modern seperti proyektor, akses internet yang stabil, serta sistem penghawaan dan pencahayaan yang optimal. Mahasiswa menginginkan suasana belajar yang kondusif, di mana mereka dapat fokus tanpa gangguan, baik dari aspek teknis maupun lingkungan. Untuk itu, standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu merumuskan kriteria yang jelas sebagai landasan dalam merancang ruang kelas bermutu tinggi.
Laboratorium, khususnya bagi program studi berbasis ilmu eksakta, sains dan teknologi, juga menjadi elemen yang sangat penting. Fasilitas laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan mutakhir dan bahan praktikum yang memadai mencerminkan mutu pendidikan yang diberikan. Alat-alat ukur di laboratorium harus valid dan rutin di kalibrasi. Mahasiswa membutuhkan akses yang mudah dan adil terhadap fasilitas ini, tanpa harus berebut dan antri untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Oleh karena itu, pengelolaan laboratorium yang efisien dan inklusif harus menjadi bagian integral dari standar sarana dan prasarana yang ditetapkan dalam SPMI. Hal ini dilakukan guna memastikan pengalaman belajar yang mendukung eksplorasi akademik dan pengembangan keahlian secara optimal.
Baca juga: SPMI Tanpa Visualisasi? Saatnya Perguruan Tinggi Berubah!
Di era digital, mahasiswa tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari berbagai sumber online yang memerlukan infrastruktur teknologi canggih. Kampus yang ideal dilengkapi dengan Wi-Fi berkecepatan tinggi yang dapat diakses di seluruh area, termasuk ruang kelas, perpustakaan, dan area umum lainnya. Selain itu, keberadaan Learning Management System (LMS) yang andal menjadi hal penting untuk mendukung pembelajaran berbasis online. Standar Sarpras SPMI sebaiknya menekankan pentingnya integrasi teknologi ini sebagai bagian dari sarana perlu di perguruan tinggi.
Perpustakaan digital juga menjadi elemen penting dalam kampus modern. Mahasiswa membutuhkan akses ke berbagai jurnal ilmiah, e-book, dan sumber daya lainnya tanpa harus terbatas pada ruang dan waktu. Dengan adanya perpustakaan digital yang dirancang sesuai standar sarana prasarana, mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan belajar secara mandiri dan memperluas wawasan.
Baca juga: Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?
Kampus ideal adalah kampus yang mudah diakses oleh semua mahasiswa, tanpa terkecuali, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Jalur yang ramah difabel, fasilitas untuk pengguna kursi roda, lift yang memadai, hingga ruang kelas yang dirancang agar mudah diakses, menjadi contoh nyata dari upaya mendukung inklusivitas. Standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mengakomodasi aspek aksesibilitas ini untuk memastikan bahwa setiap mahasiswa dapat belajar dalam lingkungan yang nyaman, menyenangkan, dan aman. Selain kenyamanan, perhatian pada risiko seperti gempa bumi atau kebakaran juga harus menjadi prioritas, dengan menyediakan alat pemadam api ringan (APAR), jalur evakuasi yang jelas, dan titik kumpul yang memadai.
Aksesibilitas juga berarti memberikan peluang yang setara bagi mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi untuk memanfaatkan sarana yang tersedia. Misalnya, laboratorium komputer yang dapat diakses secara gratis, kantin dengan harga terjangkau, pusat karier yang mendukung masa depan mahasiswa, hingga layanan konsultasi yang dapat diakses oleh semua. Fasilitas-fasilitas ini mencerminkan komitmen kampus dalam mendukung keberagaman dan inklusi, menciptakan lingkungan yang benar-benar memfasilitasi perkembangan intelektual dan sosial bagi setiap individu.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Kegiatan mahasiswa tidak hanya terbatas di ruang kelas, tetapi meluas ke berbagai aktivitas di luar ranah akademik. Kampus yang ideal harus menjadi tempat yang mendorong pengembangan minat dan bakat mahasiswa. Fasilitas seperti ruang organisasi, pusat olahraga, aula serbaguna, dan ruang musik menjadi elemen penting yang memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengasah keterampilan kepemimpinan (soft skills), berkolaborasi, dan menyalurkan kreativitas mereka. Standar Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) perlu mencakup fasilitas-fasilitas ini sebagai bagian integral dari sarana dan prasarana, guna menciptakan lingkungan kampus yang mendukung pertumbuhan individu yang holistik.
Selain itu, ruang hijau dan area relaksasi merupakan elemen yang tak kalah penting bagi mahasiswa. Taman, gazebo, atau area terbuka lainnya tidak hanya memberikan kesempatan untuk melepas penat, tetapi juga menjadi ruang untuk bersosialisasi dan membangun komunitas. Fasilitas-fasilitas ini menciptakan keseimbangan antara belajar dan relaksasi, sekaligus berkontribusi pada kesehatan mental mahasiswa. Dengan ruang-ruang yang dirancang untuk menyegarkan pikiran dan mendorong interaksi sosial, kampus menjadi lebih dari sekadar tempat belajar—ia menjadi rumah kedua yang nyaman dan inspiratif.
Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi
Richard P. Dober, melalui bukunya Campus Design, menawarkan prinsip-prinsip desain yang relevan untuk menciptakan kampus yang tidak hanya fungsional tetapi juga bermakna. Salah satu konsep utama yang diusung Dober adalah placemaking—proses menciptakan ruang yang mendukung identitas institusi dan kebutuhan komunitasnya. Dalam konteks mahasiswa, ini berarti kampus harus dirancang untuk memfasilitasi pembelajaran, kolaborasi, dan interaksi sosial, sekaligus mencerminkan nilai-nilai dan karakteristik unik perguruan tinggi tersebut (mission differentiation).
Rekomendasi Dober juga menekankan pentingnya konektivitas fisik antarbagian kampus. Jalur pejalan kaki, taman, dan ruang terbuka hijau menjadi elemen vital yang tidak hanya mendukung mobilitas tetapi juga mendorong interaksi kasual antar mahasiswa dan dosen. Selain itu, Dober merekomendasikan penggunaan elemen visual khas, seperti bangunan ikonik, monumen, atau lanskap unik, yang memberikan identitas kuat bagi kampus. Elemen-elemen ini tidak hanya memperkuat “kebanggaan” mahasiswa terhadap institusinya tetapi juga menciptakan daya tarik bagi calon mahasiswa baru (PMB).
Dengan mengadaptasi prinsip-prinsip Dober ke dalam konteks lokal, kampus-kampus di Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih bermakna, nyaman, dan sesuai dengan kebutuhan iklim tropis serta keberagaman budaya. Misalnya, ruang-ruang terbuka yang rindang, bangunan dengan ventilasi alami, dan taman yang dirancang untuk kegiatan sosial maupun akademik akan memberikan pengalaman belajar yang optimal bagi mahasiswa. Inspirasi dari Dober ini menjadi pijakan yang kuat dalam membangun kampus yang tidak hanya memenuhi kebutuhan fungsional tetapi juga memberikan dampak emosional dan sosial yang mendalam.
Baca juga: Tak Kenal Maka Tak Sayang: Mengenal Lebih Dekat 6 Tujuan SPMI
Bagi kampus kecil dengan anggaran terbatas, membangun sarana dan prasarana yang ideal sering kali menjadi tantangan besar. Namun, keterbatasan finansial bukan berarti perguruan tinggi harus mengorbankan mutu. Pendekatan strategis dan kreatif dalam perencanaan dapat menjadi kunci untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya yang tersedia. Salah satu caranya adalah dengan fokus pada prioritas utama yang sesuai dengan kebutuhan mendesak dan misi institusi. Misalnya, sebuah perguruan tinggi yang berfokus pada pendidikan teknologi dapat memprioritaskan laboratorium komputer dengan perangkat terkini dibandingkan dengan fasilitas olahraga yang representatif. Penyesuaian ini memungkinkan kampus kecil untuk tetap kompetitif tanpa harus meniru model perguruan tinggi besar. Namun demikian, secara bertahap, kampus kecil dapat meningkatkan mutu sarana prasarana untuk rencana di kemudian hari. Grand design (rencana besar pengembangan sarana prasarana) harus dibuat dulu, agar pembangunan yang bertahap tidak terkesan tambal sulam, tidak hemat dan tidak indah.
Baca juga: Inovasi atau Mati: Integrasi PPEPP dengan Strategic Quality Management
Selain itu, “tema” sarana prasarana juga perlu disesuaikan dengan mission differentiation atau diferensiasi misi dari perguruan tinggi. Setiap kampus memiliki tujuan dan karakteristik unik yang dapat tercermin dalam desain dan fungsi fasilitasnya. Kampus yang berorientasi pada keberlanjutan, misalnya, dapat memanfaatkan desain ramah lingkungan yang hemat biaya seperti penggunaan ventilasi alami atau pencahayaan pasif. Sementara itu, perguruan tinggi berbasis seni dapat memanfaatkan ruang kreatif seperti galeri atau studio seni yang fleksibel untuk mencerminkan misi mereka.
Dengan memusatkan pengembangan pada misi unik kampus, perguruan tinggi kecil tidak hanya dapat menghemat anggaran namun juga menciptakan nilai tambah yang membedakan mereka dari institusi lain. Strategi ini menjadikan sarana dan prasarana sebagai elemen yang mendukung keberlanjutan akademik sekaligus memperkuat daya tarik institusi di mata mahasiswa dan masyarakat.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Baca juga: Mission Differentiation dan Positioning: Pilar Baru SPMI?
Mahasiswa masa kini semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan lingkungan. Kampus yang ideal adalah kampus yang mengadopsi praktik ramah lingkungan, seperti penggunaan energi terbarukan, pengelolaan limbah yang baik, dan inisiatif hijau lainnya. Standar SPMI dapat memasukkan keberlanjutan sebagai salah satu standar utama untuk memastikan bahwa kampus tidak hanya melayani generasi saat ini, tetapi juga generasi mendatang.
Prinsip desain yang bermakna, seperti yang direkomendasikan oleh Dober, dan strategi kreatif dalam menyiasati keterbatasan anggaran harus berjalan beriringan. Keduanya perlu berpadu dengan praktik keberlanjutan untuk menciptakan kampus yang tidak hanya relevan bagi generasi masa kini, tetapi juga mampu menghadirkan dampak positif yang melintasi waktu. Pendekatan ini memungkinkan kampus dari berbagai skala, baik besar maupun kecil, untuk mengoptimalkan fasilitas mereka sesuai dengan misi masing-masing.
Dengan fokus pada harapan mahasiswa (stakeholder utama), kampus dapat menjadi lebih dari sekadar tempat belajar. Ia akan menjadi ruang hidup yang mendukung pertumbuhan intelektual, emosional, dan sosial, menciptakan pengalaman pendidikan yang bermakna dan berdampak jangka panjang. Dalam konteks ini, kampus ideal tidak harus mahal, tetapi harus cerdas, adaptif, dan peduli terhadap keberlanjutan. Stay Relevant!
Baca juga: SPMI Tanpa Knowledge Management? Jurang Kegagalan!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Kepemimpinan dalam pendidikan tinggi semakin diuji di era Artificial Intelligence (AI) yang penuh dinamika ini. Dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di Pendidikan Tinggi, kemampuan pemimpin untuk menyeimbangkan perhatian terhadap “tugas” (task) dan “manusia” (people) menjadi faktor penentu keberhasilan organisasi. Namun, tentu kita masih bertanya, apakah para pemimpin perguruan tinggi benar-benar memiliki kemampuan untuk mendekati atau mencapai skor 9,9—perpaduan ideal antara perhatian terhadap “tugas” dan perhatian terhadap “manusia”—dalam framework model Managerial Grid? Mari kita kupas bersama.
Model Managerial Grid, yang dikembangkan oleh Blake dan Mouton, menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana pemimpin dapat mengelola tim (bawahan) secara efektif. Dalam konteks SPMI, hal ini berarti menjaga keseimbangan antara pencapaian kinerja standar SPMI (perhatian pada “tugas”) dengan pencapaian hubungan harmonis pada “manusia” (bawahan). Skor 9,9 bukan hanya sekadar angka biasa, namun refleksi dari kepemimpinan yang ideal (team management).
Baca juga: SPMI di Era AI: Apakah Gaya Kepemimpinan Anda Siap Beradaptasi?
Implementasi SPMI membutuhkan komitmen yang tinggi untuk menyusun dan mencapai standar mutu secara berkelanjutan. Komitmen ini harus dibangun bersama dengan budaya mutu yang terus berkembang, dan inti dari semua ini adalah fungsi kepemimpinan yang efektif. Lalu, seperti apa model kepemimpinan yang ideal untuk mendukung pencapaian standar SPMI? Dalam konteks ini, perhatian terhadap “tugas” (task) menjadi elemen yang sangat krusial. Pemimpin bertanggung jawab memastikan bahwa setiap tahap dalam siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) dilakukan secara konsisten, berbasis data, dan berorientasi pada hasil. Fokus yang kuat pada “tugas” menjadi landasan untuk mencapai keunggulan operasional dan efektivitas implementasi.
Namun, fokus yang berlebihan pada target dan angka-angka dapat menjadi pedang bermata dua. Tekanan untuk memenuhi standar yang tinggi sering kali menciptakan konflik atau bahkan kelelahan emosional di kalangan tim. Inilah mengapa perhatian terhadap “manusia” (people) menjadi sama pentingnya. Model kepemimpinan dengan skor 9,9 dalam Managerial Grid menjadi pengingat bahwa di balik target yang ambisius terdapat individu-individu yang membutuhkan perhatian, pengakuan, dan motivasi. Ketika pemimpin memberikan perhatian yang tulus kepada kesejahteraan tim—seperti memastikan keseimbangan kerja-hidup, menyediakan dukungan emosional, atau mengapresiasi kontribusi mereka—mereka tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang sehat, tetapi juga mendorong tim untuk berkomitmen secara kolektif terhadap pencapaian standar mutu SPMI yang lebih tinggi. Dengan keseimbangan ini, kepemimpinan tidak hanya menjadi alat pencapaian target, namun juga landasan untuk membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh dan berkelanjutan.
Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023
Keseimbangan antara fokus pada “tugas” dan “manusia”—yang tercermin dalam skor 9,9 pada Managerial Grid—tidak hanya menciptakan harmoni, namun juga memberdayakan tim untuk memberikan kinerja terbaik mereka. Ketika pemimpin menunjukkan perhatian tinggi terhadap “tugas” (yang direpresentasikan pada sumbu horizontal), mereka menetapkan target yang jelas, memberikan bimbingan strategis, dan memastikan setiap individu memahami tanggung jawab mereka dalam mencapai tujuan institusi. Tugas ini menjadi elemen kunci dalam implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), yang sering kali membutuhkan koordinasi yang solid lintas departemen atau unit kerja.
Namun, keberhasilan SPMI tidak cukup hanya dengan perhatian pada “tugas” saja. Perhatian terhadap manusia (sumbu vertikal) menjadi sama pentingnya, memastikan bahwa setiap sumber daya manusia merasa didengarkan, dihargai, dan didukung. Gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada tugas semata (tipe 9,1) berisiko memicu konflik dan resistensi dalam organisasi. Sebaliknya, Gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada “manusia” semata (tipe 1,9) berisiko organisasi tidak produktif sama sekali, karena pimpinan terlalu fokus satu sisi, hanya perhatian pada manusia saja, sehingga pelaksanaan tugas cenderung diabaikan. Lalu bagaimana yang ideal? Yang ideal adalah seorang pemimpin tipe 9,9—yang mewujudkan kepemimpinan berbasis team management—adalah pemimpin yang paling ideal yang mampu mengubah resistensi menjadi kolaborasi.
Pemimpin tipe 9,9 menunjukkan empati, mendengarkan kritik dan masukan dari anggota tim, serta melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Pendekatan ini tidak hanya menggerakkan tim untuk bekerja lebih efektif, tetapi juga menumbuhkan motivasi dan rasa memiliki yang mendalam terhadap organisasi. Pada akhirnya, gaya kepemimpinan ini menjadi landasan yang kokoh untuk mendorong keberhasilan SPMI sekaligus memperkuat budaya mutu dalam organisasi.
Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi
Budaya mutu yang berkelanjutan tidak dapat dicapai bila hanya mengandalkan “ketersediaan” dokumen kebijakan, standar dan prosedur (not sufficient). Budaya mutu memerlukan leadership yang kuat, leader yang inspiratif dan mampu membangun sinergi antara “tugas” dan “manusia”. Skor 9,9 pada Managerial Grid menjadi simbol “kepemimpinan ideal” yang mampu membawa perubahan positif dan membangun landasan mutu yang kokoh.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pemimpin di perguruan tinggi Anda telah mencapai keseimbangan ini? Jika belum, saatnya untuk berinvestasi dalam pengembangan kepemimpinan yang adaptif dan berorientasi pada keseimbangan. Stay Relevant!
Baca juga: Tools Canggih untuk SPMI: Tips Mengurai Benang Kusut
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), telah merevolusi berbagai sendi-sendi kehidupan, termasuk dunia pendidikan tinggi. Dalam konteks implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), tantangan baru muncul di tengah kebutuhan untuk memadukan kecanggihan teknologi AI dengan sentuhan manusiawi (human relation skills). Pertanyaannya kini bukan hanya apakah pemimpin perguruan tinggi mampu menghadapi perubahan ini, tetapi juga apakah mereka bersedia (mau) menyesuaikan gaya kepemimpinan mereka agar tetap relevan dan efektif di era AI yang terus berkembang.
AI membuka peluang banyak hal untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pekerjaan. Dalam sekejap AI mampu pengumpulan data, analisis, hingga evaluasi mutu pendidikan. Namun, persoalannya meski teknologi ini menawarkan keunggulan signifikan, ia tidak dapat menggantikan peran penting hubungan antar manusia khususnya leadership skills dalam membangun budaya mutu (quality culture) yang kokoh. Untuk itu, keterampilan kepemimpinan untuk memberikan arahan, membimbing, dan mendelegasikan menjadi sangat penting. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard menawarkan pendekatan yang fleksibel. Dengan gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin menghadapi dinamika perubahan teknologi sambil tetap menjaga keterlibatan emosional dan kepercayaan antar anggota tim.
Baca juga: Kampus dan Industri: Mengapa Respons Perguruan Tinggi Jadi Penentu di Era AI?
Era AI sungguh luar biasa, menuntut integrasi teknologi dalam proses SPMI, seperti penerapan siklus PPEPP (penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian dan peningkatan standar) dalam manajemen mutu pendidikan di perguruan tinggi. Contoh integrasi penggunaan perangkat lunak untuk analisis data mutu akademik atau sistem pemantauan pembelajaran, akan sangat membantu efisien pekerjaan. Namun, keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada kesiapan SDM yang memakainya. Gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan Hersey dan Blanchard, memungkinkan pemimpin perguruan tinggi dari rektor, dekan dan struktural lainnya untuk menyesuaikan gaya memimpin berdasarkan tingkat kesiapan teknis dan emosional anak buah. Ketika staf merasa tidak percaya diri dengan teknologi baru, gaya “Directing” (perintah) dapat digunakan untuk memberikan arahan dan bimbingan yang jelas.
Namun, lain lagi, bila anggota tim yang mulai memahami teknologi tetapi masih ragu dan membutuhkan dorongan, pemimpin dapat beralih ke gaya “Coaching” (membimbing). Dengan gaya ini pemimpin memberikan semangat, motivasi dan panduan yang diperlukan agar teknologi yang baru dipelajari dapat bejalan efektif. Adapun, bagi anggota staf yang sudah pandai dan mahir, pemimpin dapat mendelegasikan tanggung jawab penuh dengan gaya “Delegating” (delegasi). Dengan gaya ini memungkinkan anak buah bersemangat untuk bebas menjalankan peran mereka secara mandiri sambil tetap ada pantauan oleh pimpinan. Dalam kasus diatas, pemimpin berperan optimal sebagai jembatan antara inovasi teknologi dengan dinamika kemampuan bawahan yang heterogen.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi AI, kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan atau ketidakpastian sering kali menjadi bayangan yang menghantui para pegawai. Resistensi terhadap perubahan ini dapat menjadi penghambat keberhasilan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Di sinilah gaya kepemimpinan “Supporting” (dukungan / merangkul) memainkan peran penting. Dengan berempati dan mendengarkan kekhawatiran staf, pemimpin menunjukkan bahwa AI dirancang bukan untuk menggantikan, namun untuk memudahkan pekerjaan mereka. Dengan gaya ini (supporting), pemimpin dapat membangun kepercayaan dan mengikis keragu-raguan yang muncul.
Lebih jauh lagi, pemimpin yang adaptif harus mampu memanfaatkan teknologi untuk mengurangi tugas-tugas administratif yang repetitif, dengan cara ini, pemimpin memberikan ruang bagi staf untuk fokus pada inovasi dan pengembangan mutu pendidikan (SPMI). Dengan pendekatan gaya situasional, pemimpin tidak hanya mengelola perubahan namun juga mengubah kekhawatiran menjadi peluang. Resistensi (penolakan) yang awalnya ditakuti dapat dirubah menjadi energi untuk menciptakan inovasi dan budaya mutu yang lebih baik.
Baca juga: Dari Visi ke Aksi: Kepemimpinan Transformasional dalam Menggerakkan SPMI
Era AI bukan sekadar tentang teknologi, tetapi juga tentang cara kita memimpin, berkomunikasi, dan beradaptasi. Sumber Daya Manusia (SDM) di perguruan tinggi harus mampu memandang teknologi sebagai peluang untuk berkembang, bukan sebagai ancaman. Dengan mengadopsi gaya kepemimpinan situasional, rektor, dekan, dan para pemimpin lainnya dapat memastikan bahwa setiap individu dalam organisasi berkontribusi secara produktif dalam proses Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan).
Transformasi ini memerlukan kesadaran mendalam (awareness) bahwa keberhasilan SPMI tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan AI yang digunakan, namun juga oleh cara AI tersebut diintegrasikan secara harmonis ke dalam ekosistem manusia di perguruan tinggi. Gaya kepemimpinan yang adaptif menjadi kunci untuk menciptakan keseimbangan ideal antara teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan, memperkuat peran pendidikan tinggi sebagai pilar inovasi dan kemajuan.
Baca juga: Harmoni Palsu: Fenomena Groupthink dalam Implementasi SPMI
Pada akhirnya, tujuan utama SPMI adalah menciptakan budaya mutu yang berkelanjutan. AI dapat membantu dalam menyediakan data dan wawasan yang lebih baik, tetapi manusia tetap menjadi penggerak utama dalam menciptakan perubahan yang berarti. Gaya kepemimpinan situasional memungkinkan pemimpin untuk mengarahkan, mendukung, dan mendelegasikan peran dengan cara yang ideal yang mampu memberdayakan seluruh elemen organisasi.
Di tengah tantangan era AI, pemimpin yang fleksibel dan adaptif akan mampu membangun kolaborasi yang solid antara manusia dan teknologi. Ketika semua pihak merasa didukung, dihargai dan diberdayakan, keberhasilan SPMI bukan lagi sekadar visi, melainkan realitas yang bakal terwujud. Apakah Anda benar-benar siap memimpin tantangan perubahan ini? Stay Relevant!
Baca juga: SPMI dan Teori Kepemimpinan Manajerial Grid
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Di era kecerdasan buatan (AI) yang terus tumbuh dan berkembang, hubungan antara perguruan tinggi dan dunia industri menjadi semakin kritis. Perubahan drastis yang dipicu oleh otomatisasi dan teknologi canggih telah menggeser kebutuhan sumber daya manusia (SDM), menuntut keterampilan baru yang lebih kompleks, kreatif dan multidisiplin. Dampaknya terasa nyata, dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai industri sebagai respons terhadap disrupsi teknologi. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan dasar: sudahkah perguruan tinggi merespons dengan tepat dan cepat kebutuhan dunia usaha dan industri di era AI? Dan bagaimana respons ini dapat menentukan keberhasilan lulusan serta menjaga relevansi institusi pendidikan tinggi di tengah perubahan yang begitu dinamis?
Kolaborasi dan kerja sama antara kampus dan industri di era AI tidak lagi sekadar tentang mencetak tenaga kerja yang siap memenuhi tuntutan pasar, namun juga tentang membentuk lulusan yang mampu menjadi inovator, problem solver, dan pemimpin perbaikan di masa depan. Perguruan tinggi harus bergerak cepat (speed) untuk beradaptasi dengan lanskap yang terus berubah ini, menyelaraskan kurikulum dan metode pengajaran dengan kebutuhan industri berbasis teknologi. Artikel ini mengajak kita untuk mengeksplorasi bagaimana perguruan tinggi dapat merespons dinamika ini dengan lebih cerdas dan strategis, serta mengapa kecepatan dan ketepatan respons menjadi penentu keberhasilan institusi.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Revolusi industri 4.0, yang ditandai dengan dominasi kecerdasan buatan (AI), big data, dan otomatisasi, telah menciptakan disrupsi dan lanskap baru dalam dunia kerja. Pekerjaan tradisional yang dahulu menjadi tulang punggung ekonomi kini berubah semua, perlahan tapi pasti tergantikan oleh teknologi canggih. Di sisi lain, kebutuhan akan keterampilan baru seperti analisis data, pemrograman, pembelajaran mesin, dan pemikiran kritis terus meningkat. Tak hanya itu, kemampuan emosional atau soft skills, seperti komunikasi, kerja tim, kreativitas, dan adaptabilitas, semakin menjadi penentu keberhasilan, melengkapi keunggulan teknis (technical skills) yang dimiliki individu.
Bagi perguruan tinggi, tantangan ini tentu harus menjadi panggilan untuk terus melakukan pembaruan besar dalam kurikulum, sarana prasarana dan pendekatan pengajaran. Tidak cukup hanya menawarkan program studi berbasis teknologi, institusi harus melatih mahasiswa untuk berpikir kritis, kreatif, bekerja secara kolaboratif dalam tim multidisiplin, serta mampu mengintegrasikan inovasi teknologi dengan solusi nyata bagi masyarakat. Respons yang lambat terhadap perubahan ini bukan hanya memperlebar kesenjangan, namun juga dapat membuat lulusan kehilangan relevansi di dunia kerja era AI yang bergerak sangat dinamis.
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Di era kecerdasan buatan (AI), perguruan tinggi perlu memperkuat partnership dengan dunia industri dan dunia usaha untuk memastikan relevansi program pendidikan. Kerja sama ini dapat mencakup pengembangan kurikulum berbasis teknologi, penelitian bersama dalam bidang AI, hingga penyelenggaraan pelatihan dan magang yang melibatkan para profesional industri. Melalui kolaborasi semacam ini, mahasiswa tidak hanya belajar teori di laboratorium dan ruang kelas, namun juga mendapatkan pengalaman praktik langsung di lapangan. Pengalaman praktis ini menjadi elemen penting dalam menciptakan proses pembelajaran yang holistik dan aplikatif.
Selain itu, teknologi berbasis AI dapat menjadi jembatan untuk memperkuat hubungan partnership antara perguruan tinggi dan dunia industri. Platform digital dapat digunakan untuk memantau kebutuhan industri secara real-time, membantu perguruan tinggi merancang program kegiatan yang sesuai dengan tren dan tuntutan global. Program pembelajaran berbasis AI memungkinkan penyesuaian kurikulum, metode pengajaran dengan perkembangan terkini, menjadikan proses belajar mengajar lebih relevan. Namun, untuk mewujudkan semua ini, perguruan tinggi juga harus siap dengan SDM yang kompeten serta sarana prasarana yang memadai. Dengan langkah ini, perguruan tinggi tidak hanya memperkuat posisinya sebagai pusat pendidikan dan inovasi, namun juga sebagai mitra strategis dalam ekosistem industri yang terus berkembang.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Perguruan tinggi yang responsif terhadap perubahan di era kecerdasan buatan (AI) tidak hanya mencetak lulusan yang siap kerja, namun juga menjadi pelopor dalam menciptakan inovasi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Respons yang tepat dan cepat mencakup pembaruan kurikulum, investasi pada teknologi pembelajaran mutakhir, serta pembentukan jejaring kerja yang erat dengan industri terkait. Lebih dari itu, perguruan tinggi diharapkan mampu menjadi pioner menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan di sektor yang belum ada saat ini, namun akan menjadi kebutuhan skills untuk masa depan. Hal ini akan menempatkan institusi sebagai perguruan tinggi unggulan yang visioner.
Namun, respons ini tidak cukup hanya sekadar cepat. Perguruan tinggi juga harus memastikan bahwa inovasi yang dilakukan tidak hanya menjawab kebutuhan saat ini, namun juga memiliki dampak berkelanjutan. Salah satu elemen kunci untuk mencapai visi ini adalah melalui proses evaluasi dan umpan balik (feedback) yang melibatkan mahasiswa, dosen, staf serta mitra industri. Proses ini memastikan bahwa setiap program tetap relevan, efektif, dan adaptif terhadap perubahan yang terjadi.
Penting pula bagi perguruan tinggi untuk secara berkala memperbarui dokumen mutu pendidikan mereka, seperti visi, misi, kebijakan, dan standar dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI). Dokumen-dokumen ini adalah peta jalan yang mengarahkan seluruh aktivitas akademik dan pengelolaan institusi, sekaligus menjadi landasan dalam menjawab tantangan era AI. Dengan melakukan pembaruan (update) yang terus menerus, perguruan tinggi dapat menjaga arah strategis yang sesuai dengan perkembangan zaman, memastikan bahwa misi unik (mission differentiation) mereka tetap relevan, kebijakan tetap proaktif, dan standar mutu SPMI terus ditingkatkan. Respons yang terarah dan didukung oleh dokumen mutu yang kuat inilah yang akan membawa perguruan tinggi ke masa depan yang lebih optimis.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Di era AI, respons perguruan tinggi terhadap kebutuhan dunia industri menjadi lebih krusial dari tahun-tahun sebelumnya. Kolaborasi yang erat, penggunaan teknologi yang cerdas, dan pendekatan inovatif dapat memastikan bahwa lulusan tidak hanya relevan, namun juga siap memimpin perubahan di masa depan. Perguruan tinggi yang responsif terhadap dinamika industri di era AI akan memainkan peran penting sebagai katalisator inovasi dan pembangunan. Keberhasilan institusi kini diukur dari kemampuannya untuk menjembatani pengetahuan dengan praktik, sekaligus menciptakan karya nyata bagi dunia yang terus berubah. Stay Relevant!
Baca juga: Lima Prinsip SPMI: Fondasi Kokoh Menuju Keunggulan Institusi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi sering kali dipandang oleh masyarakat sebagai pusat inovasi, pusat pembelajaran, dan pendorong perubahan sosial. Telah kita maklumi bersama, bahwa keberhasilan institusi pendidikan tinggi tidak terlepas dari peran krusial dari segenap dosen dan tenaga kependidikan. Mereka adalah pilar utama yang memastikan roda akademik, non-akademik, dan administrasi berputar dengan lancar, menjadikan visi dan misi perguruan tinggi bukan sekadar dokumen, namun sebagai acuan, inspirasi dan arah kebijakan yang harus diwujudkan setiap hari.
Meski demikian, pertanyaan mendasar tetap muncul: seberapa besar perhatian yang diberikan institusi perguruan tinggi untuk melayani dan memuliakan mereka dengan sepenuh hati? Dosen dan tenaga kependidikan adalah stakeholder kunci yang, jika dipuaskan kebutuhan dan keinginannya, dapat bekerja dengan loyalitas tinggi dan motivasi yang tak tergoyahkan. Artikel ini akan mengupas bagaimana perguruan tinggi dapat merawat, memberdayakan, dan menciptakan kebahagiaan bagi mereka—karena pada akhirnya, keberhasilan institusi bergantung pada kebahagiaan, motivasi dan semangat mereka yang penuh berdedikasi.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Baca juga: SPMI dan Teori Motivasi Maslow
Dosen adalah ujung tombak dalam mencetak generasi penerus yang unggul. Lebih dari sekadar pengajar, mereka adalah peneliti yang menggali pengetahuan baru, mentor yang membimbing mahasiswa menuju potensinya, dan inspirator yang menanamkan motivasi dan semangat pembelajaran. Dalam menjalankan peran ini, dosen menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari beban mengajar dan target penelitian hingga kewajiban pengabdian kepada masyarakat. Tidak jarang, tanggung jawab administratif juga menambah beban mereka. Untuk mendukung peran strategis ini, perguruan tinggi harus menyediakan fasilitas yang memadai, seperti ruang kerja yang tenang dan nyaman, kemudahan akses ke jurnal internasional, serta dukungan penuh untuk menghadiri konferensi atau pelatihan guna meningkatkan kapasitas mereka.
Namun, pelayanan kepada dosen tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas fisik. Mereka juga membutuhkan pengakuan atas kontribusi yang telah diberikan. Penghargaan formal, sistem reward yang adil dan layak, serta kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan strategis di kampus adalah bentuk penghormatan yang menunjukkan bahwa mereka dihargai sebagai mitra utama. Dengan pendekatan yang inklusif ini, dosen tidak hanya merasa didukung secara profesional, namun juga dihormati secara personal, menjadikan mereka pendorong utama kemajuan perguruan tinggi.
Baca juga: SPMI dan Teori Motivasi ERG
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Sementara dosen sering menjadi “wajah” perguruan tinggi, tenaga kependidikan adalah penopang (suporting) tak terlihat di balik layar yang memastikan roda institusi terus berputar dengan lancar. Mereka mengelola administrasi, mendukung operasional kampus, dan menjadi penghubung penting antara mahasiswa, dosen, serta manajemen. Tanpa kontribusi dan peran mereka, sistem perguruan tinggi tidak akan mampu berjalan dengan efektif dan efisien.
Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus memberikan perhatian serius kepada keinginan dan kebutuhan tenaga kependidikan. Cintai, layani dan hormati mereka sebagai salah satu stakeholder intenal yang penting. Berikan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan dan motivasi mereka. Langkah ini tidak hanya memperkuat motivasi dan kinerja individu, namun juga memperkokoh eksistensi institusi. Lebih dari itu, perguruan tinggi perlu menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan nyaman, di mana tenaga kependidikan merasa dihormati, didukung, dan memiliki kesempatan untuk berkembang. Kesejahteraan mereka bukan hanya soal gaji atau tunjangan yang adil, namun juga tentang membangun budaya kerja yang inklusif, suportif, dan berorientasi pada kualitas kehidupan kerja (Quality of Work Life/QWL). Dengan demikian, tenaga kependidikan akan semakin setia, loyal dan dapat memberikan dedikasi yang terbaik.
Baca juga: Motivasi dan SPMI: Mengapa Keduanya Tak Terpisahkan
Baca juga: Akreditasi: Simbol atau Substansi?
Dosen dan tenaga kependidikan adalah dua elemen yang saling melengkapi dalam ekosistem perguruan tinggi, bekerja bersama untuk memastikan keberlangsungan visi dan misi institusi. Untuk melayani mereka dengan sepenuh hati, perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan yang holistik. Institusi perlu mendengarkan dan berempati terhadap harapan dan kebutuhan mereka, memberikan umpan balik (feedback) yang membangun, serta menyediakan sumber daya yang memadai untuk mendukung pekerjaan mereka. Kolaborasi yang erat antara manajemen dan stakeholder internal ini akan menciptakan lingkungan kerja yang produktif, harmonis, dan berkelanjutan.
Dengan memberikan perhatian yang tulus kepada dosen dan tenaga kependidikan, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan budaya mutu, namun juga memperkuat reputasi sebagai institusi yang adaptif dan siap menghadapi tantangan masa depan. Ketika mereka merasa dihargai dan didukung, semangat untuk berkontribusi pun akan tumbuh, memberikan dampak yang besar tidak hanya bagi mahasiswa, tetapi juga bagi masyarakat luas yang menjadi bagian dari ekosistem pendidikan tinggi.
Baca juga: Teori 2 Faktor: Memadukan SPMI dengan Motivasi Intrinsik
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Dosen dan tenaga kependidikan bukan sekadar pekerja di kampus, mereka adalah pilar utama yang menopang keberhasilan institusi pendidikan tinggi. Mereka bukan hanya mendukung roda akademik dan administratif, namun juga memberikan jiwa pada ekosistem pendidikan. Melayani mereka dengan cermat berarti menyediakan fasilitas yang nyaman, dukungan yang berkelanjutan, dan pengakuan yang tulus atas kontribusi mereka. Dengan menciptakan ruang untuk tumbuh dan berkembang, perguruan tinggi akan mampu membangun ekosistem akademik yang inklusif, berkelanjutan, dan penuh makna.
Keberhasilan sebuah kampus tidak hanya diukur dari pencapaian akademik semata, namun juga dari bagaimana ia menghargai individu-individu yang dengan dedikasi dan semangatnya ikut membangun institusi. Karena sejatinya, di balik setiap mahasiswa yang berhasil, terdapat kerja keras dosen dan tenaga kependidikan yang tak pernah lelah mendukung. Sebagaimana Maya Angelou pernah berkata, “People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.” Dengan menghargai, membahagiakan dan melayani mereka dengan sepenuh hati, perguruan tinggi menciptakan fondasi yang kuat untuk masa depan yang lebih cerah. Stay Relevant!
Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi tidak hanya menjadi pusat pendidikan dan penelitian, tetapi juga memikul tanggung jawab besar untuk melayani, menghormati dan membahagiakan masyarakat. Sebagai salah satu stakeholder utama, masyarakat menaruh harapan besar terhadap institusi pendidikan tinggi: membantu memecahkan berbagai persoalan sosial, memberdayakan komunitas, dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, pertanyaan kritis terus muncul: sejauh mana perguruan tinggi mampu memenuhi harapan ini secara efektif dan berkelanjutan? Apakah kontribusi yang diberikan benar-benar signifikan atau hanya sebatas formalitas?
Pengabdian kepada masyarakat bukan sekadar kewajiban moral, melainkan bagian penting dari Tridharma Perguruan Tinggi. Melalui program-program pengabdian, perguruan tinggi dapat berperan sebagai katalisator perubahan, membangun hubungan harmonis dengan komunitas sekitar, dan menciptakan dampak yang nyata serta berkelanjutan. Sebuah perguruan tinggi yang berhasil melayani masyarakat tidak hanya membuktikan relevansi dirinya, namun juga meletakkan landasan bagi kemajuan sosial yang lebih luas.
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Masyarakat (public) bukan sekadar penerima manfaat dari program perguruan tinggi, tetapi merupakan mitra aktif dalam proses pengabdian. Ketika perguruan tinggi melaksanakan program-program pengabdian pada masyarakat (PkM), seperti bakti sosial, pelatihan keterampilan atau penyuluhan, masyarakat tidak hanya menerima hasilnya, namun juga berkontribusi sebagai tim kerja yang memberikan masukan dan umpan balik berharga. Peran aktif masyarakat ini memastikan bahwa inisiatif dan program yang dijalankan benar-benar relevan, tepat sasaran dengan kebutuhan lokal dan memiliki dampak jangka panjang yang berkelanjutan.
Lebih dari itu, melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program menciptakan rasa kepemilikan yang kuat. Kolaborasi yang harmonis semacam ini tidak hanya mempererat hubungan antara kampus dan komunitas, namun juga membangun kepercayaan (trust) yang menjadi landasan kokoh bagi sinergi yang lebih besar di masa depan. Dengan pendekatan ini, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa program-program PkM yang dirancang tidak hanya menjawab kebutuhan, namun juga selaras dengan aspirasi masyarakat. Harapannya, institusi akan semakin dihormati, dicintai dan disayangi oleh masyarakat.
Untuk mencapai hal tersebut, perguruan tinggi perlu lebih sering hadir di tengah komunitas lokal. Dialog langsung dengan masyarakat memungkinkan perguruan tinggi memahami lebih dalam problematika yang mereka hadapi. Dari sini, sinergi yang efektif dan efisien dapat dibangun. Program kerja hendaknya disusun melalui kombinasi pendekatan bottom-up dan top-down yang terintegrasi, sehingga mampu menjembatani kebutuhan masyarakat dengan visi dan misi unik perguruan tinggi (mission differentiation). Dengan cara ini, pengabdian kepada masyarakat (PkM) bukan hanya menjadi kewajiban formal, namun merupakan program kerja yang dibangun dengan niat tulus untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas.
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Di era modern ini, perguruan tinggi memiliki banyak peluang untuk mengintegrasikan inovasi teknologi dalam pelayanan kepada masyarakat. Teknologi tepat guna adalah tools yang sangat berharga bila dirancang dengan baik. Contohnya, penggunaan aplikasi digital untuk memberikan pelatihan keterampilan, seminar daring, atau akses ke informasi kesehatan yang vital. Teknologi ini memungkinkan perguruan tinggi menjangkau masyarakat yang lebih luas, termasuk di daerah terpencil, sekaligus meningkatkan efektivitas program yang dijalankan. Misalnya pengembangkan Massive Open Online Courses (MOOCs), sebagai platform pembelajaran online yang praktis, bisa diakses dari mana saja dengan waktu yang fleksibel.
Namun, teknologi saja belum cukup. Perguruan tinggi harus memastikan bahwa inovasi yang dihadirkan tetap berlandaskan pendekatan humanis. Masyarakat harus merasa didengar dan dihormati dalam setiap proses, sehingga teknologi menjadi alat untuk mempererat hubungan, bukan sekadar alat distribusi satu arah.
Baca juga: Akreditasi: Simbol atau Substansi?
Melayani masyarakat adalah tugas mulia yang penuh tantangan. Keterbatasan anggaran, rendahnya motivasi untuk berbagi, koordinasi antar pihak yang tidak selalu sejalan, serta kesenjangan antara harapan dan realitas sering kali menjadi hambatan dalam menjalankan program pengabdian. Untuk mengatasi ini, perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan kolaboratif yang melibatkan berbagai elemen, seperti pemerintah daerah, organisasi keagamaan, ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan sektor swasta. Kolaborasi lintas sektor ini tidak hanya membantu mengatasi keterbatasan sumber daya, tetapi juga memperluas jangkauan serta meningkatkan dampak program pengabdian.
Selain itu, evaluasi menjadi langkah penting yang tidak boleh diabaikan. Perguruan tinggi harus melibatkan masyarakat dalam proses evaluasi untuk memahami sejauh mana program yang dijalankan relevan dan memberikan manfaat nyata. Dengan mendengar langsung umpan balik dari komunitas, perguruan tinggi dapat terus memperbaiki dan menyesuaikan program mereka agar lebih efektif dan sesuai kebutuhan. Pendekatan ini memastikan bahwa pengabdian kepada masyarakat tidak hanya menjadi formalitas, tetapi sebuah usaha yang benar-benar memberikan dampak positif dan berkelanjutan.
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Masyarakat sebagai stakeholder adalah elemen utama dalam ekosistem pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang benar-benar melayani masyarakat tidak boleh hanya menjalankan program pengabdian sebagai formalitas atau kewajiban administratif belaka, namun harus berkomitmen penuh untuk menciptakan dampak nyata yang dirasakan oleh komunitas. Dengan semangat kolaborasi yang erat, inovasi yang relevan, dan pendekatan humanis yang tulus, perguruan tinggi dapat menjadi pilar kokoh dalam membangun masyarakat madani yang lebih sejahtera, mandiri, dan berdaya.
Pada akhirnya, keberhasilan sebuah perguruan tinggi tidak hanya ditentukan oleh peringkat akreditasi atau prestasi akademik yang diraihnya, namun oleh seberapa besar kontribusi nyata terhadap kemajuan sosial, kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat. Perguruan tinggi yang mampu menjembatani kesenjangan antara teori ilmu pengetahuan dengan kebutuhan masyarakat. Perguruan tinggi yang berperan lebih dari sekadar institusi biasa—ia menjadi katalisator perubahan yang memberi makna pada setiap langkahnya.
Sebagai penutup, perguruan tinggi tidak boleh menjadi “menara gading” yang jauh dari realitas dan kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, ia harus menjadi mitra sejati yang dekat dengan komunitas, hadir dengan solusi, dan siap berempati untuk mendengarkan. Dengan demikian, perguruan tinggi tidak hanya mencetak lulusan yang unggul, namun juga membangun peradaban yang lebih baik bagi generasi mendatang. Stay Relevant!
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Akreditasi telah menjadi simbol penting bagi perguruan tinggi dalam menunjukkan peringkat mutu mereka. Mendapatkan akreditasi unggul sering kali dianggap sebagai puncak prestasi yang mencerminkan kinerja institusi. Hanya saja, di balik hal tersebut, muncul pertanyaan: apakah akreditasi hanya sekadar simbol, atau benar-benar mencerminkan substansi mutu pendidikan yang dapat dipercaya?
Institusi perguruan tinggi sering kali menghadapi dilema dalam menyeimbangkan antara pemenuhan regulasi dan menciptakan dampak nyata. Ketika akreditasi terlalu fokus pada pengumpulan dokumen dan kepatuhan prosedur, esensi pendidikan tinggi sebagai penggerak perubahan dan inovasi sering kali terpinggirkan (kurang menjadi fokus utama).
Baca juga: Siapa Saja Stakeholder Perguruan Tinggi? Mengenal, Memahami dan Melayani
Akreditasi secara umum bertujuan memastikan bahwa perguruan tinggi memenuhi standar / kriteria tertentu dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (PkM). Dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah (BAN-PT atau LAM), akreditasi membantu memberikan kerangka kerja (framework) yang seragam untuk menilai mutu institusi.
Kendati demikian, proses akreditasi sering kali menjadi beban administratif. Perguruan tinggi, dengan sumber daya yang relatif terbatas, fokusnya “beralih” dari upaya menciptakan inovasi dan mutu, menjadi sekadar memenuhi indikator teknis dan persyaratan akreditasi. Institusi berlomba-lomba meraih predikat unggul, namun apakah mutu pendidikan yang dicapai benar-benar dirasakan manfaatnya bagi mahasiswa dan masyarakat luas?
Baca juga: Jangan Biarkan Korupsi Menodai SPMI: Langkah Preventif bagi Perguruan Tinggi
Pemerintah memainkan peran penting dalam menetapkan standar melalui kebijakan seperti Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti). Regulasi ini bertujuan untuk memastikan standar mutu pendidikan tinggi tetap terjaga. Hanya saja, bila terlalu banyak persyaratan untuk mematuhi regulasi dapat membuat perguruan tinggi kehilangan fleksibilitas untuk berinovasi.
Alih-alih menjadi katalis untuk mendorong perubahan, regulasi sering kali dianggap sebagai beban administrasi. Perguruan tinggi terjebak pada upaya pemenuhan dokumen, sementara nilai-nilai inti pendidikan yang jauh lebih relevan terpaksa terpinggirkan. Regulasi yang baik seharusnya mampu memotivasi, mengarahkan dan memfasilitasi perguruan tinggi untuk mencapai mutu secara substansial, bukan sekadar kepatuhan administratif.
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Salah satu tolok ukur keberhasilan pendidikan tinggi adalah sejauh mana memberi kontribusi pada mahasiswa dan masyarakat. Akan tetapi, ketika fokus pada akreditasi menjadi dominasi, pengalaman belajar mahasiswa secara keseluruhan sering kali terabaikan. Kurikulum bisa jadi lebih disesuaikan untuk memenuhi tuntutan standar akreditasi nasional daripada membekali mahasiswa dengan skills yang relevan di tingkat lokal.
Selain itu, program pengabdian kepada masyarakat (PkM) sering kali hanya menjadi formalitas untuk memenuhi persyaratan akreditasi. Sehingga, kontribusi nyata pada permasalahan masyarakat sering kali kurang optimal. Inilah hal-hal yang menjadi tantangan bersama untuk segera dicari solusi pemecahannya.
Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas
Tidak bisa disangkal, akreditasi adalah elemen penting yang tidak dapat dihindari oleh perguruan tinggi. Namun, akreditasi seharusnya tidak hanya menjadi tujuan akhir, melainkan sarana untuk menciptakan manfaat yang lebih besar bagi para stakeholder. Dengan pendekatan yang tepat, akreditasi dapat bertransformasi dari sekadar simbol administratif menjadi alat yang mendorong perbaikan berkelanjutan. Perguruan tinggi harus mampu menemukan keseimbangan antara memenuhi tuntutan regulasi dengan menciptakan dampak nyata melalui pendidikan yang inovatif dan bermutu tinggi.
Kuncinya terletak pada integrasi misi unik perguruan tinggi (mission differentiation) dengan kebutuhan masyarakat serta stakeholder lainnya. Melalui kemitraan strategis, kolaborasi lintas sektor, dan sinergi yang harmonis, perguruan tinggi dapat membuktikan bahwa mereka tidak hanya mengejar pengakuan formal, tetapi juga menanamkan semangat perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) dalam setiap langkah mereka. Dengan semangat ini, perguruan tinggi tidak hanya memenuhi ekspektasi, tetapi juga menjadi agen perubahan yang membawa manfaat bagi generasi kini dan masa depan.
Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023
Akreditasi seharusnya tidak berhenti pada label “simbol” semata. Lebih dari itu, akreditasi harus menjadi cerminan nyata dari mutu pendidikan yang sesungguhnya, relevansi kurikulum yang sejalan dengan kebutuhan zaman, dan dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat luas. Perguruan tinggi tidak cukup hanya fokus pada kepatuhan administratif, namun harus menjadikan akreditasi sebagai tools untuk mendorong transformasi nyata dalam dunia pendidikan. Komitmen ini menuntut keberanian untuk melangkah melampaui rutinitas dan berinovasi demi menciptakan perbaikan yang bermakna.
Sebagai agen perubahan (change agent), perguruan tinggi memiliki peran penting dalam membangun masa depan yang lebih baik. Dengan integrasi visi misi ke setiap program dan kebijakan, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa setiap langkah menuju akreditasi memiliki nilai yang substansial. Hanya dengan komitmen ini, akreditasi akan menjadi instrumen yang tepat guna untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan. Semoga dengan upaya ini, perguruan tinggi dapat terus relevan dan memberi keberkahan bagi umat, Insya Allah. Stay Relevant!
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Perguruan tinggi sesungguhnya lebih dari sekadar institusi pendidikan. Ia adalah bagian dari ekosistem dinamis yang melibatkan berbagai pihak dengan harapan dan kepentingan masing-masing. Dalam menjalankan fungsi Tridharma—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—perguruan tinggi tentu harus pandai membaca, memahami dan mengelola kepentingan masing-masing stakeholder (pemangku kepentingan). Artikel ini akan menguraikan secara singkat siapa saja yang tergolong sebagai stakeholder perguruan tinggi, dan bagaimana tips terbaik untuk melayani, membahagiakan dan memuaskan harapan dan keinginan mereka.
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Mahasiswa adalah stakeholder utama yang menjadi jantung dari perguruan tinggi. Mahasiswa hadir dengan mimpi dan harapan masing-masing. Mereka mendaftar dan diterima, tujuannya untuk mendapatkan pendidikan terbaik yang akan membekali mereka menghadapi peluang dan tantangan masa depan. Perguruan tinggi, tentu saja harus memastikan bahwa kurikulum, dosen, fasilitas, dan tata kelola, semua tersedia dengan baik, dan semua harus dapat memenuhi “need and want” mereka yang terus berkembang. Di era AI saat ini, mahasiswa juga menuntut akses media online, diskusi interaktif, dan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan (skills) non-akademik.
Namun, di sisi lain, mahasiswa bukan hanya pembelajar, mereka juga partner dalam ekosistem pendidikan. Sebagai salah satu stakeholder, suara mereka sangat berharga bagi perguruan tinggi. Dengan melibatkan mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan, seperti sesi brainstorming, survey dan forum diskusi, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa harapan dan usulan mereka didengar. Hal ini tidak hanya meningkatkan kepuasan mahasiswa (customer satisfaction), namun juga menumbuhkan rasa ikut memiliki terhadap institusi.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Baca juga: Stakeholder Utama: Dimana Mahasiswa di Mata Kampus?
Dosen dan tenaga kependidikan adalah SDM penting di balik keberhasilan perguruan tinggi. Mereka bertugas mengawal dan memastikan mutu pendidikan, melakukan penelitian, dan menjalankan pengabdian kepada masyarakat. Kendati demikian, di balik tanggung jawab Tridharma tersebut, dosen dan tenaga kependidikan juga merupakan stakeholder internal. Mereka juga memiliki harapan, keinginan dan kebutuhan.
Untuk memenuhi harapan, keinginan dan kebutuhan tersebut, perguruan tinggi perlu membangun lingkungan kerja yang mendukung atau QWL (quality of work life). Pelatihan / pengembangan, fasilitas penelitian, dan pengakuan atas prestasi adalah beberapa cara yang diperlukan untuk menjaga semangat dosen dan staf tetap tinggi. Dengan merawat budaya kerja yang inklusif dan suportif, perguruan tinggi tidak hanya meningkatkan mutu layanan akademik namun juga membangun loyalitas SDM internal.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Baca juga: Dosen dan Tenaga Kependidikan: Pilar Perguruan Tinggi yang Harus Dilayani dengan Cermat
Dunia kerja, dunia industri adalah stakeholder utama yang sering kali menentukan arah pendidikan tinggi. Industri menginginkan lulusan yang siap bekerja, kreatif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan cepat. Perguruan tinggi memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa kurikulum senantiasa relevan dengan tuntutan DUDI (dunia usaha dan dunia industri).
Salah satu strategi penting yang dapat diterapkan adalah menjalin partnership dengan berbagai sektor DUDI. Program magang di lokasi usaha, penelitian bersama, atau proyek kolaborasi, dapat menjadi jembatan antara teori dan praktik. Melalui kolaborasi ini, perguruan tinggi diharapkan dapat memenuhi harapan dunia kerja, dan juga memberikan pengalaman nyata bagi para mahasiswa.
Baca juga: SPMI Berbasis Pengetahuan: Aset Utama Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab sosial (social responsibility) untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat (PkM) adalah salah satu pilar Tridharma yang memastikan bahwa hasil pendidikan dan penelitian dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Harapan masyarakat mencakup banyak hal, diantaranya solusi problem lokal, pemberdayaan ekonomi, pendidikan, teknologi tepat guna, pelestarian lingkungan hidup dan lain sebagainya.
Untuk memenuhi ekspektasi diatas, perguruan tinggi perlu mengadopsi pendekatan komunikasi yang berbasis partisipasi. Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, brainstorming dan pelaksanaan program untuk memastikan relevansi dan keberlanjutan program kerja. Keberhasilan perguruan tinggi selain diukur dari prestasi akademik, juga dilihat dari sejauh mana dampak program, dirasakan oleh masyarakat luas.
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Baca juga: Masyarakat sebagai Stakeholder: Bagaimana Perguruan Tinggi Melayani?
Sebagai pengarah kebijakan, pemerintah memiliki peran penting untuk membimbing perguruan tinggi mencapai standar mutu tertentu (persyaratan minimal). Selain itu, pemerintah sering kali menjadi sumber pendanaan utama, baik untuk hibah pendidikan, penelitian maupun pengabdian. Harapan pemerintah biasanya fokus pada peningkatan mutu pendidikan, daya saing internasional, dan kontribusi program kerja pada pembangunan nasional.
Untuk memenuhi ekspektasi ini, perguruan tinggi perlu membangun komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan pemerintah. Mematuhi regulasi seperti Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti), melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan melaporkan pencapaian secara transparan pada PDDikti (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi) adalah langkah penting untuk kepatuhan pada regulasi. Kolaborasi yang harmonis dengan pemerintah dapat membuka peluang pendanaan (hibah) dan dukungan untuk program-program kreatif dan inovatif.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Baca juga: Akreditasi: Simbol atau Substansi?
Perguruan tinggi yang berhasil adalah perguruan tinggi yang mampu merangkul, melayani dan memuaskan seluruh stakeholder-nya. Setiap kelompok stakeholder memiliki “need and want” serta harapan yang berbeda-beda. Namun demikian semua harus dilayani melalui pendekatan yang baik, strategi yang inklusif, dan kolaborasi yang saling menguntungkan (win-win). Dengan melayani dan membahagiakan beragam stakeholder tersebut, perguruan tinggi telah menjalankan tugasnya dengan baik, dan sebagai imbalannya, tentu saja institusi akan semakin dicintai, dihormati dan disayangi (oleh stakeholder). Stay Relevant!
Baca juga: Transformasi SPMI: Komunikasi Internal sebagai Game-Changer
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Mutu pendidikan tinggi adalah landasan utama dalam menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Mutu ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kurikulum, staf dosen yang kompeten, hingga fasilitas sarana prasarana yang memadai. Mutu pendidikan tinggi tidak hanya bicara tentang pencapaian akademik, namun juga tentang bagaimana perguruan tinggi dapat berkiprah sebagai pusat inovasi dan solusi atas segala problem yang dihadapi pemangku kepentingan.
Lebih lanjut, mutu pendidikan tinggi adalah mutu keseluruhan (totalitas) dari proses pendidikan yang mampu memenuhi tuntutan standar nasional maupun internasional. Hal ini mencakup kemampuan menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi akademis, keterampilan praktis, dan sikap kerja (attitude) yang profesional. Mutu pendidikan tinggi adalah tolok ukur (indikator) keberhasilan perguruan tinggi dalam mempersiapkan mahasiswa untuk berkiprah di dunia nyata.
Mutu pendidikan tinggi memiliki dampak langsung pada mahasiswa. Lulusan dari institusi yang bermutu lebih siap menghadapi tantangan dunia nyata karena mereka telah dibekali dengan berbagai ketrampilan, diantaranya keterampilan kritis (hard skills dan soft skills), ketrampilan berkolaborasi, dan daya adaptasi yang tinggi. Mereka tidak hanya menjadi pekerja yang kompeten dan berintegritas, namun juga siap untuk memimpin masa depan yang berubah dengan cepat.
Dampak mutu pendidikan tinggi tentu akan dirasakan juga oleh masyarakat luas. Perguruan tinggi yang bermutu akan berkontribusi pada kemajuan sosial dan ekonomi. Mereka akan menghasilkan penelitian yang aplikatif dan inovatif. Institusi yang bermutu akan mampu menjadi mitra strategis dalam pembangunan, membantu mengatasi problematik yang dihadapi masyarakat, seperti kelaparan, ketimpangan, dan konflik sosial politik.
Sebaliknya, perguruan tinggi yang kurang bermutu cenderung menghasilkan lulusan yang tidak siap berkompetisi. Lulusannya memiliki keterampilan yang kurang relevan dan daya saing yang rendah. Institusi yang kurang bermutu, sering kali gagal memanfaatkan potensi penelitian dan pengabdian masyarakat untuk memberikan solusi nyata bagi pemangku kepentingan.
Baca juga: Penguatan SPMI dengan 10 Peran Manajer ala Mintzberg
Era AI menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi relevansi mutu pendidikan tinggi. Kemajuan dalam teknologi kecerdasan buatan (AI) mengubah banyak hal terkait cara belajar, cara bekerja, dan cara berinovasi. Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus mampu mengintegrasikan teknologi AI ke dalam semua standar pendidikan yang relevan untuk menghadirkan pembelajaran yang bermutu tinggi. Dengan dukungan AI, mahasiswa dapat menikmati pembelajaran yang relevan disesuaikan dengan harapan dan kebutuhan semua pihak.
Lebih jauh lagi, institusi perlu memastikan bahwa lulusan siap menghadapi dunia kerja yang akan didominasi oleh teknologi AI. Ini berarti mencakup banyak hal seperti pembelajaran tentang etika AI, keterampilan digital tingkat lanjut, dan pemahaman bagaimana AI dapat diterapkan dalam berbagai tipe indusri. Perguruan tinggi yang bermutu akan menyiapkan lulusan yang trampil sebagai pengguna AI, dan juga “sekaligus” trampil sebagai inovator AI.
Baca juga: Seni Merancang Mission Differentiation Perguruan Tinggi
Mutu pendidikan tinggi tidak dapat dicapai instan hanya dengan satu kali ikhtiar; ini adalah proses terus menerus tanpa henti, yang memerlukan evaluasi dan perbaikan secara ajeg. Institusi pendidikan tinggi perlu memastikan bahwa semua aktivitas dan program kerja, mulai dari kurikulum hingga pelayanan kepada mahasiswa, berjalan sesuai standar yang telah ditetapkan. Sistem penjaminan mutu internal (SPMI) adalah salah satu cara untuk memastikan hal tersebut.
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Di samping itu, umpan balik (feed back) dari mahasiswa, alumni, dan dunia kerja (DUDI) memainkan peran krusial dalam proses peningkatan mutu. Dengan mendengar masukan dari pemangku kepentingan (customer voice), perguruan tinggi akan mampu melakukan inovasi yang relevan dengan tuntutan nyata mereka. Langkah ini tidak hanya memperkuat kepercayaan (trust) dari pemangku kepentingan, namun juga mendukung institusi untuk siap bertransformasi agar senantiasa relevan di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: Kemalasan Sosial: Musuh Tersembunyi SPMI
Mutu pendidikan tinggi adalah kunci penting untuk menghasilkan lulusan yang kompeten, unggul, dan siap menghadapi tantangan di era AI. Dengan memahami esensi mutu dan dampaknya, perguruan tinggi didorong untuk terus berinovasi dalam memberikan pendidikan yang bermanfaat bagi masyarakat. Melalui upaya adaptasi teknologi AI, evaluasi rutin, dan kolaborasi strategis, pendidikan tinggi Insya Allah akan menjadi motor penggerak bagi kemajuan bangsa di masa yang serba digital. Stay Relevant!
Baca juga: Knowledge Management: Rekomendasi untuk Revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) merupakan sistem mutu yang diatur Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 yang berfungsi untuk menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, di tengah percepatan transformasi digital dan kompleksitas global yang sering dirangkum dengan istilah era BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible), SPMI menghadapi tantangan yang semakin dinamis.
SPMI dituntut tidak hanya sekadar mempertahankan relevansinya, namun juga harus mampu beradaptasi untuk mendukung keberlanjutan mutu. Dalam konteks ini, integrasi Knowledge Management (KM) menjadi pilihan strategis yang perlu dipertimbangkan untuk memperkuat daya respons institusi terhadap perubahan.
Baca juga: Permendikbudristek 53/2023: Mengapa ‘Budaya Mutu’ Harus Jadi Fokus Utama?
Knowledge Management (KM) adalah pendekatan sistematis yang bertujuan mengidentifikasi, mengelola, dan mendistribusikan pengetahuan di dalam organisasi. Dalam konteks pendidikan tinggi, KM memainkan peran penting untuk memastikan bahwa pengetahuan yang diperoleh institusi—baik dari hasil pemantauan, audit mutu, hingga praktik terbaik—dapat terdokumentasi dengan baik, dan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung proses pengambilan keputusan dalam organisasi. Melalui KM, institusi pendidikan dapat mengolah data yang telah dikumpulkan menjadi wawasan (informasi) yang berharga. Wawasan tersebut tentu akan menjadi daya dorong untuk menciptakan inovasi, dan memperkuat daya saing institusi.
Artikel ini bertujuan untuk mengusulkan penambahan Knowledge Management (KM) sebagai elemen inti dalam revisi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023. Dengan mengintegrasikan KM, diharapkan SPMI memiliki daya dorong yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan dinamis era BANI.
SPMI, sebagaimana diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, khususnya pada Pasal 67 hingga 70, mewajibkan perguruan tinggi untuk melaksanakan siklus PPEPP: Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian dan Peningkatan Standar Mutu secara berkelanjutan.
Jika Knowledge Management (KM) diintegrasikan dalam revisi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, hal ini diharapkan mampu menghadirkan kerangka kerja strategis yang memastikan proses PPEPP tidak sekadar menjadi rutinitas administratif, tetapi berkembang menjadi sistem pembelajaran yang dinamis, adaptif, dan berdaya guna bagi organisasi.
Seperti yang dipaparkan oleh Edward Sallis, dalam bukunya Total Quality Management in Education, KM memungkinkan institusi untuk mengelola dua jenis pengetahuan, yakni: tacit (pengetahuan yang tidak terdokumentasi) dan eksplisit (pengetahuan yang terdokumentasi). Dalam konteks SPMI, KM berfungsi mengolah semua informasi yang relevan seperti hasil evaluasi diri, audit mutu internal, dan pengendalian mutu lainnya menjadi wawasan strategis yang dapat digunakan untuk inovasi dan peningkatan berkelanjutan (kaizen).
Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas
Agar Knowledge Management (KM) dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), diperlukan regulasi yang menyediakan landasan hukum yang kokoh serta panduan operasional yang jelas dan terarah.
Langkah pertama adalah mendefinisikan KM sebagai proses sistematis untuk mengelola informasi, pengalaman, dan keahlian guna mendukung peningkatan mutu pendidikan tinggi. Definisi ini dapat dimasukkan dalam bagian Ketentuan Umum revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023, sehingga KM secara eksplisit diakui sebagai elemen penting dalam sistem penjaminan mutu internal (SPMI).
Langkah kedua adalah memastikan integrasi KM dalam siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan). Dalam tahap Penetapan, KM mendukung perguruan tinggi untuk menetapkan standar mutu berbasis data historis, praktik terbaik, dan pengalaman terdokumentasi. Pada tahap Pelaksanaan, KM membantu memastikan implementasi standar berjalan sesuai rencana dengan memanfaatkan pengetahuan yang terdokumentasi sebagai panduan operasional. KM juga dapat berfungsi sebagai alat untuk menyimpan dan mendistribusikan informasi penting selama pelaksanaan.
Pada tahap Evaluasi, KM berperan dalam mengumpulkan data dan informasi dari evaluasi diri, pemantauan, audit mutu internal, asesmen dan pelaporan mutu. Data ini kemudian diolah menjadi wawasan strategis pada tahap Pengendalian, di mana informasi digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan mutu dan memberikan umpan balik kepada manajemen. Akhirnya, pada tahap Peningkatan, KM mendukung penyebaran pengetahuan kepada pemangku kepentingan internal dan eksternal, sehingga memastikan hasil evaluasi dan pengendalian mutu digunakan untuk merancang Peningkatan Standar dan perbaikan berkelanjutan. Dengan demikian, KM menjadi elemen integral yang memperkuat setiap tahap dalam siklus PPEPP.
Baca juga: Inovasi Penjaminan Mutu: Masukan Untuk Evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023
Untuk mengintegrasikan KM dalam revisi Permendikbudristek 53 Tahun 2023, berikut adalah usulan isi pasal yang dapat dipertimbangkan:
Baca juga: Usulan Revisi Permendikbudristek No. 53/2023: Otonomi dan Fleksibilitas Penjaminan Mutu
Integrasi Knowledge Management (KM) ke dalam Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) tidak hanya memperkuat mekanisme penjaminan mutu melalui siklus PPEPP, tetapi juga membangun dan menanamkan budaya pembelajaran organisasi (learning organization) yang berkelanjutan dan dinamis.
Dengan KM, perguruan tinggi akan mampu mengelola pengetahuan secara sistematis, memungkinkan adaptasi yang lebih cepat, dan meningkatkan efisiensi dalam mengembangan inovasi pendidikan. Revisi Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 yang mengakomodasi KM diharapkan dapat menjadi milestone menuju pendidikan tinggi yang unggul, inovatif, dan berkelanjutan. Stay relevant!
Baca juga: Kebijakan SPMI: Pilar Utama Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi