بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Kampus berlomba menerapkan OBE, tapi hasilnya belum seirama. Di sinilah peran SPMI diuji: menjaga mutu agar tak berhenti di angka, tapi hidup di ruang belajar.”
Tahun 2025, beberapa kampus mulai serius menguji kembali pelaksanaan kurikulum berbasis Outcome-Based Education atau OBE.
Poltekkes Kemenkes Jakarta I, misalnya, menggelar Workshop Evaluasi Kurikulum OBE pada Juni 2025. Acara itu melibatkan para dosen dan pranata laboratorium yang meninjau ulang isi dan struktur RPS, capaian pembelajaran, dan metode asesmen.
Dari laporan resmi yang diterbitkan, tampak bahwa sebagian besar program studi sudah menyesuaikan kurikulum dengan prinsip OBE, namun praktik di ruang kelas masih beragam—ada yang sudah menerapkan pendekatan berbasis proyek (project based learning), berbasis kasus (case based learning), ada yang masih terpaku pada kuliah konvensional.
Universitas Amikom Yogyakarta juga telah melakukan langkah serupa pada Mei 2025. Peninjauan kurikulum di Fakultas Sains dan Teknologi menemukan bahwa penyusunan dokumen kurikulum sudah selaras dengan kerangka OBE, tetapi materi dan proses pelaksanaan asesmen masih membutuhkan penyesuaian.
Laporan itu menggunakan istilah “proses dilaksanakan bertahap dan berkelanjutan,” menandakan bahwa perbaikan menuju paradigma OBE memang tidak bisa terjadi sekaligus. Perlu step by step. Fenomena yang mirip juga terlihat dalam laporan monitoring IKIP Siliwangi tahun 2024 dan penelitian Fakultas Teknik Universitas Diponegoro di tahun yang sama.
Keduanya menyoroti hal serupa: dokumen sudah siap, relatif lengkap, namun pelaksanaan pembelajaran dan asesmen belum sepenuhnya sejalan dengan semangat OBE. Semua data ini berasal dari laporan resmi kampus, menggambarkan kenyataan bahwa transformasi pendidikan memang sedang bergerak, bertransformasi, tapi belum tuntas.
Kalau dilihat dari prinsip awalnya, OBE yang diperkenalkan William Spady di tahun 1994 bukan hanya tentang kurikulum baru atau format asesmen yang lebih canggih. Esensinya sederhana, namun tidak mudah dalam pelaksanaannya, menuntut perubahan besar: mengajar dengan memusatkan perhatian pada hasil nyata yang ingin dicapai mahasiswa.
Spady menegaskan empat prinsip utama — kejelasan fokus, desain dari tujuan ke pelaksanaan, ekspektasi tinggi, dan kesempatan yang diperluas. Jadi, ketika kita bicara OBE, yang dimaksud bukan sekadar formasi tabel dan indikator, melainkan perubahan mindset, cara berpikir tentang belajar.
Namun, patut diduga, di banyak kampus Indonesia, implementasi OBE sering kali terseret dalam arus administratif. Dosen sibuk menyiapkan rubrik, menandai kesesuaian CPL dengan RPS, mengunggah bukti pembelajaran ke sistem mutu, tapi jarang sempat merefleksikan bagaimana mahasiswa benar-benar belajar.
Padahal Benjamin Bloom melalui konsep Mastery Learning sudah mengingatkan sejak tahun 1968: hampir semua mahasiswa bisa mencapai penguasaan tinggi jika mereka mendapat waktu dan dukungan yang cukup. Artinya, perbedaan hasil belajar bukan disebabkan oleh kemampuan bawaan, tapi oleh kesempatan yang tidak sama. Disini menjadi penting prinsip keempat dari Spady: peluang belajar yang diperluas untuk mencapai hasil (outcome).
Masalahnya, sistem perkuliahan kita masih cenderung seragam. Semester ke semester bergulir cepat, jadwal padat, dosen dibatasi waktu tatap muka, dan mahasiswa dituntut menyesuaikan diri dalam tempo yang relatif sama.
Inilah yang membuat sebagian mahasiswa tertinggal, bukan karena mereka tidak mampu, tapi karena mereka kehabisan waktu untuk mengejar pemahaman. OBE seharusnya memberi ruang bagi perbedaan ritme itu—memberikan expanded opportunities, kesempatan yang luas bagi setiap mahasiswa untuk mencapai hasil yang sama lewat jalan yang berbeda. inilah bentuk empati pada perbedaan individu (individual differences).
Di sinilah teori Lev Vygotsky tentang Zone of Proximal Development ikut berperan. Vygotsky menekankan bahwa belajar paling efektif terjadi ketika seseorang berada dalam “zona perkembangan proksimal”—batas wilayah di mana seseorang belum mampu sepenuhnya, tapi bisa berhasil jika ada bimbingan dan bantuan orang lain.
Dalam konteks kampus, bantuan ini bisa beragam, bisa datang dari dosen, asisten dosen, atau bahkan teman sekelas. Maka, pelaksanaan OBE tidak bisa berhenti di kurikulum, tapi harus sampai pada praktik pendampingan yang nyata. Mahasiswa tidak bisa dibiarkan sendirian menghadapi outcome yang tinggi tanpa “scaffolding” yang memadai.
Di titik inilah SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal) seharusnya hadir bukan hanya sebagai penjaga dokumen, tapi juga sebagai pembangun ekosistem pembelajar.
Jika SPMI dijalankan dengan pendekatan reflektif, bukan sekadar administratif, maka siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) akan menjadi ruang dialog antara dosen, mahasiswa, dan lembaga. Evaluasi dan audit mutu tidak lagi berfokus pada kepatuhan, tapi pada refleksi dan pembelajaran.
Unit penjaminan mutu (UPM), bersama pimpinan seharusnya berfungsi seperti mentor kelembagaan: mengumpulkan praktik baik, mendorong inovasi, dan mengoreksi arah ketika capaian belum sesuai harapan.
Namun tantangan ini tidak semudah membalik telapak tangan. Tantangan ini tidak berhenti di kelas maupun di unit mutu. Di tingkat institusi, muncul persoalan lain yang dijelaskan oleh Charles Goodhart melalui Goodhart’s Law (1975): ketika suatu ukuran atau angka dijadikan target, ukuran itu berisiko kehilangan maknanya.
Banyak kampus di Indonesia menilai keberhasilan OBE dari angka-angka: berapa persen CPL tercapai, berapa rata-rata nilai asesmen, dan seberapa lengkap laporan dikumpulkan. Namun ketika angka-angka itu dijadikan tujuan utama, makna pendidikan yang sebenarnya menjadi kabur.
Dosen bisa tergoda menyesuaikan data agar terlihat indah, jalan pintas sering dipilih, bukan memperbaiki proses belajar agar benar-benar bermakna.
Padahal, kita sama-sama menyadari, inti pendidikan bukan di angka. Ia hidup dalam proses reflektif, dalam ruang diskusi, dalam bimbingan kecil yang menyalakan api pemahaman.
Kampus yang mulai membangun budaya refleksi dan mentoring justru menunjukkan tanda-tanda perbaikan nyata. Di beberapa prodi, dosen mulai membuka ruang evaluasi bersama mahasiswa setelah ujian, bukan untuk menilai, tapi untuk memahami, proses empati yang sangat penting.
Mereka bertanya: “Bagian mana yang paling sulit?” “Apa yang bisa diperbaiki di kelas depan?” “Adakah kritik dan saran?“ Praktik sederhana ini perlu ekstra energi, tapi di situlah mutu sejati tumbuh—dari kesadaran bersama untuk terus tumbuh dan belajar.
Menguji OBE di lapangan pada akhirnya bukan soal membuktikan benar atau salah dari sebuah konsep, melainkan menguji diri kita sebagai pendidik dan institusi.
Apakah kita sungguh-sungguh berjuang agar mahasiswa benar-benar belajar, atau sekadar memastikan dokumen evaluasi kampus terlihat indah?
Spady telah memberi prinsip dan arah, Bloom menunjukkan jalan, Vygotsky mengingatkan pentingnya “scaffolding”, dan Goodhart menegur agar kita tidak terjebak pada angka.
Jika keempat pemikiran itu dijalankan dengan dukungan sistem mutu internal yang cerdas dan berani berubah, OBE tidak akan lagi terasa sebagai kewajiban administratif, tapi menjadi budaya belajar yang memerdekakan manusia (“nguwongno uwong, nyenengno uwong, nggatekno uwong, ora nggelakno”).
SPMI bukan sekadar pelapor, tapi penjaga semangat. Ia memastikan setiap langkah perbaikan (continuous improvement) benar-benar berakar dari kelas, bukan dari formulir.
Karena mutu sejati tidak lahir dari borang dan tumpukan laporan, melainkan dari ruang kelas yang hidup, dari dosen yang sabar mendampingi, dan dari mahasiswa yang tumbuh karena diberi kesempatan yang adil untuk berhasil.
Sebagai renungan. Dalam Al-Qur’an, Allah menyeru: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-Hashr [59]:18).
Evaluasi sejati bukanlah mencari kesempurnaan laporan, melainkan keberanian untuk menatap cermin dan bertanya: sudahkah kita menanam ilmu yang bermanfaat bagi masa depan? Dalam arti inilah, OBE dan SPMI menemukan maknanya — bukan sekadar sistem, tapi muhasabah kolektif agar kampus terus tumbuh menjadi tempat belajar yang jujur dan berdaya.
Stay Relevant!
Daftar Pustaka
Bloom, B. S. (1968). Learning for mastery: Instruction and curriculum. Evaluation Comment, 1(2), 1–12. University of Chicago Press.
Goodhart, C. A. E. (1975). Problems of monetary management: The U.K. experience. In Papers in Monetary Economics (Vol. 1). Reserve Bank of Australia. (Asal konsep “Goodhart’s Law”, yang kemudian sering diadaptasi dalam bidang manajemen dan evaluasi pendidikan.)
Poltekkes Kemenkes Jakarta I. (2025, Juni). Laporan Workshop Evaluasi Kurikulum Berbasis Outcome-Based Education (OBE). Jakarta: Poltekkes Kemenkes Jakarta I. (Sumber laporan publik kampus).
Universitas Amikom Yogyakarta. (2025, Mei). Laporan Peninjauan Kurikulum Fakultas Sains dan Teknologi. Yogyakarta: Universitas Amikom Yogyakarta. (Sumber publikasi resmi kampus).
IKIP Siliwangi. (2024). Laporan Monitoring dan Evaluasi Implementasi Kurikulum Berbasis OBE Tahun 2024. Cimahi: Lembaga Penjaminan Mutu IKIP Siliwangi.
Universitas Diponegoro, Fakultas Teknik. (2024). Penelitian Internal Evaluasi Implementasi OBE pada Pembelajaran Teknik di UNDIP. Semarang: Universitas Diponegoro.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.
Spady, W. G. (1994). Outcome-Based Education: Critical issues and answers. American Association of School Administrators.
Instagram: @mutupendidikan




