بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“OBE memang terasa “mahal”, tapi dengan fokus pada outcomes prioritas, kolaborasi, dan teknologi sederhana, kampus tetap bisa menjaga mutu.”
Krisis ekonomi belakangan ini membuat banyak kampus mulai berhitung ulang. Biaya operasional naik, anggaran sudah semakin terbatas, dan di sisi lain ada tuntutan agar perguruan tinggi tetap relevan dengan dunia kerja dan masyarakat. Program efisiensi harus dilakukan.
Dalam situasi seperti ini, Outcome-Based Education (OBE) yang sedang jadi arus utama justru terasa seperti beban baru. OBE itu mahal, bukan hanya soal uang, tapi juga energi dosen, waktu mahasiswa, dan tendik sebagai SDM pengelola. Pertanyaannya: bagaimana cara kampus bisa menerapkan OBE dengan realistis, bertahap dan tanpa membuat semua orang kelelahan?
Kalau dilihat dari idenya, OBE sebenarnya sederhana. William Spady, tokoh yang dikenal sebagai bapak OBE, merumuskan empat prinsip penting: clarity of focus, design down deliver up, high expectations, dan expanded opportunities. Semua prinsip ini berangkat dari satu gagasan: pendidikan harus berorientasi pada hasil nyata (outcome), bukan sekadar proses atau input.
Masalahnya, begitu diterapkan di kampus, keempat prinsip ini sering kali membuat manajemen, dosen dan tendik harus kerja ekstra. Harus ada asesmen autentik, variasi metode belajar, diferensiasi pembelajaran, hingga kesempatan tambahan bagi mahasiswa yang belum mencapai outcome. Di atas kertas indah, tapi di lapangan terasa mahal.
Kenapa mahal? Karena OBE tidak lagi berhenti pada “menyampaikan materi”, melainkan memastikan semua mahasiswa benar-benar mencapai capaian pembelajaran. Itu berarti dosen tidak cukup sekali menjelaskan, lalu memberi ujian. Ia harus menyediakan strategi berbeda, waktu tambahan, dan kadang evaluasi berulang.
Dibanding model lama yang sekali ajar selesai, OBE jelas butuh investasi lebih: pelatihan dosen, media kreatif, modul kontekstual, bahkan teknologi pendukung. Jadi wajar kalau banyak kampus merasa pusing tujuh keliling, ngos-ngosan.
Tapi di balik “mahal” ini sebenarnya ada nilai investasi jangka panjang. Lulusan lebih siap, kompetensi lebih nyata, dan risiko “lulus tapi tidak kompeten” bisa ditekan. Jadi mahalnya OBE bisa dianggap / diperlakukan sebagai investasi, bukan sekadar beban.
Pertanyaannya lalu: apakah semua outcome harus diraih sekaligus? Di sinilah relevansi Goal Setting Theory dari Locke dan Latham. Teori ini menekankan bahwa tujuan yang spesifik, menantang tapi realistis, akan lebih efektif daripada target yang gak jelas, kabur dan terlalu banyak.
Kalau semua capaian diambil sekaligus, dosen dan mahasiswa bisa kehilangan arah. Tapi kalau outcomes diprioritaskan, jelas arahnya, ukurannya masuk akal, hasilnya lebih terukur. Kampus bisa memilih dulu mana kompetensi inti yang harus jadi prioritas—misalnya literasi, numerasi, berpikir kritis, atau digital literacy. Sisanya menyusul. Dengan begitu, biaya dan energi bisa dikonsentrasikan ke arah yang paling berdampak.
OBE memang terasa mahal karena semua outcome seolah harus dikejar bersamaan. Padahal, tidak ada aturan yang memaksa kampus untuk melakukan itu. Jadi kita perlu berpikir strategik.
Salah satu strategi yang paling praktis adalah pendekatan mission differentiation. Intinya, outcomes dipilih sesuai keunikan misi dan mandat kampus. Perguruan tinggi riset wajar kalau lebih berat di publikasi dan inovasi. Kampus vokasi lebih fokus pada skills kerja nyata. Perguruan tinggi daerah bisa lebih menekankan pada pemberdayaan masyarakat lokal.
Permen 39/2025 sendiri memberi ruang untuk itu. Regulasi ini menegaskan bahwa pelaksanaan Tridharma harus selaras dengan misi unik perguruan tinggi. Artinya, standar mutu boleh dan bahkan seharusnya diturunkan sesuai dengan “jalan hidup” masing-masing kampus.
Jadi bukan hemat karena menurunkan mutu, melainkan hemat karena mutu dipilih sesuai arah manajemen strategis kampus. Dengan begitu, kampus bisa tetap menjalankan OBE tanpa terbebani keharusan mengejar semua capaian sekaligus.
Selain prioritas outcomes dan diferensiasi misi, ada juga strategi lain yang bisa bikin OBE terasa lebih ringan: teknologi. Sayangnya, tidak semua teknologi otomatis jadi solusi. Banyak kampus terjebak pada digitalisasi yang indah di layar tapi kosong di kelas.
Dashboard warna-warni bisa jadi efektif dan efisien, tapi kalau datanya asal atau instrumennya dangkal, OBE tetap tidak berjalan. Inilah gunanya Technology Acceptance Model (TAM) dari Davis. Teori ini menekankan bahwa teknologi hanya akan dipakai kalau dianggap berguna dan bermanfaat (useful) dan mudah digunakan (easy to use).
Artinya, digitalisasi OBE tidak boleh sekadar ikut-ikutan tren. Kalau platformnya ribet, dosen malah tambah pusing, jadi beban. Yang penting bukan seberapa canggih aplikasinya, tapi seberapa jauh ia benar-benar membantu alignment antara CPL, CPMK, metode, dan asesmen. Dengan cara ini, teknologi jadi pengungkit efisiensi, bukan beban baru.
Kalau dirangkum, OBE memang menuntut lebih banyak biaya dan energi. Tapi ada cara untuk mensiasatinya: fokus pada outcomes yang prioritas, diferensiasi sesuai misi kampus, dan penggunaan teknologi yang benar-benar handal.
Kombinasi ini sejalan dengan semangat Permen 39/2025 yang menginginkan mutu berbasis diferensiasi misi, bukan sekadar laporan. Jadi intinya bukan menyerah karena mahal, tapi memilih strategi jitu agar investasi OBE lebih tepat sasaran.
Krisis ekonomi justru jadi momentum untuk berpikir ulang dan menyusun strategi baru: mutu tidak harus seragam, tidak harus mewah, tapi harus bermakna, harus berdampak. Dan seperti kata Leonardo da Vinci; “kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi”. OBE yang sederhana tapi fokus lebih bermakna daripada OBE yang ribet tapi kosong.
Tentang krisis ekonomi, Al-Qur’an mengabadikan strategi Nabi Yusuf saat Mesir menghadapi masa paceklik panjang. Beliau mengajarkan efisiensi dan skala prioritas: menanam terus, menyimpan hasil panen dengan bijak, lalu menggunakan secukupnya untuk kebutuhan pokok (QS. Yusuf [12]:47). Prinsip sederhana ini adalah teladan agung manajemen sumber daya. Tidak berlebih-lebihan, tidak asal menghabiskan, melainkan berpikir ke depan demi keberlanjutan hidup masyarakat.
Begitu pula kampus dalam menghadapi krisis ekonomi dan “mahalnya” implementasi OBE. Tantangannya nyata, sumber daya terbatas, tetapi hikmah Nabi Yusuf memberi jalan: kelola yang ada dengan bijak, fokus pada prioritas, dan sisakan ruang untuk masa depan. Mutu pendidikan sejati tidak lahir dari melimpahnya anggaran atau tumpukan laporan, melainkan dari kebijaksanaan organisasi dalam mengelola yang terbatas agar tetap menjaga misi pendidikan, memberi manfaat luas, dan menjamin keberlangsungan di masa depan.
Karena itu, mari kita jadikan keterbatasan bukan alasan untuk kalah dan menyerah, melainkan kesempatan untuk lebih cerdas, lebih jujur, dan lebih bijak. Sebab sebagaimana Yusuf menyelamatkan Mesir dengan efisiensi dan amanah, begitu pula organisasi pendidikan kita bisa menjaga keberlangsungan mutu, agar lahir generasi yang mampu menyelamatkan bangsa dengan ilmu dan integritas.
Stay Relevant!
Referensi
- Davis, F. D. (1989). Perceived usefulness, perceived ease of use, and user acceptance of information technology. MIS Quarterly, 13(3), 319–340.
- Locke, E. A., & Latham, G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task motivation: A 35-year odyssey. American Psychologist, 57(9), 705–717.
- Spady, W. G. (1994). Outcome-based education: Critical issues and answers. Arlington, VA: American Association of School Administrators.
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
Instagram: @mutupendidikan




