بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Asesmen bukan sekadar ujian, tapi bagian dari proses belajar. Ia menilai, membimbing, dan menumbuhkan kemampuan berpikir, berkreasi, dan berkolaborasi.”
Pendahuluan
Dalam perjalanan pendidikan, penilaian sering kali diposisikan hanya sebagai tahap akhir dari proses belajar. Ia hadir sebagai angka dalam transkrip atau huruf di atas kertas ujian. Namun, apakah benar penilaian semata-mata berfungsi sebagai alat pengukur hasil belajar? Atau seharusnya ia menjadi bagian dari proses pembelajaran itu sendiri—yang mendalam, kontekstual, dan memotivasi?
Transformasi pendidikan tinggi abad 21 menuntut kita untuk mengkaji ulang tentang penilaian: dari yang bersifat konvensional ke arah asesmen yang otentik dan bermakna.
Psikologi pembelajaran menyatakan bahwa belajar yang efektif harus mencakup pemahaman mendalam, keterlibatan aktif, dan relevansi dengan pengalaman nyata. Teori konstruktivisme menegaskan bahwa siswa membangun pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungan dan tugas-tugas yang menantang. Jika demikian, maka penilaian pun harus selaras: bukan sekadar menguji hafalan, tetapi menggali sejauh mana mahasiswa mampu mengintegrasikan dan menerapkan pengetahuannya dalam konteks dunia nyata.
Melebihi Ujian Tertulis
Asesmen konvensional sering kali identik dengan tes pilihan ganda, isian singkat, atau ujian akhir semester. Model ini memang efisien untuk mengukur aspek kognitif tertentu, terutama di ranah mengingat dan memahami. Namun, pendekatan ini sangat terbatas, khususnya dalam mengungkapkan kemampuan mahasiswa secara utuh—seperti kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan keterampilan problem solving yang sangat dibutuhkan di dunia kerja.
Di sisi lain, asesmen otentik berbasis OBE (outcome based education) menghadirkan situasi nyata sebagai bagian dari evaluasi. Mahasiswa tidak hanya diminta menjawab soal, tetapi menyelesaikan studi kasus, mengembangkan proyek, atau mempresentasikan solusi atas persoalan riil.
Proses ini tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga menilai cara berpikir, proses kerja, dan sikap selama belajar. Penilaian menjadi lebih kaya dan mendalam karena menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sekaligus.
Belajar Melalui Penilaian
Salah satu kekuatan utama asesmen otentik adalah kemampuannya menjadi bagian dari proses belajar, bukan hanya akhir dari pembelajaran. Mahasiswa mendapatkan umpan balik yang konstruktif, yang membantu mereka memahami kelemahan dan kekuatan mereka sendiri.
Dalam kerangka teori Vygotsky tentang “zona perkembangan proksimal” (ZPD), penilaian otentik menjadi alat untuk mendorong mahasiswa mencapai potensi belajarnya melalui dukungan yang tepat.
Mahasiswa yang terlibat dalam proyek nyata, diskusi terbuka, atau presentasi terbimbing, secara tidak langsung sedang belajar saat dinilai. Ini menciptakan pengalaman belajar yang reflektif dan berkelanjutan. Dalam model ini, dosen tidak lagi menjadi penguji yang menilai dari kejauhan, tetapi menjadi mitra belajar yang memberi bimbingan sepanjang proses berlangsung.
SPMI dan Jaminan Mutu Asesmen
Transformasi asesmen tidak bisa dilepaskan dari kerangka sistem mutu pendidikan tinggi. Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) yang diatur dalam Permen 39 Tahun 2025 menjadi rujukan penting bagi institusi dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi praktik asesmen secara sistematis. Dalam konteks ini, asesmen otentik bukan sekadar inovasi individual dosen, tetapi bagian dari budaya mutu institusional.
Melalui SPMI, penilaian menjadi salah satu standar proses pembelajaran yang wajib dievaluasi secara berkala.
Apakah bentuk asesmen yang digunakan sudah mencerminkan capaian pembelajaran lulusan? Apakah mahasiswa merasa bahwa penilaian itu adil, menantang, dan relevan? SPMI memberi ruang untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini secara sistemik dan mendorong dosen untuk melakukan inovasi berkelanjutan.
PPEPP: Menilai Penilaian
Dalam kerangka SPMI, pendekatan PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan) menjadi alat penting untuk memastikan bahwa asesmen berkembang seiring dengan kebutuhan zaman. Tak hanya penilaian mahasiswa yang dievaluasi, tapi juga cara kita melakukan penilaian itu sendiri. PPEPP mendorong institusi untuk menetapkan standar asesmen yang relevan, melaksanakan dengan konsisten, mengevaluasi efektivitasnya, mengendalikan agar mutu tetap terjaga, dan terus melakukan peningkatan berbasis refleksi dan data.
Semangat kaizen—perbaikan berkelanjutan—terwujud nyata melalui PPEPP. Asesmen tidak lagi bersifat statis, tetapi dinamis.
Dengan begitu, dosen pun terdorong untuk terus belajar, bereksperimen, dan menemukan bentuk penilaian yang paling sesuai dengan karakteristik mahasiswa dan mata kuliahnya. Pendidikan tinggi pun bergerak ke arah yang lebih reflektif, adaptif, dan bermakna.
Penutup
Menilai adalah bagian dari mengajar. Dan seperti mengajar, penilaian pun harus berubah mengikuti zaman. Abad ke-21 menuntut lulusan yang bukan hanya tahu, tetapi mampu berpikir, mencipta, dan berkolaborasi. Untuk itu, kita membutuhkan asesmen yang mampu menangkap seluruh dinamika belajar mahasiswa, bukan hanya hasil akhir di lembar jawaban.
Dengan mendorong asesmen otentik dan menempatkannya dalam sistem mutu seperti SPMI serta siklus PPEPP, kita tidak hanya memenuhi regulasi, tapi juga meneguhkan komitmen pada pembelajaran yang transformatif. Karena sejatinya, penilaian terbaik adalah yang membuat mahasiswa ingin terus belajar—bahkan setelah kuliah berakhir.
Stay Relevant! +
Referensi
- Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
- Daniels, H. (2001). Vygotsky and Pedagogy. Routledge.
- Novak, J.D. & Gowin, D.B. (1984). Learning How to Learn. Cambridge University Press
- Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
Instagram: @mutupendidikan




