Kampus Kecil, Sambutan Besar untuk Mahasiswa Asing
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen UHW Perbanas Surabaya
Mahasiswa asing tak cari nama besar. Mereka cari tempat yang menyambut dengan tulus. Kampus kecil pun bisa jadi rumah—asal siap dan manusiawi.
Mereka datang bukan untuk mengejar kampus yang masuk top seratus besar dunia. Bukan karena ada menara kaca, fasilitas mewah atau laboratorium canggih. Sering kali, mereka datang karena satu hal yang lebih mendasar: mereka ingin belajar di tempat yang terasa aman.
Aman, dalam arti yang sangat manusiawi. Tidak bingung mencari makanan halal di kantin atau warung. Tidak takut berkomuniksi dan salah paham dengan dosen. Tidak tersesat dalam sistem yang rumit, atau bahasa yang tak mereka mengerti. Aman secara sosial, akademik, bahkan emosional. Dan ketika rasa itu bisa mereka temukan, nama besar kampus bukan lagi ukuran.
Tak semua mahasiswa asing yang datang ke Asia Tenggara berasal dari keluarga elit yang bisa dengan mudah memilih Oxford, Harvard, atau Tokyo University. Banyak dari mereka berasal dari Khartoum, Lahore, Addis Ababa, Dhaka, atau Jalalabad—datang dengan harapan sederhana: bisa ke luar negeri, bisa belajar di tempat yang cukup baik, cukup terjangkau, dan cukup manusiawi.
Sebuah studi di Malaysia pada 2024 menunjukkan sesuatu yang menarik. Di dua belas universitas swasta, mahasiswa asing merasa puas bukan karena kemegahan kampus, tapi karena sistemnya jelas, pelayanannya andal, suasananya hangat dan ada keterhubungan. Mereka merekomendasikan kampus itu bukan karena ranking, tapi karena merasa dibimbing, diperhatikan dan tidak dibiarkan berjalan sendiri.
Di Sri Lanka, penelitian yang serupa menemukan hal yang tak jauh berbeda. Di kampus negeri baru yang bahkan belum punya nama besar, mahasiswa asing tetap hadir dan setia. Mereka tidak menuntut kesempurnaan. Dosen tidak harus selalu fasih, tapi berusaha menjelaskan. Staf tidak harus selalu lengkap, tapi tahu siapa yang harus dihubungi. Mahasiswa merasa didengarkan. Disapa. Diperhatikan. Dibimbing. Itu saja sudah cukup membuat mereka bertahan.
Apa yang membuat itu terjadi? Empati. Keandalan. Lingkungan yang mendukung. Tiga hal yang, menurut teori SERVQUAL (Parasuraman)—model pengukuran mutu layanan sejak 1980-an—menjadi fondasi utama dari sistem pendidikan yang bermutu.
Penelitian lain di Malaysia bahkan menekankan, lingkungan belajar yang nyaman jauh lebih menentukan daripada biaya atau akreditasi. Ruang kelas yang bersih dan terang. Jadwal yang tak berubah tiba-tiba. Staf yang mudah dihubungi. Itu cukup untuk memberi rasa tenang bagi mahasiswa yang jauh dari rumah.
Tentu saja, setiap negara punya warna dan nuansanya sendiri. Tapi pengalaman mahasiswa asing di Sri Lanka dan Malaysia—yang puas karena disambut dengan sederhana tapi sungguh-sungguh—bisa menjadi cermin bagi kampus-kampus di Indonesia. Karena yang mereka cari bukanlah kemewahan, tapi kejelasan. Bukan kesempurnaan, tapi perhatian.
Jadi, bukan hanya ranking. Bukan cuma logo. Dan bukan sekadar brosur berbahasa Inggris. Tapi rasa aman. Itu yang benar-benar dicari.
Sayangnya, banyak kampus kecil di Indonesia belum membuka jendela itu. Masih belum percaya diri. Website berbahasa Inggris hanya setengah jadi. Informasi pendaftaran tak lengkap. Tak ada email resmi yang menjawab cepat. Tak ada info tempat tinggal. Tak ada penjelasan tentang perkuliahan. Bahkan peta petunjuk lokasi kampus pun membingungkan. Mahasiswa asing yang berniat datang pun akhirnya ragu. Bukan karena kampusnya buruk, tapi karena mereka tak bisa melihat ke dalam.
Mahasiswa asing tak selalu datang ke kampus besar. Mereka datang ke tempat yang lebih dulu menyapa dan membuka pintu. Dan kampus kecil pun bisa menjadi tempat itu. Yang mereka tunggu bukan siapa yang paling terkenal—tapi siapa yang paling siap menyambut, dengan jujur dan wajar.
Website memang soal teknologi. Tapi di balik tampilannya, yang paling penting adalah rasa: apakah kampus ini siap menyambut orang asing dengan hati? Dengan jelas, terbuka, dan manusiawi?
Begitu juga dengan ruang-ruang nyata di kampus: toilet bersih, ruang kelas yang tidak pengap, petugas akademik yang tersenyum dan tidak tergesa-gesa. Hal-hal kecil yang berdampak besar. Kampus yang memikirkan ini bukan sedang mempercantik citra—tapi sedang memanusiakan pengalaman. Dalam bahasa Jawa, kampus yang nguwongno wong, nyenengno wong, nggatekno wong, ora nggelakno.
Sering kali, bukan sistemnya yang salah. Tapi rasa percaya diri yang rendah. Dosen enggan menyapa mahasiswa asing karena minder merasa Bahasa Inggris-pas-pasan. Staf akademik bingung menjelaskan, takut salah, takut ditanya balik. Brosur internasional pun dibuat hanya sebagai syarat akreditasi—bukan sebagai ajakan tulus untuk datang.
Padahal, mahasiswa asing yang datang ke Indonesia tidak sedang menuntut kesempurnaan. Mereka hanya ingin dibimbing. Ingin tahu ke mana harus pergi saat bingung. Ingin punya seseorang yang bisa diajak curhat ketika rindu kampung halaman.
Kampus kecil tidak perlu pura-pura besar. Tapi bisa mulai dari hal sederhana. Menyusun ulang layanan. Membuat panduan yang bersih dan terang. Menyiapkan satu orang khusus yang bisa jadi teman bicara. Memberi ruang bagi dosen dan staf untuk tumbuh bersama dalam menyambut yang baru.
Rasa aman tidak datang dari citra, tapi dari sistem kecil yang konsisten. Ada komitmen dan ada sistem mutu yang dijalankan, seperti misalnya SPMI (Sistem Penjaminan Mutu Internal). Dan kabar baiknya: itu bisa dimulai di kampus mana pun, termasuk kampus-kampus kecil di daerah dan kepulauan terpencil.
Mahasiswa asing tak mencari nama besar. Mereka mencari tempat yang bisa dipercaya. Tempat di mana mereka tahu siapa yang akan membantu jika mereka bingung. Tempat yang bisa jadi rumah, walau hanya tiga-empat tahun. Kalau itu bisa mereka temukan, mereka akan datang. Dan mereka akan tinggal.
Bukan karena brosurmu. Tapi karena hatimu.
Stay Relevant!
Referensi:
- Chong, P. Y., Kam, A., & Tham, S. Y. (2024). Factors influencing international students’ perceived value and satisfaction at private universities in Malaysia. Tuning Journal for Higher Education, 11(2), 189–217. https://tuningjournal.org/article/download/2592/3733/
- David, B., & Ogundare, E. A. (2019). Factors influencing international students’ satisfaction towards higher education providers (HEPs) in Malaysia. International Journal of Education, Learning and Training, 4(2), 67–78.
https://www.researchgate.net/publication/360641712 - Pathmini, M. G. S., Wijewardhena, H. V. P., & Gamage, G. A. I. (2016). Impact of service quality on students’ satisfaction in newly established public sector universities in Sri Lanka: A study based on the faculty of management studies. Journal of Management Matters, 3(1), 1–13. https://www.researchgate.net/publication/295257431