بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Pendahuluan
Budaya mutu adalah fondasi dari institusi pendidikan tinggi yang unggul. Namun sering kali, upaya membangun budaya mutu di kampus terjebak dalam pendekatan yang terlalu teknis dan administratif: berbicara tentang standar, audit, dan dokumen tanpa menghubungkannya dengan kehidupan nyata civitas akademika. Akibatnya, mutu terasa jauh, formal, dan menjadi sekadar kewajiban. Padahal, mutu seharusnya menjadi bagian dari napas sehari-hari di kampus. Salah satu cara sederhana namun kuat untuk membumikan budaya mutu adalah dengan storytelling.
SPMI, sebagai sistem mutu yang sesuai dengan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, telah menyediakan kerangka kerja yang solid untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Dengan siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—SPMI mengajak perguruan tinggi untuk membangun budaya perbaikan berkelanjutan ala kaizen. Tetapi agar PPEPP benar-benar hidup dalam keseharian kampus, komunikasi harus dilakukan dengan cara yang menyentuh hati, bukan hanya kepala. Storytelling menjadi jembatan yang efektif untuk mengubah mutu dari konsep menjadi perilaku.
Mutu Tidak Cukup Diajarkan, Harus Dihidupkan
Mengajarkan prinsip-prinsip mutu melalui dokumen atau presentasi formal saja tidak cukup untuk membangun budaya yang kuat. Budaya terbentuk dari nilai-nilai yang dihayati bersama, dan ini terjadi ketika orang tidak hanya memahami apa yang harus dilakukan, tetapi juga merasa terhubung dengan mengapa mereka melakukannya. Dalam teori komunikasi, narrative transportation menyebutkan bahwa cerita mampu membawa audiens masuk ke dalam dunia narasi, memperkuat keterlibatan emosional dan meningkatkan daya pengaruh pesan.
Dalam konteks SPMI, cerita nyata tentang perubahan mutu di suatu program studi, tentang bagaimana satu unit administratif memperbaiki prosesnya berkat hasil evaluasi PPEPP, akan jauh lebih membekas daripada seribu tabel statistik. Storytelling membumikan mutu, membuatnya dekat dengan pengalaman sehari-hari, dan membantu membangun rasa kepemilikan kolektif atas perjalanan mutu di kampus.
Mengubah Data Menjadi Cerita
Di banyak perguruan tinggi, laporan mutu sering disajikan dalam bentuk angka dan grafik yang indah namun dingin. Padahal, setiap data sebenarnya menyimpan cerita. Data tentang peningkatan kelulusan, hasil tracer study, atau hasil audit internal bukan sekadar angka, tetapi refleksi dari perjuangan, inovasi, dan kolaborasi nyata di lapangan. Untuk membumikan budaya mutu, tugas kita adalah mengubah data ini menjadi narasi yang menginspirasi.
Teori constructivism dalam psikologi pendidikan mengajarkan bahwa pembelajaran bermakna terjadi saat individu mampu mengaitkan informasi baru dengan pengalaman pribadi. Ketika data mutu disampaikan dalam bentuk cerita tentang orang-orang nyata dan perubahan nyata, maka informasi itu tidak lagi terasa asing. Ia menjadi bagian dari identitas bersama. PPEPP pun bukan lagi serangkaian prosedur, melainkan perjalanan yang nyata dan berkelanjutan.
Membangun Cerita dari Aktivitas Sehari-hari
Menerapkan storytelling dalam budaya mutu tidak perlu menunggu prestasi besar. Cerita-cerita kecil dari aktivitas sehari-hari di kampus justru lebih efektif untuk membangun kedekatan emosional. Misalnya, kisah tentang mahasiswa yang merasa terbantu oleh layanan akademik baru hasil rekomendasi audit internal, atau cerita tentang dosen yang menemukan cara baru mengajar setelah mengevaluasi hasil belajar mahasiswanya.
Dalam setiap tahap PPEPP, dari penetapan standar hingga peningkatan berkelanjutan, selalu ada kisah yang bisa digali. Cerita tentang tantangan yang dihadapi saat implementasi, tentang inovasi kecil yang dilakukan untuk mengatasi kendala, atau tentang refleksi bersama saat rapat tinjauan manajemen, semuanya dapat menjadi bahan bakar untuk menghidupkan budaya mutu. Cerita mengubah standar menjadi pengalaman nyata, dan pengalaman nyata membangun budaya yang kuat.
Menciptakan Kebiasaan Bercerita dalam Mutu
Agar storytelling menjadi bagian dari penguatan budaya mutu, ia harus menjadi kebiasaan yang dibangun secara konsisten. Mulailah setiap rapat mutu, pelatihan, atau sosialisasi SPMI dengan sebuah cerita nyata. Gunakan hasil audit AMI atau data tracer study bukan hanya untuk menampilkan angka, tetapi untuk menceritakan perjalanan perbaikan dan pembelajaran yang terjadi di baliknya. Budaya mutu akan lebih mudah tumbuh jika civitas akademika melihat diri mereka sendiri dalam cerita-cerita itu.
Pendekatan ini didukung oleh elaboration likelihood model dalam teori komunikasi, yang menunjukkan bahwa pesan yang membangun koneksi emosional lebih mampu mempengaruhi sikap dan perilaku audiens. Dengan terus menerus menghadirkan cerita, kita tidak hanya mengajarkan standar mutu, tetapi juga menumbuhkan keyakinan bahwa setiap orang berperan dalam membangun kampus yang lebih baik.
Penutup
Membumikan budaya mutu tidak harus rumit. Storytelling menawarkan jalan sederhana namun kuat untuk membawa standar, indikator, dan prosedur menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di kampus. Dengan menghidupkan PPEPP melalui cerita-cerita nyata, kita mengubah budaya mutu dari sekadar aturan menjadi semangat kolektif yang terus tumbuh dan berkembang.
SPMI bukan sekadar sistem; ia adalah perjalanan kolektif menuju keunggulan. Dengan cerita, kita menjadikan perjalanan itu terasa dekat, nyata, dan layak untuk dijalani bersama. Karena di setiap kampus, di balik setiap data, selalu ada cerita yang layak untuk diceritakan—dan dari cerita-cerita itulah budaya mutu sejati lahir.
Referensi
- Bruner, J. S. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
- Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and self-determination in human behavior. New York: Plenum Press.
- Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2024). Pedoman Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi Akademik. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
- Griffin, R. W. (2022). Fundamentals of management (10th ed.). Cengage Learning.
- Goetsch, D. L., & Davis, S. B. (2014). Quality management for organizational excellence: Introduction to total quality (7th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson.
- Kim, W. C., & Mauborgne, R. (2005). Blue ocean strategy: How to create uncontested market space and make the competition irrelevant. Harvard Business School Press.
- OpenAI. (2025). ChatGPT [Large language model]. Diakses melalui https://openai.com/chatgpt
- Ornstein, A.C. & Hunkins, F.P. (2018). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues. Pearson.
- Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
- Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2024). Organizational behavior (19th ed., Global ed.). Pearson.
- Sallis, E. (2002). Total quality management in education (3rd ed.). Kogan Page.
- Yukl, G. (2010). Leadership in organizations (7th ed.). Prentice Hall.
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan



