Pendahuluan
Rencana Pembelajaran Semester, atau RPS, telah menjadi dokumen wajib dalam sistem pendidikan tinggi. Ia ditetapkan sebagai acuan resmi bagi dosen dalam menyusun materi kuliah, strategi pengajaran, dan bentuk penilaian. Dalam konteks regulasi nasional, RPS bukan hanya komponen administratif, tetapi bagian penting dari standar proses pembelajaran yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit RPS yang hanya disusun demi menggugurkan kewajiban akreditasi dan tak pernah benar-benar digunakan sebagai panduan dalam mengajar. Ini menciptakan jurang lebar antara perencanaan yang dirancang dengan cermat di atas kertas dan pelaksanaan nyata di ruang kelas.
Ketidaksesuaian antara RPS dan praktik pengajaran bukan hanya soal ketidaktepatan teknis, tetapi merupakan cerminan dari kegagalan sistemik dalam menanamkan budaya mutu yang sesungguhnya. Mahasiswa tidak merasakan kebermanfaatan RPS, dosen tidak mengintegrasikannya dalam proses belajar mengajar, dan institusi tidak cukup memastikan keberlanjutannya dalam siklus evaluasi. Maka pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah RPS disusun, tetapi apakah RPS benar-benar hidup dan bekerja untuk mendukung proses pembelajaran yang bermutu.
RPS: Hanya Formalitas?
RPS sejatinya dirancang sebagai alat navigasi yang membantu dosen merancang perjalanan pembelajaran mahasiswa dari minggu ke minggu. Namun, di banyak institusi, RPS berubah menjadi sekadar dokumen formalitas: dirancang untuk keperluan akreditasi, diunggah ke sistem, lalu terlupakan. Dalam beberapa kasus, mahasiswa bahkan tidak pernah melihat RPS mereka, padahal dokumen ini semestinya menjadi peta pembelajaran yang dapat mereka akses dan pahami.
Fenomena ini menunjukkan bahwa RPS belum diinternalisasi sebagai pedoman hidup dalam proses belajar mengajar. Dalam kerangka manajemen pendidikan berbasis tujuan (management by objectives), perencanaan harus memiliki keterkaitan langsung dengan pelaksanaan dan evaluasi. Bila RPS hanya menjadi simbol ketaatan administratif tanpa implementasi nyata di kelas, maka seluruh sistem perencanaan pembelajaran kehilangan daya gunanya. Dosen mungkin mengajar dan mahasiswa mungkin belajar, tetapi proses itu menjadi kehilangan arah jika tidak berpijak pada panduan yang telah disepakati bersama sejak awal.
RPS dan Psikologi Belajar
Salah satu alasan penting mengapa RPS perlu benar-benar dijalankan adalah karena ia berperan dalam menciptakan struktur pembelajaran yang sistematis. Dalam psikologi pendidikan, struktur yang jelas sangat membantu mahasiswa dalam mengorganisasi pengetahuan. David Ausubel, dengan teorinya tentang meaningful learning, menekankan pentingnya penyajian informasi secara terstruktur agar bisa diintegrasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. RPS yang dijalankan dengan konsisten membantu membangun kerangka ini secara bertahap dan logis.
Di sisi lain, ketidaksesuaian antara rencana dan pelaksanaan bisa menimbulkan kebingungan, kebosanan, bahkan frustasi pada mahasiswa. Apalagi jika strategi pembelajaran yang dijanjikan dalam RPS tidak tercermin dalam praktik—misalnya menjanjikan pembelajaran berbasis proyek, tetapi yang terjadi hanya ceramah setiap minggu. Ini menurunkan kepercayaan mahasiswa terhadap sistem, sekaligus mematikan potensi pembelajaran yang bermakna. Dalam jangka panjang, ini juga bisa melemahkan motivasi intrinsik mahasiswa untuk terlibat aktif dalam kelas.
SPMI: Menjamin Rencana Bertemu Realita
Untuk memastikan bahwa RPS benar-benar menjadi pedoman yang hidup, dibutuhkan sistem penjaminan mutu internal yang aktif dan fungsional. SPMI, sebagai kerangka mutu dalam pendidikan tinggi, menyediakan mekanisme bagi institusi untuk memantau dan memastikan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran berjalan konsisten. Dalam kerangka regulasi nasional, SPMI bukan hanya pilihan, tetapi kewajiban institusional yang harus dilaksanakan oleh setiap perguruan tinggi.
Melalui siklus evaluasi dan pengendalian yang berkelanjutan, SPMI memungkinkan setiap program studi untuk menilai apakah dosen telah melaksanakan pembelajaran sesuai RPS. Bahkan lebih jauh, SPMI memberikan ruang untuk melakukan pembaruan dan inovasi, baik dalam bentuk metode pengajaran, materi, maupun sistem penilaian. Dengan pendekatan ini, RPS tidak hanya menjadi dokumen statis, tetapi bagian dari ekosistem pembelajaran yang dinamis dan adaptif terhadap perubahan.
PPEPP: Siklus Mutu untuk Menghidupkan RPS
Penerapan siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—dalam sistem mutu internal perguruan tinggi memberi harapan bagi hidupnya kembali RPS sebagai instrumen nyata pembelajaran. Melalui penetapan yang cermat, RPS disusun berdasarkan analisis kebutuhan dan capaian pembelajaran yang terukur. Pada tahap pelaksanaan, dosen diwajibkan menjalankan proses sesuai dengan yang telah dirancang, dan tidak sekadar mengandalkan pengalaman atau intuisi pribadi.
Tahapan evaluasi dan pengendalian menjadi krusial ketika perguruan tinggi ingin memastikan konsistensi antara rencana dan realisasi. Hasil evaluasi dosen oleh mahasiswa, misalnya, bisa menjadi indikator penting sejauh mana RPS dijalankan. Terakhir, peningkatan tidak boleh diabaikan. Dengan semangat kaizen, RPS seharusnya terus diperbaiki dari semester ke semester, berdasarkan refleksi, data, dan masukan dari berbagai pihak. Ini menjadikan PPEPP sebagai alat yang bukan hanya administratif, tetapi transformatif.
Penutup
Permasalahan RPS yang hanya hidup di atas kertas adalah sinyal bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam membangun budaya akademik yang sehat dan bermutu. Perubahan tidak akan terjadi hanya dengan instruksi atau regulasi. Ia memerlukan perubahan paradigma: bahwa RPS bukan beban, melainkan alat yang memudahkan. Bahwa kesesuaian antara rencana dan pelaksanaan bukan sekadar kewajiban akreditasi, melainkan panggilan profesionalisme seorang pendidik.
Dengan menjalankan SPMI secara konsisten dan menerapkan PPEPP sebagai siklus mutu yang hidup, institusi pendidikan tinggi bisa menjembatani jarak antara apa yang dirancang dan apa yang terjadi. Di sinilah RPS akan menemukan kembali ruhnya—bukan sekadar dokumen administratif, melainkan kompas pembelajaran yang memandu dosen dan mahasiswa menuju pembelajaran yang bermakna, terarah, dan berkualitas.



