
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Ketika mengkaji mutu pendidikan tinggi, sering kali kita mendengar terminologi seperti kebijakan, standar, evaluasi, dan akreditasi. Namun, ada satu konsep fundamental yang sangat penting yaitu: budaya mutu.
Namun sangat disayangkan, dalam Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, istilah “budaya mutu” tidak muncul secara eksplisit.
Penulis tergerak untuk bertanya: Mengapa hal ini terjadi? Padahal, budaya mutu (quality culture) adalah inti dari keberlanjutan peningkatan kualitas pendidikan tinggi (kaizen).
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 Pasal 68, memang menekankan pentingnya siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar), namun tanpa menyebut budaya mutu, kita kehilangan kesempatan untuk menanamkan prinsip bahwa budaya mutu harus menjadi DNA dari seluruh elemen sendi-sendi perguruan tinggi. Budaya mutu lebih dari sekadar prosedural; ini adalah ruh nilai-nilai (values) yang menggerakkan sivitas akademika dalam organisasi untuk secara sadar bekerja keras meningkatkan mutu pendidikan. Bila istilah budaya mutu tidak ditegaskan, penulis khawatir perguruan tinggi cenderung melihat penjaminan mutu hanya sebagai tugas administratif belaka, bukan sebagai misi transformatif.
Baca juga: Evaluasi Permendikbudristek 53/2023: Kecepatan versus Akuntabilitas
Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023, khususnya Pasal 69 ayat (1) huruf b, mengamanatkan perguruan tinggi untuk mengintegrasikan implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) ke dalam manajemen perguruan tinggi. Ini adalah langkah sangat penting, namun tantangan besar masih menghadang. Banyak institusi perguruan tinggi yang melihat SPMI sebagai tanggung jawab terpisah, terbatas pada unit tertentu (unit LPM), tanpa integrasi ke dalam struktur organisasi secara holistik.
Sudah kita maklumi bersama, integrasi SPMI dengan manajemen perguruan tinggi adalah kunci penting untuk membangun budaya mutu yang berkelanjutan. SPMI harus menjadi satu kesatuan, bagian dari proses pengambilan keputusan, perencanaan strategis, hingga pengelolaan sumber daya manusia.
Tanpa integrasi ini, SPMI hanya akan menjadi sekumpulan dokumen formalitas yang tidak memiliki makna apa-apa. Sebaliknya, bila SPMI mampu diintegrasikan secara strategis, ia akan menjadi tool strategis untuk mencapai tujuan institusi dengan mendorong kolaborasi, kreatifitas, dan komitmen kolektif terhadap mutu pendidikan.
Baca juga: Pemimpin sebagai Model: Katalis Budaya SPMI
Melalui Surat Edaran Nomor 15 Tahun 2024, Menteri mengundang pemangku kepentingan untuk memberikan masukan, saran dan pertimbangan atas evaluasi Permendikbudristek No. 53/2023. Sebagai bagian dari pemangku kepentingan, penulis merespon Surat Edaran tersebut, dengan mengusulkan agar diksi “budaya mutu” dimunculkan secara eksplisit dalam revisi mendatang. Regulasi ini memiliki potensi penting untuk mendorong transformasi pendidikan tinggi. Apabila diksi budaya mutu tidak secara eksplisit muncul sebagai inti dari Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (SPM Dikti) dikhawatirkan tidak menjadi fokus perhatian. Tanpa pengakuan ini, upaya penguatan SPMI berpotensi kehilangan arah, dan terjebak dalam formalitas yang dangkal.
Sekali lagi, revisi regulasi dianjurkan mencakup pernyataan eksplisit bahwa tujuan akhir dari SPMI adalah membangun budaya mutu (pola pikir, pola sikap dan pola perilaku) yang kuat di setiap perguruan tinggi.
Dengan cara ini, regulasi akan memberi fokus dan arahan yang jelas bahwa mutu bukan hanya tentang kepatuhan terhadap standar, namun juga tentang perubahan paradigma (mindset) dan perilaku. Institusi perguruan tinggi dengan budaya mutu yang unggul tidak hanya fokus pada hasil akreditasi, namun juga pada dampak keberlanjutan terhadap kepuasan mahasiswa, masyarakat, dan bangsa.
Baca juga: Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku: Pilar Utama Budaya Mutu SPMI
Kehadiran budaya mutu di perguruan tinggi Insya Allah akan membawa perubahan paradigma yang besar. Perguruan tinggi tidak lagi mengejar angka-angka akreditasi semata, namun menjadikan budaya mutu sebagai prinsip (habit) kerja sehari-hari. Budaya mutu berarti segenap pimpinan, dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi pada mutu, tidak hanya dalam tugas formal pekerjaan, namun juga dalam perilaku dan nilai-nilai keseharian, hal ini sesuai dengan kutipan dari seorang pakar mutu bernama Edwards Deming “quality is everyone’s responsibility”.
Saat perguruan tinggi mengadopsi tuntutan regulasi budaya mutu, mereka akan berusaha membangun ekosistem yang mendukung siklus PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan Standar) menuju inovasi, pembelajaran berkelanjutan, dan kolaborasi.
Ini adalah paradigma yang sangat urgen untuk menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi (era BANI). Dengan regulasi yang tepat, budaya mutu akan menjadi tulang punggung pendidikan tinggi yang benar-benar kompetitif di tingkat nasional dan internasional.
Sesungguhnya pendidikan tinggi di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar standar dan akreditasi. Pendidikan tinggi memerlukan panduan dan nilai-nilai yang membimbing perjalanan institusi menuju mutu pendidikan yang relevan. Budaya mutu adalah jawaban cerdas atas tuntutan ini, karena pada dasarnya mutu dibangun untuk mencapai kepuasan (customer satisfaction) untuk segenap pemangku kepentingan.
Dengan mencantumkan istilah “budaya mutu” secara eksplisit dalam regulasi, pemerintah tidak hanya memberikan arahan, namun juga menanamkan semangat kolektif untuk membangun masa depan yang lebih cerah bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Stay Relevant!
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi