SPMI, OBE dan IT

Permen 39/2025: Dari Regulasi ke Realitas Kampus

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“Permen 39/2025 hadir dengan semangat baru. Tantangannya: beranikah kampus mengubah regulasi jadi mutu nyata yang dirasakan sehari-hari?”

Pagi itu kampus tampak sibuk. Mahasiswa buru-buru mencari ruang kuliah, dosen mondar-mandir dengan wajah letih, sementara di lantai tiga gedung rektorat rapat mutu masih berlangsung. Di dalam ruang rapat, layar proyektor penuh tabel standar dan pasal Permen baru. Di luar ruang rapat, mahasiswa justru ribut soal wifi yang lemot. Dua dunia yang berjalan bersisian, tapi jarang sekali bertemu.

Regulasi terbaru, Permendikbudristek Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, membawa sejumlah perubahan penting. Jika Permen 53 Tahun 2023 lebih menekankan pada standar nasional dan akreditasi, maka Permen 39 menambahkan penekanan baru.

Ada masa transisi dua tahun (Pasal 116) supaya kampus bisa beradaptasi tanpa tergesa. Fleksibilitas pembelajaran diperkuat: rekognisi pembelajaran lampau kini wajib, microcredential lebih diakui, dan mobilitas lintas kampus maupun lintas negara dipermudah.

Selain itu, ada dorongan internasionalisasi, di mana akreditasi internasional diposisikan lebih strategis. Dimensi sosial juga diperjelas: akses difabel wajib disediakan, dan perguruan tinggi harus menunjukkan dampak bagi masyarakat. Jadi, Permen 39 tidak sekadar mengulang regulasi lama, tapi menambahkan tekanan pada fleksibilitas, inklusi, internasionalisasi, dan relevansi sosial. Hal ini tentu menarik sekali.

Namun di lapangan, persoalan klasik tetap menghantui. Form overload, laporan ganda, tenaga pendidik burnout, dan mahasiswa yang tak kunjung merasakan hasil nyata. Akreditasi bisa saja “unggul” di borang, tapi mahasiswa tetap kesal kalau dosennya jarang hadir tepat waktu atau ruang kelasnya AC-nya tidak dingin.

Inilah jebakan yang digambarkan oleh sosiolog Niklas Luhmann. Menurutnya, organisasi sering terjebak dalam produksi simbol kepatuhan—dokumen, tanda tangan, sertifikat—yang memberi kesan rapi, padahal substansinya kosong. Banyak kampus akhirnya sibuk dengan mutu simbolik alih-alih mutu sejati. Hal ini tentnu sangat disesalkan.

Chris Argyris dan Donald Schön lewat teori organizational learning mengingatkan ada dua cara belajar. Pertama, single-loop learning: memperbaiki kesalahan kecil tanpa mengubah asumsi dasar. Kedua, double-loop learning: berani mempertanyakan asumsi lalu mengubah pola pikir. Tentu yang nomor dua yang lebih kita perlukan.

Transisi dari Permen 53 ke Permen 39 seharusnya tidak berhenti di single-loop. Jangan hanya mengganti form lama dengan form baru, tapi jadikan sebagai double-loop: mengubah mind set, cara pandang kampus tentang mutu itu sendiri.

Di sinilah relevan mengingat pesan B.J. Habibie. Ia selalu bicara tentang pentingnya menyeimbangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan iman dan takwa. Bagi Habibie, teknologi tidak ada artinya kalau tidak mengangkat martabat manusia.

Kalau kita tarik ke konteks dunia kampus, digitalisasi mutu—entah lewat dashboard, big data, atau AI—tidak boleh berhenti di teknis. Ia harus menyentuh nilai-nilai dasar: kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab. Regulasi baru memberi peluang, tapi manusianya yang menentukan arah.

Regulasi memberi kerangka, tapi kampus tetap perlu berinovasi di level praktik. Di sinilah penulis menawarkan beberapa gagasan sederhana.

Ada ide JUARA, singkatan dari Juruskan langkah, Aksikan tugas, Rapatkan hasil, sebuah penyederhanaan dari siklus PPEPP. Regulasi tetap memakai lima langkah, tapi dengan JUARA pendekatan bisa lebih mudah diingat dan lebih fokus pada aksi nyata: strategi jelas, pelaksanaan konkret, lalu refleksi kolektif yang menyatukan evaluasi, pengendalian, dan peningkatan.

Prinsip serupa bisa diterapkan lewat konsep Single Source of Truth, yakni satu gudang data mutu yang sahih untuk semua kebutuhan. Bukan setiap unit bikin bukti sendiri-sendiri, tapi satu bukti bisa dipakai lintas standar. Dengan begitu administrasi berkurang, dosen tidak terbebani, dan auditor bisa bekerja lebih cepat.

Audit internal pun perlu diubah menjadi audit mendidik. Selama ini audit sering dipersepsi menegangkan, seolah-olah mencari kesalahan. Padahal audit bisa jadi ruang belajar. Kalau tim audit datang bukan untuk menghukum, melainkan memberi umpan balik, dosen dan kaprodi lebih terbuka menerima masukan.

Untuk mendukung semua itu, SPMI era digital bisa jadi solusi. Pemanfaatan AI dan big data akan membantu analisis mutu, misalnya lewat survei kepuasan mahasiswa yang otomatis terolah atau dashboard mutu yang menampilkan tren secara real-time. Teknologi jadi alat bantu, bukan tujuan akhir.

Semua gagasan ini tentu bukan bagian dari Permen 39, melainkan cara praktis untuk menjembatani regulasi dengan keseharian kampus.

Dan semua itu akan lebih bermakna kalau dikaitkan dengan semangat inklusi. Permen 39 tegas menyebut soal akses bagi mahasiswa difabel. Artinya, mutu bukan hanya untuk yang “normal”, tapi untuk semua. Ramp kursi roda, materi kuliah aksesibel, pelatihan dosen tentang inklusi—itu semua bukan tambahan, melainkan inti dari mutu sejati.

Selain itu, ada pula kewajiban kampus menunjukkan dampak ke masyarakat. Jadi mutu bukan berhenti di pagar kampus, tapi juga dirasakan warga sekitar, pemerintah daerah, bahkan masyarakat global.

Pada akhirnya, inti dari judul “dari regulasi ke realitas” adalah mengingatkan bahwa mutu kampus tidak boleh berhenti di tumpukan pasal dan borang. Regulasi penting sebagai peta jalan, tapi peta tidak sama dengan perjalanan.

Realitas kampuslah yang menjadi ukuran sejati: apakah mahasiswa merasa nyaman belajar, apakah dosen bisa mengajar dengan tenang, apakah masyarakat merasakan manfaat keberadaan kampus.

Mutu yang hanya hidup di dokumen akan cepat dilupakan. Tapi mutu yang hadir di ruang kelas, di pelayanan administrasi, di toilet bersih, di riset yang bermanfaat, dan di kontribusi nyata ke masyarakat—itulah yang akan dikenang.

Permen 39/2025 memberi kesempatan bagi kampus untuk berbenah. Pertanyaannya tinggal satu: beranikah kita mengubah regulasi menjadi realitas? Siapkah kita?

Stay Relevant!



Daftar Referensi

  • Argyris, C., & Schön, D. A. (1978). Organizational learning: A theory of action perspective. Addison-Wesley.
  • Habibie, B. J. (2006). Detik-detik yang menentukan: Jalan panjang Indonesia menuju demokrasi. THC Mandiri.
  • Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
  • Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
  • Luhmann, N. (1995). Social systems. Stanford University Press.



Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top