
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Instagram: @mutupendidikan
Dalam berbagai forum pendidikan tinggi, istilah “mutu” nyaris menjadi mantra yang favorit. Kampus-kampus berlomba-lomba membangun sistem penjaminan mutu yang kuat, menyusun dokumen PPEPP dengan cermat, dan menargetkan akreditasi unggul. Namun di balik gemerlapnya indikator administratif itu, tersimpan satu pertanyaan penting: apakah semua ini benar-benar berdampak pada dunia nyata lulusan?
Sinyal ironi itu muncul dari tempat yang paling tak disangka: Harvard Business School (HBS). Sebagai institusi dengan reputasi global, Harvard baru-baru ini mencatat bahwa sekitar 23% lulusannya tidak mendapatkan pekerjaan dalam tiga bulan setelah lulus. Artinya, hampir seperempat dari lulusan program MBA yang disebut-sebut sebagai paling prestisius itu tidak langsung terserap pasar kerja. Ini tentu mencengangkan, sekaligus menyadarkan kita bahwa mutu akademik tidak serta merta berarti relevansi praktis.
Baca juga: Standar SPMI Harus Diperbarui, Kapan Waktu yang Tepat?
Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di Indonesia dirancang sebagai tulang punggung peningkatan mutu pendidikan tinggi. Dalam siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—SPMI seharusnya menjadi mekanisme yang hidup dan berorientasi ke depan. Namun sayangnya, dalam banyak kasus, SPMI masih dimaknai sebagai sistem kepatuhan administratif, bukan alat transformasi.
Standar-standar yang ditetapkan dalam SPMI sering kali bersifat internal dan teknokratis, lebih fokus pada input dan proses, seperti kualifikasi dosen, jumlah SKS, atau kelengkapan perangkat pembelajaran. Padahal, dunia kerja tidak bertanya soal SKS atau rubrik penilaian—yang mereka cari adalah lulusan yang adaptif, kolaboratif, dan siap berkarya.
Di sinilah muncul paradoks mutu: sistem yang mengklaim menjaga mutu, tapi abai terhadap ukuran mutu yang sebenarnya paling penting—kesiapan kerja lulusan.
Baca juga: Dunia Berubah Cepat, Apakah Standar SPMI Kita Masih Relevan?
Di atas kertas, PPEPP adalah sistem yang logis: tetapkan standar, laksanakan, evaluasi, kendalikan, dan tingkatkan. Namun dalam praktiknya, sebagian besar perguruan tinggi menjalankan PPEPP seperti checklist tahunan—bukan sebagai proses reflektif yang hidup. Tracer study misalnya, memang rutin dilakukan, tapi lebih sering digunakan sebagai syarat akreditasi, bukan bahan analisis mendalam.
Bayangkan bila PPEPP benar-benar mendengar dunia kerja. Standar kompetensi lulusan tidak hanya dirancang dari perspektif akademik, tetapi dari dialog aktif dengan industri. Evaluasi tidak berhenti pada capaian internal, tapi merujuk pada performa lulusan di tempat kerja. Peningkatan tidak hanya berarti menambah fasilitas atau kegiatan, tapi menyusun ulang orientasi pembelajaran agar benar-benar menyiapkan mahasiswa menghadapi masa depan.
Baca juga: SPMI dan Fenomena The Death of Expertise
Kembali ke kasus HBS, kita belajar bahwa bahkan institusi dengan pengajar terbaik, kurikulum studi kasus yang tajam, dan jaringan alumni global pun tidak kebal terhadap perubahan peta kebutuhan industri.
Jika lulusan Harvard saja mengalami kesulitan diserap pasar kerja, bagaimana dengan kampus-kampus lain yang tidak memiliki keunggulan serupa?
Ini bukan berarti Harvard tak bermutu, tapi menunjukkan bahwa mutu itu tidak statis. Ia harus terus disesuaikan dengan konteks. Maka kampus-kampus Indonesia perlu waspada: jangan sampai sistem penjaminan mutu yang rapi secara administratif malah membuat kita terlena—hingga lupa bahwa yang dinilai oleh masyarakat bukan prosesnya, tapi dampaknya.
Baca juga: Kampus Ideal: Gabungan Estetika dan Fungsi
Sudah waktunya kita bergeser dari cara lama memandang mutu. SPMI tidak boleh hanya menjadi kumpulan dokumen yang diperbarui menjelang akreditasi. Ia harus menjadi refleksi menyeluruh dari seberapa besar pendidikan kita menjawab tantangan zaman. Dan zaman ini menuntut adaptasi, bukan hanya kepatuhan.
Jika SPMI ingin tetap relevan, maka ia harus bicara tentang dunia kerja, perubahan teknologi, kebutuhan sosial, dan kemampuan lulusan berkontribusi nyata. Karena jika tidak, maka kampus-kampus akan terus sibuk dengan pencitraan mutu, sementara para lulusannya menunggu panggilan kerja yang tak kunjung datang.
Baca juga: Lingkungan Kerja Ideal: Sarana Prasarana untuk Dosen dan Karyawan
Referensi
Oleh: Bagus Suminar, wakil ketua ICMI Orwil Jatim, dosen UHW Perbanas Surabaya, dan direktur mutupendidikan.com
Instagram: @mutupendidikan
Layanan Informasi