بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Ketika Outcome-Based Education (OBE) bertemu Kampus Berdampak, pendidikan berhenti menjadi administrasi. Ia tumbuh menjadi seni memerdekakan manusia untuk memberi makna.”
Kampus Berdampak adalah wajah baru pendidikan tinggi Indonesia yang tak lagi puas berhenti di ruang kelas. Diluncurkan resmi pada bulan Mei 2025, kebijakan ini kini dikuatkan oleh regulasi baru: Permendiktisaintek Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Regulasi ini menegaskan bahwa mutu pendidikan tidak lagi sekadar memenuhi standar, tetapi harus melampauinya—dengan prinsip keberlanjutan, inklusivitas, dan relevansi sosial.
Kampus Berdampak menjadi kelanjutan alami dari gerakan Merdeka Belajar–Kampus Merdeka (MBKM) yang telah berjalan lima tahun sejak tahun 2020. Bila MBKM membuka ruang belajar di luar kampus, maka Kampus Berdampak menegaskan arah baru: setiap proses belajar harus memberi dampak nyata, kontribusi nyata bagi manusia dan lingkungan.
Dalam kerangka itu, Outcome-Based Education (OBE) menemukan rumah barunya. Hasil belajar (outcome) tidak lagi berhenti pada tabel CPL atau borang evaluasi, melainkan hidup di kehidupan nyata — di cara mahasiswa berpikir, berkolaborasi, dan memberi manfaat. Ia menuntut perubahan cara berpikir: dari sekadar menuntaskan kurikulum menjadi menumbuhkan kebermaknaan. Di sinilah pendidikan berhenti menjadi administrasi, dan mulai menjadi pengalaman manusiawi — tempat mahasiswa belajar berdampak, memberi manfaat bukan sekadar berkompeten.
William Spady, sang perintis OBE, pernah mengatakan bahwa pendidikan bukanlah perlombaan di jalur seragam, melainkan taman tempat setiap manusia tumbuh sesuai musimnya. Prinsip Expanded Opportunities (kesempatan yang diperluas) yang ia ajarkan menegaskan bahwa setiap mahasiswa mampu mencapai capaian terbaik, asal diberi waktu, cara, dan dukungan yang sesuai. Maka, tugas dosen bukan lagi mengontrol kecepatan belajar, melainkan menciptakan ruang tumbuh yang adil dan seimbang bagi setiap mahasiswa.
Di sinilah Kampus Berdampak berjumpa dengan OBE. Sebab pendidikan yang berfokus pada hasil tidak akan bermakna jika hasil itu tidak berdampak. Outcome dalam OBE menemukan bentuk sosialnya: bukan sekadar CPL yang tertulis dalam kurikulum, tapi transformasi nyata di lapangan — bagaimana mahasiswa hadir di tengah masyarakat, memecahkan masalah riil, bekerja lintas disiplin, dan menghidupkan nilai kemanusiaan.
Kebijakan Kampus Berdampak pada dasarnya ingin menjawab satu kegelisahan lama: mengapa begitu banyak capaian belajar tidak berlanjut menjadi kontribusi nyata di masyarakat. Karena itu, kampus kini didorong untuk mengaitkan setiap proses akademik dengan masalah riil di lapangan, menghadirkan solusi di masyarakat sekitar.
Misalnya, mata kuliah ekonomi pembangunan tak lagi berhenti pada teori pertumbuhan, tetapi mahasiswa turun langsung melakukan pemetaan potensi UMKM lokal, lalu membuat prototipe digital sederhana untuk meningkatkan penjualan dan memperluas jangkauan pasar mereka.
Atau mahasiswa teknik lingkungan merancang sistem pengairan, sistem penyaringan air murah untuk desa yang belum punya akses air bersih — proyek kecil, tapi memberi dampak nyata.
Sementara mahasiswa prodi pendidikan bisa merancang micro-teaching di sekolah terpencil, atau memberi kursus literasi gratis untuk anak-anak, lalu mengukur perubahan motivasi belajar siswa sebagai bagian dari asesmen otentik.
Semua kegiatan ini masih dalam ruang lingkup OBE, karena capaian pembelajaran (CPL) tetap menjadi acuan (outcome). Namun bedanya, CPL kini dihidupkan dalam konteks sosial — mahasiswa tidak hanya “mengetahui” atau “mampu melakukan,” tetapi “mampu berdampak.”
Inilah yang disebut transformasi dari learning outcomes ke societal outcomes.
Dalam konteks sistem mutu, sistem penjaminan mutu internal (SPMI), pendekatan ini menuntut keterpaduan data dan refleksi.
Misalnya, hasil tracer study menunjukkan bahwa lulusan suatu prodi kurang mampu bekerja lintas bidang. Maka prodi tersebut bisa meninjau kembali profil lulusannya melalui analisis SWOT dan memperkuat capaian pada aspek kolaborasi, team work dan komunikasi lintas disiplin.
Dosen kemudian merancang ulang kegiatan belajar mengajar— misalnya, mengganti tugas individu menjadi proyek kelompok lintas mata kuliah.
Dari situ, siklus PPEPP berjalan secara alami: penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan standar, bukan karena kewajiban, tapi karena kebutuhan untuk improvement, perbaikan terus menerus.
Sebagaimana diilhami oleh Makoto Yoshida (1999) melalui Lesson Study, perbaikan mutu sejati lahir dari refleksi bersama. Ketika dosen saling membuka dialog, mendiskusikan strategi, dan belajar dari mahasiswa, saat itulah PPEPP menjadi hidup—bukan sekadar prosedur, tapi budaya belajar.
SPMI pun berubah dari sistem pengawasan menjadi ruang pembelajaran bagi segenap pemangku kepentingan.
Dengan cara itu, SPMI tidak lagi menjadi “pengawal dokumen,” melainkan ekosistem reflektif yang menuntun dosen dan mahasiswa untuk terus memperbaiki diri.
Mutu tidak lagi diukur dari kelengkapan borang dan formulir, tapi dari pertumbuhan nyata mahasiswa dan relevansi lulusan terhadap kebutuhan masyarakat.
Kampus berdampak juga membuka ruang kolaborasi baru:
Kampus–industri, kampus–desa, kampus–komunitas.
OBE memberi arah pada capaian, sedangkan kampus berdampak memastikan capaian itu berjejak pada kehidupan.
Kampus Berdampak juga mendorong dosen untuk memiliki peran baru.
Dosen tidak lagi menjadi “penyampai materi,” tetapi perancang pengalaman belajar.
Ia harus mampu menata tugas, proyek, atau kasus dengan mempertimbangkan konteks sosial dan profil mahasiswa.
Bila mahasiswa berasal dari daerah pesisir, maka proyeknya bisa berkait dengan ekosistem laut; bila dari keluarga petani, proyeknya bisa menyentuh pertanian berkelanjutan.
Dengan begitu, OBE tidak kehilangan rohnya, tetap membumi: hasil belajar menjadi personal, bermakna, dan berdampak.
Sebagaimana ditekankan oleh Dzulkifli Abdul Razak (2020) dalam Sejahtera Academic Framework, pendidikan tinggi yang bermakna bukan hanya menghasilkan kompetensi, tetapi menumbuhkan keseimbangan antara ilmu, nilai, dan keberlanjutan hidup.
Inilah semangat yang juga menyatu dalam gagasan Kampus Berdampak—mendidik manusia untuk menjadi Rahmatan Lil Alamin bagi lingkungannya.
Dalam pandangan ini, mutu tidak sekadar diukur oleh audit, tapi oleh kesejahteraan manusia dan harmoni sosial yang jejaknya ditinggalkan oleh para alumni.
Karena pendidikan yang berdampak bukanlah yang menambah gelar, tapi yang menambah daya hidup.
Dan mutu sejati bukanlah yang lulus audit, tapi yang meninggalkan jejak kebaikan di kehidupan.
Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Dzulkifli Abdul Razak. (2020). Sejahtera Academic Framework. International Islamic University Malaysia Press.
- Spady, W. G. (1994). Outcome-based education: Critical issues and answers. American Association of School Administrators.
- Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025, April 29). Aktualisasi Kampus Berdampak sebagai keberlanjutan Kampus Merdeka.
- Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
- Yoshida, M. (1999). Lesson study: A case study of a Japanese approach to improving instruction through school-based teacher development (Doctoral dissertation, University of Chicago).
Instagram: @mutupendidikan




