بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Mutu kampus sejati bukan di borang, tapi di kontribusi nyata. Ilmu yang hadir di masyarakat jadi wajah mutu yang paling menginspirasi.”
Di banyak kampus, kita sering dengar cerita tentang dosen yang sibuk meneliti demi angka kredit. Proposal disusun, laporan dibuat, jurnal terbit di publikasi yang hanya dibaca segelintir orang. Hasilnya menumpuk di rak perpustakaan atau server kampus, tapi jarang menjawab kebutuhan nyata masyarakat. Penelitian jadi sekadar formalitas, bukan jalan perubahan. Padahal di situlah pertanyaan penting muncul: apa arti mutu kampus kalau pengetahuannya tidak pernah menyeberang pagar, tidak pernah hadir di tengah kehidupan masyarakat luas?
Permen 39 Tahun 2025 sebenarnya memberi panduan dan arah yang lebih luas bagi mutu. Bukan hanya soal akademik—pendidikan, penelitian, pengabdian—tapi juga nonakademik, mulai dari tata kelola, mahasiswa, keuangan, hingga sarana prasarana. Kalau kita mau terbuka, ruang pengabdian masyarakat di sini mestinya jadi jantung. Karena apa gunanya kampus bermutu kalau sekadar melahirkan laporan indah, tapi masyarakat di sekelilingnya tetap berjuang sendiri menghadapi masalah air bersih, kemiskinan, atau pendidikan dasar yang tertinggal?
Dalam teori modern, ada yang disebut Triple Helix Model yang dikembangkan oleh Etzkowitz dan Leydesdorff. Teori ini menekankan pentingnya kerjasama / kolaborasi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan industri untuk melahirkan inovasi yang berdampak nyata. Jadi mutu tidak hanya dipahami sebagai peningkatan internal kampus, tetapi juga kontribusi nyata dalam memecahkan problematik bangsa. Kalau kampus berhasil menjadi mitra pemerintah dan industri, hasil riset dan pembelajarannya tentu bisa langsung diterjemahkan menjadi solusi.
Selain itu ada Community Engagement Theory. Konsep ini digagas oleh Boyle dan Silver, yang menekankan bahwa hubungan antara kampus dan masyarakat harus bersifat timbal balik dua arah. Bukan kampus merasa paling pintar lalu datang membawa proyek yang kaku. Kampus harus belajar mendengar, berempati, dan berkolaborasi dengan masyarakat. Mutu hadir dalam bentuk keterlibatan riil, di mana mahasiswa dan dosen tidak hanya memberi, tapi juga mendapat hikmah, pelajaran hidup dari masyarakat. Maka KKN, penelitian kolaboratif, atau program pengabdian bukan sekadar formalitas, melainkan laboratorium sosial yang mencerdaskan dan menguatkan kedua belah pihak.
Sementara itu, Teori Profetik Kuntowijoyo, atau yang dikenal dengan Ilmu Sosial Profetik (ISP), memberi inspirasi lain. Gagasan ini lahir sebagai kritik terhadap ilmu sosial yang terlalu sibuk menjelaskan realitas tanpa berusaha mengubahnya. Menurut Kuntowijoyo, ilmu sosial harus punya misi profetik: tidak hanya deskriptif, tapi juga transformatif. Ada tiga pilar utama: humanisasi (memuliakan martabat manusia), liberasi (membebaskan dari ketertindasan, kemiskinan, dan ketidakadilan), dan transendensi (mengarahkan kehidupan pada nilai ketuhanan). Landasan visi ini berpijak pada QS. Ali Imran [3]: 110 tentang umat terbaik yang ditugaskan menyuruh kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah. Dari ayat ini, Kuntowijoyo menegaskan bahwa ilmu bukan sekadar alat analisis, tapi juga jalan perubahan.
Kalau dibawa ke kampus, ISP mengingatkan bahwa mutu tidak boleh berhenti di dokumen atau skor akreditasi. Mutu harus berwujud tindakan nyata yang memanusiakan mahasiswa, membebaskan masyarakat dari masalah yang mereka hadapi, dan memberi arah hidup yang lebih bermakna. Kampus yang benar-benar profetik bukan hanya menghasilkan publikasi, tapi juga menghasilkan harapan dan aksi nyata.
Permen 39 Tahun 2025 sebenarnya juga sudah menegaskan hal ini dalam Pasal 59, bahwa standar luaran pengabdian kepada masyarakat harus menjamin mutu, relevansi, dan kemanfaatan hasilnya. Artinya, pengabdian bukan sekadar aktivitas simbolik atau laporan tahunan, tapi harus benar-benar memberi jawaban atas kebutuhan masyarakat. Kalau pasal ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, mutu kampus akan terlihat bukan dari tumpukan dokumen, melainkan dari wajah masyarakat yang lebih adil dan beradab, sejahtera karena ilmu kampus hadir di tengah mereka.
Kalau ditarik ke lapangan, kita berharap bisa menyaksikan contoh sederhana. Mahasiswa teknik membuat sistem energi surya yang handal untuk desa terpencil. Kita berharap mahasiswa bisa mengurangi biaya listrik warga. Mahasiswa kesehatan mengadakan baksos, layanan pemeriksaan gratis di kampung, sambil belajar empati langsung dari pasien yang jarang tersentuh fasilitas. Dosen dan mahasiswa ekonomi mendampingi UMKM untuk masuk ke pasar digital, sehingga pengetahuan kampus benar-benar nyambung dengan kehidupan nyata. Semua itu tidak ada di borang, tapi di situlah mutu kampus yang sesungguhnya hidup.
Hikmahnya jelas: mutu sejati bukan sekadar soal kelengkapan laporan, tapi keberanian kampus membuka diri untuk melayani masyarakat. Inspirasi hadir ketika kampus tidak hanya jadi menara gading, tapi juga menjadi mata air yang mencerahkan dan menghidupi sekelilingnya. Kalau teori Triple Helix mengingatkan kita pentingnya kolaborasi 3 pihak, teori Community Engagement mengajarkan pentingnya empati dan mendengar, dan Teori Profetik menuntun agar semua itu diarahkan pada kemanusiaan, keadilan, dan ketuhanan.
Jadi, mutu kampus yang menginspirasi adalah mutu yang menyeberang pagar, hadir di tengah masyarakat. Mutu yang membuat mahasiswa tidak hanya bangga dengan ijazahnya, tapi juga merasa bahagia telah berbuat sesuatu untuk masyarakat. Dan masyarakat pun merasa kampus adalah bagian dari mereka, bukan institusi asing yang jatuh dari langit, yang sibuk dengan dunianya sendiri. Sebab pada akhirnya, mutu yang sejati bukanlah apa yang tertulis dalam borang, melainkan apa yang tercermin dalam wajah masyarakat yang lebih berdaya, lebih adil, dan lebih manusiawi. Stay Relevant!
Daftar Pustaka
- Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (2000). The dynamics of innovation: From National Systems and “Mode 2” to a Triple Helix of university–industry–government relations. Research Policy, 29(2), 109–123.
- Boyle, M. E., & Silver, I. (2005). Poverty, partnerships, and privilege: Elite institutions and community empowerment. City & Community, 4(3), 233–253.
- Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu: Epistemologi, metodologi, dan etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.
Instagram: @mutupendidikan




