SPMI dan Mahasiswa Difabel

Mutu Inklusif: Kampus untuk Semua, Bukan Hanya untuk yang Sehat

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Dosen dan Tim Soft Skills mutupendidikan.com

“Inklusi bukan beban, tapi inti mutu. Kampus ramah difabel berarti kampus yang sungguh menghargai martabat manusia”

Seorang mahasiswa berkebutuhan khusus (difabel) bercerita, “Setiap kali mau masuk kelas, saya terpaksa harus minta tolong sahabat untuk gendong kursi roda melewati tangga.” Bayangkan, di abad digital saat kampus bicara soal AI dan internasionalisasi, masih ada pintu ilmu yang tertutup hanya karena desain bangunan yang tidak ramah difabel. Pertanyaannya: mutu kampus itu diukur dari borang atau dari keberanian membuka akses bagi semua?

Permendikbudristek Nomor 39 Tahun 2025 sebenarnya sudah menyinggung hal ini. Pada pasal 38 (1) d. disebut jelas: perguruan tinggi wajib menyediakan layanan yang ramah bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Ini artinya mutu bukan hanya tentang kurikulum, dosen, atau penelitian, tapi juga tentang bagaimana kampus memberi akses yang adil dan manusiawi. Sayangnya, banyak kampus masih memandang isu ini sebagai “tambahan”—sesuatu yang baik kalau ada, tapi tidak dianggap inti. Padahal tanpa inklusi, mutu itu semu, timpang sejak awal.

Kalau kita pakai kacamata Capability Approach dari Amartya Sen dan Martha Nussbaum, mutu sejati bukan sekadar fasilitas fisik atau prestasi akademik, melainkan kemampuan nyata yang bisa dicapai mahasiswa. Sen menekankan pentingnya “freedom to achieve well-being” atau kebebasan untuk benar-benar hidup bermakna, sementara Nussbaum menekankan central capabilities seperti berpikir kritis, berpartisipasi dalam komunitas, dan merasakan rasa hormat dari orang lain. Kalau mahasiswa difabel hanya hadir di kelas tanpa bisa mengakses materi atau berpartisipasi setara, itu berarti kebebasan dan kemampuan mereka terbelenggu. Jadi, menyediakan ramp (jalur landai pengguna kursi roda), materi kuliah dalam format digital aksesibel, atau dosen yang paham metode pengajaran inklusif bukan hanya soal belas kasih, melainkan kewajiban institusi agar setiap individu punya capability untuk tumbuh.

Lalu ada Equity Theory dari J. Stacy Adams. Teori ini mengingatkan bahwa manusia menilai keadilan berdasarkan perbandingan antara input (usaha, waktu, kondisi) dan output (hasil, pengakuan, kesempatan). Kalau mahasiswa difabel mengeluarkan usaha lebih besar hanya untuk sekadar masuk kelas—misalnya harus menunggu orang lain untuk mendorong kursi rodanya, atau untuk naik tangga—maka mereka akan merasa tidak adil meski nilai akademiknya sama. Di sinilah pentingnya prinsip equity: bukan sama rata, tetapi menyesuaikan kebutuhan agar hasil akhirnya tetap setara. Kampus yang adil adalah kampus yang berani mengalokasikan sumber daya tambahan—baik berupa fasilitas maupun perhatian—demi memastikan semua mahasiswanya berjalan di jalur yang adil menuju tujuan yang sama.

Lebih lanjut, teori Social Model of Disability yang diperkenalkan Michael Oliver menawarkan perspektif yang radikal tapi membebaskan. Model ini menolak melihat disabilitas sebagai masalah pribadi atau kekurangan medis semata (medical model), melainkan menegaskan bahwa yang membuat seseorang “disabel” adalah lingkungan yang tidak ramah. Kursi roda bukan masalah, tapi tangga tanpa ramp adalah masalah. Mata yang rabun bukan masalah, tapi bahan kuliah yang hanya tersedia dalam format cetak adalah masalah. Dengan sudut pandang ini, tanggung jawab kampus menjadi jelas: membongkar hambatan-hambatan struktural dan sosial, lalu mendesain ulang sistem yang benar-benar inklusif. Mutu, dalam kerangka ini, berarti menciptakan lingkungan kondusif, yang tidak menonaktifkan potensi siapa pun.

Di lapangan, isu inklusi seringkali masih dipinggirkan. Mahasiswa difabel kadang merasa berjuang sendiri. Ada yang kesulitan ikut praktikum karena alat laboratorium tidak didesain inklusif. Ada yang minder bicara di kelas karena dosen tidak sabar mendengar cara komunikasi mereka. Semua ini memperlihatkan bahwa mutu kampus bukan hanya tentang standar formal, melainkan nilai-nilai dan budaya keseharian yang menghormati setiap manusia.

Kalau kampus serius, langkah konkret bisa dimulai dari hal-hal sederhana: memastikan gedung baru wajib aksesibel, menyediakan pelatihan dosen tentang inklusi, melibatkan mahasiswa difabel dalam forum mutu, dan tidak kalah penting, mengubah mindset bahwa mutu bukan sekadar angka, tapi wajah manusia yang tersenyum bahagia karena merasa diakui.

Mutu yang inklusif sebenarnya juga membantu banyak pihak. Ramp kursi roda bisa multi fungsi, membantu ibu hamil, toilet aksesibel membantu orang sakit sementara, materi digital aksesibel memudahkan semua mahasiswa mengulang pelajaran. Jadi inklusi bukan beban, melainkan jalan menuju mutu sejati yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.

Kalau mutu masih dipahami sebatas borang dan laporan, difabel akan terus jadi catatan kaki. Tapi kalau mutu dipahami sebagai ruang tumbuh bersama, maka kampus bisa jadi benar-benar tempat untuk semua. Ini benar-benar merdeka belajar. Dan jangan lupa, inklusi bukan sekadar proyek, tapi cermin akhlak. Kampus yang ramah difabel berarti kampus yang sudah belajar menghormati martabat manusia.

Sebagai penutup, mutu kampus yang sejati tidak hanya tercermin dari peringkat atau sertifikat akreditasi, melainkan dari keberanian untuk tidak meminggirkan siapa pun. Allah menegur langsung Nabi-Nya dalam QS. Abasa [80]: 1–3 ketika seorang sahabat buta datang mencari ilmu, tapi sempat terabaikan. Pesan ayat ini jelas: jangan pernah meremehkan niat tulus seorang pencari ilmu hanya karena keterbatasannya.

Maka kampus pun harus belajar mengambil hikmah dari teguran ilahi itu. Mutu bukan tentang sibuk melayani “yang normal” sambil melupakan mereka yang dianggap berbeda. Mutu adalah ketika setiap mahasiswa—sehat atau difabel—merasakan bahwa pintu ilmu terbuka lebar untuk mereka. Inilah hikmah tertinggi: kampus yang inklusif bukan hanya memenuhi standar administratif, tapi juga menjalankan amanat kemanusiaan. Dan mutu yang lahir dari kemanusiaan seperti ini akan selalu lebih dikenang, kokoh daripada sekadar tumpukan borang.

Stay Relevant!



Daftar Pustaka

  • Adams, J. S. (1963). Toward an understanding of inequity. Journal of Abnormal and Social Psychology, 67(5), 422–436.
  • Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
  • Oliver, M. (1983). Social work with disabled people. Basingstoke: Macmillan.
  • Sen, A. (1999). Development as freedom. New York: Alfred A. Knopf.
  • Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2025). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2025 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Jakarta: Kemendikbudristek.



Instagram: @mutupendidikan

Info Pelatihan Mutu Pendidikan

Scroll to Top