بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Oleh: Bagus Suminar
Wakil Ketua ICMI Jatim, Tim Soft Skills mutupendidikan.com
“Ceramah tetap penting, tapi tak cukup. Dosen perlu inovasi agar pembelajaran aktif, kontekstual, dan sesuai regulasi mutu terbaru.”
Di banyak ruang kuliah, suara dosen yang menyampaikan materi masih menjadi pemandangan utama. Ceramah telah lama menjadi tradisi dalam pendidikan tinggi di Indonesia, bahkan sering dianggap sebagai simbol otoritas akademik. Tidak ada yang salah dengan metode ini. Ceramah tetap diperlukan untuk memberi kerangka pemahaman, menyajikan teori secara runtut, dan mengarahkan mahasiswa ke inti persoalan. Namun, di era yang ditandai dengan arus informasi deras, tantangan global, dan kompleksitas masalah nyata, ceramah saja ternyata tidak cukup, perlu ada metode lain sebagai pelengkap.
Kita belajar dari teori konstruktivisme sosial Lev Vygotsky bahwa pengetahuan tidak dibangun secara pasif, melainkan lahir dari interaksi sosial dan konteks budaya. Mahasiswa membutuhkan kesempatan untuk berdialog, bertanya, dan mengaitkan informasi dengan pengalaman mereka sendiri. Jika ceramah hanya berlangsung satu arah, mahasiswa berisiko kehilangan keterlibatan mental, hadir secara fisik tetapi tidak sungguh-sungguh belajar. Di titik inilah terlihat hikmah bahwa peran dosen bukan hanya sebagai penyampai materi, tetapi juga harus mampu sebagai fasilitator yang memantik interaksi.
David Kolb melalui teori experiential learning menegaskan bahwa belajar bukan sekadar menerima, tetapi mengalami, merefleksikan, dan mencoba secara aktif. Mahasiswa akan lebih paham jika diberi ruang mengerjakan proyek, menganalisis kasus nyata, atau mensimulasikan situasi yang relevan dengan dunia kerja. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa ceramah harus diimbangi dengan pengalaman konkret yang memungkinkan mahasiswa tidak hanya tahu, tetapi juga terampil dan percaya diri.
Lebih jauh lagi, Heifetz dan Linsky dalam teori adaptive leadership mengingatkan bahwa kepemimpinan sejati ditunjukkan lewat kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Dosen sebagai pemimpin pembelajaran dituntut untuk peka terhadap dinamika mahasiswa, terbuka pada masukan, dan berani mencoba teknik dan metode baru. Hikmahnya jelas: stagnasi dalam cara mengajar bisa menghambat mutu lulusan, sementara keberanian berinovasi akan menciptakan kelas yang hidup dan relevan.
Regulasi terbaru melalui Permendiktisaintek No. 39 Tahun 2025 memberikan payung hukum yang semakin menegaskan pentingnya inovasi metode pembelajaran. Aturan ini mewajibkan perguruan tinggi menyelenggarakan proses pembelajaran yang interaktif, kolaboratif, inklusif, dan sesuai capaian pembelajaran lulusan. Dengan kata lain, ceramah yang tidak dikombinasikan dengan pendekatan lain berpotensi tidak memenuhi standar mutu nasional. Melalui Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), perguruan tinggi pun diarahkan untuk menerapkan siklus PPEPP—Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan—sebagai mekanisme perbaikan berkelanjutan (kaizen). Siklus ini memastikan dosen tidak sekadar mengajar karena kebiasaan, tetapi terus mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pembelajaran agar sesuai kebutuhan zaman.
Solusi yang dapat ditawarkan bukanlah meninggalkan ceramah, melainkan memadukannya (kombinasi) dengan pendekatan yang lebih aktif. Dosen bisa menyisipkan sesi diskusi singkat setelah penjelasan materi, menggunakan studi kasus agar teori terasa nyata, atau mendorong mahasiswa mengerjakan proyek-proyek kolaboratif. Teknologi juga bisa menjadi sahabat, misalnya dengan memanfaatkan aplikasi interaktif untuk kuis, refleksi, atau umpan balik cepat. Semua itu tidak harus dilakukan sekaligus, melainkan bisa dimulai dari langkah sederhana dan ditingkatkan melalui siklus berkelanjutan sesuai prinsip PPEPP.
Hikmah dari semua ini adalah bahwa pembelajaran sejati menuntut keseimbangan. Ceramah tetap penting, tetapi ia hanya satu bagian dari orkestrasi pembelajaran. Dengan memadukan tradisi dan inovasi, serta berpegang pada regulasi terbaru dan sistem penjaminan mutu, dosen bukan hanya mengajar, tetapi memimpin proses belajar yang lebih bermakna. Inilah jalan untuk memastikan mahasiswa tidak sekadar hadir di kelas, melainkan tumbuh sebagai individu yang kritis, adaptif, dan siap menghadapi tantangan zaman. Bagaimana, anda sudah siap?
Stay Relevant!
Instagram: @mutupendidikan



